Sunday, February 16, 2014

Menepis Syubhat Pembela Tawassul Yang Haram 2

Syubhat 4. Hadits yang menunjukkan bahwa orang yang telah mati bisa memberikan manfaat kepada orang yang masih hidup, dari ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
..وَفَاتِي خَيْرٌ لَكُمُ ، تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَمَا كَانَ مِنْ حَسَنٍ حَمِدْتُ اللَّهَ ، وَمَا كَانَ مِنْ سَيِّءٍ اسْتَغْفَرْتُ اللَّهَ لَكُمْ.
…wafatku adalah kebaikan untuk kamu, amal-amalmu ditampakkan kepadaku, bila baik maka aku memuji Allah dan bila buruk, aku akan mohonkan ampunan untukmu”. (HR Al Bazzaar).
Dan hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى أَقَارِبِكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ مِنَ الأَمْوَاتِ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا اسْتَبْشَرُوا بِهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ، قَالُوا: اللَّهُمَّ لاَ تُمِتْهُمْ حَتَّى تَهْدِيَهُمْ كَمَا هَدَيْتَنَا.
“Sesungguhnya amal-amalmu akan ditampakkan kepada karib kerabat dan keluargamu (yang telah meninggal), jika baik mereka bergembira, dan jika buruk mereka berkata: “Ya Allah jangan Engkau matikan dia sampai Engkau memberikan hidayah kepadanya sebagaimana Engkau memberi kami hidayah”. (HR Ahmad).
Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa orang yang masih hidup dapat mengambil manfaat dari do’a orang yang telah mati, bila keadaannya demikian maka diperbolehkan kita bertawassul kepada mereka”.

Jawab.
Pertama: Hadits-hadits tersebut kalau ternyata shahih maka tidak bisa dijadikan dalil bolehnya bertawassul kepada nabi dan orang-orang shalih, dari beberapa sisi:
  1. Bahwa para shahabat, tabi’in, dan tab’iuttabi’in serta para ulama setelahnya tidak ada yang memahami demikian, karena apabila pemahaman tersebut benar tentu mereka akan melakukannya, dan akan dinukil kepada kita walaupun satu riwayat.
  2. Hadits tersebut hanya mengabarkan apa yang dilakukan oleh mereka (orang-orang yang mati tersebut) tentunya dengan perintah dari Allah, seperti halnya Allah mengabarkan bahwa para malaikat mendo’akan kaum mukminin, seperti dalam firman Allah:
tûïÏ%©!$# tbqè=ÏJøts† z¸öyèø9$# ô`tBur ¼çms9öqym tbqßsÎm7|¡ç„ ωôJpt¿2 öNÍkÍh5u‘ tbqãZÏB÷sãƒur ¾ÏmÎ/ tbrãÏÿøótGó¡o„ur tûïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä $uZ­/u‘ |M÷èÅ™ur ¨@à2 &äóÓx« ZpyJôm§‘ $VJù=Ïãur öÏÿøî$$sù tûïÏ%©#Ï9 (#qç/$s? (#qãèt7¨?$#ur y7n=‹Î6y™ öNÎgÏ%ur z>#x‹tã ËLìÅspgø:$# ÇÐÈ
“(malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan Malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan Kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala”. (Al mukmin: 7).
Para Malaikat pemikul ‘Arasy itu memohonkan ampunan untuk kaum mukminin yang bertaubat, dan keadaan semacam tidak butuh untuk diminta, karena baik diminta maupun tidak diminta mereka tetap akan mendo’akan sehingga tidak perlu dijadikan wasilah.
  1. Yang ada dilangit dan di bumipun sampai ikan yang ada di laut dan semut yang ada di sarangnya dapat memohonkan ampunan untuk orang yang beriman, seperti disebutkan dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ
“Sesungguhnya orang yang berilmu itu dimohonkan ampunan untuknya oleh yang ada di langit dan di bumi sampai ikan yang ada di dalam air”. (HR Abu daud, At Tirmidzi dan lainnya).
