Hal-hal ghaib dan keimanan senantiasa berjalan seiring. Karena butuh “pupuk” keimanan untuk meyakininya. Hal ini memang tidak bisa tidak. Dalam syariat Islam, kita memang dihadapkan pada sejumlah hal ghaib yang sulit dicerna oleh akal kita yang terbatas, sukar ditelaah oleh indera kita yang lemah, bahkan yang sedikit pun tak terbetik di benak.
Kewajiban taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang telah dipahami oleh segenap kaum muslimin. Hal ini bisa diketahui melalui bermacam bentuk ibadah yang mereka lakukan, baik yang ada tuntunannya ataupun tidak, dengan alasan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga dari berbagai bentuk shalawat yang mereka kumandangkan baik yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang tidak dituntunkan oleh beliau. Mereka pun mengatakan beriman, dan cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun yang dituntut bukan hanya sekedar ucapan, akan tetapi aplikasi dari cinta tersebut dalam bentuk amal. Orang yang benar-benar menaati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan berani mendekati amalan-amalan yang tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan. Karena ia mengetahui bahwa sikap dan cara demikian termasuk kelancangan dalam agama. Di sisi lain, dia akan berusaha mencari pengetahuan tentang syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tahu bahwa melakukan amalan yang tidak dituntunkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sebuah tuduhan bahwa beliau berkhianat dalam menyampaikan risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau bahwa ada amalan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam rahasiakan dan tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada umat ini. Orang yang benar-benar taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berusaha menyesuaikan segala ucapan, amalan lahiriah dan batiniah dengan tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama dan dia menganggapnya baik, sungguh dia telah menuduh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhianat dalam menyampaikan risalah. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian.’
Maka apa yang dulu bukan sebagai agama, maka pada hari ini bukan pula sebagai agama.” (Al-I’tisham, 1/49)
Jika hal ini –menyesuaikan amalan lahiriah dan batiniah dengan tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak dilakukan, berarti pengakuan taat hanya sebatas di lisan. Begitu juga cinta yang benar kepada beliau adalah kecintaan yang akan membuahkan kemurnian taat, membela Sunnah beliau dari segala yang mengotori dan merusaknya, serta mencintai orang-orang yang mengamalkan Sunnah beliau di manapun mereka berada. Bila tidak demikian, niscaya cinta hanya sebatas pengakuan di mulut semata.
Munculnya pengakuan taat dan cinta kepada beliau namun tidak mengetahui jalan dan caranya, disebabkan oleh beberapa perkara:
- Tersebarnya perkara-perkara baru di tengah umat yang dianggap sebagai bagian agama.
- Terbelenggunya mereka dengan sikap taqlid buta (mengikuti sebuah ucapan/perbuatan/keyakinan tanpa dalil).
- Melekatnya sikap fanatisme yang telah mendarah daging pada mereka.
- Adanya sikap ghuluw (berlebihan) dalam menyikapi ucapan, perbuatan atau pengajaran orang alim menurut pandangan mereka, sehingga dia seakan-akan orang ma’shum yang terbebas dari dosa.
- Munculnya para “pujangga-pujangga” agama yang kosong dari ilmu namun berani berbicara tentang agama.
Namun yang dituntut bukan hanya sekedar ucapan, akan tetapi aplikasi dari cinta tersebut dalam bentuk amal. Orang yang benar-benar menaati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan berani mendekati amalan-amalan yang tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan. Karena ia mengetahui bahwa sikap dan cara demikian termasuk kelancangan dalam agama. Di sisi lain, dia akan berusaha mencari pengetahuan tentang syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tahu bahwa melakukan amalan yang tidak dituntunkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sebuah tuduhan bahwa beliau berkhianat dalam menyampaikan risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau bahwa ada amalan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam rahasiakan dan tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada umat ini. Orang yang benar-benar taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berusaha menyesuaikan segala ucapan, amalan lahiriah dan batiniah dengan tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama dan dia menganggapnya baik, sungguh dia telah menuduh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhianat dalam menyampaikan risalah. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian.’
Maka apa yang dulu bukan sebagai agama, maka pada hari ini bukan pula sebagai agama.” (Al-I’tisham, 1/49)
Jika hal ini –menyesuaikan amalan lahiriah dan batiniah dengan tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak dilakukan, berarti pengakuan taat hanya sebatas di lisan. Begitu juga cinta yang benar kepada beliau adalah kecintaan yang akan membuahkan kemurnian taat, membela Sunnah beliau dari segala yang mengotori dan merusaknya, serta mencintai orang-orang yang mengamalkan Sunnah beliau di manapun mereka berada. Bila tidak demikian, niscaya cinta hanya sebatas pengakuan di mulut semata.
Munculnya pengakuan taat dan cinta kepada beliau namun tidak mengetahui jalan dan caranya, disebabkan oleh beberapa perkara:
- Tersebarnya perkara-perkara baru di tengah umat yang dianggap sebagai bagian agama.
- Terbelenggunya mereka dengan sikap taqlid buta (mengikuti sebuah ucapan/perbuatan/keyakinan tanpa dalil).
