والدليل قوله تعالىإِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً # إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً # فَأُوْلَـئِكَ عَسَى اللّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللّهُ عَفُوّاً غَفُوراًDalil (atas wajibnya hijrah) adalah firman Allah :
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab : “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu?” Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.”(An-Nisaa’ : 97-99)
Perkataan penulis:
Dalil (atas wajibnya hijrah) adalah firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab : “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu?” Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.” [An-Nisaa’ : 97-99]
Ayat di atas merupakan dalil wajibnya hijrah. Faedah yang dapat dipetik dari ucapan para ahli ilmu seperti Ibnu Qudaamah dan lain-lain bahwa hijrah dari negeri kafir ada tiga jenis dan orang yang hijrah ada tiga macam:
Jenis pertama: Orang yang diwajibkan atasnya Hijrah. Yaitu orang yang memiliki kemampuan untuk hijrah dan dia tidak memiliki kemampuan untuk menampakkan agamanya (di negeri syirik). Orang jenis ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab : “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu?” Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali“
Sisi pengambilan dalilnya adalah bahwasanya Allah menyebut mereka sebagai orang yang menganiaya dirinya sendiri. Siapa saja yang tetap tinggal di negeri syirik sementara ia mampu untuk berhijrah dan dia tidak mampu untuk menampakkan agamanya di negeri syirik maka dia adalah seorang yang menzhalimi diri sendiri dan berarti ia telah melakukan hal yang diharamkan menurut ijma’ para ulama.
Jenis kedua : Seorang yang tidak diwajibkan atasnya hijrah karena tidak mampu melakukannya, baik karena sakit atau dipaksa untuk tetap tinggal sehingga tidak dapat meninggalkan tempat tersebut, atau mereka yang lemah seperti kaum wanita, anak-anak dan yang semisalnya. Maka orang-orang semisal mereka tidak wajib atasnya hijrah karena Allah berfirman:
إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً
“Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),”
Untuk orang ini hendaklah mengasingkan diri dari orang-orang kafir sesuai kemampuan dan tetap melaksanakan ajaran agamanya dan bersabar menghadapi gangguan mereka (orang kafir).
Jenis ketiga : Mereka yang mustahab (dianjurkan) atasnya untuk berhijrah dan tidak diwajibkan atas mereka sebagaimana diwajibkan atas golongan yang pertama. Yaitu bagi mereka yang mampu untuk hijrah akan tetapi mereka juga memiliki kemampuan untuk menampakkan agamanya di negara kafir tersebut. Untuk orang ini tetap dianjurkan baginya untuk berhijrah agar dapat andil dalam memerangi orang-orang kafir dan memperkuat barisan kaum muslmin serta dapat menjauhkan diri dari orang kafir dan tidak berbaur dengan mereka.
Inilah tiga jenis manusia yang berkaitan dengan hukum hijrah. [Lihat AI-Mughni (13/151); Fathul Baary (6/190)]
Adapun ayat yang dicantumkan oleh penulis maka penjelasan ringkasnya adalah sebagai berikut :
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat. Yang dimaksud dengan malaikat di sini ialah malaikat maut dan pembantunya, atau malaikat maut saja. Karena orang Arab terkadang berbicara atas nama satu orang dengan memakai lafal jamak.
menganiaya diri sendiri. Ayat ini menunjukkan wajibnya hijrah. Maknanya mereka menganiaya diri mereka sendiri karena tidak mau berhijrah.
malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Pertanyaan untuk mengejek dan mencela. Maknanya “kalian termasuk golongan mana?”
mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).”. Yakni kami adalah orang-orang lemah yang tak mampu berhijrah.
para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu.” Yakni Bukankah kalian mampu untuk hijrah ke bumi Allah yang luas ini? Maksudnya pada waktu itu adalah Kota Madinah.
Orang-orang itu tempatnya adalah Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Ayat tersebut merupakan ancaman bagi siapa saja yang mampu berhijrah namun tidak berhijrah sementara dia tidak dapat menjalankan agamanya, maka orang tersebut telah melakukan salah satu dosa besar. Karena Allah tidak mengancam dengan ancaman seperti ini kecuali terhadap orang yang meninggalkan suatu kewajiban yaitu berhijrah. Meninggalkannya berarti melakukan dosa besar.
kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak. Yakni mereka yang tidak mampu untuk keluar dari negeri tersebut.
yang tidak mampu berdaya upaya. Yakni tidak berdaya, baik untuk keluar dari negeri tersebut maupun untuk membekali diri atau tidak sanggup mempersiapkan bekal untuk berhijrah.
dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), yakni tidak mengetahui jalan dan tidak dapat pergi sendirian.
mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. Semoga Allah memaafkan dan mengampuni mereka karena tidak berhijrah.