Jika hadits: “..wafatku adalah kebaikan untuk kamu.. dst”, dan hadits setelahnya, bisa dijadikan dalil bolehnya bertawassul kepada mayat karena mereka memohonkan ampunan untuk orang yang hidup, maka konsekwensinya adalah boleh bertawassul kepada malaikat, pohon-pohon, batu, dan ikan-ikan yang ada di laut, karena merekapun dapat memohonkan ampunan untuk kaum mukminin, dan ini jelas kebatilannya.
Kedua: Ternyata dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah, penjelasannya sebagai berikut:
Adapun hadits yang pertama adalah hadits yang syadz, diriwayatkan oleh Al Bazzaar dalam musnadnya: Haddatsana Yusuf bin Musa haddatsana Abdul majid bin Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad dari Sufyan dari Abdullah bin Saaib dari Zaadzan dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ مَلائِكَةً سَيَّاحِينَ يُبَلِّغُونِي عَنْ أُمَّتِي السَّلامَ قَالَ : وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : حَيَاتِي خَيْرٌ لَكُمْ تُحَدِّثُونَ وَنُحَدِّثُ لَكُمْ ، وَوَفَاتِي خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ ، فَمَا رَأَيْتُ مِنَ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللَّهَ عَلَيْهِ ، وَمَا رَأَيْتُ مِنَ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ اللَّهَ لَكُمْ.
“Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang bersiyahah (bertebaran di bumi) yang menyampaikan kepadaku salam dari umatku”. Ia berkata: “Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hidupku adalah baik untuk kamu, kamu berbicara dan kamipun berbicara kepada kamu, dan wafatku adalah kebaikan untuk kamu, amal-amalmu ditampakkan kepadaku, bila baik maka aku memuji Allah dan bila buruk, aku akan mohonkan ampunan untukmu”.
Lafadz: “Hidupku adalah baik untuk kamu…. sampai akhirnya, hanya diriwayatkan oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawwad. Ia diselisihi oleh para perawi yang sangat tsiqat yang meriwayatkannya tanpa lafadz tersebut mereka adalah:
  1. Fudlail bin ‘Iyadl, dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (10/220).
  2. Muhammad bin Yusuf Al Firyaabi, dikeluarkan oleh Ad darimi dalam sunannya (2/409).
  3. Mu’adz bin Mu’adz dikeluarkan oleh An nasai dalam sunannya (3/43).
  4. Al Wakie’ bin Al Jarraah Ar Ruaasi, dikeluarkan oleh An Nasai juga.
  5. Abdurrazzaaq bin Hammaam Ash Shan’aani, dikeluarkan oleh An Nasai juga.
  6. Abu Nu’aim Al Fadll bin Dukain, dikeluarkan oleh Al Baghawi dalam Syarhussunnah (1/496).
  7. Abdullah bin Al Mubarak dalam musnadnya (1/53).
  8. Yahya bin Sa’id Al Qathaan, dikeluarkan oleh Al Bazzaar dalam musnadnya (5/329).
Dan Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad ini dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam taqribnya: “Shaduuq yukhti”. Artinya perawi yang shaduuq dan masih suka salah dalam periwayatannya, dan di sini ia menyelisihi delapan perawi yang sangat tsiqat yang meriwayatkan hadits tersebut tanpa tambahan lafadz tersebut, sehingga haditsnya menjadi syadz dan hadits syadz adalah salah satu macam hadits yang lemah atau bahkan sangat lemah.
Ya, lafadz tersebut diriwayatkan dari jalan lain secara mursal dari Bakr bin Abdillah, dikeluarkan oleh ibnu Sa’ad dalam thabaqatnya 2/194, dari jalan Hammad bin Zaid dari Ghalib dari Bakr bin Abdillah dari Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini adalah sanad yang shahih sampai Bakr bin Abdillah, namun Bakr ini seorang tabi’in sehingga periwayatannya mursal, dan dikeluarkan oleh Al Harits dalam musnadnya 4/23 dari jalan Al Hasan bin Qutaibah dari Jisr bin Farqad dari bakr bin Abdillah, dan Jisr bin Farqad ini perawi yang disepakati kedla’ifannya sebagaimana dikatakan oleh Al Bushiri dalam ithaful khairah 7/47. Dan hadits mursal adalah salah satu hadits yang lemah.
