Sunday, February 16, 2014

Menepis Syubhat Pembela Tawassul Yang Haram 5

Syubhat 18. Hadits Sawad bin Qarib:
روى الطبراني في الكبير أن سواد بن قارب ( أنشد الرسول ( قصيدته التي فيها التوسل ، ( يقول الدحلان ) : ولم ينكر الرسول عليه ومنها قوله :
وأشهد أن الله لا رب غيره
وأنك أدنى المرسلين وسيلة
فمرنا بما يأتيك يا خير مرسل
وكن لي شفيعاً يوم لا ذو شفاعة
At Thabrani meriwayatkan dalam mu’jam kabirnya bahwa Sawad bin Qarib melantunkan qashidah di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang di dalamnya terdapat tawassul dan ternyata Nabi tidak mengingkarinya:
Aku bersaksi bahwa Allah tidak ada Rabb selainNya.
Dan sesungguhnya engkau adalah rasul yang paling dekat wasilahnya.
Maka perintahkan dengan apa yang datang kepadamu wahai sebaik-baiknya rasul.
Dan jadilah pemberi syafaat kepadaku pada hari tidak ada yang mempunyai syafaat.

Jawab:
Pertama: Hadits ini bila shahih, sama sekali tidak menunjukkan kepada bolehnya tawassul melalui Rasulullah setelah beliau wafat, karena shahabat ini datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semasa hidupnya. Dan sesuatu yang tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan memberi syafa’at untuk umatnya pada hari kiamat dengan idzin Allah Ta’ala.
Kedua: sanad hadits ini lemah dari seluruh jalannya, penjelasannya sebagai berikut[1]:
  1. Riwayat Al Baihaqi dalam Dalaail An Nubuwwah, di dalam sanadnya terdapat Ziyad bin Yazid, dan Muhammad bin Tarras Al Kuufi, Adz Dzahabi berkata: “Hadits ini sangat mungkar, Muhammad bin Tarras dan Ziyad adalah majhul dan periwayatannya tidak diterima”. Beliau menambahkan: “Aku khawatir bila hadits ini dipalsukan atas Abu bakar bin Ayyasy.
  2. Riwayat Abu Ya’la, dan disebutkan oleh ibnu Katsir dalam siyarnya, dan beliau berkata: “Sanad ini terputus dari jalan ini”. Dan Adz Dzahabi dalam Tarikhnya menjelaskan: “Abu Abdirrahman namanya Utsman bin Abdurrahman Al Waqqashi, ia disepekati oleh para ulama untuk ditinggalkan (matruk), dan Ali bin Manshur majhul, selain haditsnya juga terputus.
  3. Riwayat ibnu Adi, Adz Dzahabi berkata: “Di dalamnya ada Sa’id, ia berkata: “Mengabarkan kepadaku Sawad bin Qarib, dan antara keduanya terputus. Dan Abbad laisa bi tsiqah dan membawa bencana”.
  4. Riwayat Muhammad bin As Saib Al Kalbi, ibnu Katsir berkata dalam sirahnya: “Muhammad bin As Saib Al Kalbi tertuduh berdusta, dan dituduh sebagai rafidlah”. Sebagaimana juga disebutkan dalam At Taqrib.
  5. Riwayat Al Fadll bin Isa Al Qurasyi dari Al ‘Alaa bin Yaziid, As Suuthi dalam kitab syarah Syawahid Al Mughni berkata: “Al ‘Alaa bin Yazid dikatakan oleh Al Madiini: “Ia suka memalsukan hadits”. Al Bukhari dan lainnya berkata: “Munkar haditsnya”. Ibnu Hibban berkata: “Ia meriwayat naskah yang palsu”. Dan Adz Dzahabi menyebutkan dalam Al mizan beberapa kemungkarannya.
  6. Riwayat Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya dari Jalan Al Hasan bin ‘Imaarah, As Suyuthi dalam syarah syawahid Al Mughni berkata: “Al Hasan bin ‘Imarah sangat lemah”. Al Hafidz ibnu Hajar berkata: “Matruk”.

