Sunday, February 16, 2014

Menepis Syubhat Pembela Tawassul Yang Haram 4

Syubhat 12. Kabar:
إذا أعيتكم الأمور فعليكم بأصحاب القبور
“Apabila kamu ditimpa urusan yang payah maka hendaklah datang ke penghuni kubur”.

Jawab:
Khabar ini disebutkan oleh Al ‘Ajluuni dalam Kasyful khofaa (1/85) dan beliau menisbatkannya kepada kitab Al Arba’in karya ibnu kamal Basya, dan khabar ini batil tidak ada asalnya, tidak pernah diriwayatkan oleh para ulama hadits dalam kitab-kitab yang dapat dijadikan sandaran.
Syaikhul islam Ahmad bin Taimiyah rahimahullah berkata: “Sebagian orang dari masyayikh yang diikuti ada yang berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila kamu ditimpa urusan yang payah maka hendaklah datang ke penghuni kubur”. Dalam riwayat lain: “Hendaklah minta bantuan kepada penghuni kubur”. Padahal hadits ini dusta dan dipalsukan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ijma’ (kesepakatan) orang-orang yang memahami hadits, dan tidak ada seorang ulamapun yang meriwayatkannya, dan tidak ditemukan dalam kitab hadits manapun yang dijadikan sandaran”.[3]

Syubhat 13: Hadits Bilal bin Al Harts yang beristisqa setelah wafatnya rasulullah.
روى البيهقي وابن أبي شيبة :أن الناس أصابهم قحط في خلافة عمر ( فجاء بلال بن الحرث وكان من أصحاب النبي إلى قبر النبي وقال يا رسول الله : استسق لأمتك فإنهم هلكوا فأتاه رسول الله في المنام وأخبره أنهم سيسقون .
Al Baihaqi dan ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa manusia di zaman kekhilafahan Umar di timpa kekeringan, maka Bilal bin Al Harits salah seorang shahabat Nabi datang ke kuburan Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, karena mereka telah binasa”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya dalam tidurnya dan mengabarkan bahwa mereka akan diberikan hujan”.

