Tuesday, October 8, 2013

Tauhid Rububiyah dan Pengakuan Kaum Musyrikin Terhadapnya

Pengertian Tauhid Rububiyah

Imam ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah berkata, “Akar kata dari Rabb adalah tarbiyah; yaitu menumbuhkan sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan berikutnya secara bertahap hingga mencapai kesempurnaan.” (lihat al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/245])
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Rabb menurut bahasa digunakan untuk tiga makna; sayyid/tuan yang dipatuhi, maalik/pemilik atau penguasa, atau sosok yang melakukan ishlah/perbaikan kepada selainnya.” (dari transkrip ceramah Syarh Tsalatsat al-Ushul milik beliau)
Tauhid rububiyah adalah seorang hamba meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, Yang Maha Mencipta, Yang Maha Memberikan Rizki, Yang Mengatur segala urusan, yang memelihara dan menjaga seluruh makhluk dengan segala bentuk nikmat. Meyakini bahwasanya Allah yang memelihara dan menjaga makhluk-makhluk pilihan-Nya yaitu para nabi dan pengikut mereka dengan bimbingan akidah yang benar, akhlak yang mulia, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan amal salih. Inilah bentuk tarbiyah (pemeliharaan dan penjagaan) yang bermanfaat bagi hati dan ruh, yang akan membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 13)
Tauhid rububiyah juga bisa didefinisikan dengan: mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan. Allah ta’ala berfirman,
هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Apakah ada pencipta selain Allah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3).
Allah ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Dan milik Allah lah kekuasaan atas langit dan bumi” (QS. Ali ‘Imran: 189).
Allah ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah: Siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, siapakah yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan. Niscaya mereka akan menjawab, Allah. Maka katakanlah, Lalu mengapa kalian tidak bertakwa (QS. Yunus: 31)
(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/5-6] cet. Maktabah al-’Ilmu, lihat juga Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah hal. 34)

Allah Satu-Satunya Pencipta

Secara logika, ada tiga kemungkinan teori terjadinya alam semesta:
  1. Ia terjadi begitu saja secara tiba-tiba, tanpa ada pencipta
  2. Ia menciptakan dirinya sendiri
  3. Ia ada karena diciptakan
Kemungkinan pertama dan kedua jelas tertolak. Karena sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba tidak bisa tertata rapi dan teratur pada asal pembentukannya, maka lebih tidak mungkin lagi ia tertata dengan baik dalam perkembangannya. Dan mustahil ia menciptakan dirinya sendiri. Karena sebelum ada, alam semesta ini tidak ada. Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada bisa mencipta? Ada saja tidak! Oleh sebab itu hanya kemungkinan ketiga yang tersisa, yaitu alam ini ada karena diciptakan. Adapun penciptanya tidak lain adalah Allah ta’ala. Allahta’ala telah mengisyaratkan tiga kemungkinan ini dalam firman-Nya,
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
Apakah mereka itu tercipta tanpa ada sesuatu apapun sebelumnya, ataukah mereka sendiri yang menciptakan?” (QS. ath-Thur: 35). Maka sangatlah wajar jika seorang arab yang mau menggunakan akalnya seperti Jubair bin Muth’im pun seketika tertarik kepada Islam setelah mendengar dibacakannya ayat ini (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 17-18 cet. Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, lihat juga Fath al-Bari karya al-Hafizh Ibnu Hajar [8/708] cet. Dar al-Hadits)
Dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya -semoga Allah meridhainya-, dia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat ath-Thur pada saat shalat Maghrib. Tatkala beliau sampai pada ayat ini,
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوقِنُونَ أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ الْمُصَيْطِرُونَ
Apakah mereka itu diciptakan tanpa ada sesuatu sebelumnya, ataukah mereka sendiri yang menciptakan? Apakah mereka yang menciptakan langit dan bumi? Bahkan, mereka pun tidak meyakininya. Apakah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabb-mu, ataukah mereka yang menguasainya?” (QS. ath-Thur: 35-37).
Maka Jubair bin Muth’im pun berkata, “Hampir-hampir saja hatiku melayang.” (HR. Bukhari).
Dikisahkan, suatu ketika Imam Abu Hanifah rahimahullah ditanya oleh sejumlah orang zindiq/atheis mengenai keberadaan pencipta alam ini. Beliau pun berkata kepada mereka, “Tunggu sebentar, biarkan aku berpikir mengenai suatu berita yang disampaikan kepadaku. Mereka pernah menceritakan kepadaku bahwa ada sebuah kapal yang berlayar di tengah lautan berisi muatan berbagai barang dagangan. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang menjaga dan mengemudikannya. Meskipun begitu, kapal itu datang dan pergi dengan sendirinya. Ia menembus gelombang lautan yang ganas dan meloloskan diri darinya. Ia berlayar ke mana pun ia mau tanpa ada seorang pun yang mengendalikannya.” Orang-orang zindiq itu pun berkata, “Ini adalah sebuah perkara yang tidak diucapkan oleh orang yang berakal.” Lantas Abu Hanifah mengatakan, “Sungguh celaka kalian! Kalau begitu bagaimana mungkin alam semesta ini, langit dan buminya, beserta segala isinya yang begitu teratur, ternyata ia tidak memiliki pencipta?!”. Orang-orang itu pun terdiam seribu bahasa. Akhirnya mereka kembali kepada kebenaran dan masuk Islam di tangan Imam Abu Hanifah rahimahullah ( lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 14 oleh Syaikh Abdullah al-Qar’awi, lihat pula Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 84-85 ).