Adapun hadits yang kedua yaitu hadits: “Sesungguhnya amal-amalmu akan ditampakkan kepada karib kerabat dan keluargamu (yang telah meninggal), jika baik mereka bergembira, dan jika buruk mereka berkata: “Ya Allah jangan Engkau matikan dia sampai Engkau memberikan hidayah kepadanya sebagaimana Engkau memberi kami hidayah”.
Hadits ini dikeluarkan olh imam Ahmad dalam musnadnya no 12706: haddatsana Abdurrazzaq haddatsana Sufyan dari orang yang mendengar Anas, dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda… alhadits.
Bila kita perhatikan sanad hadits ini, terdapat di dalamnya perawi yang tidak disebut namanya (mubham), yaitu orang yang mendengar dari Anas, dan ini adalah cacat yang membuat hadits ini lemah, karena perawi yang mubham itu tidak diketahui siapa ia (majhul).
Namun hadits ini mempunyai jalan lain yang dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir no 3887, dan juga dalam musnad Asy Syamiyiin no 1544, dari jalan Maslamah bin Ali dari Zaid bin Waqid dari Makhul dari Abdurrahman bin Salaamah dari Abu Rahm As Samaa’i dari Abu Ayyub Al Anshary dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sanad ini sangat lemah karena Maslamah bin Ali adalah perawi yang sangat lemah, berikut perkataan ulama tentang dia: Al Hafidz ibnu Hajar berkata:
“Ibnu Ma’in dan Duhaim berkata: “Laisa bisyai”. Al Bukhari dan Abu Zur’ah berkata: “Mungkarul hadits”. Ibnu Hibban berkata: “Dla’if hadits mungkar hadits jangan disibukkan dengannya, ia berada pada batasan at tark (ditinggalkan/matruk)”. Al Jauzaqani berkata: “Dla’if haditsnya matruk”. Ya’qub bin Sufyan berkata: “Tidak layak bagi para ahli ilmu untuk menyibukkan diri dengannya”. An Nasai, Ad Daraquthni, dan Al Barqaani berkata: “Matruk haditsnya”. An Nasai juga berkata: “Laisa bi tsiqah”. Al hakim Abu Ahmad berkata: “Dzahibul hadits”. Ibnu Hibban berkata: “Ia suka membolak balikkan sanad dan meriwayatkan dari para perawi tsiqat apa-apa yang tidak mereka miliki dan bukan dari hadits mereka, tatkala telah banyak melakukannya maka batal berhujjah dengannya”. (Tahdzibuttahdzib 10/133).
Dan Al Hakim Abu Abdillah berkata: “Ia meriwayatkan dari ibnu juraij, Az Zubaidi, dan Al Auza’i hadits-hadits yang mungkar bahkan maudlu’ (palsu)”. (Al madkhal (1/214) Adz Dzahabi dalam kitab Al kasyif berkata: “Tarakuuh”. Artinya matruk, dan Al Hafidz ibnu Hajar dalam taqribnya berkata: ‘Matruuk”. Dan matruk adalah derajat yang sangat lemah sehingga tidak dapat menguatkan sanad di atas, sehingga status hadits ini lemah.
Apabila kita telah mengetahui kelemahan dua hadits tersebut, tidak boleh kita berhujjah dengannya, karena para ulama semuanya bersepakat melarang berhujjah dengan hadits dla’if dalam masalah ‘aqidah.

Syubhat 5. Hadits Abu Sa’id yang diriwayatkan oleh ibnu Majah:
مَنْ قَالَ حِينَ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ : اللهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ ، وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ، أَنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشِرًا ، وَلاَ بَطَرًا ، وَلاَ رِيَاءً ، وَلاَ سُمْعَةً ، خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ ، أَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، وَكَّلَ الله بِهِ سَبْعِينَ أَلْفَ مَلَكٍ يَسْتَغْفِرُونَ لَهُ ، وَأَقْبَلَ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ حَتَّى يَفْرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ.
“Barang siapa yang mengucapkan ketika keluar menuju shalat: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan melalui hak orang-orang yang meminta atasMu, dan melalui hak perjalanan kakiku ini, sesungguhnya aku keluar bukan karena sombong dan congkak, tidak juga karena riya dan sum’ah. Aku keluar karena takut dari kemurkaanMu, dan mengharapkan wajahMu. Aku memohon kepadaMu agar melindungiku dari api Neraka, dan mengampuniku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau”. Allah akan mewakilkan tujuh puluh ribu malaikat yang memohonkan ampunan untuknya, dan menghadapkan wajahNya kepadanya sampai ia ia selesai dari shalatnya. (HR Ibnu Majah).