- Melekatnya sikap fanatisme yang telah mendarah daging pada mereka.
- Adanya sikap ghuluw (berlebihan) dalam menyikapi ucapan, perbuatan atau pengajaran orang alim menurut pandangan mereka, sehingga dia seakan-akan orang ma’shum yang terbebas dari dosa.
- Munculnya para “pujangga-pujangga” agama yang kosong dari ilmu namun berani berbicara tentang agama.
Ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ketaatan kepada beliau adalah ketaatan yang mutlak. Artinya, segala apa yang beliau perintahkan hendaknya dilakukan dan segala yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang hendaknya ditinggalkan. Juga, membenarkan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan dengan tanpa memilih dan memilah. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 1-4)
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa`: 69)
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُوْنَ
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (An-Nur: 52)
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا
“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 71)
وَأَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul agar kalian mendapatkan rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`:59)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat terhadapku berarti telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada amirku berarti dia telah taat kepadaku dan barangsiapa yang bermaksiat kepada amirku maka dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Ahkam, Bab Qaulullah ta’ala: Wa Athi’ullah…, no. 6603)
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan.” Mereka berkata: “Siapakah yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang taat kepadaku, dialah yang mau masuk surga. Dan barangsiapa yang bermaksiat terhadapku, dialah yang enggan.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul I’tisham bil Kitab was Sunnah, Bab Al-Iqtida` bi Sunani Rasulillah, no. 6737)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullahu berkata: “Dulu para ulama kita berkata: ‘Berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Ad-Darimi rahimahullahu dalam Sunan beliau, 1/44)
Diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah, dari bapaknya (‘Urwah), dia berkata: “Berpegang teguhlah dengan As-Sunnah, berpegang teguhlah dengan As-Sunnah, karena sesungguhnya As-Sunnah adalah tonggak agama.” (Diriwayatkan oleh Al-Marwadzi dalam As-Sunnah, hal. 29)
Al-Auza’i rahimahullahu berkata: “Lima perkara yang para shahabat dan tabi’in berada di atasnya: Konsisten dengan Al-Jamaah, berpegang dengan As-Sunnah, meramaikan masjid, membaca Al-Qur`an, dan berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 6/142)
Abdullah bin Ad-Dailami rahimahullahu berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa awal hilangnya agama karena meninggalkan sunnah-sunnah. Agama hilang satu sunnah demi satu sunnah, sebagaimana lepasnya tali seikat demi seikat.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi sebagaimana dalam kitab Miftahul Jannah hal. 62 dan Abu Nu’aim rahimahullahu dalam kitab Al-Hilyah, 1/310)
Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin ‘Atha` rahimahullahu berkata: “Barangsiapa yang berpegang teguh dengan adab-adab As-Sunnah, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melumuri hatinya dengan cahaya ma’rifah, dan tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi daripada mengikuti perintah-perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan-perbuatan dan akhlak beliau, serta beradab dengan adab-adab beliau, baik dalam berucap, berbuat, niat maupun i’tiqad.” (Diriwayatkan oleh Abu Nua’im dalam Al-Hilyah, 10/302)
Ketaatan kepada beliau adalah ketaatan yang mutlak. Artinya, segala apa yang beliau perintahkan hendaknya dilakukan dan segala yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang hendaknya ditinggalkan. Juga, membenarkan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan dengan tanpa memilih dan memilah. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 1-4)
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa`: 69)
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُوْنَ
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (An-Nur: 52)
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا
“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 71)
وَأَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul agar kalian mendapatkan rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`:59)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa yang taat kepadaku berarti dia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat terhadapku berarti telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada amirku berarti dia telah taat kepadaku dan barangsiapa yang bermaksiat kepada amirku maka dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Ahkam, Bab Qaulullah ta’ala: Wa Athi’ullah…, no. 6603)
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan.” Mereka berkata: “Siapakah yang enggan itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang taat kepadaku, dialah yang mau masuk surga. Dan barangsiapa yang bermaksiat terhadapku, dialah yang enggan.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul I’tisham bil Kitab was Sunnah, Bab Al-Iqtida` bi Sunani Rasulillah, no. 6737)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullahu berkata: “Dulu para ulama kita berkata: ‘Berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Ad-Darimi rahimahullahu dalam Sunan beliau, 1/44)
Diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah, dari bapaknya (‘Urwah), dia berkata: “Berpegang teguhlah dengan As-Sunnah, berpegang teguhlah dengan As-Sunnah, karena sesungguhnya As-Sunnah adalah tonggak agama.” (Diriwayatkan oleh Al-Marwadzi dalam As-Sunnah, hal. 29)
Al-Auza’i rahimahullahu berkata: “Lima perkara yang para shahabat dan tabi’in berada di atasnya: Konsisten dengan Al-Jamaah, berpegang dengan As-Sunnah, meramaikan masjid, membaca Al-Qur`an, dan berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 6/142)
Abdullah bin Ad-Dailami rahimahullahu berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa awal hilangnya agama karena meninggalkan sunnah-sunnah. Agama hilang satu sunnah demi satu sunnah, sebagaimana lepasnya tali seikat demi seikat.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi sebagaimana dalam kitab Miftahul Jannah hal. 62 dan Abu Nu’aim rahimahullahu dalam kitab Al-Hilyah, 1/310)
Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin ‘Atha` rahimahullahu berkata: “Barangsiapa yang berpegang teguh dengan adab-adab As-Sunnah, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melumuri hatinya dengan cahaya ma’rifah, dan tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi daripada mengikuti perintah-perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan-perbuatan dan akhlak beliau, serta beradab dengan adab-adab beliau, baik dalam berucap, berbuat, niat maupun i’tiqad.” (Diriwayatkan oleh Abu Nua’im dalam Al-Hilyah, 10/302)
Mengimani Segala yang Diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Merupakan Syarat Syahadat Muhammad Rasulullah
Membenarkan segala perkara ghaib yang beliau beritakan, baik yang telah terjadi atau belum, masuk akal atau tidak, adalah wajib dan merupakan implementasi dari makna syahadat Muhammad Rasulullah sekaligus sebagai syaratnya.