Pengakuan Orang Musyrik Terhadap Tauhid Rububiyah 

Tauhid rububiyah adalah sesuatu yang telah menjadi fitrah manusia dan hakikat yang diterima oleh akal sehat mereka. Orang-orang kafir sekalipun sebenarnya mengimani hal ini di dalam hatinya.
Allah ta’ala berfirman,
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Para rasul mereka pun mengatakan, “Apakah ada keraguan terhadap Allah; padahal Dia lah yang menciptakan langit dan bumi.” (QS. Ibrahim: 10).
Allah ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ
Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab, ‘Yang menciptakannya adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui’. (QS. az-Zukhruf: 9)
Allah ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
Sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan diri mereka, niscaya mereka menjawab: Allah. Lalu dari mana mereka bisa dipalingkan (dari menyembah Allah).” (QS. az-Zukhruf: 87).
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang-orang musyrik arab dahulu telah mengakui tauhid rububiyah. Mereka pun mengakui bahwa pencipta langit dan bumi ini hanya satu.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 81, lihat juga Fath al-Majid, hal. 16, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/201] [7/167])
Adapun yang terjadi kepada Fir’aun adalah sebuah kesombongan dan kecongkakan belaka. Allah ta’ala menceritakan,
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
Maka dia (Fir’aun) berkata: Aku adalah Rabb kalian yang tertinggi.” (QS. an-Nazi’at: 24).
Fir’aun juga yang berkata,
مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي
Aku tidak mengetahui bagi kalian ada ilah/sesembahan selain diri-Ku.” (QS. al-Qoshosh: 38).
Padahal, dalam lubuk hatinya Fir’aun sebenarnya mengakui Allah sebagai Rabbnya. Allah ta’ala berfirman,
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
Mereka menentang hal itu, padahal sesungguhnya mereka telah meyakininya di dalam hatinya, itu semua karena sifat zalim dan karena mereka merasa lebih tinggi -di hadapan manusia-.” (QS. an-Naml: 14).
Nabi Musa ‘alaihis salam pun telah menetapkan pengakuan Fir’aun atas hal itu, ketika beliau berbicara di hadapannya. Sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya,
قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Sungguh kamu telah mengetahui bahwasanya tidaklah yang menurunkan itu semua melainkan Rabb yang menguasai langit dan bumi.” (QS. al-Israa’: 102) (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid[1/6])

Tauhid Rububiyah Saja Belum Cukup!

