Ahlus Sunnah menetapkan sifat-sifat Allâh yang ditetapkan oleh Allâh dalam al-Qur’an, atau ditetapkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang shahih. Mereka menetapkan sifat Allâh dengan tanpa tahrîf (merobah-robah), tanpa takyîf (menggambarkan hakekatnya), tanpa tamtsîl (menyerupakan dengan sifat makhluk), dan tanpa tafwîdh (menyerahkan makna kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ). Termasuk sifat yang ditetapkan adalah sifat qurb (kedekatan) Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan qurb khâs (kedekatan yang khusus, dan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala mendekat kepada sebagian hamba-Nya dengan sebenarnya, dengan tetap meyakini sifat fauqiyyah (keberadaan Allâh di atas seluruh makhluk) dan istiwa’ ‘alal arsy (keberadaan Allâh di atas Arsy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata ketika menjelaskan pendapat-pendapat orang tentang nash-nash sifat, “Adapun golongan keempat: mereka adalah salaf (para pendahulu) dan para imam umat ini. Mereka adalah para imam ilmu dan agama, dari kalangan tokoh-tokoh ilmu dan ibadah. Mereka menetapkan dan mengimani seluruh yang dibawa al-Kitab dan as-Sunnah, dengan tanpa merubah kalimat-kalimat. Mereka menetapkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit-Nya, dan bahwa Dia berada di atas arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, dan semua makhluk terpisah dari-Nya. Demikian juga Allâh Azza wa Jalla bersama semua hamba dengan ilmu-Nya, bersama para Nabi dan para wali-Nya dengan pertolongan, pembelaan, dan kecukupan. Dan Allâh Azza wa Jalla juga Qarîb (Maha Dekat) Mujîb (Maha Mengabulkan doa)”. [Majmû’ Fatâwâ, 5/231]
LAFAZH JAMA’(BANYAK)
Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyebut lafazh qurb (dekat) dengan dua bentuk: bentuk jama’ (banyak) dan bentuk mufrad (tunggal).
Adapun bentuk jama’ (banyak) adalah seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. [Qâf/50:16]
Maksud qurb (kedekatan) di dalam ayat ini adalah kedekatan para malaikat Allâh dan kedekatan ilmu Allâh Azza wa Jalla . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Adapun firman Allâh Azza wa Jalla :
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. [Qâf/50:16]
(maksud kata dekat di atas) adalah kedekatan dzat para Malaikat dan kedekatan ilmu Allâh Azza wa Jalla dari umat manusia. Allâh adalah Rabb (Penguasa) Malaikat dan ruh, sedangkan para Malaikat itu tidak mengetahui apapun kecuali dengan perintah Allâh . Dzat para Malaikat lebih dekat kepada hati manusia daripada kepada urat lehernya. Bisa jadi sebagian Malaikat lebih dekat kepada hati manusia daripada sebagian yang lain. Oleh karena itulah Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam ayat berikutnya:
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ ﴿١٧﴾ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“(yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (QS. Qâf/50:17-18) (Majmû’ Fâtâwâ, 5/236)
Demikian juga firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ ﴿٨٣﴾ وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ ﴿٨٤﴾ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَٰكِنْ لَا تُبْصِرُونَ
Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat. [Al-Waqi’ah/56: 83-85]
Maksud qurb (kedekatan) di dalam ayat ini adalah kedekatan para Malaikat Allâh . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Yang dimaksud adalah qurb (kedekatan) para Malaikat. Inilah yang dikenal dari para ahli tafsir orang-orang dahulu dari kalangan Salaf. Mereka berkata, ‘Malaikat maut lebih dekat kepada orang yang akan mati daripada keluarganya, tetapi kamu tidak melihat para Malaikat’. Sekelompok orang mengatakan: ‘firman Allâh Azza wa Jalla , (yang artinya), “dan Kami lebih dekat kepadanya” yaitu dengan ilmu Allâh. Sebagian lain mengatakan, ‘dengan ilmu dan kekuasaan’. Sebagian yang lain dengan lafazh ‘dengan kekuasaan dan penglihatan’. Pendapat-pendapat ini lemah. Karena di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ada penetapan sifat Allâh Azza wa Jalla dengan qurb ‘aam (kedekatan secara umum) kepada seluruh makhluk, sehingga mereka butuh mengatakan ‘dengan ilmu, kekuasaan dan penglihatan’. [Majmû’ Fatâwâ, 5/494]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui bahwa firman Allâh “Kami” yaitu Allâh melakukannya dengan para Malaikat-Nya, walaupun mereka tidak mengetahui bilangan Malaikat, nama-nama, sifat-sifat, dan hakekat dzat Malaikat”. [Majmû’ Fatâwâ, 5/234-235]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata:
“Ini adalah seperti firman Allâh :
نَتْلُو عَلَيْكَ
Kami membacakan kepadamu. [Al-Qashshash/28: 3]
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ
Kami menceritakan kepadamu. [Yusuf/12: 3]
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ
Apabila Kami telah selesai membacakannya. [Al-Qiyamah/75: 18]
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. [Al-Qiyamah/75: 17]
ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
atas tanggungan Kamilah penjelasannya. [Al-Qiyamah/75: 19]
Bacaan di sini ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarnya dari Malaikat Jibril.
