Sunday, February 16, 2014

Menepis Syubhat Pembela Tawassul Yang Haram 3

Syubhat 9: Hadits orang buta yang bertawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
عن عثمان بن حنيف أن رجلاً ضريراً أتى النبي ( فقال : أدع الله أن يعافيني فقال : إن شئت دعوت وإن شئت صبرت وهو خير قال : فادعه فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه ويدعو بهذا الدعاء : اللهم إني أسألك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضي اللهم شفعه في . فعاد وقد أبصر  .
Dari Utsman bin Hanif bahwa ada seorang laki-laki buta datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku”. Beliau bersabda: “Jika kamu mau aku akan berdo’a dan jika kamu mau bersabar itu lebih baik”. Ia berkata: “Do’akanlah”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya berwudlu dan membaguskan wudlunya dan berdo’a dengan do’a ini: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu melalui NabiMu Nabi rahmat, wahai Muhammad aku menghadap kepada Rabbku melalui kamu agar hajatku dipenuhi, ya Allah berilah syafa’at untuknya terhadapku”. Maka penglihatannyapun kembali seperti semula”.

Jawab:
Sesungguhnya hadits ini hanya menunjukkan kepada tawassul yang disyari’atkan, yaitu bertawassul melalui orang shalih yang masih hidup dan hadir, karena orang buta ini datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semasa hidupnya, dan tidak pernah datang kepada beliau setelah matinya, kalaulah tujuan orang buta ini bertawassul kepada Nabi saja, tentu tidak perlu ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, cukup ia berdo’a di rumahnya saja. Jadi hadits ini sama sekali tidak menunjukkan bolehnya tawassul kepada Nabi setelah wafatnya.
Adapun tambahan: “Jika ada hajat, lakukanlah seperti itu lagi”. Tambahan ini diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah, walaupun ia perawi yang tsiqah, namun menyelisihi periwayatan perawi yang lebih tsiqah darinya, yaitu Syu’bah bin Al Hajjaj yang meriwayatkan dengan tanpa tambahan tersebut. Dan Syu’bah jauh lebih tsiqah dari Hammad bin Salamah sehingga tambahan tersebut dihukumi syadz yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang berlawanan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah dan syadz adalah salah satu macam hadits lemah.

Syubhat 10: Hadits seorang laki-laki yang mempunyai kebutuhan di sisi Utsman bin Affan.
روى الطبراني والبيهقي :كان يختلف إلى عثمان بن عفان رجل في زمن خلافته في حاجة  فكان لا يلتفت ولا ينظر إليه في حاجته . فشكا ذلك لعثمان بن حنيف فقال له : إئت الميضأة فتوضأ ثم ائت المسجد فصل ثم قل : اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضي وتذكر حاجتك فانطلق الرجل فصنع ذلك ثم أتى باب عثمان فجاء البواب فأخذ بيده فأدخله على عثمان فأجلسه معه وقال له اذكر حاجتك فذكر حاجته فقضاها ثم قال : ما كان لك من حاجة فاذكرها ثم خرج من عنده فلقي ابن حنيف فقال له جزاك الله خيراً ما كان ينظر لحاجتي حتى كلمته لي فقال ابن حنيف : والله ما كلمته ولكن شهدت رسول الله ( وأتاه ضرير فشكا إليه ذهاب بصره إلى أخر الحديث المتقدم أي ( حديث الأعمى ) .
Ath Thabrani dan Al Baihaqi meriwayatkan: Dahulu di zaman Utsman bin Affan ada seorang laki-laki yang suka mondar-mandir kepada Utsman bi Affan di zaman kekhilafahannya untuk suatu kebutuhannya, namun Utsman tidak memperdulikan dan tidak memperhatikannya. Maka laki-laki itu mengadu kepada Utsman bin Hanif, dan beliau berkata kepadanya: “Pergilah ke tempat wudlu dan berwudlulah lalu pergilah ke masjid dan shalatlah kemudian ucapkan: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu melalui NabiMu Nabi rahmat, wahai Muhammad aku menghadap kepada Rabbku melalui kamu agar hajatku dipenuhi”. Lalu sebutkan hajatmu. Laki-laki itupun pergi dan melaksanakan titahnya, setelah itu ia mendatangi rumah utsman bin Affan. Maka datanglah penjaga pintu dan memasukkannya kepada Utsman, dan utsman mendudukkan ia di sisinya dan berkata: “Sebutkan hajatmu!”, ia pun menyebutkannya dan Utsman pun memenuhi kebutuhannya, dan berkata: “Bila kamu ada kebutuhan lagi, sebutkan saja”. Lalu laki-laki itu pergi dan bertemu dengan Utsman bin Hanif, laki-laki itu berkata: “Jazakallahu khaira, Utsman memenuhi kebutuhanku karena kamu berbicara kepadanya untukku”. Utsman berkata: “Demi Allah, aku tidak berbicara dengannya, namun aku pernah melihat Rasulullah di datangi oleh seorang laki-laki buta dan meminta agar di do’akan kesembuhan.. lalu beliau menyebutkan hadits di atas.