Iman terhadap rububiyah Allah belum bisa memasukkan ke dalam Islam. Allahta’ala berfirman,
أَفَأَمِنُوا أَنْ تَأْتِيَهُمْ غَاشِيَةٌ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ أَوْ تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah, melainkan mereka juga terjerumus dalam kemusyrikan. (QS. Yusuf: 107).
Ikrimah berkata, “Tidaklah kebanyakan mereka -orang-orang musyrik- beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan berbuat syirik. Apabila kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Maka mereka akan menjawab, ‘Allah’. Itulah keimanan mereka, namun di saat yang sama mereka juga beribadah kepada selain-Nya.” (lihat Fath al-Bari [13/556])
Ini artinya, menganggap bahwa keyakinan Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta sebagai intisari tauhid adalah jelas sebuah kekeliruan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah yang dimaksud dengan tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang dari kalangan ahli kalam dan tasawuf. Bahkan, mereka menyangka apabila mereka telah menetapkan kebenaran hal ini dengan dalil maka mereka merasa telah mengukuhkan hakikat tauhid. Mereka beranggapan apabila telah menyaksikan dan mencapai tingkatan ini artinya mereka berhasil menggapai puncak tauhid. Padahal sesungguhnya apabila ada seseorang yang mengakui sifat-sifat yang menjadi keagungan Allah ta’ala, menyucikan-Nya dari segala sesuatu yang mencemari kedudukan-Nya, dan meyakini Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu, tidaklah dia menjadi seorang muwahid sampai dia mengucapkan syahadat laa ilaha illallah; tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, mengakui Allah semata yang berhak diibadahi, menjalankan ibadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.” (lihat Fath al-Majid, hal. 15-16)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan, “Sebagaimana pula wajib diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah mencukupi dan tidak bermanfaat kecuali apabila disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah (mengesakan Allah dalam beribadah) dan benar-benar merealisasikannya dengan ucapan, amalan, dan keyakinan…” (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Mengapa para nabi tidak berkonsentrasi pada penetapan tauhid rububiyah dan dakwah kepadanya? Sebab tauhid rububiyah adalah sesuatu yang telah mereka akui. Mereka tidaklah mengingkarinya, dan tidak ada seorang pun yang berani mengingkari tauhid rububiyah selamanya, kecuali karena kesombongan semata. Karena pada hakikatnya tidak ada seorang pun yang meyakini -selamanya- bahwa alam semesta menciptakan dirinya sendiri. Bahkan, kaum Majusi Tsanuwiyah sekalipun; yang berkeyakinan bahwa alam semesta ini memiliki dua pencipta. Meskipun demikian, mereka tetap meyakini bahwa salah satu diantara keduanya lebih sempurna. Mereka meyakini bahwa tuhan cahaya menciptakan kebaikan, sedangkan tuhan kegelapan menciptakan keburukan. Sementara mereka mengatakan bahwa tuhan cahaya adalah tuhan yang baik dan bermanfaat. Adapun tuhan kegelapan adalah tuhan yang buruk…” “…Intinya, tidak akan anda temukan selamanya seorang pun yang berkata bahwa alam semesta ini diciptakan tanpa adanya Sang pencipta, kecuali orang yang sombong. Sedangkan orang yang sombong semacam ini adalah termasuk golongan orang musyrik. Adapun masalah [tauhid] uluhiyah, maka itulah permasalahan yang menjadi sumber pertikaian dan pertentangan antara para rasul dengan umat mereka.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Hisan, hal. 21)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Diantara perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam bidang ilmu tauhid dari kalangan belakangan (muta’akhirin) lebih memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb [Allah] -walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb [Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta]- akan tetapi bukankah betapa banyak umat Islam yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/8])
Tatkala para ulama salaf sangat memperhatikan masalah tauhid ibadah, sesungguhnya mereka melakukan itu semata-mata untuk mengikuti bagaimana Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya. Karena tauhid rububiyah adalah perkara yang fitrah ada pada manusia, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang telah tercabut fitrah darinya dan terbutakan mata hatinya… Adapun salafiyun -dengan manhaj mereka ini- berbeda dengan kaum Mutakallimin dari kalangan Asya’irah dan selainnya yang melalaikan masalah tauhid ini dan tidak mencurahkan segenap upaya mereka untuk mengokohkan dan mengajarkan hal itu kepada umat manusia. Bahkan, puncak perjuangan mereka hanyalah berdalil untuk menetapkan keberadaan al-Khaliq, padahal ini semuanya telah terpatri di dalam fitrah manusia yang suci. Sebagaimana sudah kami isyaratkan baru saja. Oleh sebab itu untuk menetapkan hal itu tidaklah memerlukan upaya yang rumit. Apalagi sampai menjadikan segala upaya hanya untuk mencapai tujuan itu. Yang demikian itu terjadi kepada mereka disebabkan mereka menganggap bahwa hakikat ilahiyah adalah kemampuan untuk mencipta. Oleh sebab itu mereka berjuang untuk memberikan penjelasan kepada manusia bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta. Kelalaian inilah yang pada akhirnya menjerumuskan mereka ke dalam berbagai kotoran bid’ah dalam  ibadah dan sebagian praktek kemusyrikan, akibat mengesampingkan tauhid ibadah (lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu, Tarikhuhu, Majalatuhu, Qawa’iduhu wa Khasha’ishuhu, hal. 134 oleh Dr. Mafrah bin Sulaiman al-Qusi, cet. Darul Fadhilah, 1422 H)