Syubhat 19: Hadits yang disebutkan oleh imam An Nawawi dalam kitab al adzkar:
أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر أن يقول العبد بعد ركعتي الفجر ثلاثاً : اللهم رب جبرائيل وميكائيل وإسرافيل ومحمد أجرني من النار .
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh setelah shalat dua rakaat fajar untuk membaca tiga kali: Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail, Israfil, dan Muhammad, lindungi aku dari Neraka”.

Jawab:
Hadits ini tidak menunjukkan kepada tawassul melalui Jibril, Mikail, Israfil, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena Nabi berdo’a langsung kepada Allah Rabb semesta alam, karena Allah adalah Rabb Jibril, Mikail, Israfil, dan Muhammad, seperti halnya bila kita berkata: “Ya Allah Rabb Langit dan Bumi, Rabb seluruh manusia dan Jinn”. Apakah berarti kita bertawassul dengan langit dan bumi dan seluruh manusia?! Tentu tidak.

Syubhat 20. Hadits Abu Hurairah secara marfu’:
لولا عباد ركع وبهائم رتع لصب عليكم العذاب صباً .
“kalau bukan karena para hamba yang ruku’ dan binatang-binatang ternak, tentu Allah akan menimpakan adzab kepada kamu”. (HR Al Baihaqi).

Jawab:
Pertama: Hadits ini jika shahih tidak menunjukkan kepada tawassul sama sekali, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengabarkan bahwa adzab itu terhindar karena adanya para hamba yang ta’at dan binatang-binatang yang berdo’a.
Kedua : Hadits ini adalah hadits yang lemah, penjelasannya sebagai berikut: Hadits ini dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam sunannya (3/345) dari jalan Ibrahim bin Khutsaim yakni ibnu ‘Arrak bin Malik dari ayahnya dari kakeknya dari Abu Hurairah dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.. alhadits. Namun ibnu At Turkumani mengomentari: “Di Dalam sanadnya terdapat ibnu Khutsaim, Al Baihaqi berkata: “Ghairu qawiyy (tidak kuat)”. Dan para pakar ilmu ini mengomentarinya dengan nada keras, An Nasai berkata: “Matruk”. Abul Fath Al Azdi berkata: “Kadzaab (tukang berdusta)”..
Tetapi hadits ini mempunyai jalan lain, dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (22/309), dan juga Al Baihaqi dalam sunannya (3/345) dari jalan Abdurrahman bin Sa’ad Al Muadzin dari malik bin Ubaidah Ad Diili dari ayahnya dari kakeknya secara marfu’.
Namun sanadnya lemah, karena Malik bin Ubaidah dikatakan oleh Yahya bin Ma’in: “Aku tidak mengenalnya”.[2] Dan Abdurrahman bin Sa’ad Al muadzin di dla’ifkan oleh ibnu Ma’in dan Al Hafidz ibnu hajar berkata dalam taqribnya: “Dla’if”. Dan jalan ini tidak dapat menguatkan jalan sebelumnya karena sangat lemah sehingga tidak dapat mengangkat derajatnya.

Syubhat 21. Hadits Abu Bakar Ash Shiddiq:
يروى عن عبد الملك بن هارون بن عنترة عن أبيه عن جده أن أبا بكر الصديق أتى النبي فقال : إني أتعلم القرآن ويتفلت مني فقال له رسول الله : قل اللهم إني أسألك بمحمد نبيك وإبراهيم خليلك وبموسى نبيك وعيسى روحك وكلمتك وبتوراة موسى وإنجيل عيسى وزبور داود وفرقان محمد بكل وحي أوحيته وقضاء قضيته .
Diriwayatkan dari Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah dari ayahnya dari kakeknya bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Sesungguhnya aku mempelajari Al Qur’an namun mudah lepas dari (hafalan)ku”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: katakanlah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon melalui Muhammad NabiMu, dan Ibrahim kekasihMu, dan dengan melalui Musa NabiMu dan Isa ruhMu dan kalimatmu, dan melalui taurat Musa, injil Isa, Zabur Dawud, dan furqan Muhammad dengan seluruh wahyu yang Engkau wahyukan, dan kebutuhan yang Engkau penuhi”.