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat syahadat Muhammadurrasulullah di dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya dalam kitab ‘Aqidah At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan (hal. 57) dan Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Yamani (hal. 38-38). Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
Pertama: Meyakini kebenaran risalah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa.
Kedua: Mengucapkan dengan lisan terhadap apa yang diyakininya.
Dalil dua syarat ini, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta dia tidak ragu-ragu.” (Al-Hujurat: 15)
Ketiga: Mengikuti beliau dengan cara mengamalkan kebenaran yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dan meninggalkan segala kebatilan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakan: Jika kalian benar-benar cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Keempat: Membenarkan segala yang beliau beritakan, baik berbentuk perintah, larangan, maupun perkara ghaib yang telah lalu atau yang akan datang, dan lainnya.
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ، يَأْتِيْنِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
“Tidakkah kalian memercayaiku? Sedangkan aku adalah kepercayaan (Dzat) yang ada di langit. Berita dari langit datang kepadaku pagi dan petang.” (HR. Al-Bukhari no. 4904 dan Muslim no. 1043 dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Kelima: Mencintai beliau lebih dari kecintaan terhadap diri, harta, kedua orangtua, anak, dan manusia seluruhnya.
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Tidak dikatakan sempurna iman setiap orang dari kalian hingga aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya dan manusia seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, salah seorang di antara kalian tidak dikatakan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada bapak dan anaknya.” (HR. Al-Bukhari no. 14)
Keenam: Mendahulukan segala ucapan beliau daripada ucapan manusia manapun.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Tidak ada seorang pun melainkan ucapannya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali pemilik kuburan ini (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Ketujuh: Memuliakan beliau, menghormati, mengagungkan segala apa yang beliau bawa dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala –yakni Al-Qur`an dan As-Sunnah– dengan cara mengaplikasikannya dalam hidup dan mencintai keduanya lebih daripada kecintaan terhadap diri sendiri.
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا. لِتُؤْمِنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَتُعَزِّرُوْهُ وَتُوَقِّرُوْهُ وَتُسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً
“Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan serta menghormatinya, dan agar kalian bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Al-Fath: 8-9)
Membenarkan segala perkara ghaib yang beliau beritakan, baik yang telah terjadi atau belum, masuk akal atau tidak, adalah wajib dan merupakan implementasi dari makna syahadat Muhammad Rasulullah sekaligus sebagai syaratnya.
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat syahadat Muhammadurrasulullah di dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya dalam kitab ‘Aqidah At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan (hal. 57) dan Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Yamani (hal. 38-38). Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
Pertama: Meyakini kebenaran risalah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa.
Kedua: Mengucapkan dengan lisan terhadap apa yang diyakininya.
Dalil dua syarat ini, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta dia tidak ragu-ragu.” (Al-Hujurat: 15)
Ketiga: Mengikuti beliau dengan cara mengamalkan kebenaran yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dan meninggalkan segala kebatilan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakan: Jika kalian benar-benar cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Keempat: Membenarkan segala yang beliau beritakan, baik berbentuk perintah, larangan, maupun perkara ghaib yang telah lalu atau yang akan datang, dan lainnya.
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ، يَأْتِيْنِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
“Tidakkah kalian memercayaiku? Sedangkan aku adalah kepercayaan (Dzat) yang ada di langit. Berita dari langit datang kepadaku pagi dan petang.” (HR. Al-Bukhari no. 4904 dan Muslim no. 1043 dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Kelima: Mencintai beliau lebih dari kecintaan terhadap diri, harta, kedua orangtua, anak, dan manusia seluruhnya.
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Tidak dikatakan sempurna iman setiap orang dari kalian hingga aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya dan manusia seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, salah seorang di antara kalian tidak dikatakan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada bapak dan anaknya.” (HR. Al-Bukhari no. 14)
Keenam: Mendahulukan segala ucapan beliau daripada ucapan manusia manapun.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Tidak ada seorang pun melainkan ucapannya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali pemilik kuburan ini (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Ketujuh: Memuliakan beliau, menghormati, mengagungkan segala apa yang beliau bawa dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala –yakni Al-Qur`an dan As-Sunnah– dengan cara mengaplikasikannya dalam hidup dan mencintai keduanya lebih daripada kecintaan terhadap diri sendiri.