Tanggapan Kaum Musyrikin Terhadap Dakwah Tauhid

Allah ta’ala berfirman,
عَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
Dan mereka merasa keheranan tatkala datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari kalangan mereka, dan orang-orang kafir itu pun berkata: Ini adalah tukang sihir dan pendusta. Apakah dia [Muhammad] hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja? Sungguh, ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shod: 4-5) (bacalah kisah menarik mengenai tafsir ayat ini di dalam Ma’alim at-Tanzil, hal. 1105 oleh Imam al-Baghawi rahimahullah)
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaaha illallah maka mereka pun menyombongkan diri. Mereka berkata: Akankah kami meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)
Allah ta’ala berfirman,
كَذَلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
Demikianlah, tidak datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul pun melainkan mereka (kaumnya) berkata: tukang sihir atau orang gila. Apakah mereka saling berpesan dengannya? Bahkan mereka itu adalah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Adz-Dzariyat: 52-53)

Konsekuensi Tauhid Rububiyah

Tauhid rububiyah memiliki banyak konsekuensi bagi hamba, diantaranya adalah:
  1. Mengikhlaskan ibadah kepada Allah semata (baca: tauhid uluhiyah)
  2. Ridha terhadap perintah dan larangan-Nya (baca: tunduk kepada syari’at)
  3. Ridha terhadap takdir yang ditetapkan-Nya (baca: sabar)
  4. Ridha terhadap rizki dan pemberian-Nya (baca: qona’ah)
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah menjelaskan, “Kemudian, sesungguhnya keimanan seorang hamba kepada Allah sebagai Rabb memiliki konsekuensi mengikhlaskan ibadah kepada-Nya serta kesempurnaan perendahan diri di hadapan-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Aku adalah Rabb kalian, maka sembahlah Aku” (QS. al-Anbiya’: 92). Allahta’ala juga berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian” (QS. al-Baqarah: 21). Keberadaan Allah sebagai Rabb seluruh alam memiliki konsekuensi bahwa Allah tidak akan meninggalkan mereka dalam keadaan sia-sia atau dibiarkan begitu saja tanpa ada perintah dan larangan untuk mereka. Akan tetapi Allah menciptakan mereka untuk mematuhi-Nya dan Allah mengadakan mereka supaya beribadah kepada-Nya. Maka orang yang berbahagia diantara mereka adalah yang taat dan beribadah kepada-Nya. Adapun orang yang celaka adalah yang durhaka kepada-Nya dan lebih memperturutkan kemauan hawa nafsunya. Barangsiapa yang beriman terhadap rububiyah Allah dan ridha Allah sebagai Rabb maka dia akan ridha terhadap perintah-Nya, ridha terhadap larangan-Nya, ridha terhadap apa yang dibagikan kepadanya, ridha terhadap takdir yang menimpanya, ridha terhadap pemberian Allah kepadanya, dan tetap ridha kepada-Nya tatkala Allah tidak memberikan kepadanya apa yang dia inginkan.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 97)
Dari al-’Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul” (HR. Muslim)
Ridha adalah merasa puas dan cukup dengan sesuatu serta tidak mencari lagi sesuatu yang lain bersamanya. Makna hadits ini adalah; orang tersebut tidak mencari dan berharap kecuali kepada Allah ta’ala semata, tidak mau berusaha kecuali di atas jalan Islam, dan tidak mau menempuh suatu jalan kecuali apabila sesuai dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seseorang yang telah merasa ridha dengan sesuatu maka sesuatu itu akan terasa mudah baginya. Demikian pula seorang mukmin apabila iman telah meresap ke dalam hatinya maka akan terasa mudah segala ketaatan kepada Allah dan dia akan merasakan nikmat dengannya (lihat Syarh Muslim [2/86] cet. Dar Ibnu al-Haitsam)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata” (QS. Al-Ahzab: 36)
Allah ta’ala juga berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65).
Allah ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
Benar-benar Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, serta kekurangan harta, lenyapnya nyawa, dan sedikitnya buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini adalah milik Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya’. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat. Dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. al-Baqarah: 155-157)
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila tertimpa kesulitan dia bersabar, maka hal itu juga kebaikan untuknya. (HR. Muslim)
Demikianlah yang bisa kami susun dalam kesempatan ini dengan taufik dari Allah semata. Semoga Allah memberikan manfaat kepada kita dengannya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin  wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


Penulis: Ari Wahyudi