Jawab:
Kabar ini diriwayatkan dari jalan Abu Mu’awiyah dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Malik Ad Daar bahwa ia berkata: “Kekeringan melanda manusia di zaman Umar, lalu datanglah seseorang ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa”. Lalu orang itu didatangi di dalam tidurnya dan dikatakan kepadanya: “Datanglah kepada Umar dan sampaikan salam untuknya dan kabarkan kepadanya bahwa kalian akan diberikan hujan, dan katakan kepadanya: “Hendaklah kamu menggunakan aqal dan kedermawanan”. Lalu Umar dikabarkan, dan beliau berkata: “Ya Rabb, Aku terus berusaha kecuali yang aku tidak mampu”.
Berdalil dengan kisah ini untuk memperbolehkan tawassul kepada orang shalih yang telah mati atau berdo’a kepada mayat adalah tidak benar dari beberapa sisi:
Pertama: Orang yang datang ke kuburan Nabi tersebut adalah majhul (tidak diketahui siapa ia), adapun perkataan Al Hafidz ibnu Hajar dalam fathul baari bahwa ia bernama Bilaal bin Al Harits sebagaimana dalam riwayat Saif bin Umar adalah tertolak, karena Saif bin Umar ini disepakati oleh para ulama hadits kelemahannya, bahkan ibnu Hibban berkata: “Ia suka meriwayat hadits-hadits maudlu’ (palsu) dari perawi yang tsiqat, dan mereka berkata bahwa ia suka memalsukan hadits, bahkan ibnu Hibban dan Al Hakim menuduhnya zindiq[4].
Bila ada yang berkata: “Akan tetapi Saif bin Umar dapat dipercaya periwayatannya dalam tarikh, sebagaimana yang dikatakan oleh Adz Dzahabi: “Ia (Saif) sama dengan Al Waqidi”. Yaitu dapat dipercaya dalam sejarah, dan itu juga yang dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam dalam taqribnya, beliau berkata: “Dla’if dalam hadits dan umdah (sandaran) dalam tarikh (sejarah)”. Dan penyebutan nama adalah termasuk sejarah.
Dijawab: Bahwa Al Hafidz tidak menyebutkan dari siapa Saif meriwayatkan riwayat tersebut, terlebih Saif bin Umar meriwayatkan dari perawi-perawi yang banyak yang majhul sebagaimana dikatakan oleh Adz Dzahabi dalam Mizannya, sehingga inipun tidak dapat dijadikan sandaran, dan tidak dapat memberi kepastian tentang siapa nama laki-laki yang datang ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kedua: Bila memang yang melakukannya adalah Bilal bin Al Harits, maka perbuatan beliau ini bertentangan dengan perbuatan para shahabat lainnya, karena Umar dan para shahabat tidak datang ke kuburan Rasulullah, namun datang kepada Al ‘Abbas bin Abdil Muthalib dan menyuruhnya agar berdo’a kepada Allah Ta’ala. Dan perbuatan seorang shahabat bila bertentangan dengan perbuatan shahabat lainnya tidak dapat dijadikan hujjah, bagaimana bila bertentangan dengan dalil?!
Bila dikatakan: Di dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa ia menceritakannya kepada Umar, dan ternyata Umar tidak mengingkarinya.
Dijawab: Bahwa yang ia ceritakan adalah perihal mimpinya bertemu Rasulullah, dan bukan perihal datangnya ia ke kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, buktinya umar hanya mengomentari perkataan Rasulullah dalam mimpi tersebut. Dan kalaulah datang ke kuburan Rasulullah untuk memohon do’a Rasulullah diperbolehkan, tentu para shahabat akan datang ke kuburan Rasulullah dalam perkara-perkara yang lebih besar dari itu, seperti peperangan yang terjadi diantara para shahabat dan kejadian-kejadian lainnya.
Ketiga: Malik Ad Daar perawi dalam kisah itu adalah majhul hal yaitu perawi yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih dan tidak ada yang mentsiqahkan tidak juga menjarhnya, dan periwayatan majhul hal adalah tertolak.
Bila dikatakan: Akan tetapi disebutkan dalam riwayat lain bahwa Malik Ad Daar ini Bendahara Umar, dan tidak mungkin Umar mengangkat seseorang sebagai bendahara kecuali orang yang ‘adil dan dapat dipercaya.
Dijawab bahwa seorang yang dipercaya sebagai bendahara belum tentu dipercaya dalam periwayatan hadits, karena berbeda antara dua perkara tersebut, sebagaimana banyak perawi-perawi yang dipercaya menjadi qadli, namun dalam periwayatan haditsnya tertolak, sehingga alasan seperti ini adalah lemah dan tidak dapat diterima.
Keempat: kalaupun misalnya kisah ini shahih, maka tidak dapat dijadikan hujjah, karena perbuatan shahabat yang bertentangan dengan shahabat bahkan mayoritas shahabat adalah bukan hujjah, bagaimana bila bertentangan dengan dalil? Sebagaimana telah kita sebutkan, oleh karena itu imam Al Bukhari dalam Tarikhnya hanya mengeluarkan perkataan Umar saja: “Ya Rabb, Aku terus berusaha kecuali yang aku tidak mampu”. Dan tidak menyebutkan kisah tersebut, seakan kisah tersebut tidak sah di sisi beliau. Wallahu a’lam.
Al Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik:
 أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قُحِطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ : اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا -صلى الله عليه وسلم- فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ الْيَوْمَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا -صلى الله عليه وسلم- فَاسْقِنَا فَيُسْقَوْنَ.
Sesungguhnya Umar bin Al Khathab apabila di landa kekeringan beristisqa melalui Al Abbas bin Abdul Muthalib dan berkata: “Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepadaMu melalui NabiMu, dan Engkaupun memberi kami hujan, dan sekarang aku bertawassul kepadaMu melalui paman NabiMu, maka berikanlah kami hujan”. Lalu merekapun di beri hujan.
Riwayat ini menegaskan bahwa para shahabat tidak datang ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk minta diturunkan hujan, namun mereka pergi kepada Al ‘Abbas dan menyuruhnya berdo’a agar Allah menurunkan hujan, dan ini adalah tawassul yang disyari’atkan.