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا. لِتُؤْمِنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَتُعَزِّرُوْهُ وَتُوَقِّرُوْهُ وَتُسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً
“Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan serta menghormatinya, dan agar kalian bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Al-Fath: 8-9)
Berita Ghaib dalam Kehidupan Salafus Shalih
Terkadang, orang melihat sebuah tuntunan agama dengan kacamata duniawi. Artinya, apakah syariat ini menguntungkan bagi dirinya atau tidak. Bila ternyata menguntungkan, akan dianggap sesuatu yang besar dan harus diperjuangkan dengan penuh semangat. Namun bila tidak menguntungkan bagi kehidupan dunianya, akan dianggap sesuatu yang ringan dan enteng, sehingga dikesampingkan. Bahkan tidak segan-segan dilemparkan ke belakang punggung mereka, padahal perkaranya besar.
Berbeda halnya dengan para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi yang mengikuti langkah mereka. Mereka menganggap bahwa seluruh perkara yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam –baik besar ataupun kecil– adalah bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Karena mereka mengetahui bahwa besar ataupun kecil syariat yang dilakukan, tetap akan mendatangkan cinta, kasih sayang, dan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada mereka:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah engkau mencela kebaikan sekecil apapun, sekalipun engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah yang ceria.” (HR. Muslim no. 4760 dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)
Seluruh kaum muslimin mengimani perkara ghaib, bahkan meyakininya sebagai bagian rukun-rukun iman yang enam. Akan tetapi buah beriman kepada hal-hal ghaib tidak begitu nampak dalam kehidupan. Berbeda dengan para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka beriman kepadanya dan nampak buahnya dalam kehidupan mereka. Di antara buah yang telah mereka petik adalah:
1. Memberi semangat dan dorongan untuk melakukan ketaatan dengan berharap pahala dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Takut dari berbuat maksiat dan takut dari sikap ridha terhadap kemaksiatan tersebut, karena takut terhadap adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Sebagai penghibur bagi kehidupan mereka apa yang mereka tidak dapati di dunia karena berharap kenikmatan yang abadi di akhirat kelak.
4. Menjadikan mereka memiliki keistimewaan dalam hidup sehingga istiqamah, lapang dada, kuat iman, kokoh dalam malapetaka yang menimpa mereka, bersabar atas semua musibah, mengharapkan pahala dan ganjaran; dan mereka mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah lebih baik dan kekal. (Lihat Syarh Ushul Al-Iman hal. 33 dan Asyrathus Sa’ah, hal. 29)
Karena demikian tinggi nilai dari buah keimanan mereka terhadap hari kiamat, sampai-sampai Umar radhiyallahu ‘anhu (semasa menjabat khalifah) berkata dalam ucapan beliau yang masyhur: “Kalau di Irak terdapat keledai terjatuh (karena jalannya yang jelek), aku menyangka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban kepadaku: ‘Kenapa engkau, wahai Umar, tidak membuatkan jalan untuknya?’.” Dalam riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/53) disebutkan: “Kalau ada seekor kambing mati di pinggir sungai Efrat karena hilang, niscaya aku menyangka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meminta tanggung jawab tentangnya pada hari kiamat.”
Terkadang, orang melihat sebuah tuntunan agama dengan kacamata duniawi. Artinya, apakah syariat ini menguntungkan bagi dirinya atau tidak. Bila ternyata menguntungkan, akan dianggap sesuatu yang besar dan harus diperjuangkan dengan penuh semangat. Namun bila tidak menguntungkan bagi kehidupan dunianya, akan dianggap sesuatu yang ringan dan enteng, sehingga dikesampingkan. Bahkan tidak segan-segan dilemparkan ke belakang punggung mereka, padahal perkaranya besar.
Berbeda halnya dengan para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi yang mengikuti langkah mereka. Mereka menganggap bahwa seluruh perkara yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam –baik besar ataupun kecil– adalah bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Karena mereka mengetahui bahwa besar ataupun kecil syariat yang dilakukan, tetap akan mendatangkan cinta, kasih sayang, dan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada mereka:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah engkau mencela kebaikan sekecil apapun, sekalipun engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah yang ceria.” (HR. Muslim no. 4760 dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)
Seluruh kaum muslimin mengimani perkara ghaib, bahkan meyakininya sebagai bagian rukun-rukun iman yang enam. Akan tetapi buah beriman kepada hal-hal ghaib tidak begitu nampak dalam kehidupan. Berbeda dengan para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka beriman kepadanya dan nampak buahnya dalam kehidupan mereka. Di antara buah yang telah mereka petik adalah:
1. Memberi semangat dan dorongan untuk melakukan ketaatan dengan berharap pahala dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Takut dari berbuat maksiat dan takut dari sikap ridha terhadap kemaksiatan tersebut, karena takut terhadap adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Sebagai penghibur bagi kehidupan mereka apa yang mereka tidak dapati di dunia karena berharap kenikmatan yang abadi di akhirat kelak.