Madzhab (jalan; pendapat) Salaf umat ini, dan para imamnya serta Khalaf adalah: bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar al-Qur’an dari Jibril, sedangkan Jibril mendengarnya dari Allâh Azza wa Jalla .
Adapun firman Allâh : “Kami membacakan”, “Kami menceritakan”, dan “Apabila Kami telah selesai membacakannya”, ini adalah bentuk dalam perkataan bangsa Arab bagi satu orang agung yang memiliki pembantu-pembantu yang mentaatinya. Jika para pembantunya melakukan perbuatan dengan perintahnya, dia berkata, “Kami telah melakukannya”. Sebagaimana seorang raja mengatakan, “Kami menaklukkan kota ini, kami mengalahkan tentara ini”, dan semacamnya, karena dia melakukannya dengan para pembantunya. Sedangkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Rabb (Penguasa) para Malaikat, dan para Malaikat tidak pernah mendahului Allâh dengan perkataan, dan mereka selalu melakukan perintah-Nya. Mereka tidak mendurhakai apa yang Allâh perintahkan dan selalu mengerjakan perintahNya. Bersamaan dengan ini Allâh adalah Pencipta para Malaikat, Pencipta perbuatan dan kemampuan mereka, sedangkan Allâh Maha Cukup dari mereka. Allâh tidak seperti raja, yang para pembantunya melakukan dengan kemampuan dan gerakan yang mereka lakukan tanpa bantuan raja. Sehingga perkataan Allâh terhadap perkara yang dilakukan oleh para Malaikat-Nya, “Kami melakukan” lebih berhak dan lebih pantas daripada perkataan sebagian raja-raja”. [Majmu’ Fatawa, 5/233]
LAFAZH MUFRAD (TUNGGAL)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak ada sama sekali dalam al-Qur’an pensifatan Allâh dengan qurb (kedekatan) kepada segala sesuatu, tetapi kedekatan Allâh dalam al-Qur’an adalah kedekatan khusus (yakni kepada orang tertentu), bukan umum (yakni bukan kepada semua orang)”. [Majmû’ Fatâwâ, 5/493]
DEKAT KEPADA MUHSININ
Adapun bentuk mufrad (tunggal) adalah seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allâh ) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allâh amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. [Al-A’râf/7: 56]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allâh Yang Maha berkah dan Maha Tinggi dekat kepada orang-orang yang berbuat baik, dan rahmat-Nya juga dekat kepada mereka. Kedekatan Allâh Azza wa Jalla berkonsekwensi kedekatan rahmat-Nya. Dihilangkan huruf ta’ di sini merupakan peringatan terhadap faedah yang agung dan besar ini, dan bahwa Allâh dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan ini berkonsekwensi dua kedekatan, yaitu kedekatan Allâh Azza wa Jalla dan kedekatan rahmat-Nya”. [Badâi’ul Fawaid, 3/31]
DEKAT KEPADA ORANG BERDOA
Demikian juga firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. [Al-Baqarah/2: 186]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang ayat ini, ” Dia (Allâh ) Yang Maha Suci dekat kepada orang yang berdoa kepada-Nya”.[Majmû’ Fatâwâ, 5/493]
