Saturday, September 17, 2016

Kitab Tauhid 9

BAB : TAFSIRAN TAUHID DAN SYAHADAT LAAILAAHAILLALLAH

Allah Ta’ala berfirman,
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (mereka juga mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31)
**********
Firman Allah Ta’ala, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah,” yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan tokoh-tokoh mereka sebagai tuhan selain Allah dalam arti yang menetapkan syariat untuk mereka; yang menghalalkan dan mengharamkan. Padahal yang berhak menetapkan syariat hanyalah Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Bahkan apa saja yang dihalalkan oleh tokoh-tokoh mereka, maka mereka mengikutinya meskipun hal itu diharamkan Allah.  Dan apa saja yang diharamkan oleh tokoh-tokoh mereka, maka mereka mengikutinya meskipun hal itu dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara kaum yang mengikuti jejak mereka (Yahudi dan Nasrani) adalah orang-orang Syi’ah. Apa saja yang dihalalkan oleh imam-imam mereka, meskipun diharamkan Allah, maka mereka ikuti. Dan apa saja yang diharamkan oleh imam-imam mereka, maka mereka haramkan, meskipun hal itu dihalalkan Allah Subhanaahu wa Ta’ala.
Orang-orang Nasrani juga menuhankan Al Masih putera Maryam dengan menyembah dan beribadah kepadanya. Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan hanya menyembah dan beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab-kitab mereka dan diingatkan oleh nabi-nabi mereka.
Ayat yang disebutkan oleh penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) di atas menunjukkan, bahwa termasuk makna tauhid adalah mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam ketaatan; hanya Allah saja yang berhak menetapkan syariat, menghalalkan dan mengharamkan. Demikian pula menunjukkan, bahwa barang siapa mengikuti seseorang dalam hal menghalalkan dan mengharamkan bertentangan dengan apa yang Allah halalkan dan Allah haramkan, maka berarti dia telah menjadikannya tuhan di samping Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Kesimpulan:
1.    Termasuk kandungan tauhid adalah menaati Allah Azza wa Jalla dalam hal menghalalkan dan mengharamkan.
2.    Barang siapa yang menaati seseorang ketika menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, maka ia sama saja telah menjadikannya sekutu bagi Allah.
3.    Bantahan terhadap orang-orang Nasrani yang menuhankan Nabi Isa ‘alaihis salam dan menyatakan bahwa Beliau adalah anak tuhan, padahal Isa ‘alaihi salam adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Dan bahwa Nabi Isa ‘alaihi salam sebagaimana nabi-nabi yang lain sama-sama menyeru manusia menyembah hanya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala (Lihat QS. Al Maidah: 72).
4.    Sucinya Allah dari sekutu dan tandingan.
**********
Firman Allah Ta’ala,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِّلّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al Baqarah: 165)
**********
Dalam ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyebutkan keadaan kaum musyrik di dunia dan tempat kembali mereka di akhirat, dan bahwa mereka akan menyesal dengan penyesalan yang dalam. Yang demikian adalah karena mereka mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah. Mereka mencintai tandingan itu sehingga membelanya mati-matian. Selanjutnya Allah menyebutkan keadaan orang-orang yang beriman yang mentauhidkan-Nya, bahwa mereka mencintai Allah melebihi cintanya orang-orang musyrik kepada tandingan-tandingan itu atau melebihi cintanya mereka kepada Allah. Hal itu, karena kecintaan orang-orang mukmin kepada Allah adalah murni, sedangkan kecintaan orang-orang musyrik kepada Allah bercampur dengan kecintaan kepada tandan-tandingan. Kemudian Allah mengancam orang-orang musyrik, bahwa kalau sekiranya mereka melihat azab yang disiapkan bagi mereka pada hari Kiamat karena kemusyrikan mereka, tentu mereka akan menyesal sejadi-jadinya atau mereka akan segera berhenti dari kemusyrikan itu sewaktu di dunia.
Ayat di atas merupakan salah satu di antara sekian ayat yang menerangkan makna tauhid, yakni barang siapa yang mengadakan tandingan bagi Allah, dimana ia mencintainya sebagaimana mencintai Allah, maka berarti dia telah berbuat syirk. Dari sini kita ketahui, bahwa termasuk makna tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal cinta semacam ini; yang menghendaki untuk memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, tunduk, dan menghinakan diri kepada-Nya.
Kesimpulan:
1.    Termasuk makna tauhid adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam hal cinta yang menghendaki untuk tunduk dan menghinakan diri.
2.    Orang-orang musyrik juga mencintai Allah, akan tetapi tidak memasukkan mereka ke dalam Islam, karena mereka menyertakan yang lain di samping Allah dalam hal kecintaan semacam ini.
3.    Syirk merupakan kezaliman, karena Allah menyebutkan pelakunya sebagai orang-orang zalim, dan karena arti zalim adalah menempatkan sesuatu bukan tempatnya, ketika seseorang mengarahkan ibadah bukan kepada yang berhak diibadahi, maka berarti ia telah berbuat zalim.
4.    Ancaman untuk orang-orang musyrik pada hari Kiamat.
**********
Dalam Kitab Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,
مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مَنْ دُونِ اللهِ، حَرُمَ مَالُهُ، وَدَمُهُ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ
“Barang siapa yang menyatakan tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan kafir kepada semua yang disembah selain Allah, maka harta dan darahnya menjadi terpelihara, dan hisabnya diserahkan kepada Allah.”
Penjelasan tentang bab ini akan diterangkan pada bab-bab selanjutnya.
**********
Hadits yang disebutkan di atas ada dalam Shahih Muslim (23) dan Musnad Ahmad (3/472).
Maksud, “hisabnya diserahkan kepada Allah,” adalah bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang akan menghisab orang yang mengucapkan kalimat tersebut (Laailaahaillallah), lalu Dia membalasnya sesuai niat dan keyakinannya.
Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa untuk terpelihara harta dan darah seseorang, maka harus terpenuhi dua syarat, yaitu menyatakan Laailaahaillallah dan kafir kepada semua yang disembah selain Allah. Jika kedua hal ini ada pada diri seseorang, maka kita wajib menahan diri darinya secara lahiriah, dan kita serahkan urusan batinnya kepada Allah. JIka hatinya jujur, maka Allah akan membalasnya dengan surga yang penuh kenikmatan, dan jika hatinya mendustakannya seperti halnya orang-orang munafik, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang pedih. Adapun di dunia ini, maka kita menghukumi atas dasar lahiriahnya.
Hadits di atas termasuk di antara selian dalil yang menerangkan maknaLaailaahaillallah, bahwa maknanya adalah meniadakan sesembahan selain Allah dan menetapkan bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Kesimpulan:
1.    Menyatakan Laailaahaillallah menghendaki untuk mengingkari semua sesembahan selain Allah.
2.    Barang siapa yang menyatakan Laailaahaillallah dan mengamalkan syariatnya secara lahiriah, maka wajib menahan diri daripadanya sampai nyata darinya perbuatan yang menyalahinya.
3.    Hukum di dunia dibangun atas hal yang tampak, adapun di akhirat maka dibangun di atas niat dan keyakinan.
4.    Terpeliharanya harta dan darah seorang muslim.

Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.