Ayat di atas menunjukkan kewajiban yang sangat tegas untuk berhijrah. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengomentari ayat ini
نزلت هذه الآية الكريمة عامة في كل من أقام بين ظهراني المشركين وهو قادر على الهجرة وليس متمكنًا من إقامة الدين فهو ظالم لنفسه مرتكب حرامًا بالإجماع وبنص هذه الآية …
“Ayat yang mulia ini bersifat umum untuk setiap orang yang tinggal bersama orang-orang musyrik, padahal ia mempunyai kemampuan untuk berhijrah dan dia tidak mampu melaksanakan agamanya di sana, maka orang tersebut telah menzhalimi diri sendiri dan telah melakukan hal yang haram menurut ijma’ ulama dan nash dari ayat ini.” [Tafsir Ibnu Katsir 2/342]
Oleh karena itu maka ada dua syarat yang mewajibkan hijrah : Pertama, adanya kemampuan untuk berhijrah dan Kedua, tidak adanya kemampuan untuk melaksanakan/menampakkan agamanya. Barangsiapa yang terpenuhi dua syarat ini pada dirinya tapi dia tidak berhijrah maka ia telah menganiaya dirinya sendiri.
Asy-Syaukaani berkata:
استدل بهذه الآية على أن الهجرة واجبة على من كان بدار الشرك أو بدار يعمل فيها بمعاصي الله جهارًا ولم يكن من المستضعفين
“Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa hijrah hukumnya wajib bagi mereka yang tinggal di negeri musyrik atau di negeri yang di dalamnya maksiat kepada Allah dilakukan secara terang-terangan, dan mereka bukanlah tergolong orang-orang yang tidak mampu untuk hijrah.” [Fathul Qadir 1/505]
Jika seorang insan diperintahkan untuk hijrah dari negeri kafir maka hal ini menunjukkan bahwa bepergian (safar) ke negeri kafir hukum asalnya adalah terlarang berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan. Akan tetapi, jika ada keperluan yang mendesak yang mengharuskannya untuk safar ke negeri kafir atau tinggal di negeri kafir tersebut, seperti mempelajari suatu ilmu yang tidak terdapat di negerinya, atau untuk pengobatan atau untuk berdakwah, maka hukumnya dibolehkan sesuai dengan tingkat kemaslahatan yang diperlukan. Karena hukum asalnya ialah tidak dibenarkan pergi ke sana. Dari pendapat para ulama tersebut dapat difahami bahwa hukum bersafar ke negara kafir tidak diperbolehkan kecuali bila memenuhi tiga syarat:
Syarat pertama: Orang tersebut dibekali ilmu yang dapat menangkis syubhat-syubhat yang ia temui di negeri tersebut. Sebab jika ia tidak memiliki bekal tersebut, berarti ia berada dalam ancaman bahaya. Kemungkinan besar ia akan berpaling dari aqidahnya dan terpedaya dengan syubhat yang ia terima. Oleh karena itu hendaklah orang tersebut membekali diri dengan ilmu yang dapat menjaganya dari berbagai syubhat dan problem yang ia temui.
Syarat kedua: Hendaklah orang tersebut mempunyai benteng agama sehingga dapat menjaga dirinya dari syahwat. Karena negara yang ia tuju adalah negara bebas, kemaksiatan dapat ditemui di mana-mana, tidak ada beda antara yang halal dengan yang haram. Bagi orang yang tidak memiliki perisai agama yang menjaganya dari perkara-perkara haram, penyimpangan yang ia temui serta berbaurnya dengan masyarakat yang bergelimang dosa dan maksiat, pada akhirnya penyimpangan tersebut akan mempengaruhi dirinya.
Di antara upaya untuk itu –bi idznillah– adalah hendaklah ia seorang yang sudah menikah dan istri ikut menyertainya agar dapat menjaga dirinya dari perkara yang haram. Hal ini jika ia ingin menetap untuk berdakwah atau belajar.
Syarat ketiga: Ia dapat dengan leluasa melaksanakan aktifitas agama dan beribadah kepada Rabbnya. Allah juga memerintahkannya agar ia berhati-hati jangan sampai memberikan loyalitasnya kepada orang musyrik. Karena loyalitas tersebut bertentangan dengan keimanan sebagaimana yang telah kita singgung. [Lihat Syarah Ushulu Ats-Tsalatsa karya Syeikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 133]
Adapun bepergian ke negara kafir hanya untuk berwisata, maka pendapat yang melarang lebih kuat. Karena Allah mewajibkan seorang insan untuk melaksanakan konsekuensi tauhid serta memusuhi orang-orang musyrik. Maka tidak diperbolehkan melakukan sesuatu yang membuka peluang atau penyebab terhapusnya kewajiban ini. [Lihat Al-Jami’ Al-Farid hal. 382 dan kitab Majmu’atu Rasaail Syeikh Hamd Bin ‘Atiq hal. 49 dimana beliau membagi orang-orang tinggal di negeri kafir harbi menjadi tiga macam.]
Rasulullah bersabda:
أنا برئ ممن يقيم بين أظهر المشركين لا تراءى نارهما
“Aku berlepas dari seorang muslim yang tinggal di tengah-tengah orang musyrik, mereka (sahabat) berkata: “Mengapa wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Karena api (dapur) orang muslim dan api orang kafir tidak saling melihat.”