Jawab.
Hadits ini dikeluarkan oleh ibnu Majah no 778, Ahmad dalam musnadnya no 11172, ibnul Ja’d dalam musnadnya no 2031, ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya 10/211, dan lainnya dari jalan Fudlail bin Marzuq dari ‘Athiyyah Al ‘Aufiy dari Abu Sa’id Al Khudri.
Bila kita perhatikan sanad hadits ini, tampak kelemahannya dari beberapa sisi:
  1. ‘Athiyyah Al ‘Aufi adalah perawi yang dla’if, Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Husyaim mendla’ifkan hadits ‘Athiyyah, Muslim bin Al Hajjaj berkata: Berkata Ahmad ketika disebutkan ‘Athiyyah Al ‘Aufi: “Dla’if haditsnya”. Ibnu Ma’in berkata: “Shalih”. Abu Zur’ah berkata: “Layyin”. Abu Hatim berkata: “Dla’if masih ditulis haditsnya”. An Nasaai berkata: ‘Dla’if”. Ibnu Adiy berkata: “Ia walaupun dla’if, tetapi masih di tulis haditsnya”.[1] Adz Dzahabi dalam Al Kasyif berkata: “Dla’afuuhu (mereka mendla’ifkannya)”. Dan Al Hafidz ibnu hajar dalam Taqribnya berkata: “Shaduuq yukhthi katsiran (banyak berbuat kesalahan) syi’ah dan mudallis”. Banyak berbuat kesalahan dalam periwayatan adalah kelemahan pada perawi, adapun perkataan ibnu Ma’in: “Shalih” tidak menunjukkan perawi tersebut tsiqah, namun hanya menunjukkan keshalihan dalam agamanya.
  2. Athiyah Al ‘Aufiyy meriwayatkan dari Al Kalbi seorang perawi yang matruk, dan memberikan kepadanya kunyah Abu Sa’id, sehingga mereka mengira bahwa ia adalah Abu Sa’id Al Khudri. Ibnu Hibban dalam Al Majruhiin (2/176) berkata: “Ia mendengar dari Abu Sa’id Al Khudri beberapa hadits, ketika telah wafat, ia duduk di majlis Al Kalbi dan menghadiri kisah-kisahnya, apabila Al Kalbi berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda”. Ia segera menghafalnya, dan memberikan kunyah kepada Al Kalbi: Abu Sa’id, apabila dikatakan: “Siapa yang menceritakannya kepadamu?” ia berkata: “Abu Sa’id”. Sehingga mereka mengira bahwa yang dimaksud olenya adalah Abu Sa’id Al Khudri, padahal maksudnya adalah Al Kalbi, maka tidak halal berhujjah dengannya tidak juga menulis haditsnya kecuali untuk ta’ajjub saja”. Dan ini semakin menunjukkan kelemahannya, karena dalam sanad di atas, ia meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri, boleh jadi perawi darinya mengira bahwa ia adalah Abu Sa’id Al khudri padahal sebenarnya adalah Abu Sa’id Al Kalbi.
Namun ibnus Sunni meriwayatkan dalam ‘amalul yaum wal lailah hadits lain yang semakna, ia berkata: “haddatsana ibnu Manii’ haddatsana Al Hasan bin ‘Arafah haddatsana Ali bin Tsabit Al Jazari, dari Al Waazi’ bin Naafi’ Al ‘Uqaili dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari jabir bin Abdillah dari Bilaal bin Rabaah muadzin Rasulullah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila keluar menuju shalat berdo’a:
بسم الله ، آمنت بالله ، توكلت على الله ، لا حول ولا قوة إلا بالله ، اللهم بحق السائلين عليك ، وبحق مخرجي هذا ، فإني لم أخرجه أشرا  ولا بطرا ولا رياء ولا سمعة ، خرجت ابتغاء مرضاتك ، واتقاء سخطك ، أسألك أن تعيذني من النار ، وتدخلني الجنة
Dengan nama Allah, aku beriman kepada Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan upaya melainkan dengan idzin Allah, Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan melalui hak orang-orang yang meminta atasMu, dan melalui hak keluarku ini, sesungguhnya aku keluar bukan karena sombong dan congkak, tidak juga karena riya dan sum’ah. Aku keluar karena takut dari kemurkaanMu, dan mengharapkan wajahMu. Aku memohon kepadaMu agar melindungiku dari api Neraka dan memasukkanku ke dalam surga”.
