Saturday, September 3, 2016

Cerdas Dengan Tauhid

Sesungguhnya, kemusyrikan mengindikasikan kebodohan dan keterbelakangan pelakunya, demikian pula sebaliknya, tauhid mengindikasikan kecerdasan dan kemajuan pelakunya. Setiap orang musyrik pasti terbelakang cara berpikirnya, sedangkan orang bertauhid pasti cerdas dan maju cara berpikirnya. Oleh karena itu, sesungguhnya yang disebut ulû al-albâb adalah orang-orang yang bertauhid.

Mengapa demikian?

Ketika seseorang mengetahui bahwa pencipta alam semesta, pemberi rizki dan pengatur segala urusan hanyalah Allâh saja, kemudian ia enggan beribadah kepada-Nya, bukankah ini merupakan kebodohan? Terlebih lagi jika seseorang kemudian menyejajarkan Allâh Pencipta alam semesta ini, dengan makhluk ciptaan-Nya dalam hal kekuasaann dan dalam hal mendapatkan hak peribadatan. Misalnya menyejajarkan dengan Malaikat, Nabi, Wali, orang-orang shalih dan bahkan dengan makhluk terendah seperti dukun, kayu, batu atau kuburan.

Bukankah kaum musyrikin Arab Quraisy pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mendapat predikat sebagai orang-orang jahiliyah? Apakah karena mereka tidak memiliki kemampuan teknologi persenjataan, pertanian, perniagaan, atau komunikasi misalnya, tentu yang sesuai dengan ukuran zaman itu? Jawabnya, bukan. Tetapi karena mereka adalah masyarakat yang memuja berhala, menjadikan makhluk sebagai tuhan, memohon keselamatan kepada benda mati, ngalap berkah pada petilasan, mencari kesaktian di tempat-tempat keramat, dan lain sebagainya.

Padahal mereka mengerti bahkan berikrar bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Pencipta alam semesta satu-satu-Nya, Pemberi rezeki bagi seru sekalian makhluk, Pengatur segala urusan, Yang menghidupkan, mematikan dan Penguasa bumi-langit beserta segenap isinya.[1]

Allâh Azza wa Jalla berfirman menceritakan ikrar mereka akan sisi tauhid ini, yang disebut tauhid Rubûbiyah, di antaranya :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab, “Allâh”. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan dari menyembah Allâh? [Az-Zukhruf/43:87]

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ 

Dan sesungguhnya jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allâh”. [Luqmân/31:25]

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Katakanlah (hai Muhammad kepada mereka), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allâh” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya?” [Yûnus/10:31]

قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٨٤﴾ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ ﴿٨٥﴾ قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ﴿٨٦﴾ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ ﴿٨٧﴾ قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٨٨﴾ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ فَأَنَّىٰ تُسْحَرُونَ

Katakanlah (hai Muhammad kepada mereka), “Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allâh.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah, “Siapakah yang Rabb yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allâh” Katakanlah, “Apakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya ada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari adzab-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allâh” Katakanlah, “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu tertipu?” [Al-Muʹminûn/23:84-89]

Demikian beberapa ayat yang menceritakan ikrar mereka akan kekuasaan Allâh Azza wa Jalla , bahwa Allâh pencipta, pemberi rezeki dan pengatur segala sesuatu. Sekalipun demikian tetap saja mereka disebut kaum musyrikin.[2] Mereka adalah orang-orang bodoh, sedangkan zaman mereka disebut zaman jahiliyah, zaman kebodohan.

Wajarlah ketika mereka diingatkan supaya meninggalkan berhala-berhala sesembahannya dan supaya mengikuti wahyu Allâh Azza wa Jalla serta hanya beribadah kepada-Nya saja, mereka menolak seraya menjawab: kami hanya mengikuti tradisi yang dilakukan nenek moyang kami semenjak dahulu. Banyak ayat yang menceritakan sikap dan perilaku mereka ini, di antaranya firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allâh”, Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” Apakah (mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka tidak memahami apapun dan tidak mendapat petunjuk?” [Al-Baqarah/2:170]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang firman Allâh ini sebagai berikut; Apabila dikatakan kepada orang-orang kafir dari kaum Musyrikin itu agar mengikuti ajaran yang Allâh Azza wa Jalla turunkan kepada Rasul-Nya dan agar meninggalkan kebiasaan sesat dan kebiasaan bodoh mereka, maka mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapatkan dari nenek moyang kami.” Yaitu kebiasaan menyembah patung-patung dan berhala-berhala. Karena itu Allâh Azza wa Jalla kemudian mengingkari pernyataan mereka dengan mempertanyakan, “Apakah (mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang yang mereka ikuti tidak faham dan tidak mendapat petunjuk ?”[3]