4. Menjadikan mereka memiliki keistimewaan dalam hidup sehingga istiqamah, lapang dada, kuat iman, kokoh dalam malapetaka yang menimpa mereka, bersabar atas semua musibah, mengharapkan pahala dan ganjaran; dan mereka mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah lebih baik dan kekal. (Lihat Syarh Ushul Al-Iman hal. 33 dan Asyrathus Sa’ah, hal. 29)
Karena demikian tinggi nilai dari buah keimanan mereka terhadap hari kiamat, sampai-sampai Umar radhiyallahu ‘anhu (semasa menjabat khalifah) berkata dalam ucapan beliau yang masyhur: “Kalau di Irak terdapat keledai terjatuh (karena jalannya yang jelek), aku menyangka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban kepadaku: ‘Kenapa engkau, wahai Umar, tidak membuatkan jalan untuknya?’.” Dalam riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/53) disebutkan: “Kalau ada seekor kambing mati di pinggir sungai Efrat karena hilang, niscaya aku menyangka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meminta tanggung jawab tentangnya pada hari kiamat.”
Hadits Ahad1 adalah Hujjah dalam Masalah Aqidah
Pembahasan ini amat sangat terkait dengan keimanan terhadap berita-berita ghaib yang datang melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kebanyakan perkara ghaib dijelaskan dengan hadits-hadits ahad, terlebih yang terkait dengan tanda hari kiamat.
Pembahasan ini terkait pula dengan munculnya kelompok dari kaum muslimin yang menentang kebolehan berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam permasalahan aqidah, seperti yang dilakukan oleh ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah dan yang sefahamdengan mereka dari kalangan orang-orang sekarang ini seperti Muhammad ‘Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Salabi, Abdul Karim ‘Utsman, dan lainnya. Juga dari kalangan ulama ahli ushul, seperti yang disebutkan oleh pengarang kitab Syarh Al-Kaukab Al-Munir fi Ushul Al-Fiqh, yaitu Muhammad bin Ahmad bin Abdul ‘Aziz Al-Hambali.
Mereka berkeyakinan bahwa hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah aqidah. Yang menjadi hujjah adalah dalil-dali yang qath’i baik, dari ayat ataupun dari hadits. Tentu pendapat ini tertolak. Karena sebuah hadits, apabila shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui jalan orang-orang terpercaya yang menyampaikannya kepada kita, maka kita wajib mengimani dan membenarkannya, baik hadits tersebut mutawatir atau ahad, yang menghasilkan ilmu yakin. Ini merupakan madzhab ulama salafush shalih.
Kaidah kelompok yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِيْنًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ
“Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya!’.” (Ali ‘Imran: 32)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Amalan para shahabat dan tabi’in terhadap hadits ahad telah tersebar, tanpa ada pengingkaran sedikitpun. Hal ini menunjukkan kesepakatan mereka untuk menerima hadits ahad.” (Fathul Bari, 13/234)
Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu berkata: “Apabila umat telah sepakat menerima hadits ahad, beramal dengannya dan membenarkannya, maka akan memberikan manfaat ilmu yakin menurut mayoritas ulama. Dan ini merupakan salah satu jenis mutawatir dan tidak ada perselisihan di kalangan ulama salaf.” (Syarh ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 355)
Seorang bertanya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sebuah permasalahan, lalu beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan demikian dan demikian.”
Seseorang lalu berkata kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Apakah kamu akan memutuskan dengannya?”
Beliau berkata: “Apakah kamu melihat aku di gereja? Apakah kamu melihat pada pinggangku ada pengikat (yang biasa dipakai oleh pendeta)? Aku katakan kepadamu: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan demikian’, lalu kamu mengatakan: ‘Apakah kamu akan memutuskannya dengannya?’.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 2/350)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu juga berkata: “Maka kapan saja aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih lalu aku tidak mengambilnya, aku persaksikan kepada kalian bahwa akalku telah hilang.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq, 2/350)
Dalam ucapan ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, dan tidak membedakan dalam permasalahan aqidah atau amaliah lahiriah. Karena yang menjadi patokan adalah hadits tersebut shahih atau tidak.