Jawab:
Hadits ini berasal dari periwayatan Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah dari ayahnya, Ad Daraquthni berkata: “Keduanya dla’if”. Yahya bin Ma’in berkata: “Kadzaab (Tukang berdusta)”. Abu Hatim berkata: “Matruk dzahib hadits”. Ibnu Hibban berkata: “Suka memalsukan hadits”.[3] Bila keadaannya demikian maka hadits ini adalah hadits yang palsu, dan dinyatakan kepalsuannya oleh syaikhul islam dalam Majmu fatawa (1/525).

Syubhat 22. Hadits do’a menghafal Al Qur’an:
ذكره موسى بن عبد الرحمن الصنعاني صاحب التفسير بإسناده عن ابن عباس مرفوعاً أنه قال : من سره أن يوعيه الله حفظ القرآن وحفظ أصناف العلم فليكتب هذا الدعاء في إناء نظيف في صحف قوارير بعسل وزعفران وماء مطر وليشربه على الريق وليصم ثلاثة أيام وليكن إفطاره عليه ويدعو به في أداء صلواته : اللهم إني أسألك بأنك مسؤول لم يسأل مثلك ولا يسأل وأسألك بحق محمد نبيك وإبراهيم خليلك وموسى روحك وكلمتك ووجيهك وذكر تمام الدعاء .
Disebutkan oleh Musa bin Abdurrahman Ash Shan’ani pemilik kitab tafsir dengan sanadnya dari ibnu Abbas secara marfu’ bahwa ia berkata: “Barang siapa yang ingin dimudahkan oleh Allah untuk menghafal Al Qur’an dan menghafal berbagai macam ilmu, hendaklah ia menulis do’a berikut ini dalam bejana yang bersih, dalam lembaran botol dengan dicampur madu, za’faran, dan air hujan untuk diminum dan hendaklah ia berpuasa tiga hari, dah hendaklah ia berbuka dengannya dan ketika shalat ia berdo’a dengannya: Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu bahwasannya Engkaulah yang berhak diminta, tidak dimintai sesuatu sepertiMu, aku memohon kepadamu melalui hak muhammad NabiMu, dan Musa RuhMu, kalimatMu dan wajihMu… sampai akhir do’a.

Jawab:
Musa bin Abdurrahman Ash Shan’ani adalah penyakit kabar ini, ibnu Hibban berkata: “Dia Dajjal dan memalsukan hadits atas ibnu Juraij dari ‘Athaa dari ibnu Abbas sebuah kitab dalam tafsir yang ia kumpulkan dari perkataan Al Kalbi dan Muqatil”.[4] Dan As Suyuthi menganggapnya sebagai hadits yang palsu dan memasukkannya dalam kitab Al Laali al Mashnuu’ah (2/356), juga dinyatakan kepalsuannya oleh ibnu ‘Arraaq dalam kitab Tanzih Asy Syari’ah (2/322).

Syubhat 23. Kisah kaum Yahudi yang bertawassul dengan Nabi Muhamad untuk mengalahkan kaum musyrikin:
يروي عن عبد الملك بن هارون بن عنترة عن أبيه عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال : كانت يهود خيبر تقاتل غطفان فكلما التقوا هزمت يهود فعاذت بهذا الدعاء : اللهم إنا نسألك بحق محمد النبي الأمي الذي وعدتنا أن تخرجه لنا آخر الزمان إلا نصرتنا عليهم فكانوا إذا دعوا بهذا الدعاء هزموا غطفان فلما بعث النبي ( كفروا به فأنزل الله تعالى : ( وكانوا من قبل يستفتحون على الذين كفروا )
Diriwayatkan dari Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah dari ayahnya dari Sa’id bin Jubair dari ibnu Abbas, ia berkata: “Dahulu, kaum Yahudi perang melawan ghathafan dan selalu kalah dalam peperangan, maka mereka berlindung dengan do’a ini: “Ya Allah, sesungguhnya Kami memohon kepadaMu dengan melalui hak Muhammad Nabi yang Ummiy yang Engkau janjikan kepada kami di akhir zaman, agar Engkau menangkan kami atas mereka. Dan mereka apabila berdo’a dengan do’a ini dapat mengalahkan ghathafan, namun ketika Nabi diutus, mereka kafir kepadanya, maka Allah turunkan ayat ini: “Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir..