Juga firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata, “Hai kaumku! Beribadahlah kepada Allâh , sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya , karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya, sesungguhnya Rabbku amat dekat lagi memperkenankan (do’a hamba-Nya).” [Hûd/11: 61]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang ayat ini:
وَمَعْلُومٌ أَنَّ قَوْلَهُ {قَرِيبٌ مُجِيبٌ} مقرونَ بِالتَّوْبَةِ وَالِاسْتِغْفَارِ أَرَادَ بِهِ قَرِيبٌ مُجِيبٌ لِاسْتِغْفَارِ الْمُسْتَغْفِرِينَ التَّائِبِينَ إلَيْهِ كَمَا أَنَّهُ رَحِيمٌ وَدُودٌ بِهِمْ وَقَدْ قَرَنَ الْقَرِيبَ بِالْمُجِيبِ وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ لَا يُقَالُ إنَّهُ مُجِيبٌ لِكُلِّ مَوْجُودٍ وَإِنَّمَا الْإِجَابَةُ لِمَنْ سَأَلَهُ وَدَعَاهُ فَكَذَلِكَ قُرْبُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
“Dan sebagaimana telah diketahui bahwa firman Allâh Azza wa Jalla (yang menceritakan perkataan nabi Shaleh di atas, yang artinya), ‘Rabbku amat dekat lagi memperkenankan’ digabungkan dengan kata taubat dan istighfar, beliau (Nabi Shalih) bermaksud Tuhanku amat dekat lagi memperkenankan Istighfar dari orang-orang yang memohon ampunan dan bertaubat kepadaNya. Sebagaimana Allâh juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada mereka. Beliau menggabungkan Al-Qarîb (Maha Dekat) dengan Al-Mujîb (Maha mengabulkan doa), dan telah diketahui bahwa tidak dikatakan bahwa Allâh mengabulkan untuk semua orang, tetapi hanya mengabulkan orang yang meminta dan berdoa kepada-Nya. Demikian juga qurb (kedekatan) Allâh Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi (yaitu tidak kepada semua orang)”. [Majmu’ Fatawa, 5/493]
Adapun di dalam Sunnah, antara lain sebagai berikut:
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ ” لَمَّا غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ ” أَوْ قَالَ ” لَمَّا تَوَجَّهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْرَفَ النَّاسُ عَلَى وَادٍ فَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّكْبِيرِ ” اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ” فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ ))
وَأَنَا خَلْفَ دَابَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَنِي وَأَنَا أَقُولُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَقَالَ لِي(( يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ )) قُلْتُ” لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ” قَالَ : أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ قُلْتُ “بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي” قَالَ : لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, dia berkata: Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi atau menuju Khaibar, orang-orang mendaki sebuah lembah, lalu mereka mengeraskan suara mereka dengan takbir, “Allâhu akbar, Allâhu akbar, lâ ilâha illa Allâh.” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rendahkanlah suara kalian! Sesungguhnya kalian tidak menyeru kepada (Dzat) yang tuli dan tidak hadir. Bahkan kamu menyeru kepada (Dzat) yang Maha mendengar dan Maha dekat, dan Dia bersama kamu”.