Syubhat 14: Hadits tahun fatq :
روى الدارمي في مسنده عن أبي الجوزاء قال : قحط أهل المدينة قحطاً شديداً فشكوا إلى عائشة رضي الله عنها : فقال انظروا إلى قبر رسول الله فاجعلوا منه كوة إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف ففعلوا فمطروا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقت من الشحم فسمي عام الفتق .
Ad Darimi meriwayatkan dalam musnadnya dari Abul Jauzaa, ia berkata: “Penduduk kota Madinah ditimpa kekeringan, lalu mereka mengadu kepada Aisyah radliyallahu ‘anha, maka ia berkata: “Lihatlah ke kuburan rasulullah, jadikanlah darinya kuwwah (lubang) menuju ke langit sehingga tidak ada ada yang menghalangi antara langit dan kuburan beliau”. Merekapun melaksanakannya, maka hujanpun turun sampai-sampai rerumputan tumbuh dan unta-unta menjadi gemuk dan banyak gajihnya, maka dinamailah tahun itu dengan tahun al fatq”.

Jawab:
Kita jawab hadits ini dari sisi matan dan sanadnya:
Adapun sanad, maka hadits ini dikeluarkan oleh Ad darimi dalam sunannya (1/43-44): haddatsana Abun Nu’maan haddatsana Sa’id bin Zaid haddatsana Amru bin Malik An Nukri haddatsana Abul Jauza Aus bin Abdillah..dan seterusnya.
Dalam sanad hadits ini terdapat Abun Nu’maan Muhammad bin Al Fadll As Saduusi yang dikenal dengan gelar ‘Arim, walaupun ia seorang perawi yang tsiqah, namun para ulama menyatakan bahwa ia berubah hafalannya (mukhtalith) pada tahun 216H sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dawud, dan imam Ad Darimi tidak diketahui apakah ia termasuk yang meriwayatkan darinya setelah berubah hafalannya ataukah sebelumnya, sehingga masih menghasilkan keraguan.
Dalam sanadnya juga terdapat Amru bin Malik An Nukri, ibnu Adi berkata tentangnya: “Mungkarul hadits dari perawi-perawi tsiqaat, dan suka mencuri hadits”.[5] Dan Abu Ya’la menganggapnya dla’if[6]. Dan ini adalah jarh yang mufassar dan jarh yang mufassar lebih didahulukan dari ta’dil yang mubham seperti perbuatan ibnu Hibban yang memasukkannya dalam kitab tsiqatnya dan mengatakan bahwa haditsnya dapat dijadikan i’tibar dari selain periwayatan anaknya darinya, dan ibnu Hibban termasuk ulama mutasahil (longgar) dalam tautsiq.
Dan bila kita menerima perkataan ibnu Hibban ini, maka makna dapat dijadikan i’tibar artinya bila ia tidak sendirian, dan bila bersendirian maka haditsnya tertolak, dan disini ia bersendirian. Dan Al Hafidz ibnu Hajar dalam tahdzibnya tidak menyebutkan perkataan ibnu Adi tadi dan pendla’ifan Abu Ya’la, sehingga menghasilkan vonis bahwa ia perawi yang shaduq lahu auham, bila beliau menemukan perkataan ibnu Adi yang menjarhnya dengan jarh mufassar tentu hukumnya akan berubah, karena kaidah berkata: “Jarh mufassar lebih di dahulukan dari ta’dil yang mubham”. Jadi kesimpulannya Amru bin Malik An Nukri ini seorang perawi yang lemah.
Adapun dari sisi matannya, maka terdapat banyak kejanggalan, dari beberapa sisi, yaitu:
Pertama: Semasa hidup Aisyah, kamar beliau sebagiannya tertutup dan sebagiannya terbuka, dan cahaya matahari masuk ke dalam kamar beliau, sebagaimana dalam Shahihain dari Aisyah:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُصَلِّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ فِى حُجْرَتِهَا لَمْ يَظْهَرِ الْفَىْءُ فِى حُجْرَتِهَا.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat ashar, sementara (sinar) matahari di kamarnya, dan belum tampak bayangan di kamarnya”.
Maka tidak butuh lagi dibuat kuwwah. Dan kamar Aisyah tidak berubah sampai dimasukan ke dalam masjid di masa Al Walid bin Abdul Malik.
Kedua: Bila dikatakan, boleh jadi atap rumah Aisyah dibongkar semuanya, jawabnya: konsekwensi perkataan ini adalah bahwa Aisyah tinggal di dalam rumah tersebut tanpa atap, dan ini menunjukkan kedustaan kabar tersebut.
Ketiga: Kalaulah terbukanya kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebab utama turunnya hujan, maka seharusnya kuburan itu selalu terbuka agar hujan senantiasa turun, dan para shahabatpun tidak perlu lagi shalat istisqa’ dan bertawassul melalui Al ‘Abbas radliyallahu ‘anhu.