Jawab:
Hadits ini berasal dari periwayatan Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah dari ayahnya, dan telah kita jelaskan pada bantahan terhadap syubhat yang ke 21 bahwa ia adalah perawi yang suka bedusta, sehingga kabar ini adalah palsu. dan Al Hakim dalam Al madkhal berkata: “Abdul malik bin Harun bin ‘Antarah Asy Syaibani meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits palsu”.
Dan di antara bukti yang menunjukkan kepalsuan kabar ini juga adalah bahwa ayat ini turun untuk Yahudi yang berada di madinah, dan Yahudi tidak pernah berperang melawan Ghathafan sekalipun.
Dan kalaupun misalnya kisah ini shahih, maka perbuatan Yahudi bukan dalil, justru kita jadikan dalil bahwa tawassul seperti ini adalah perbuatan kaum Yahudi yang dimurkai oleh Allah Ta’ala.

Syubhat 24. Hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, ia berkata:
سألت أن يشفع لي يوم القيامة فقال : ( أنا فاعل ).
“Aku meminta (kepada Rasulullah) agar memberikan syafaat kepadaku pada hari kiamat”. Beliau bersabda: “Aku akan melakukannya”.

Jawab:
Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu bukan sedang bertawassul kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah matinya, namun Anas datang kepada beliau semasa hidupnya dan memohon agar beliau memberi syafa’at kepadanya pada hari kiamat kelak. Dan sabda Rasulullah: “Aku akan melakukannya”. Tentunya dengan idzin Allah dan keridlaanNya, dan para shahabat adalah generasi yang paling berhak mendapatkan syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, disebabkan oleh keimanan dan tauhid mereka yang amat kokoh, dan syafa’at Rasulullah hanya di dapat oleh orang yang tidak pernah mempersekutukan Allah, sebagaimana dalam hadits:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصَةً مِنْ قِبَلِ نَفْسِه
“Orang yang paling berbahagia mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan dari dirinya”. (HR Bukhari).
Maka hadits ini sama sekali tidak menunjukkan kepada bolehnya bertawassul kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau wafat.

Syubhat 25. Puisi Shafiyah bintu Abdil Muthalib.
ألا يا رسول الله أنت رجاؤنا
وكنت بنا براً ولم تك جافياً
ففيها النداء بعد وفاته مع قولها ( وأنت رجاؤنا ) وسمع تلك المرثية الصحابة ( فلم ينكر عليها أحد قولها : يا رسول الله أنت رجاؤنا .
Engkaulah wahai Rasulullah harapan kami
Yang selalu berbuat baik dan tidak bersikap dingin kepada kami
Mereka berkata: “Tidak ada satupun shahabat yang mengingkari perkataan Shafiyyah yang mengatakan: “Engkaulah wahai Rasulullah harapan kami”.

Jawab:
Dalam sya’ir di atas terdapat perubahan fatal, karena imam Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (9/39) dengan lafadz:
ألا يا رسول الله كنت رجاؤنا
وكنت بنا براً ولم تك جافياً
Wahai Rasulullah dahulu engkau harapan kami
Yang selalu berbuat baik dan tidak bersikap dingin kepada kami
Dan ini lafadz yang benar, dan lafadz yang benar ini justru menjadi dalil bahwa Shafiyyah membedakan antara masa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan setelah mati beliau, karena kata: “Kunta” menunjukkan kepada kejadian yang telah berlalu, namun mereka (para pembela tawassul syirik) kemudian merubahnya dengan lafadz “anta” agar lafadz tersebut dapat dipakai dalil bolehnya tawassul dengan Rasulullah setelah wafatnya. Demikianlah hawa nafsu bila berbicara, akan merusak agama.

