فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ؟ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ, قَالَ: صَدَقْتَ
“Kabarkanlah kepadaku tentang iman, Beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir baik dan buruknya.’ Ia mengatakan, ‘Engkau Benar.’” (HR. Muslim no. 8 )
Inilah enam rukun iman yang wajib kita ajarkan kepada anak. Iman mengharuskan adanya sikap menerima dan tunduk. Diperlukan pengetahuan untuk mendapatkan sikap tunduk dan menerima sehingga pengikraran kita tidak semata ada di lisan saja, tetapi juga diiringi hati yang tunduk dan menerima, tidak menolaknya.
Anak harus paham bahwa ia diciptakan ke muka bumi ini hanya untuk beribadah kepada Allah semata. Beribadah kepada Allah ini harus diiringi kepatuhan, tunduk dan menerima segala aturan yang telah Allah tetapkan. Oleh karena itu berilah ia pengetahuan tentang siapa Rabbnya, dan bagaimana ia mengenal-Nya. Hingga akhirnya ia dapat menerima dengan ikhlas tanpa adanya paksaan atas segala perintah Allah dan Rasul-Nya.
Artikel ini akan membahas rukun iman yang pertama yakni iman kepada Allah. Iman kepada Allah merupakan pondasi utama dalam pembentukan karakter anak dimana kelak diharapkan anak mempunyai karakter yang kuat sebagaimana Rasulullahshalallaahu ‘alaihi wa salam. Yang takut kepada Allah dan selalu berhati-hati dalam tiap tindakan yang beliau lakukan. Yang berusaha melaksanakan semua perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Yang selalu menjaga amal ibadah sehari-hari dan tidak menyia-nyiakan waktu yang ada. Iman kepada Allah jugalah yang merupakan pembeda antara orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir.
Ajarkan Ia Iman Kepada Allah
Beriman kepada Allah mencakup empat hal :
Pertama: Beriman dengan wujud Allah.
Terangkan kepadanya bahwa Allah itu ada dan barang siapa yang mengingkari keberadaan Allah, maka dia bukan orang yang beriman. Ceritakan kisah Fir’aun yang berkata kepada Musa ‘alaihisallam “Siapakah Rabb alam semesta?” Fir’aun tetap menyimpan keyakinan dalam hatinya akan adanya Allah. Musa berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tidak ada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata” (QS. Israa’: 102). Akan tetapi dia tetap mengingkarinya sebagaimana Allah ta’alaberfirman
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini kebenarannya.” (QS. An-Naml: 14)
Kedua: Beriman dengan keesaan Allah dalam Rububiyah-Nya.
Artinya meyakini bahwa Dialah satu-satunya Rab, Yang Esa dalam Rububiyah-Nya. Ar-Rabb artinya pencipta, pemilik, pengatur (semua hal yang merupakan perbuatan Allah, yang khusus bagi-Nya). Ceritakan kepada anak tentang surat Al-Ikhlas.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (١)اللَّهُ الصَّمَدُ (٢)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (٣)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (٤)
“Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al Ikhlas: 1-4)
Katakan padanya bahwa Allah itu satu, Allah itu Maha Esa. Untuk membantu anak memahami hakikat makna “satu atau esa” dalam kalimat “Allah itu satu, Maha Esa”, dapat dilakukan dengan permainan. Contoh permainannya sebagai berikut:
- Pertama jelaskan terlebih dahulu makna tauhid kepada Allah, yaitu mengesakan Allah, tidak mempersekutukan-Nya. Hanya Allah sajalah yang mengatur segela urusan kita. Seluruh makhluk bergantung kepada-Nya dalam semua urusan dan permasalahan. Allah tidak punya anak, tidak punya orang tua juga tidak punya istri. Allah itu satu.