Tetapi di dalam sanadnya terdapat perawi yang sangat lemah, yaitu Al Wazi’ bin Nafi’ Al ‘Uqaili. Berikut perkataan ulama tentang perawi ini:
Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hanbal berkata: “Laisa bi tsiqah”. Al Bukhari berkata: “mungkarul hadits”. An Nasai berkata: “Matruk”.[2] Dan pernyataan: “Laisa bi tsiqah”. Menunjukkan kepada jarh (celaan) yang berat, dan Al Bukhari bila mengatakan: “Mungkarul hadits”. Maka tidak halal meriwayatkan darinya, dan perkataan An Nasai: “Matruk”, menunjukkan perawi ini sangat lemah haditsnya, bila demikian keadaannya maka tidak dapat menguatkan hadits tersebut. Dan berhujjah dengan hadits lemah dalam masalah aqidah adalah haram dengan ijma’ para ulama.

Syubhat 6. Hadits Umar bin Al Khathab yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Dalaail An Nubuwwah, bahwa rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا رب أسألك بحق محمد إلا ما غفرت لي فقال الله تعالى كيف عرفت محمداً ولم أخلقه قال : يا رب إنك لما خلقتني رفعت رأسي فرأيت على قوائم العرش مكتوباً : لا إله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى اسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله تعالى : صدقت يا آدم أنه لأحب الخلق إلي وإذا سألتني بحقه فقد غفرت لك ولولا محمد ما خلقتك ] رواه الحاكم وصححه .
Ketika Adam telah melakukan dosa, ia berkata: “Ya Rabb, aku memohon kepadaMu dengan melalui hak Muhammad agar Engkau ampuni dosaku”. Allah berfirman kepadanya: “Bagaimana kamu mengetahui Muhammad padahal Aku belum menciptakannya?” Adam berkata: “Ya Rabb, sesungguhnya ketika Engkau telah menciptakanku, aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat pada tiang Arasy tertulis: Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah, maka aku mengetahui bahwa nama yang Engkau sebutkan itu adalah makhluk yang paling Engkau cintai”. Allah berfirman: “Kamu benar wahai Adam, sesungguhnya ia adalah makhluk yang paling Aku cintai, apabila kamu meminta kepadaku dengan melalui haknya, Aku akan mengampunimu, dan kalau bukan karena Muhammad aku tidak akan menciptakanmu”. (HR Al Hakim).

Jawab:
Hadits ini dikeluarkan oleh Al hakim dalam Al Mustadrak (2/615) dari jalan Abul harits Abdullah bin Muslim Al Fihri haddatsana Isma’il bin Maslamah telah mengabarkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Al Khathab secara marfu’. Kemudian Al Hakim setelah itu berkata: “Sanadnya shahih, ia adalah hadits pertama yang aku sebutkan untuk Abdurahman bin Zaid bin Aslam dalam kitab ini”.
Namun Adz Dzahabi mengomentari: “Justru hadits ini maudlu’ (palsu), dan Abdurrahman waahin (sangat lemah), dan Abdullah bin Muslim Al Fihri tidak aku ketahui siapa dia”.
Al Hafidz ibnu Hajar berkata dalam lisanul Mizan (4/358): “Abdullah bin Muslim Abul Harits Al Fihri, meriwayatkan dari Isma’il bin Maslamah bin Qa’nab dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam sebuah kabar yang batil, disebutkan di dalamnya: “..dan kalau bukan karena Muhammad aku tidak akan menciptakanmu”. Dan dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Dalaail An Nubuwwah”.