(Abu Musa berkata:) Dan aku berada di belakang binatang tunggangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar aku mengatakan, “Lâ haula walâ quwwata illa billâh”, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Wahai ‘Abdullâh bin Qais!” Aku menjawab, “Aku memenuhi panggilanmu wahai Rasûlullâh!” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku tunjukkan kepadamu satu kalimat yang termasuk harta simpanan surga”. Aku menjawab, “Ya, wahai Rasûlullâh! Bapakku dan ibuku sebagai tebusanmu.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lâ haula walâ quwwata illa billâh”. [HR. Al-Bukhâri, no. 4205; Muslim, no. 2704]
Di dalam riwayat lain disebutkan:
وَالَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَةِ أَحَدِكُمْ
Dia (Allâh ) yang kalian seru itu lebih dekat kepada salah seorang diantara kalian daripada (kedekatan salah seorang diantara kalian) kepada leher ontanya. [HR. Muslim, no. 46/2704]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Dia (Allâh) yang kamu seru itu lebih dekat kepada salah seorang diantara kalian”, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyatakan bahwa Dia Maha Dekat kepada semua orang”. [Majmû’ Fatâwâ, 5/493]
DEKAT KEPADA ORANG YANG BERSUJUD
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan bahwa ketika seorang hamba bersujud, maka dia dalam keadaan yang paling dekat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ، وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keadaan paling dekat seorang hamba kepada Rabbnya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.” [HR. Muslim, no. 482]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang yang berdoa dan orang yang bersujud mengarahkan ruhnya kepada Allâh, dan ruh memiliki sifat naik yang sesuai dengan keadaannya, sehingga tanpa diragukan lagi, ruh mendekat kepada Allâh Azza wa Jalla sesuai dengan kesuciannya dari noda-noda, dengan demikian, Allâh Azza wa Jalla menjadi dekat kepada ruh itu dengan sebab mendekatnya ruh tersebut”. [Majmû’ Fatâwâ, 5/241]
DZAT ALLAH AZZA WA JALLA MENDEKAT KEPADA SEBAGIAN HAMBA-NYA
Selain sifat dekat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan sifat dzatiyah, sifat yang selalu ada pada diri-Nya, demikian pula Allâh Azza wa Jalla memiliki sifat mendekat kepada sebagian hamba-Nya. Ini merupakan sifat fi’liyyah, yaitu sifat yang dilakukan dengan hikmah dan kehendak Allâh Azza wa Jalla . Hal ini disebutkan dalam banyak dalil.
ALLAH MENDEKAT DI SEEPRTIGA MALAM YANG AKHIR
Di dalam hadits yang shahih diriwayatkan:
عَنْ عَمْرٍو بْنِ عَبَسَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الرَّبُّ مِنَ العَبْدِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ الآخِرِ، فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ يَذْكُرُ اللَّهَ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ
Dari ‘Amr bin ‘Abasah, bahwa dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ar-Rabb (Allâh) paling dekat kepada seorang hamba di waktu tengah malam yang akhir, jika engkau bisa menjadi orang yang sedang berdzikir kepada Allâh pada saat itu maka lakukanlah!” [HR. At-Tirmidzi, no. 3579. Hadits ini dinilai shahih oleh syaikh al-Albani]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa waktu dimana seorang hamba paling dekat kepada Rabb-nya (Allâh ) adalah di waktu tengah malam yang akhir. Kami telah menjelaskan hadits-hadits ini dan pendapat-pendapat orang tentang makna ini dalam tulisan ‘Jawabul as-ilah al-Mishriyah ‘alal Futya al-Hamawiyah’. Ini adalah qurb (kedekatan) ar-Rabb (Allâh ), Dzat Allâh kepada hamba-Nya, dan ini seperti nuzul-Nya (turun Allâh ) ke langit dunia”. [Majmû’ Fatâwâ, 5/240]
Adapun hadits nuzul (yang menjelaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla itu turun ke langit dunia) yang dimaksudkan oleh Syaikhul Islam yaitu
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: ” يَنْزِلُ رَبُّنَا – تَبَارَكَ وَتَعَالَى- كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ “
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita l turun ke langit dunia setiap malam, pada waktu tinggal sepertiga malam yang akhir. Dia berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya; Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya; Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya.” [HR. Al-Bukhâri, no. 1145, 6321, 7494 dan Muslim, no. 758]
ALLAH AZZA WA JALLA MENDEKAT DI HARI ARAFAH
عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: قَالَتْ عَائِشَةُ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ، مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمِ الْمَلَائِكَةَ، فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ؟ “
Dari Ibnul Musayyib Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu hari pun yang pada hari itu Allâh Subhanahu wa Ta’ala lebih banyak memerdekakan para hamba-Nya dari api neraka dibandingkan dengan hari Arafah. Sesungguhnya Allâh benar-benar mendekat, kemudian membanggakan mereka kepada para Malaikat, Allâh berfirman, “Apa yang dikehendaki oleh mereka ini?”. [HR. Muslim, no. 1348]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Di dalam hadits shahih disebutkan bahwa Allâh mendekat pada sore hari Arafah dan membanggakan orang-orang yang wukuf di Arafah kepada para Malaikat.