Syubhat 26. Mimpi imam At Tirmidzi.
ذكر طاهر بن هاشم با علوي في كتابه المسمى (( مجمع الأحباب )) في ترجمة الإمام أبي عيسى الترمذي صاحب السنن أنه رأى في المنام رب العزة فسأله عما يحفظ عليه الإيمان حتى يتوفاه عليه قال : فقال لي : قل : إلهي بحرمة الحسن وأخيه وجده وبنيه وأمه وأبيه نجني من الغم الذي أنا فيه يا حي يا قيوم يا ذا الجلال والإكرام أسألك أن تحيي قلبي بنور معرفتك يا الله يا الله يا أرحم الراحمين .
Thahir bin Hasyim Ba’alwi menyebutkan dalam kitabnya “Majma’ul ahbaab” dalam biografi Abi Isa At Tirmidzi penulis kitab sunan, bahwa ia bermimpi bertemu dengan Allah, dan bertanya kepadaNya tentang sesuatu yang dapat menjaga keimanannya sampai wafat, maka Dia berkata: “Katakanlah: “Ilahi, dengan melalui kehormatan Al Hasan, saudaranya, kakeknya, anak-anaknya, ibu dan ayahnya, selamatkan aku dari kegundahan yang sedang menimpaku, wahai yang Maha hidup lagi berdiri sendiri, wahai yang mempunyai keagungan dan kemuliaan, aku memohon kepadaMu agar menghidupkan hatiku dengan cahaya ma’riftmu, ya Allah ya Allah ya arhamarrahimiin”.

Jawab:
Pertama: Kisah ini tidak ditemukan padanya sanad yang shahih sampai kepada imam At Tirmidzi, besar kemungkinan kisah ini dibuat oleh orang-orang sufi yang tidak bertanggung jawab.
Kedua: Mimpi bukanlah dalil untuk dijadikan sandaran dalam menentukan hukum syari’at, karena sandaran kita adalah Al Qur’an dan hadits yang shahih.

Syubhat 27. Tawassul imam Asy Syafii melalui Abu Hanifah di sisi kuburannya.
قال ابن حجر المكي في كتابه المسمى ( بالخيرات الحسان ) في مناقب أبي حنيفة النعمان في الفصل الخامس والعشرين أن الإمام الشافعي أيام هو ببغداد كان يتوسل بالإمام أبي حنيفة ( يجيء إلى ضريحه يزور فيسلم عليه ثم يتوسل إلى الله به في قضاء حاجاته .
ibnu Hajar Al Makki dalam kitabnya “Al Khairaatul hisaan” menyebutkan manaqib Abu Hanifah pada fasal 25, bahwa imam Asy Syafii ketika berada di baghdad bertawassul melalui imam Abu Hanifah, beliau mendatangi kuburannya dan mengucapkan salam kemudian bertawassul kepada Allah dengannya untuk memenuhi kebutuhannya.

Jawab:
Pertama: Kisah ini diriwayatkan oleh Al khathiib Al baghdadi dalam tarikh baghdad dari jalan Umar bin Ishaq bin Ibrahim, memberitahukan kepada kami Ali bin Maimun, aku mendengar Asy Syafi’i berkata: “Aku suka bertabarruk dengan kuburan Abu hanifah, aku mendatangi kuburannya setiap hari, apabila ada kebutuhan aku shalat dua raka’at dan mendatangi kuburannya, lalu aku memohon kepada Allah hajatku di sisinya, tak lama setelah itu hajatku dipenuhi”.
Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ishaq bin Ibrahim, tidak diketahui siapa ia, dan tidak juga disebutkan beografinya dalam kitab-kitab rijaal[5], sehingga kisah ini adalah kisah yang lemah bahkan batil.
Kedua: Syaikhul islam rahimahullah berkata dalam kitab iqtidla ash shirathil mustaqim (1/343-344): “Ini adalah kedustaan yang nyata, orang yang mempunyai pengetahuan yang rendah saja dapat memastikan kedustaannya, karena Asy Syafi’i ketika datang ke kota Baghdad, tidak ada di kota Baghdad kuburan yang selalu dikunjungi untuk berdo’a di sisinya, bahkan di zaman imam Asy Syafi’i perbuatan tersebut tidak dikenal, padahal imam Asy Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq dan Mesir kuburan para Nabi, para shahabat dan para Tabi’in yang menurut kaum muslimin lebih utama dari Abu Hanifah dan ulama yang selevel dengannya, lalu ada apa imam Asy Syafi’i hanya berdo’a di sisi kuburan Abu hanifah saja?!
Kemudian shahabat-shahabat Abu Hanifah yang bertemu dengannya seperti Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, Al Hasan bin Ziyad, dan lainnya tidak pernah berdo’a di sisi kuburan Abu Hanifah, tidak juga kuburan lainnya. Terlebih imam Asy Syafi’i mengharamkan mengagungkan kuburan makhluk karena khawatir akan menimbulkan fitnah terhadap kuburan. Orang yang membuat kisah ini hanyalah orang yang dangkal ilmu dan agamanya, atau dinukil dari orang yang tidak dikenal siapa ia”.