[Hadits riwayat Abu Daud (7/303-‘Aunul Ma’bud), At-Tirmidzy (4 /132) dari hadits Jarir Bin Abdullah, namun beliau mengatakan hadits ini cacat karena mursal. Berkata At-Tirmidzy dan Abu Daud : “hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok jama’ah namun tidak ada menyebutkan Jarir.” At-Tirmidzy berkata: “Aku mendengar Muhammad yakni Al-Bukhary berkata: “yang benar, hadits dari Qais dan Nabi adalah mursal “. hadits ini dishahihkan oleh Al-Albany, dalam Irwa’ (5/30), beliau menyebutkan berbagai jalan dan syawahid hadits tersebut.]
Maknanya dapur orang Muslim tidak melihat dapur orang kafir dan dapur orang kafir tidak melihat dapur orang Muslim. Kalimat ini adalah perumpamaan tentang kedekatan. Orang Arab menggunakan ungkapan seperti ini jika ingin mengungkapkan sesuatu yang teramat dekat, mereka katakan: rumahku dapat melihat rumahmu dan rumahmu dapat melihat rumahku.
Barangsiapa bersafar kesana hanya untuk berwisata, berarti ia berada dalam ancaman bahaya dari beberapa segi :
1. Ia menyelisihi nash-nash yang menunjukkan wajibnya hijrah dan haramnya bersafar ke sana. Di antaranya ialah hadits Samurah Bin Jundab bahwa Nabi bersabda:
من جامع المشـرك وسكن معه فإنه مثله
“Barangsiapa berbaur dan tinggal bersama orang musyrik maka ia sama seperti mereka.”
Hadits riwayat Abu Daud (7/477 ‘Aunul Ma’bud) dengan sanad yang dha’if (lemah), karena hadits tersebut berasal dari jalan Sulaiman Bin Musa, ia berkata: “Telah mengabarkan kepadaku Ja’far Bin Sa’dy Bin Samurah Bin Jundab ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku Khubaib Bin Sulaiman dari ayahnya Sulaiman Bin Samurah dari Samurah.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits dari Sulaiman Bin Samurah layyin(lemah) namun hadits tersebut mempunyai beberapa syahid (penyerta) yang menguatkannya. Hadits riwayat Hakim (2/141-142). Hadits ini dihasankan oleh Al-Albany dalam ash-Shahihah (5/434), beliau berdalil dengan perkataan Al-Hafizh. Hadits tersebut juga dikeluarkan oleh An-Nasa’i (5/82) dan Ibnu Majah (no 2536). Dari jalan Bahzu Bin Hakim dari ayahnya dar kakeknya bahwa Nabi bersabda:
كل مسلم على مسلم محرم، أخوان نصيران لا يقبل الله عز وجل من مشرك بعدما أسلم عملا أو يفارق المشركين إلى المسلمين
“Seorang muslim haram (menzhalimi) terhadap muslim yang lain, mereka adalah dua orang bersaudara yang saling membantu. Allah tidak akan menerima amalan orang musyrik yang sudah masuk Islam hingga ia memisahkan diri dari orang-orang musyrik dan bergabung dengan orang-orang muslim.”
Al-Albany berkata: “Hadits ini sanadnya hasan dan dishahihkan oleh Hakim (4/600) dan disetujui oleh Adz-Dzahaby (Ash-Shahihhah no 369).
2. Hilangnya ghirah (semangat) Islami. Hendaknya hal ini menjadi perhatian. Seorang insan jika mempunyai semangat Islami namun ia berada di negeri yang penuh dengan maksiat, maka semangatnya tersebut akan semakin luntur, bahkan akan terkikis habis, dan kemudian terbiasa dengan maksiat-maksiat yang sering mereka lakukan.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa dengan mengikuti kebiasaan orang kafir yang nampak akan menyebabkan terjadinya pembauran, sehingga sulit dibedakan antara orang-orang yang mendapat petunjuk dan ridha-Nya dengan orang-orang yang dimurkai Allah dan sesat. Tidak mengapa, jika hal tersebut berkaitan dengan kebiasaan yang dibolehkan serta tidak menyerupai mereka. Namun jika hal tersebut adalah salah satu dari aspek kekafiran mereka, maka yang demikian itu merupakan salah satu cabang kekufuran dan mengikuti mereka berarti menyetujui salah satu jenis kesesatan dan kemaksiatan. Ini adalah kaidah dasar yang harus difahami. [lqtidha’ Shirathil Mustaqiim 1/82]
3. Bepergian seperti ini tidak terlepas dari pemborosan dan dapat menyegarkan perekonomian orang kafir serta memperkuat posisi mereka.
4. Seorang muslim yang tinggal bersama mereka akan muncul perasaan bahwa ia adalah salah satu komponen masyarakat itu yang mempunyai hak yang sama, terlebih lagi moral masyarakat setempat akan mempengaruhi akhlak keluarga, istri dan anak-anaknya. Karena wanita, anak-anak dan remaja sangat rentan dengan terpengaruh dan lebih mudah mengagumi apa yang ada pada orang lain.
Sumber : Syarah 3 Landasan Utama karya Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, At-Tibyan Solo.