Dan Ath Thabrani meriwayatkan dalam Al Mu’jamul Ausath (6/313) dari jalan Abdullah bin Isma’il Al Madani dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya dari Umar bin Al Khathab. Namun jalan ini masih ada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang disepakati kedla’ifannya oleh para ulama, ibnul Jauzi berkata: “Para ulama telah bersepakat akan kelemahannya”.[3]
Dan Al Hakim yang mengatakan shahih sanadnya, seakan beliau lupa kepada perkataannya sendiri dalam kitab Al madkhal: “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits maudlu’ (palsu), tidak tersembunyi bagi ahli hadits bahwa yang seharusnya dihujat adalah dia”.[4] Dan perkataan Al Hakim ini dikatakan juga oleh Abu Nu’aim.[5]
Dan hadits ini dinyatakan maudlu’ oleh Adz Dzahabi, dan dinyatakan batil oleh Al Hafidz ibnu Hajar sebagaimana telah kita sebutkan.

Syubhat 7: Kisah Abu Ja’far Al Manshur yang bertanya kepada imam Malik:
يا أيا عبد الله أأستقبل القبلة وأدعو أم استقبل رسول الله ( فقال : ولم تصرف وجهك عنه وهو وسيلتك ووسيلة أبيك آدم عليه السلام إلى يوم القيامة ، بل استقبله واستشفع به .
“Wahai Abu Abdillah, apakah aku menghadap kiblat ketika berdo’a atau menghadap Rasulullah?” beliau menjawab: “Mengapa engkau memalingkan wajahmu dari Rasulullah? Padahal ia adalah wasilahmu dan wasilah ayahmu Adam ‘alaihissalam sampai hari kiamat. Menghadaplah kepadanya dan mintalah syafa’atnya”.

Jawab:
Pertama: Kisah ini berasal dari periwayatan Muhammad bin Humaid Ar Raazi, ia dianggap tsiqah oleh sebagian ulama, dan di anggap lemah bahkan pendusta oleh ulama lain.
Adapun yang menganggapnya Tsiqah adalah Yahya bin Ma’in, dan imam Ahmad memujinya, demikian pula Adz Dzuhli.
Adapun yang mencelanya adalah jumhur (mayoritas) ulama, bahkan banyak yang menganggapnya berdusta seperti Abu hatim, An nasai, dan Abu Zur’ah, bahkan ibnu Kharrasy sampai bersumpah dengan nama Allah bahwa ia adalah pendusta. Shalih bin muhammad Al Asadi berkata: “Tidak pernah aku melihat orang yang paling pandai berdusta dari dua orang yaitu Sulaiman Asy Syadzakuuni, dan Muhammad bin humaid”.
Abu Ali An Niisabuuri berkata: “Aku berkata kepada ibnu khuzaimah: “kalaulah ustadz meriwayatkan dari Muhammad bin humaid, karena Ahmad memujinya dengan kebaikan ?” beliau berkata: “Sesungguhnya ia (Ahmad) tidak mengenalnya, kalaulah ia mengenalnya sebagaimana kami mengenalnya, niscaya beliau tidak akan memujinya selama-lamanya”.
dan Abu Nu’aim bin ‘Adi menjelaskan kisah menunjukkan bukti kedustaan Muhammad bin humaid, beliau berkata: “Aku mendengar Abu Hatim Ar Razi di rumahnya, dan di sisinya ada ibnu Kharrasy dan beberapa masyayikh dari penduduk Rayy dan hafidznya, lalu mereka menyebutkan ibnu Humaid, maka mereka bersepakat bahwa ia sangat dla’if dalam hadits, ia suka menyampaikan hadits yang tidak pernah ia dengar, ia suka mengambil hadits-hadits penduduk Bashrah dan Kufah dan menyampaikannya dari penduduk Razi”.
Demikian juga yang dikisahkan oleh Abu hatim Ar Razi sebagaimana disebutkan semua itu oleh Al Hafidz ibnu hajar dalam kitab Tahdzibut Tahdziib (9/127-131).
Dalam kaidah Al Jarhu wat Ta’diil disebutkan bahwa jarh (celaan) yang ditafsirkan lebih didahulukan dari ta’dil (pujian) yang mubham (tidak ditafsirkan). Maka kita lebih mendahulukan pendapat ulama yang menjarhnya, karena jarh mereka mufassar. Dan bisa kita simpulkan bahwa Muhammad bin humaid ini sangat dla’if kalau bukan pendusta.