Syubhat 15: Hadits tawassulnya seorang arab badawi kepada Rasul setelah beliau wafat tiga hari.
روى أبو الحسن علي بن إبراهيم بن عبدالله بن عبد الرحمن الكرخي عن علي بن محمد بن علي حدثنا أحمد بن محمد بن الهيثم الطائي حدثنا أبي عن أبيه عن سلمة بن كهيل عن أبي صادق عن علي بن أبي طالب قال : قدم علينا أعرابي بعدما دفنا رسول الله بثلاثة أيام فرمى نفسه على قبر النبي وحثى على رأسه من ترابه وقال : يا رسول الله قلت فسمعنا قولك ووعيت من الله عز وجل ما وعينا عنك وكان فيما أنزل الله تبارك وتعالى عليك ( ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله تواباُ رحيماً ). وقد ظلمت نفسي وجئتك لتستغفر لي فنودي من القبر أنه غفر لك .
Abul hasan Ali bin Ibrahim bin Abdullah bin Abdurrahman Al Karkhi meriwayatkan dari Ali bin Muhammad bin Ali haddatsana Ahmad bin Muhammad bin Al Haitsam Ath Thaai haddatsana ayahku dari ayahnya dari Salamah bin Kuhail dari Abu Shadiq dari Ali bin Abi Thalib ia berkata: “Datang kepada kami seorang arab badawi setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat tiga hari, lalu ia melemparkan dirinya di atas kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menaburkan tanah ke kepalanya dari kuburan Nabi, dan berkata: “Wahai Rasulullah, engkau berkata dan kami mendengarkan perkataanmu, engkau memahami dari Allah apa yang kami fahami darimu, dan diantara ayat yang Allah Tabaraka wa Ta’ala turunkan kepadamu (yang artinya):
Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (An Nisaa: 64).
Dan aku telah menzalimi diriku dan datang kepadamu agar engkau memohonkan ampun untukku, lalu diseru dari kuburan bahwa ia telah diampuni”.

Jawab:
Ibnu Abdil Haadi rahimahullah berkata: “Kabar ini mungkar dan maudlu’ (palsu), tidak boleh dijadikan sandaran dan pegangan, dan sanadnya kegelapan di atas kegelapan, Al Haitsam kakek dari Ahmad berat dugaan saya adalah bin Adi Ath Thaai, jika memang dia maka ia adalah perawi yang matruk dan kadzaab (tukang dusta), dan jika bukan dia maka majhul, karena Al haitsam bin Adi dilahirkan di Kuufah dan mendapati zaman Salamah bin Kuhail, kemudian pindah ke Baghdad dan tinggal di sana.
Abbas Ad Duuri berkata: “Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Al Haitsam bin Adi adalah orang Kufah, ia tidak tsiqah dan suka berdusta”. Abu Dawud berkata: “Kadzaab (tukang berdusta)”. Abu Hatim Ar Razi, An Nasai, Ad Duulaabi dan Al Azdi berkata: “Matruk haditsnya”. Al Bukhari berkata: “sakatuu ‘anhu (mereka mendiamkannya)”. Artinya mereka meninggalkannya. Ibnu Hibban berkata: “Ia ulama dalam sejarah dan hari-hari manusia dan kabar arab, akan tetapi ia meriwayatkan dari perawi tsiqat kabar-kabar yang seakan-akan palsu, dan saya menduga ia mentadlisnya”. Al ‘Abbas bin Muhammad berkata: “Sebagian sahabat kami berkata: “Budak wanita Al Haitsam berkata: “Majikanku suka shalat semalam suntuk, dan di pagi hari ia duduk untuk berdusta”.[7]