Kata qurb (mendekat) di sini semuanya khusus pada sebagian keadaan, tidak pada keadaan yang lain. Tidak ada sama sekali dalam al-Qur’an dan as-Sunnah (yang menjelaskan bahwa-red) qurb (kedekatan) Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada seluruh makhluk di semua keadaan. Dengan ini diketahui kedustaan pendapat hululiyah (yaitu pendapat yang menyatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla menyatu dengan makhluk), karena mereka menggunakan dalil yang khusus dan tertentu, lalu mereka gunakan sebagai dalil yang umum dan mutlak”. [Majmû’ Fatâwâ, 5/130]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan bahwa kedekatan Allâh Azza wa Jalla pada sore hari Arafah tidak berlaku untuk selain orang-orang yang sedang beribadah haji di semua tempat, karena di semua tempat itu tidak Wukuf yang disyari’atkan dan tidak ada kebanggaan kepada para Malaikat”. [Majmû’ Fatâwâ, 5/242]
HAMBA MENDEKAT KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA, MAKA ALLAH AZZA WAJJALA JUGA MENDEKAT KEPADANYA
Demikian pula Allâh Azza wa Jalla mendekat kepada para hamba-Nya yang mendekat kepada-Nya.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْوِيهِ عَنْ رَبِّهِ، قَالَ: «إِذَا تَقَرَّبَ العَبْدُ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِذَا تَقَرَّبَ مِنِّي ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا، وَإِذَا أَتَانِي مَشْيًا أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً»
Dari Anas Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan dari Rabbnya (Allâh ), Dia berfirman, “Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya satu depa. Jika hamba–Ku mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku mendatanginya dengan berlari kecil”. [HR. Al-Bukhâri, no. 7536 dan Muslim, no. 2675]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mendekatnya hamba kepada Allâh, dan Allâh mendekatkan hamba kepada-Nya, ini dinyatakan oleh banyak nash, seperti firman Allâh Azza wa Jalla :
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allâh )?” [Al-Isra’/17: 57]
Dan ayat-ayat yang semacamnya. Ini adalah mendekatnya Allâh Azza wa Jalla dengan Dzat-Nya kepada para hamba-Nya. Dan ini seperti nuzul (turunnya) Allâh ke langit dunia”. [Majmû’ Fatâwâ, 5/129-130]
INI AQIDAH SALAF DAN PARA IMAM YANG TERKENAL
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t juga berkata, “Adapun (keyakinan-red) tentang Allâh itu dekat dan juga mendekat kepada sebagian hamba-Nya, maka (keyakinan-red) ini ditetapkan (atau diyakini) oleh mereka yang meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat ikhtiyariyyah (yaitu sifat-sifat yang ada dengan kehendak Allâh Azza wa Jalla ); juga meyakini bahwa Allâh Azza wa Jalla akan datang pada hari kiamat, juga turun (ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Ini berarti Allâh Azza wa Jalla memiliki sifat turun-red); juga meyakini bahwa beristiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya. Inilah madzhab (pendapat) para Imam Salaf dan para Imam kaum Muslimin yang terkenal, juga pendapat Ahli Hadits. Riwayat dari mereka tentang ini sampai ke derajat mutawatir (sangat banyak). Pertama kali yang mengingkarinya di zaman Islam adalah golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah yang menyetujui mereka. Mereka sebelumnya telah mengingkari sifat-sifat Allâh dan sifat ketinggian Allâh di atas arsy.” [Majmû’ Fatâwâ, 5/466]
Inilah sedikit pembahasan tentang sifat qurb (Maha Dekat) Allâh , semoga menambah semangat kita untuk selalu mendekat kepada Allâh sehingga meraih keberuntungan di sisi-Nya. Wallâh ul Musta’an.
Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XXI/1438H/2017M.]