Ayat ini jelas menunjukkan kebiasaan taklid buta kaum Musyrikin dan menunjukkan betapa tidak cerdasnya mereka. Oleh karena itulah selanjutnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً ۚ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Dan perumpamaan (orang yang memanggil) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, oleh sebab itu mereka tidak mengerti. [Al-Baqarah/2:171]

Artinya, perumpamaan orang kafir dengan kebiasaan menyimpang, sesat dan bodohnya, laksana binatang ternak yang tidak memahami apa kata orang. Bahkan jika penggembalanya memanggilnya menuju arah yang terbaik, binatang-binatang itu tidak akan memahami panggilannya kecuali hanya suara saja.[4]

Di sisi lain, bisa diperhatikan pula argumen-argumen yang menunjukkan kelambanan cara berpikir mereka dalam memahami persoalan keyakinan. Yaitu ketika mereka melakukan peribadatan kepada berhala atau orang-orang shalih yang telah meninggal dunia atau Malaikat, mereka beranggapan bahwa itu merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla yang kemudian mereka sebut sebagai wasîlah. Padahal sejatinya mereka telah memberikan hak doa atau peribadatan kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla berfirman menceritakan anggapan bodoh mereka.

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ

Ingatlah, hanya kepunyaan Allâh-lah agama yang bersih dari syirik. Dan orang-orang yang menjadikan selain Allâh sebagai pelindung yang dipuja-pujanya (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya.” [Az-Zumar/39:3]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah membawakan riwayat Qatâdah rahimahullah yang menjelaskan tentang firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya), “Ingatlah, hanya kepunyaan Allâh-lah agama yang bersih dari syirik”. Maksudnya adalah kesaksian bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allâh Azza wa Jalla . Kemudian Allâh Azza wa Jalla menceritakan tanggapan para penyembah berhala, mereka mengatakan (yang artinya), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya”.

Maksudnya, itulah penyebab mereka menyembah patung-patung yang mereka anggap sebagai perwujudan para malaikat. Yaitu supaya para malaikat itu memberi syafa’at kepada mereka di sisi Allâh dan supaya para malaikat itu menjadi wasîlah untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan sedekat-dekatnya sehingga mereka selalu ditolong, rezekinya lancar dan kebutuhan dunianya terpenuhi.

Inilah syubhat (kerancuan pemahaman) yang selalu menjadi sandaran kaum musyrikin semenjak zaman dahulu hingga sekarang. Para Rasul Allâh ‘alaihimush shalâtu was salâm telah datang untuk membantah serta melarang syubhat mereka, dan mengajak mereka untuk hanya beribadah kepada Allâh saja. Sesungguhnya tindakan kaum musyrikin (menjadikan berhala sebagai wasilah untuk menyembah Allâh) hanyalah rekayasa mereka sendiri, tidak pernah diizinkan Allâh Azza wa Jalla dan tidak pernah diridhaiNya.[5]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ 

Dan mereka menyembah selain Allâh apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah para pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allâh”. [Yûnus/10:18]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah menjelaskan, bahwa kaum musyrikin, dengan membuat wasîlah yang bathil ini mengharapkan syafa’at dari patung-patungnya (di sisi Allâh). Yaitu dengan melakukan peribadatan terhadap patung-patung itu. Ini merupakan kebodohan dan kedunguan mereka. Berusaha mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , tetapi dengan cara yang justeru membuat mereka semakin jauh dari-Nya.[6]

Dengan kata lain, mereka melakukan peribadatan kepada patung-patung atau berhala yang melambangkan orang-orang shalih yang telah meninggal dunia atau melambangkan Malaikat, tetapi dianggapnya itu sebagai cara yang paling baik untuk mendekatan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan itu merupakan ciri kaum musyrikin pada umumnya di segala zaman.

Orang yang cerdas tentu tidak akan melakukan hal semacam ini.

Orang yang cerdas ketika memahami bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah Pencipta segenap makhluk, Pemberi rezeki dan Pengatur segala sesuatu, maka ia akan dengan penuh tanggung jawab memberikan seluruh peribadatan hanya kepada-Nya saja serta mejalankan seluruh kewajibannya. Sebab bagaimana mungkin ia menyembah sesuatu yang tidak menciptakan, tidak memiliki apa-apa dan serba terbatas?