Syubhat 28. Tawassul imam Asy Syafi’i dengan ahlul bait.
ذكر ابن حجر المكي في كتابه المسمى : بالصواعق المحرقة لإخوان الضلال والزندقة أن الإمام الشافعي ( توسل بأهل البيت النبوي حيث قال :
آل النبي ذريعتي
أرجو بهم أعطي غداً
وهم إليه وسيلتي
بيدي اليمين صحيفتي
Ibnu hajar Al Makki menyebutkan dalam kitabnya “Ash Shawa’iq Al Muhriqah” bahwa imam Asy Syafi’i bertawassul dengan ahli bait Nabi, ia berkata:
Keluarga Nabi pengantarku
Aku berharap besok melalui mereka diberi
Dan merekalah wasilahku kepadaNya
Di tangan kananku shahifahku.

Jawab:
Pertama: Kisah ini termasuk jenis kisah di atas, dan tidak diketahui sanad yang shahih kepada imam Asy Syafi’i, sehingga tidak mungkin dipastikan bahwa ini adalah perkataan imam Asy Syafi’i rahimahullah, boleh jadi kisah ini dibuat kaum sufi untuk menguatkan pendapatnya, dengan cara berdusta terhadap imam Asy Syafi’i. Dan yang kita ketahui dari imam Asy Syafi’i, beliau adalah imam yang sangat kuat berpegang kepada sunnah, sampai-sampai para ulama di zamannya memberikan beliau julukan: pembela sunnah, jadi sangat mustahil perkataan ini berasal dari perkataan beliau.
Kedua: Imam Asy Syafi’i bukanlah dalil yang menjadi sandaran dalam menentukan hukum syari’at, akan tetapi sandaran kita adalah Al Qur’an dan sunnah.

Syubhat 29. Atsar ibnu Umar dan ibnu Abbas.
Ibnu Sunni meriwayatkan dengan sanadnya kepada Abu Syu’bah ia berkata: “Aku pernah berjalan dengan ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma, ternyata kaki beliau terasa berat dan beliaupun duduk, lalu ada seseorang berkata: “Sebutlah nama orang yang paling kamu sukai”. Ibnu Umar berkata: “Wahai Muhammad”. Maka beliau langsung bangkit dan berjalan.
Dan riwayat ibnu Abbas bahwa ada seorang laki-laki yang kakinya terasa berat, lalu ibnu Abbas berkata: “Sebutlah nama orang yang paling kamu cintai”. Ia berkata: “Muhammad”. Ternyata penyakitnya langsung hilang.