Jawab:
Kisah ini diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir (9/30) dan shagirnya (1/306) dari jalan Abdullah bin Wahb dari Syabib bin Sa’id Al Makki dari Ruuh bin Al Qasim dari Abu Ja’far Al Khuthami Al madani dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif dari pamannya Utsman bin Haniif.
Dan periwayatan Abdullah bin Wahb dari Syabiib adalah lemah sebagaimana dikatakan oleh ibnu Adi dalam Al Kamil (4/31) beliau berkata: “Ibnu Wahb meriwayatkan dari Syabiib hadits-hadits yang munkar”. Oleh karena itu Al Hafidz ibnu Hajar berkata dalam Taqribnya: “La ba’sa haditsnya dari riwayat anaknya Ahmad darinya bukan dari riwayat ibnu Wahb”.
Namun ibnu Wahb dimutaba’ah oleh Isma’il dan Ahmad anak dari Syabiib bin Sa’id dari ayahnya Syabib bin Sa’id dari Ruh bin Al Qasim..dan seterusnya, diriwayatkan oleh Al baihaqi sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah[1].
Akan tetapi jalan ini tidak dapat diterima karena tiga alasan:
Pertama: Syabiib bin Sa’id ini periwayatannya diterima dengan dua syarat: (1)  Bila perawi darinya adalah anaknya yang bernama Ahmad bin Syabiib dan (2) ia (Syabib) meriwayatkan dari Yunus, Ibnu Adi berkata dalam Al kamil (4/31): “Syabib, apabila anaknya yang bernama Ahmad bin Syabib meriwayatkan darinya naskah Yunus dari Az Zuhri, maka hadits-haditsnya mustaqim (lurus)”. Dan kepada ini lah dibawa perkataan para ulama yang menganggapnya tsiqah, karena kaidah mengatakan: “Apabila perkataan yang mutlaq bertemu dengan perkataan yang muqayyad, maka yang mutlak dibawa kepada yang muqayyad”. Dan ini ditunjukkan juga oleh perbuatan imam Al Bukhari dalam shahihnya, dimana beliau hanya mengeluarkan periwayatan Syabib bin Sa’id bila ia meriwayatkan dari Yunus dan yang meriwayatkan darinya adalah anaknya yang bernama Ahmad bin Syabiib. Di sini ia meriwayatkan dari Ruh bin Al Qasim sehingga periwayatannya tetap lemah.
Kedua: ‘Aun bin ‘Imarah meriwayatkan dari Ruh bin Al Qasim dari Abu ja’far Al Kuthami.. dst, dengan tanpa kisah laki-laki yang mengadu kepada Utsman bin Hanif, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Hakim dalam mustadraknya, dan ‘Aun bin ‘Imarah ini lemah akan tetapi periwayatannya sesuai dengan periwayatan Syu’bah bin Al hajjaj dari Abu Ja’far Al Khuthami tanpa kisah tersebut, sehingga periwayatan ‘Aun lebih diunggulkan dari periwayatan Syabib, terlebih telah kita jelaskan bahwa periwayatan Syabib ini juga lemah karena meriwayatkan dari selain yunus.
Ketiga: ibnu Sunni meriwayatkan dalam kitab ‘Amalul Yaum Wallailah dan Al Hakim dalam mustadraknya dari tiga jalan[2] dari Ahmad bin Syabib dengan tanpa kisah itu juga, sehingga ini semakin menunjukkan bahwa kisah tersebut adalah merupakan wahm dari Syabib bin Sa’id. Wallahu a’lam.

Syubhat 11. Hadits:
إذا سألتم الله فسلوه بجاهي فإن جاهي عند الله عظيم
“Apabila kamu memohon kepada Allah, maka mintalah dengan melalui kedudukanku, karena kedudukanku di sisi Allah agung”.

Jawab:
Hadits ini batil tidak ada asalnya, karena tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab hadits manapun.
Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah Rahimahullah berkata: “Sebagian orang bodoh meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah melalui kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah adalah agung”. Hadits ini adalah dusta, tidak ditemukan dalam kitab-kitab kaum muslimin yang menjadi sandaran ahli hadits, tidak pula disebutkan oleh para ulama hadits seorangpun.
Dan kedudukan Rasulullah di sisi Allah paling agung dibandingkan kedudukan seluruh nabi dan rasul.. beliau pelaku syafa’at pada hari kiamat disaat Nabi Adam dan ulu ‘azmi tidak sanggup melakukannya, beliau adalah pemuka anak Adam, dan imam para Nabi.
Namun kedudukan makhluk di sisi Khaliq tidak sama dengan kedudukan makhluk di sisi makhluk, karena tidak ada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah kecuali dengan idzinNya.. adapun makhluk, ia memberi syafa’at di sisi makhluk walaupun tanpa idzinnya, sehingga ia menjadi sekutu baginya untuk meraih yang diinginkan, sedangkan Allah tidak ada sekutu bagiNya. Firman Allah yang artinya:

22. Katakanlah: ” serulah mereka yang kamu anggap (sebagai Tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.
23. Dan Tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu..(Saba : 22-23).[1]
Syaikhul islam juga berkata: “Dan yang diriwayatkan oleh sebagian orang awam: “Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah melalui kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah adalah agung”. Hadits ini adalah dusta dan palsu, tidak ada seorangpun ahli ilmu yang meriwayatkannya, tidak juga ada dalam kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan sandaran dalam agama. Jikalau mayat itu mempunyai keutamaan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam adalah orang yang paling berhak untuk mendapat semua keutamaan, dan para shahabatnya setelahnya. Kalaulah orang yang hidup dapat mengambil manfaat dari orang yang telah mati, maka para shahabat adalah orang yang paling berhak mendapat manfaat dari Nabi baik masih hidup maupun telah mati, sehingga dapat diketahui bahwa pendapat tersebut adalah sesat, walaupun sebagian syuyukh ada yang berpendapat demikian, namun itu adalah sebuah kesalahan, dan Allah akan mengampuni dosa mujtahid yang salah, dan ia bukan Nabi yang wajib diikuti pendapatnya, tidak juga ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dalam perintah dan larangannya, sedangkan    Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(An Nisaa : 59).[2]