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Segala hal yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang baik maka kita terima. Jika kita tidak menetapkan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita menolaknya, niscaya kita telah menolak perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7) [Ithaful Jama’ah, 1/4]
Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “As-Sunnah, apabila shahih, maka kaum muslimin sepakat untuk wajib mengikutinya.” (Majmu’ Fatawa, 19/85)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata dalam rangka membantah orang-orang yang menolak berhujjah dengan hadits ahad: “Termasuk dalam masalah ini adalah berita sebagian shahabat kepada sebagian yang lain. Mereka menerima apa yang disampaikan oleh salah seorang dari shahabat yang diterima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak mengatakan kepada para pembawa berita tersebut: ‘Kepada siapa Rasulullah menyampaikannya.’ (Mereka tidak pula mengatakan.) ‘Beritamu seorang diri tidak memberikan ilmu yakin, sampai beritamu mutawatir.’ Bila salah seorang dari mereka meriwayatkan hadits kepada yang lain dari Rasulullah dalam permasalahan sifat (Allah Subhanahu wa Ta’ala) mereka menerimanya dan meyakini sifat tersebut dengan penuh keyakinan, sebagaimana meyakini tentang melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak hamba-Nya berbicara dan memanggil hamba-Nya dengan suara yang bisa didengar oleh orang yang paling jauh sebagaimana didengar oleh orang yang dekat, Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam, Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa, gembira, memegang langit di atas jari jemarinya dan menetapkan sifat kaki bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka bila salah seorang mereka mendengar hadits tersebut yang diterima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dari teman yang benar keyakinannya dengan hanya sekedar mendengarnya dari orang yang jujur, sungguh dia tidak akan meragukan beritanya.
Dalil-dalil yang menetapkan keyakinan salafush shalih (pendahulu yang shalih) dari umat ini adalah:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْ لاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (Al-Hujurat: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`:59)
Adapun dalil dari As-Sunnah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para utusannya kepada raja-raja di berbagai negeri, satu demi satu. Begitu juga gubernur yang diangkat oleh beliau adalah satu orang, dan orang-orang mengembalikan semua urusan mereka kepadanya, baik dalam hukum-hukum atau perkara akidah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus Abu ‘Ubaidah ‘Amir ibnul Jarrah radhiyallahu ‘anhu ke negeri Najran sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitab Akhbar Ahad bab bolehnya berita seorang yang jujur menjadi hujjah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman seorang diri, sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pula Dihyah Al-Kalbi radhiyallahu ‘anhu membawa surat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemimpin Romawi, dan para shahabat lainnya.
Pembahasan ini amat sangat terkait dengan keimanan terhadap berita-berita ghaib yang datang melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kebanyakan perkara ghaib dijelaskan dengan hadits-hadits ahad, terlebih yang terkait dengan tanda hari kiamat.
Pembahasan ini terkait pula dengan munculnya kelompok dari kaum muslimin yang menentang kebolehan berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam permasalahan aqidah, seperti yang dilakukan oleh ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah dan yang sefahamdengan mereka dari kalangan orang-orang sekarang ini seperti Muhammad ‘Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Salabi, Abdul Karim ‘Utsman, dan lainnya. Juga dari kalangan ulama ahli ushul, seperti yang disebutkan oleh pengarang kitab Syarh Al-Kaukab Al-Munir fi Ushul Al-Fiqh, yaitu Muhammad bin Ahmad bin Abdul ‘Aziz Al-Hambali.
Mereka berkeyakinan bahwa hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah aqidah. Yang menjadi hujjah adalah dalil-dali yang qath’i baik, dari ayat ataupun dari hadits. Tentu pendapat ini tertolak. Karena sebuah hadits, apabila shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui jalan orang-orang terpercaya yang menyampaikannya kepada kita, maka kita wajib mengimani dan membenarkannya, baik hadits tersebut mutawatir atau ahad, yang menghasilkan ilmu yakin. Ini merupakan madzhab ulama salafush shalih.
Kaidah kelompok yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِيْنًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ
“Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya!’.” (Ali ‘Imran: 32)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Amalan para shahabat dan tabi’in terhadap hadits ahad telah tersebar, tanpa ada pengingkaran sedikitpun. Hal ini menunjukkan kesepakatan mereka untuk menerima hadits ahad.” (Fathul Bari, 13/234)
Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullahu berkata: “Apabila umat telah sepakat menerima hadits ahad, beramal dengannya dan membenarkannya, maka akan memberikan manfaat ilmu yakin menurut mayoritas ulama. Dan ini merupakan salah satu jenis mutawatir dan tidak ada perselisihan di kalangan ulama salaf.” (Syarh ‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 355)
Seorang bertanya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sebuah permasalahan, lalu beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan demikian dan demikian.”
Seseorang lalu berkata kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Apakah kamu akan memutuskan dengannya?”
Beliau berkata: “Apakah kamu melihat aku di gereja? Apakah kamu melihat pada pinggangku ada pengikat (yang biasa dipakai oleh pendeta)? Aku katakan kepadamu: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan demikian’, lalu kamu mengatakan: ‘Apakah kamu akan memutuskannya dengannya?’.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 2/350)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu juga berkata: “Maka kapan saja aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih lalu aku tidak mengambilnya, aku persaksikan kepada kalian bahwa akalku telah hilang.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq, 2/350)
Dalam ucapan ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, dan tidak membedakan dalam permasalahan aqidah atau amaliah lahiriah. Karena yang menjadi patokan adalah hadits tersebut shahih atau tidak.
