Saturday, September 17, 2016

Kitab Tauhid 12

BAB: ORANG YANG BERTABARRUK (MENGHARAPKAN BERKAH) KEPADA PEPOHONAN, BEBATUAN, DAN YANG SEJENISNYA
Firman Allah Ta’ala,
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى (19) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى (20) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى (21) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (22) إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (23)
“Maka apakah patut kamu (wahai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza,--Dan Manah yang ketiga, yang paling kemudian (sebagai anak perempuan Allah)--Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?--Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.--Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (QS. An Najm: 19-23)
**********
Pada bab ini penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) melanjutkan menyebutkan beberapa perbuatan syirk yang dapat menafikan tauhid atau dapat mengurangi kesempurnaannya.
Tabarruk artinya mengharap keberkahan dan meyakini ada berkahnya.
Di antara manusia ada yang bertabarruk kepada pepohonan, bebatuan, dan lainnya seperti tempat tertentu, gua, kuburan, dan jejak atau sisa peninggalan. Maka pada bab ini penulis menerangkan hukumnya, yaitu bahwa haram hukumnya bertabarruk kepada pepohonan, bebatuan, kuburan, gua, jejak, dan sebagainya. Dan bahwa yang demikian merupakan perbuatan syirik serta mencontoh orang-orang musyrik yang bertabarruk kepada Lata, Uzza, dan Manat, karena mereka mengagungkan berhala-berhala itu dengan maksud memperoleh keberkahan.
Lata (dengan tidak ditasydidkan huruf ta’nya) adalah nama sebuah batu putih yang diukir, dimana di atasnya ada sebuah rumah, letaknya di Thaif. Jika ditasydidkan huruf ta’nya, maka nama seorang yang menghaluskan tepung untuk orang yang naik haji, kemudian ia meninggal dunia lalu orang-orang mendatangi kuburnya.
Uzza  adalah sebuah pohon yang dikelilingi bangunan yang diberi tabir, letaknya berada di antara Makkah dan Thaif.
Manat adalah nama sebuah patung di Al Musyallal, tempat yang berada di antara Makkah dan Madinah.
Dalam ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’ala mencela orang-orang musyrik yang menyembah sesuatu yang tidak mengerti apa-apa, yaitu tiga berhala ini; Lata, Uzza, dan Manat. Padahal berhala-berhala itu tidak dapat memberikan manfaat sama sekali bagi mereka. Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga mencela kaum musyrik karena kezaliman mereka dalam ketetapan, dimana mereka tolak anak-anak perempuan untuk diri mereka lalu mereka tetapkan untuk Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Selanjutnya, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menuntut mereka membawakan hujjah yang menguatkan sikap mereka menyembah selain-Nya, Dia juga menerangkan, bahwa jika hanya kira-kira dan sangkaan saja tidaklah dapat dijadikan hujjah. Bahkan hujjah yang benar adalah hujjah yang dibawa para rasul berupa bukti-bukti yang nyata dan hujjah-hujjah yang jelas yang menunjukkan wajibnya beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan menyembah selain-Nya.
Kesimpulan:
1.    Bertabarruk kepada pepohonan dan bebatuan merupakan perbuatan syirik.
2.    Disyariatkan mendebat orang-orang musyrik untuk membatalkan kesyirikan mereka dan mengokohkan tauhid.
3.    Hukum tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil, bukan hanya sekedar persangkaan dan kira-kira.
4.    Allah telah menegakkan hujjah kepada hamba-hamba-Nya dengan mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab.
**********
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى حُنَيْنٍ وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ وَلِلْمُشْرِكِيْنَ سِدْرَةٌ يَعْكُفُوْنَ عِنْدَهَا وَيَنُوْطُوْنَ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ يُقَالُ لَهَا: ذَاتُ أَنْوَاطٍ. فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " "اَللهُ أَكْبَرُ -إِنَّهَا السُّنَنُ- قُلْتُمْ وَالَّذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ كَمَا قَالَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى: {اجْعَل لَّنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ} [الأعراف: 138] لَتَرْكَبُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ"
Dari Abu Waqid Al Laitsiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain sedangkan kami baru saja keluar dari kekafiran (masuk Islam). Saat itu orang-orang musyrik memiliki pohon bidara yang dikenal dengan nama Dzat Anwath; mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon tersebut. Kami pun melewati sebuah pohon bidara, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzat Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzat Anwath.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahu akbar! Itu adalah tradisi orang-orang sebelum kalian. Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, kalian telah mengatakan sebagaimana Bani Israil berkata kepada Musa,“Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan.” Musa menjawab, “Sungguh, kalian adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al A’raaf: 138) Kalian pasti akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya)
**********
Abu Waqid Al Laitsiy namanya adalah Harits bin Auf, ia adalah seorang sahabat yang masyhur yang wafat pada tahun 68 H dalam usia 85 tahun.
Disebut pohon bidara tempat kaum musyrik menggantungkan senjata sebagai Dzat Anwath, karena seringnya mereka menggantungkan senjata mereka padanya untuk mengharap berkah.
Dalam hadits di atas, Abu Waqid menjelaskan tentang sebuah kejadian yang menarik perhatian yang di dalamnya mengandung pelajaran, yaitu pada saat mereka berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melawan suku Hawazin, dimana mereka baru saja masuk Islam dan perkara syirik masih samar bagi mereka. Saat mereka menyaksikan kaum musyrik bertabarruk (mencari berkah) pada sebuah pohon, maka mereka meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membuatkan pohon yang serupa. Ketika itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir sebagai bentuk pengingkaran sambil mengagungkan Allah Azza wa Jalla. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan, bahwa permintaan itu sama seperti permintaan Bani Israil kepada Nabi Musa ‘alaihis salam saat mereka melihat patung, yaitu, “Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka punya sesembahan.”
 Selanjutnya Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa umat ini akan mengikuti jejak orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ini adalah bentuk khabar (berita) namun maksudnya adaah celaan dan peringatan agar tidak melakukan perbuatan itu.
Dalam hadits di atas terdapat dalil, bahwa bertabarruk kepada pohon, bebatuan, dan sejenisnya merupakan perbuatan syirk.
Kesimpulan:
1.    Bertabarruk (mengharap berkah) kepada  pepohonan, bebatuan, dan sejenisnya merupakan perbuatan syirik.
2.    Seorang yang berpindah dari kebatilan yang biasa dirutininya bisa saja masih tersisa dalam hatinya kebiasaan-kebiasaan lama.
3.    Sebab penyembahan kepada patung dan berhala adalah karena mendatanginya, memuliakannya, dan mengharap berkah kepadanya.
4.    Sepatutnya bagi seorang muslim bertasbih atau bertakbir saat mendengar sesuatu yang tidak patut diucapkan dalam agama, atau ketika merasakan keheranan.
5.    Berita akan terjadinya perbuatan syirik dalam umat ini.
6.    Salah satu bukti kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu terjadinya perbuatan syirik di tengah-tengah umat.
7.    Larangan menyerupai kaum Jahiliyyah, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Nasrani.
8.    Yang dijadikan patokan adalah makna atau kandungannya, bukan nama, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan permintaan mereka seperti permintaan Bani Israil keada Nabi Musa ‘alaihis salam tanpa melihat bahwa mereka menamainya dengan Dzat Anwath.

Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45Al Ishabah fii Tamyizish Shahabah(Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani), dll.