- Kemudian jelaskan isyarat bilangan 1-5 dengan jari-jari tangan: bilangan satu (mengacungkan telunjuk) dan bilangan dua (mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah), dst
- Perintahkan anak mengucapkan “Allah Maha Esa” ketika kita menunjukkan isyarat satu jari. Jika kita mengacungkan jumlah yang selainnya maka anak mengucapkan “Tidak!” Instruktur mengacungkan isyarat jari tangan dengan jumlah bilangan yang berselang-seling. Misal satu, kemudian empat, kemudian satu lagi, lalu tiga dan seterusnya. Anak yang salah ucap diberi kesempatan menjawab sendiri. Demikian seterusnya sampai anak dapat memahami hakikat makna esa (satu) dan seluruh anak memahami benar konsep Allah itu Esa (Satu). Semakin lama kita semakin cepat menunjukkan isyarat jarinya. Berhentilah jika anak sudah bosan.
Ketiga: Beriman terhadap keesaan Allah dalam Uluhiyah-Nya.
Bahwasanya Allah Ta’ala sajalah yang berhak disembah. Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tauhid inilah yang membedakan orang islam dengan orang kafir. Kenalkan kalimat tauhid kepadanya sejak dini. Ketika ia mulai berinteraksi dengan lingkungan sekitar, yakni saat ia sudah mulai menirukan tingkah laku serta perkataan yang kita lakukan dan ucapkan. Ajarkanlah ‘laa ilaaha illallah’, sebagai kalimat yang pertama kali bisa mereka ucapkan secara fasih.
Ibnul Qayyim dalam kitab Ahkamul Maulud menjelaskan,
“Dia awal waktu ketika anak-anak mulai bisa berbicara, hendaklah mendiktekan kepada mereka kalimat ‘Laa ilaaha illallah, Muhammad rasulullah’ dan hendaklah sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah ma’rifatullah (mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya. Juga ajarkan kepada mereka bahwa Allah berada diatas Arsy-Nya, Dia senantiasa melihat dan mendengar perkataan hamba-Nya, dia senantiasa bersama mereka dimanapun mereka berada.”
Tanamkan kecintaan yang mendalam kepada Allah. Jelaskan padanya bahwa hanya kepada Allah lah kita meminta, dan hanya kepada-Nya pulalah kita memohon pertolongan. Jelaskan pula seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.
Kempat: Beriman terhadap asma’ dan sifat Allah yakni beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya.
Kita wajib beriman terhadap nama dan sifat Allah sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa salam menurut apa yang pantas bagi Allah subhanahu wa ta’ala, tanpa tahrif (penyelewengan), ta’thil (perubahan makna), takyiif (menanyakan bagaimananya) dan tamtsiil (memisalkan atau menyerupakan dengan makhluk). Allah ta’ala berfirman
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-syura: 11)
Jelaskan dengan contoh bahwa Allah itu Maha mendengar namun pendengaran Allah tidak sama dengan pendegaran makhluk. Sebagaimana kucing mempunyai kaki, dan kaki kucing tidak sama dengan kaki manusia. Allah itu berbicara sebagaimana yang dia kehendaki. Sebagaimana firman Allah
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا
“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?“ (QS.An-Nisa’: 87)
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” (QS. An-Nisa’:164)
Dan tentu berbicaranya Allah tidaklah sama dengan berbicaranya makhluk. Sebagaimana berbicaranya kucing tidak sama dengan berbicaranya manusia. Menetapkan nama dan sifat untuk Allah harus sesuai dengan nama dan sifat yang Dia berikan untuk Diri Nya dalam kitab Nya atau disampaikan oleh Rasul Nya. Tidak boleh melanggar Al-Qur’an dan As-Sunnah karena tidak seorang pun yang lebih mengetahui Allah daripada Allah sendiri, dan tidak ada –sesudah Allah-orang yang lebih mengetahui Allah daripada Rasul Nya.
Demikian pembahasan iman kepada Allah. Semoga dapat memberi manfaat.
***
Penulis: Putrisia Hendra A. (Ummu Hafizh)
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits.
Maraji’:
- Kitab Tauhid 1 (Terjemahan At-Tauhid lish Shaffil Awwal Al-‘Aliy). Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. 1999. Darul Haq. Jakarta.
- Mencetak Generasi Rabbani. Abu Ihsan dan Ummu Ihsan. 2010. Pustaka Darul Ilmi.
- Mendidik Anak dengan Game Islami. Ummu Raihan. 2013. Gazza Media. Surakarta.
- Terjemahan Syarah Hadits Arba’in. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. 2008. Pustaka Ibnu Katsir. Bogor.