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Segala hal yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang baik maka kita terima. Jika kita tidak menetapkan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita menolaknya, niscaya kita telah menolak perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7) [Ithaful Jama’ah, 1/4]
Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “As-Sunnah, apabila shahih, maka kaum muslimin sepakat untuk wajib mengikutinya.” (Majmu’ Fatawa, 19/85)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata dalam rangka membantah orang-orang yang menolak berhujjah dengan hadits ahad: “Termasuk dalam masalah ini adalah berita sebagian shahabat kepada sebagian yang lain. Mereka menerima apa yang disampaikan oleh salah seorang dari shahabat yang diterima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak mengatakan kepada para pembawa berita tersebut: ‘Kepada siapa Rasulullah menyampaikannya.’ (Mereka tidak pula mengatakan.) ‘Beritamu seorang diri tidak memberikan ilmu yakin, sampai beritamu mutawatir.’ Bila salah seorang dari mereka meriwayatkan hadits kepada yang lain dari Rasulullah dalam permasalahan sifat (Allah Subhanahu wa Ta’ala) mereka menerimanya dan meyakini sifat tersebut dengan penuh keyakinan, sebagaimana meyakini tentang melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak hamba-Nya berbicara dan memanggil hamba-Nya dengan suara yang bisa didengar oleh orang yang paling jauh sebagaimana didengar oleh orang yang dekat, Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam, Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa, gembira, memegang langit di atas jari jemarinya dan menetapkan sifat kaki bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka bila salah seorang mereka mendengar hadits tersebut yang diterima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dari teman yang benar keyakinannya dengan hanya sekedar mendengarnya dari orang yang jujur, sungguh dia tidak akan meragukan beritanya.
Dalil-dalil yang menetapkan keyakinan salafush shalih (pendahulu yang shalih) dari umat ini adalah:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْ لاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (Al-Hujurat: 6)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`:59)
Adapun dalil dari As-Sunnah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para utusannya kepada raja-raja di berbagai negeri, satu demi satu. Begitu juga gubernur yang diangkat oleh beliau adalah satu orang, dan orang-orang mengembalikan semua urusan mereka kepadanya, baik dalam hukum-hukum atau perkara akidah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus Abu ‘Ubaidah ‘Amir ibnul Jarrah radhiyallahu ‘anhu ke negeri Najran sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitab Akhbar Ahad bab bolehnya berita seorang yang jujur menjadi hujjah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman seorang diri, sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pula Dihyah Al-Kalbi radhiyallahu ‘anhu membawa surat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemimpin Romawi, dan para shahabat lainnya.
Bahaya Menolak Hadits Ahad sebagai Hujjah dalam Aqidah
Tidak ada keraguan lagi bagi orang yang berakal bahwa menolak kebolehan hadits ahad menjadi hujjah dalam masalah akidah termasuk penentangan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini tentu akan berdampak negatif. Di antara bahaya yang akan timbul dalam penolakan tersebut adalah:
1. Menolak segala hadits yang menjelaskan tentang keutamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi.
2. Menolak adanya syafaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang besar (syafa’atul ‘uzhma) pada hari kiamat.
3. Menolak adanya syafaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para pelaku dosa besar.
4. Menolak adanya seluruh mukjizat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Al-Qur`an.
5. Menolak awal mula penciptaan dan sifat para malaikat, jin, sifat surga dan neraka yang tidak tersebutkan di dalam Al-Qur`an.
6. Menolak adanya pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur.
7. Menolak berita disempitkannya kuburan bagi mayit.
8. Menolak adanya Ash-Shirath (jembatan), Al-Haudh (telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan timbangan yang memiliki dua daun timbangan.
9. Menolak beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulis catatan setiap manusia: bahagia, celaka, rizki dan ajalnya, ketika dia masih dalam kandungan ibunya.
10. Menolak berbagai kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah dihimpun oleh Al-Imam As-Suyuthi rahimahullahu dalam kitab beliau Al-Khasha`is Al-Kubra. Seperti masuknya beliau ke dalam surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta apa-apa yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa. Juga masuk Islamnya qarin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan jin.
11. Menolak penetapan adanya 10 orang yang dikabarkan masuk surga.
12. Menolak tidak kekalnya pelaku dosa besar (dari kalangan muslimin yang bertauhid) di dalam neraka.
13. Menolak beriman terhadap berita yang shahih tentang hari kiamat, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur`an.
14. Menolak beriman terhadap sebagian besar tanda-tanda hari kiamat (yang sebenarnya hadits-haditsnya mutawatir, namun dianggap ahad oleh orang-orang yang tak mengerti ilmu hadits), seperti keluarnya Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, keluarnya Dajjal, keluarnya api, terbitnya matahari dari sebelah barat, munculnya binatang, dan selainnya.
Tidak ada keraguan lagi bagi orang yang berakal bahwa menolak kebolehan hadits ahad menjadi hujjah dalam masalah akidah termasuk penentangan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini tentu akan berdampak negatif. Di antara bahaya yang akan timbul dalam penolakan tersebut adalah:
1. Menolak segala hadits yang menjelaskan tentang keutamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi.
2. Menolak adanya syafaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang besar (syafa’atul ‘uzhma) pada hari kiamat.