Syubhat 16. Al Baihaqi meriwayatkan dari Anas bahwa ada orang arab badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk istisqa, dan ia melantunkan bait-bait sya’ir, diantaranya:
وليس لنا إلا إليك فرارنا
وأنى فرار الخلق إلا إلى الرسل
فلم ينكر عليه ( هذا البيت بل قال أنس : لما أنشد الأعرابي قام ( يجر رداءه حتى رقى المنبر فخطب ودعا لهم فلم ينزل يدعو حتى أمطرت السماء .
Kami tidak mempunyai tempat lari kecuali kepadamu.
Dan adakah tempat lari para makhluk kecuali kepada para Rasul?
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari bait-bait ini, bahkan Anas berkata: “Ketika orang arab badui ini telah melantunkan sya’irnya, beliau berdiri menyeret pakaian atasnya sampai menaiki mimbar dan mendo’akan mereka, dan beliau belum turun ternyata langit telah menurunkan hujan”.

Jawab:
Pertama: Hadits ini jika shahih tidak menunjukkan bolehnya bertawassul kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau wafat, karena orang arab badui ini datang kepada Rasulullah semasa hidup beliau, lalu beliaupun berdo’a kepada Allah Ta’ala, dan ini adalah termasuk tawassul yang syari’atkan, yaitu bertawassul kepada orang shalih yang masih hidup dan hadir dan tawassul seperti ini diperbolehkan.
Kedua: Di dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang sangat lemah yang bernama Muslim bin Kaisaan Adl Dabbi Al Kuufi Al Mulaai, Al Fallaas berkata: “Matruk haditsnya”. Ahmad berkata: “Tidak boleh ditulis haditsnya”. Yahya bin Ma’in berkata: “Laisa bi tsiqah”[8]. An Nasai berkata: “Matruk”.[9] Sehingga hadits ini sangat lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.