Jawab:
Pertama: Atsar ini bila shahih, tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Rasulullah setelah beliau wafat. Berkata Fadllullah Al Jiilaani: “Panggilan nama (Muhammad) yang ada pada sebagian Riwayat tidak menunjukkan untuk isti’anah (meminta pertolongan) atau istighatsah, akan tetapi maksudnya adalah memperlihatkan kerinduan dan menyalakan api cinta, karena mengingat orang yang tercinta dapat menghangatkan hati dan memberikan dorongan semangat, sehingga dapat menghilangkan darah yang membeku dan melancarkan aliran darah, dan inilah yang dinamakan kegembiraan”.[6]
Kedua: Atsar ini bermakna umum, yaitu menyebut orang yang paling dicintai, maka bila misalnya seorang lelaki atau wanita yang sedang jatuh cinta kepada seseorang, kemudian ia menyebut nama orang tersebut walaupun fasiq, apakah ini menunjukkan bolehnya bertawassul dengan orang tersebut, tentu tidak !!
Ketiga: Atsar ibnu Umar dan ibnu Abbas ini adalah atsar yang lemah, penjelasannya sebagai berikut:
Adapun atsar ibnu Umar, berporos kepada Abu ishaq As Sabii’i, walaupun ia perawi tsiqah namun ia adalah mudallis, dan di sini ia meriwayatkan dengan lafadz ‘an, sedangkan perawi mudallis bila meriwayatkan dengan lafadz ‘an tidak diterima. Dan sanadnya juga mudltharib (guncang), karena Abu Ishaq terkadang meriwayatkan dari Al Haitsam bin Hanasy seorang perawi majhul dari ibnu Umar, terkadang ia meriwayatkan dari Abdurrahman bin Sa’ad Al Qurasyi dari ibnu Umar, terkadang ia meriwayatkan dari Abu Sa’id perawi yang tidak dikenal dari ibnu Umar, terkadang ia meriwayatkan dari seseorang yang mendengar dari ibnu Umar dan tidak menyebut namanya. Dan jalan-jalan ini tidak dapat dirajihkan karena para perawinya sama-sama kuat seperti Syu’bah, Sufyan Ats Tsauri, Israil dan Zuhair bin Mu’awiyah. Dan keguncangan ini berasal dari Abu Ishaq, karena ia perawi yang mukhthalith (berubah hafalannya).
Adapun atsar ibnu Abbas adalah palsu karena di dalam sanadnya terdapat Ghiyats bin Ibrahim, Abu Dawud berkata: “Kadzaab (tukang dusta)”. Ibnu Ma’in berkata: “Kadzaab khobiits (tukang dusta yang buruk)”.[7]

Syubhat 30. Qiyas dengan makhluk.
Mereka berkata: “Apabila kita ada kebutuhan kepada penguasa, tentu kita pergi kepada ajudannya terlebih dahulu, lalu dia menyampaikan pengaduan kita kepada penguasa. Demikian juga kami kepada Allah, kami bertawassul melalui para Nabi, para wali dan orang-orang pilihanNya, agar mereka menyampaikan kebutuhan kami kepadaNya.

Jawab:
Pernyataan seperti ini bila kita perhatikan, sebetulnya adalah penghinaan terhadap Allah Ta’ala, karena:
Pertama: Allah tidak serupa dengan hambaNya, hamba adalah lemah sehingga membutuhkan ajudan, sedangkan Allah Maha sempurna tidak membutuhkan ajudan.
Kedua: Raja yang membutuhkan ajudan menunjukkan ia tidak mengetahui keadaan orang yang datang kepadanya, sehingga ia butuh ajudan atau pemberi syafa’at ketika minta bantuan kepadanya. Sedangkan Allah Maha tahu keadaan hamba-hambaNya sehingga tidak perlu kepada ajudan dan tidak pula seseorang dapat memberi syafa’at kecuali dengan idzinNya.
Ketiga: Raja yang membutuhkan ajudan menunjukkan kelemahannya untuk menolak orang yang ingin bermakar dan menzaliminya, sedangkan Allah Maha kuat dan Maha mengetahui makar orang-orang yang ingin bermakar kepadanya.
Keempat: Seseorang dapat memberi syafa’at di sisi Raja tanpa harus dengan idzin raja, sedangkan Allah adalah pemilik syafa’at dan tidak ada yang dapat memberi syafa’at kecuali dengan idzinNya.
Kelima: Raja yang membutuhkan ajudan menunjukkan ia tidak mempunyai keinginan untuk memberikan manfaat kepada rakyatnya kecuali bila ada yang menggerakkannya dari ajudan atau orang-orang yang dekat dengannya.
Dan lima perkara ini menjelaskan kepada kita rusaknya analogi tersebut, bahkan mengandung penghinaan terhadap Allah yang tidak serupa dengan makhluk-makhlukNya.




[1]  At Tawashul ila haqiqatit Tawassul 1/271-272.
[2]  Mukhtashar Al Kamil fidl Dlu’afa 1/727.
[3]  Lisanul Mizan 4/71.
[4] Al Majruhin 2/242.
[5] Silsilah dla’ifah 1/78.
[6]  Fadllullah Ash Shomad 4/422.
[7] Tajriid At Tauhid hal. 136-137 karya Faishal bin Qazar Al Jasim.