3. Menolak adanya syafaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para pelaku dosa besar.
4. Menolak adanya seluruh mukjizat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain Al-Qur`an.
5. Menolak awal mula penciptaan dan sifat para malaikat, jin, sifat surga dan neraka yang tidak tersebutkan di dalam Al-Qur`an.
6. Menolak adanya pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur.
7. Menolak berita disempitkannya kuburan bagi mayit.
8. Menolak adanya Ash-Shirath (jembatan), Al-Haudh (telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan timbangan yang memiliki dua daun timbangan.
9. Menolak beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulis catatan setiap manusia: bahagia, celaka, rizki dan ajalnya, ketika dia masih dalam kandungan ibunya.
10. Menolak berbagai kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah dihimpun oleh Al-Imam As-Suyuthi rahimahullahu dalam kitab beliau Al-Khasha`is Al-Kubra. Seperti masuknya beliau ke dalam surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta apa-apa yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa. Juga masuk Islamnya qarin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan jin.
11. Menolak penetapan adanya 10 orang yang dikabarkan masuk surga.
12. Menolak tidak kekalnya pelaku dosa besar (dari kalangan muslimin yang bertauhid) di dalam neraka.
13. Menolak beriman terhadap berita yang shahih tentang hari kiamat, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur`an.
14. Menolak beriman terhadap sebagian besar tanda-tanda hari kiamat (yang sebenarnya hadits-haditsnya mutawatir, namun dianggap ahad oleh orang-orang yang tak mengerti ilmu hadits), seperti keluarnya Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, keluarnya Dajjal, keluarnya api, terbitnya matahari dari sebelah barat, munculnya binatang, dan selainnya.
Perkara Ghaib, Antara Kufur dan Iman
Dari urairan di atas jelaslah bahwa orang-orang yang menentang adanya berita ghaib termasuk kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menentang-Nya serta menentang seluruh rasul. Karena beriman kepada perkara ghaib termasuk rukun-rukun iman. Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullahu mengatakan: “Mengingkari risalah beliau (Shallallahu ‘alaihi wa sallam) termasuk celaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 178)
Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi rahimahullahu menjelaskan: “Tidak akan kokoh fondasi Islam melainkan di atas sikap berserah diri dan menerima. Barangsiapa berusaha menggali ilmu yang dilarang untuk diilmui dan tidak merasa puas dengan menyerahkan pemahamannya, maka keinginannya akan menghalangi dirinya dari kemurnian tauhid, kebersihan ilmu, dan iman yang benar. Sehingga dia menjadi orang yang bimbang antara kufur dan iman, antara membenarkan dan mendustakan, antara menetapkan dan mengingkari. Dia juga akan ternodai oleh bisikan-bisikan yang menyesatkan dan mendatangkan keragu-raguan. Dia bukan seorang yang beriman dan membenarkan, bukan pula seorang penentang yang mendustakan.”
Kaidah ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّيْنَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (Al-Baqarah: 177)
Dalam hadits Jibril disebutkan:
أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ. قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Jibril berkata: “Beritahukan kepadaku tentang iman.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada taqdir yang baik maupun buruk.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah berkata: “Amma ba’du. Ini adalah i’tiqad Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) yang ditolong, sampai hari kiamat. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Yaitu beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian dan beriman kepada taqdir, baik maupun buruk.”
Wallahu a’lam.
Dari urairan di atas jelaslah bahwa orang-orang yang menentang adanya berita ghaib termasuk kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menentang-Nya serta menentang seluruh rasul. Karena beriman kepada perkara ghaib termasuk rukun-rukun iman. Al-Imam Ath-Thahawi rahimahullahu mengatakan: “Mengingkari risalah beliau (Shallallahu ‘alaihi wa sallam) termasuk celaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 178)
Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi rahimahullahu menjelaskan: “Tidak akan kokoh fondasi Islam melainkan di atas sikap berserah diri dan menerima. Barangsiapa berusaha menggali ilmu yang dilarang untuk diilmui dan tidak merasa puas dengan menyerahkan pemahamannya, maka keinginannya akan menghalangi dirinya dari kemurnian tauhid, kebersihan ilmu, dan iman yang benar. Sehingga dia menjadi orang yang bimbang antara kufur dan iman, antara membenarkan dan mendustakan, antara menetapkan dan mengingkari. Dia juga akan ternodai oleh bisikan-bisikan yang menyesatkan dan mendatangkan keragu-raguan. Dia bukan seorang yang beriman dan membenarkan, bukan pula seorang penentang yang mendustakan.”
Kaidah ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّيْنَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (Al-Baqarah: 177)
Dalam hadits Jibril disebutkan:
أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ. قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Jibril berkata: “Beritahukan kepadaku tentang iman.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada taqdir yang baik maupun buruk.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah berkata: “Amma ba’du. Ini adalah i’tiqad Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) yang ditolong, sampai hari kiamat. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Yaitu beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian dan beriman kepada taqdir, baik maupun buruk.”
Wallahu a’lam.
1 Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan melalui jalur yang belum mencapai tingkat mutawatir. Misal, melalui jalur satu orang saja.