Orang yang demikian ini, mengindikasikan kecerdasan dan kemajuan berpikirnya. Meskipun misalnya ia tidak pernah memakai sepatu apalagi dasi, karena pekerjaannya selalu berlumur dengan lumpur sawah atau bergumul dengan sapi. Pakaian bersihnya hanya dipakai ketika shalat berjama’ah di Masjid, atau ketika berkumpul dengan keluarganya di rumah atau ketika mempunyai keperluan lain di tempat lain. Tetap saja ia disebut sebagai orang cerdas, orang yang faham dan berakal.

Sebagai contoh, kisah seorang Mu’min di suatu negeri pada zaman rasul-rasul terdahulu yang diabadikan di dalam al-Qurʹân. Kisah tentang seseorang yang cerdas dengan sikap bertauhidnya dan keimanannya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ayat yang mengisahkan hal ini antara lain dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t sebagai pembanding dari kebodohan orang musyrikin yang menjadikan selain Allâh sebagai sesembahan.[7] Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ ﴿٢٢﴾ أَأَتَّخِذُ مِنْ دُونِهِ آلِهَةً إِنْ يُرِدْنِ الرَّحْمَٰنُ بِضُرٍّ لَا تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَلَا يُنْقِذُونِ ﴿٢٣﴾ إِنِّي إِذًا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ ﴿٢٤﴾ إِنِّي آمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُونِ

Mengapa aku tidak menyembah Allâh yang telah menciptakanku dan yang hanya kepadaNya-lah kamu semua akan dikembalikan?

Apakah aku akan menyembah sesembahan-sesembahan selain-Nya, yang jika Allâh ar-Rahmân menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafa’at mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan tidak pula mereka dapat menyelamatkanku?

Sesungguhnya kalau begitu, aku pasti dalam kesesatan yang nyata. Sesungguhnya aku benar-benar beriman kepada Rabbmu, maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku. [Yâsîn/36:22-25]

Itulah cara berfikir orang yang cerdas. Seorang yang menyadari sepenuhnya bahwa yang berhak disembah hanya Allâh Pencipta alam semesta. Sedangkan penyembahan serta doa kepada apapun atau siapapun selain Allâh adalah kebodohan dan kesesatan.

Dan ini pula sikap serta kecerdasan setiap Mu’min disegala zaman. Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdiri dari kalangan atas seperti Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu hingga kalangan budak seperti Bilâl Radhiyallahu anhu membuktikan itu semua.

Maka kalau orang ingin meninggalkan keterbelakangan dan kebodohan, harus meninggalkan kemusyrikan, sebab kemusyrikan adalah kebodohan. Sebaliknya setiap orang yang cerdas pasti akan memilih hidup bertauhid, sebab pilihan hidup bertauhid menunjukkan kefahaman pelakunya, sedangkan kefahamanan menunjukkan kecerdasan. Wallâhu al-Muwaffiq.

Marâji’:
Tafsîr Ibnu Katsîr
Syaikhu al-Islam Ibnu Taimiyah dalam ar-Risâlah at-Tadmuriyyah, tanpa nama penerbit, tanpa tahun.
Majmû’ Fatâwâ Syaikhi al-Islâm Ibni Taimiyyah.
Syarh Kasyfi asy-Syubuhât wa yalîhi Syarh al-Ushûl as-Sittah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, Dâr ats Tsurayyâ, Riyadh, KSA, cet. III, 1418 H/1997 M.

Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVIII/1435H/2014M. ]
________
Footnote
[1] Lihat misalnya Syarh Kasyfi asy-Syubuhât wa yalîhi Syarh al-Ushûl as-Sittah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, Dâr ats Tsurayyâ, Riyadh, KSA, cet. III, 1418 H/1997 M, (matan) hlm. 29-30.

[2] Lihat misalnya keterangan Syaikhu al-Islam Ibnu Taimiyah dalam ar-Risâlah at-Tadmuriyyah, tanpa nama penerbit, tanpa tahun, hal. 65 & 67, atau Majmû’ Fatâwâ Syaikhi al-Islâm Ibni Taimiyyah, III/101 & 105 dll.

[3] Tafsîr Ibnu Katsîr, al-Baqarah/2:170, dengan terjemah bebas.

[4] Ibid, Tafsir al-Baqarah/2:171

[5] Ibid, QS. Az-Zumar/39:3 dengan diringkas berbentuk kesimpulan dan dengan bahasa bebas.

[6] Syarh Kasyfi asy-Syubuhât wa yalîhi Syarh al-Ushûl as-Sittah, op.cit, (syarah) hal. 28.

[7] Majmû’ Fatâwâ Syaikhi al-Islâm Ibni Taimiyyah, III/105.