Kedua: Muhammad bin Humaid tidak ada seorang ulamapun yang menyebutkan bahwa ia meriwayatkan dari imam Malik, terlebih imam Maik meninggal pada tahun 179H, dan Muhammad bin Humaid meninggal pada tahun 248H, dan ia tidak keluar menuntut ilmu kecuali setelah besar bersama ayahnya, sehingga periwayatannya terputus.
Ketiga: Periwayatan ini bertentangan dengan yang masyhur dari madzhab imam Malik, yaitu bahwa orang yang masuk ke masjid Nabawi, bila ia ingin mengucapkan salam kepada Nabi, hendaklah ia menghadap ke kubur Nabi dan mendo’akannya, dan apabila ia ingin berdo’a untuk dirinya sendiri maka hendaklah ia menghadap kiblat dan tidak menghadap kubur.

Syubhat 8: Hadits Fathimah bintu Asad ketika meninggal dunia, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendo’akannya:
الله الذي يحيى ويميت وهي حي لا يموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلي فإنك أرحم الراحمين .
“Allah yang menghidupkan dan mematikan dan Dia senantiasa hidup dan tidak akan mati, ampunilah ibuku Fathimah bintu Asad dan kuatkan hujjahnya, luaskan kuburnya, melalui hak NabiMu dan para Nabi sebelumku, sesungguhnya Engkau paling penyayang dari para penyayang”.

Jawab:
Hadits ini dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (24/351) dan Al Ausath (1/67 no 189): haddatsana Ahmad bin Hammad bin Zaghbah haddatsana Ruh bin Shalah haddatsana Sufyan Ats Tsauri dari ‘Ashim Al Ahwal dari Anas bin Malik.
Tampak kepada kita sanad hadits ini lemah, karena Ruh bin Shalah walaupun dianggap tsiqah oleh ibnu Hibban dan Al Hakim, namun jumhur ulama menganggapnya dla’if, berikut perkataan mereka sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Lisanul Mizan (3/311):
Ruh bin Shalah Al mishri dikatakan: ibnu Sayyabah, didla’ifkan oleh ibnu Adi, kunyahnya Abul Harits, ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqaat, Al Hakim berkata: “Tsiqah ma’mun”.. ibnu Yunus menyebutkannya dalam Tarikh Al Ghuraba, dan beliau berkata: “Ia (Ruh) dari penduduk Maushil lalu datang ke Mesir dan menyampaikan hadits di sana, telah diriwayatkan darinya periwayatan-periwayatan yang mungkar”.. Ad darquthni berkata: “Dla’if dalam hadits”. Ibnu Makula berkata: “Mereka mendla’ifkannya”. Ibnu Adi berkata: “Ia mempunyai banyak hadits, pada sebagiannya terdapat nukrah (kemunkaran)”.
Perhatikanlah, walaupun ia dianggap tsiqah oleh ibnu Hibban dan Al Hakim, namun perkataan keduanya tidak dapat diuggulkan karena dua perkara:
  1. Ibnu Hibban dan Al hakim adalah ulama yang gampang menganggap tsiqah perawi, dan ini masyhur bagi orang yang mempelajari ilmu hadits, seringkali keduanya menganggap tsiqah perawi-perawi yang lemah.
  2. Yang mendla’ifkannya menjelaskan sebab kelemahannya, yaitu banyak periwayatannya yang munkar, dan kaidah ilmu Al Jarh wat ta’dil berkata: “Jarh yang ditafsirkan lebih didahulukan dari ta’dil yang mubham”.
Kesimpulannya bahwa Ruh bin Shalah ini adalah perawi yang lemah, maka hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah karena kelemahannya, dan dalam masalah aqidah tidak diterima hadits yang lemah dengan kesepakatan seluruh ulama.



[1] Tahdzibut Tahdzib 7/225.
[2] Mizanul i’tidal 4/327.
[3] Tahdzibuttahdziib  6/179.
[4] Al Madkhal ilaa Ash Shahiih 1/154.
[5] Tahdzibuttahdziib  6/179.