Syubhat 17. Hadits dalam shahih Bukhari:
لما جاء الأعرابي وشكا للنبي ( القحط فدعا الله فانجابت السماء بالمطر ( : لو كان أبو طالب حياً لقرت عيناه . من ينشدنا قوله ؟ فقال علي ( : يا رسول الله : كأنك أردت قوله :
وأبيض يستسقى الغمام بوجهه
ثمال اليتامى عصمة للأرامل
فتهلل وجه الرسول ( ولم ينكر إنشاد البيت ولا قوله يستسقى الغمام بوجهه ولو كان ذلك حراماً أو شركاً لأنكره ولم يطلب إنشاده .
Ketika datang orang arab badui dan mengadukan kekeringan kepada Nabi, beliau berdo’a kepada Allah, maka langitpun menurunkan hujan, beliau bersabda: “kalaulah Abu thalib masih hidup tentu ia akan gembira, siapakah yang bisa melantunkan sya’irnya?” Ali berkata: “Wahai Rasulullah, tampaknya engkau menginginkan sya’irnya : dan si putih yang dimintai hujan melalui wajahnya
Pemberi makan anak yatim dan pelindung para janda.
Maka wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallampun berseri-seri”.
Di sini Nabi tidak mengingkari pelantunan sya’ir tersebut tidak juga mengingkari perkataannya: “Dimintai hujan melalui wajahnya”. Kalaulah itu haram atau syirik tentu beliau akan mengingkarinya dan tidak minta dilantunkan sya’irnya.
Jawab:
Pertama: yang ada dalam shahih Al bukhari adalah dengan lafadz:
حدثنا عمرو بن علي قال حدثنا أبو قتيبة قال حدثنا عبد الرحمن بن عبد الله بن دينار عن أبيه قال : سمعت ابن عمر يتمثل بشعر أبي طالب
 وأبيض يستسقى الغمام بوجهه * ثمال اليتامى عصمة للأرامل
 وقال عمر بن حمزة حدثنا سالم عن أبيه ربما ذكرت قول الشاعر وأنا أنظر إلى وجه النبي صلى الله عليه و سلم يستسقي فما ينزل حتى يجيش كل ميزاب
 وأبيض يستسقى الغمام بوجهه * ثمال اليتامى عصمة للأرامل
 وهو قول أبي طالب
Haddatsana Amru bin Ali haddatsana Abu Qutaibah haddatsana Abdurrahman bin Abdillah bin Dinar dari ayahnya berkata: Aku mendengar ibnu Umar mengkisahkan sya’ir Abu Thalib:
dan si putih yang dimintai hujan melalui wajahnya
Pemberi makan anak yatim dan pelindung para janda.
Dan Umar bin Hamzah berkata: Haddatsana Salim dari ayahnya berkata: “Barangkali aku ingat perkataan seorang penya’ir, sementara aku melihat kepada wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang istisqa (meminta hujan), tidaklah beliau turun dari mimbarnya sampai setiap selokan mengalirkan air:
dan si putih yang dimintai hujan melalui wajahnya
Pemberi makan anak yatim dan pelindung para janda.
Ia adalah perkataan Abu thalib.
Dalam kisah ini tidak disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta agar dilantunkan sya’ir Abu Thalib, namun sebatas ibnu Umar mengingat sya’ir tersebut ketika melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beristisqa, sehingga sama sekali tidak ada dalil yang menunjukkan boleh bertawassul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah matinya.
Kedua: Adapun datangnya arab badui yang meminta agar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta hujan, diriwayatkan oleh Al Bukhari dari hadits Anas ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْمَوَاشِي وَانْقَطَعَتْ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمُطِرْنَا مِنْ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَهَدَّمَتْ الْبُيُوتُ وَانْقَطَعَتْ السُّبُلُ وَهَلَكَتْ الْمَوَاشِي فَقَالَ  اللهم على الآكام والظراب والأودية ومنابت الشجر  فَانْجَابَتْ عَنْ الْمَدِينَةِ انْجِيَابَ الثَّوْبِ
“Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, telah binasa binatang ternak dan jalan-jalan telah terputus, maka berdo’alah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdo’a, kamipun di beri hujan dari jum’at ke jum’at lagi. Lalu orang itu datang lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, Rumah-rumah telah roboh, jalan-jalan terputus dan binatang ternak telah mati”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdo’a: “Ya Allah, (pindahkan hujan itu) ke bukit-bukit, gunung, lembah-lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan”. Maka hujan pun sedikit-demi sedikit berhenti seperti baju yang dilepas sedikit-demi sedikit”.
Dan Al Bukhari meriwayatkan hadits Anas ini dalam shahihnya dari beberapa jalan, dan tidak ada satupun disebutkan sabda Rasulullah: “Kalaulah Abu thalib masih hidup tentu ia akan gembira, siapakah yang bisa melantunkan sya’irnya?” Ali berkata: “Wahai Rasulullah, tampaknya engkau menginginkan sya’irnya :
dan si putih yang dimintai hujan melalui wajahnya
Pemberi makan anak yatim dan pelindung para janda.
Maka wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallampun berseri-seri”.
Lafadz ini tidak diriwayatkan oleh Al Bukhari sama sekali, namun diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab Dalail Nubuwwah dari jalan Muslim Al Mulaai dari Anas, dan Muslim Al Mulaai ini adalah perawi yang sangat lemah sebagaimana telah kita jelaskan dalam bantahan syubhat yang ke 16.
Ketiga: Bila ada yang berkata: “Ibnu Umar teringat sya’ir itu dan tidak mengingkarinya, dan ini menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Dijawab: “Bahwa ibnu Umar mengingat sya’ir tersebut ketika melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beristiqa’ semasa hidupnya, dan kejadian seperti ini tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan tawassul kepada Rasulullah setelah matinya, karena ibnu Umar tidak pernah bertawassul kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kalaulah pemahaman seperti ini benar, tentu ibnu Umar yang pertama kali melakukannya.




[1] Majmu’ fatawa 1/319-320 secara ringkas.
[2] Majmu’ fatawa 27/126.
[3] Majmu’ fatawa 1/356.
[4] Tahdzibuttahdzib 4/296.
[5]  Al Kamil 5/150.
[6] Adl Dlu’afaa wal matrukin 2/231 karya ibnul Jauzi.
[7]  Ash Sharim Al Munakki (1/321-322).
[8]  Laisa bi tsiqah di sisi ibnu Ma’in adalah lafadz yang menunjukkan jarh yang berat atau haditsnya sedikit, namun makna pertama itu yang sesuai dengan vonis ulama lainnya.
[9]  Mizanul i’tidal (4/106-107).