Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Itban disebutkan,
فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkanLaailaahaillallah dengan mengharap wajah Allah.”
**********
Penjelasan:
Itban bin Malik bin ‘Amr bin ‘Ijlan Al Anshariy dari Bani Salim bin Auf. Ia adalah seorang sahabat masyhur yang wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyah. Menurut jumhur, ia termasuk sahabat yang hadir dalam perang Badar. Ibnu Sa’ad menyebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Itban dengan Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Maksud, “Allah mengharamkan neraka” adalah mencegah neraka dari membakar dirinya.
Maksud, “mengharap wajah Allah,” adalah ikhlas dari hatinya dan wafat di atas itu. Ia tidak mengucapkannya karena nifak.
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa barang siapa yang mengucapkan Laailaahaillallah; mengakui dan menerima kandungannya dengan ikhlas baik secara lahir maupun batin, dan ia wafat di atasnya, maka pada hari Kiamat dirinya tidak disentuh api neraka.
Kesimpulan:
1. Keutamaan tauhid, bahwa ia dapat menyelamatkan diri dari neraka dan dapat menghapuskan dosa-dosa.
2. Tidak cukup dalam beriman hanya mengucapkan di lisan tanpa ada keyakinan di hati, seperti halnya kaum munafik.
3. Tidak cukup dalam beriman hanya meyakini di hati tanpa diucapkan di lisan, seperti halnya kaum yang ingkar.
4. Diharamkan bagi neraka menyentuh orang yang tauhidnya sempurna.
5. Amal tidaklah bermanfaat sampai dilakukan ikhlas karena Allah dan mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
6. Orang yang mengucapkan Laailaahaillallah namun ia masih berdoa kepada selain Allah, maka ucapannya itu tidak bermanfaat baginya sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Quburiyyun yang mengucapkanLaailaahaillallah, namun masih berdoa kepada orang-orang mati dan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada mereka.
7. Menetapkan wajah bagi Allah Azza wa Jalla sesuai yang layak dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
**********
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «قَالَ مُوسَى: يَا رَبِّ عَلِّمْنِي شَيْئًا أَذْكُرُكَ بِهِ، وَأَدْعُوكَ بِهِ، قَالَ: قُلْ يَا مُوسَى: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: يَا رَبِّ كُلُّ عِبَادِكَ يَقُولُ هَذَا، قَالَ: قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: إِنَّمَا أُرِيدُ شَيْئًا تَخُصُّنِي بِهِ، قَالَ: يَا مُوسَى لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَالْأَرَضِينَ السَّبْعِ فِي كِفَّةٍ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فِي كِفَّةٍ، مَالَتْ بِهِنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ»
Dari Abu Sa’id Al Khudriy, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nabi Musa ‘alaihis salam pernah berkata, “Ya Rabbi, ajarkanlah aku kalimat yang kugunakan untuk memuji-Mu dan berdoa kepada-Mu,” Allah berfirman, “Ucapkanlah Laailaahaillallah wahai Musa!” Musa berkata, “Yaa Rabbi, semua hamba-Mu mengucapkannya.” Allah berfirman, ““Ucapkanlah Laailaahaillallah!” Musa berkata, “Yang aku inginkan adalah kalimat khusus yang Engkau ajarkan kepadaku.” Allah berfirman, “Wahai Musa! Kalau sekiranya penghuni langit yang tujuh dan bumi yang tujuh berada di satu daun timbangan, dan ucapan Laailaahaillallah di daun timbangan yang lain, maka Laailaahaillallah lebih berat dari semua itu.” (HR. Ibnu Hibban dan Hakim, ia menshahihkannya).
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan oleh Ibnu Hibban no. 2324, Hakim dalam Al Mustadrak (1/528), Nasa’i dalam Amalul Yaumi wal Lailah no. 834 dan 1141, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim, serta disepakati oleh Adz Dzahabiy. Haitsamiy dalam Majma’uz Zawaid (10/82) berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, para perawinya ditsiqahkan, namun pada mereka ada kelemahan.” Syaikh Syu’ib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Shahih Ibnu Hibban (14/102) menyatakan bahwa isnad hadits tersebut dha’if, kaena Darraj Abus Samh dalam riwayatnya dari Abul Haitsam ada kelemahan. Syaikh Al Albani juga menyatakan bahwa hadits tersebut dhaif dalam At Ta’liqur Raghib (2/238-239).
**********
Dalam riwayat Tirmidzi, dan ia menghasankannya, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau datang kepada-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu, maka Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh itu pula.”
**********
Penjelasan:
Anas bin Malik bin Nadhr Al Anshariy Al Khazrajiy adalah pelayan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Ia melayani Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam selama sepuluh tahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakannya, “Ya Allah, perbanyaklah hartanya, anaknya, dan berkahilah pemberian-Mu kepadanya.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani). Ia wafat pada tahun 92 atau 93 H, dan usianya lebih dari 100 tahun.
Maksud kalimat, “Kemudian engkau datang kepada-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu,” adalah meninggal dunia dalam keadaan tidak berbuat syirk.
Maksud kata, “ampunan” adalah dimaafkan dosa-dosa dan kesalahannya.
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan firman Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, dimana Dia menerangkan kepada mereka luasnya karunia dan rahmat-Nya, dan bahwa Dia mengampuni semua dosa betapa pun banyak dosa itu selama bukan syirk. Hadits ini sama seperti firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48)
Kesimpulan:
1. Keutamaan Tauhid dan banyaknya pahala yang dihasilkan darinya.
2. Luasnya karunia Allah, kemurahan-Nya, rahmat-Nya, dan ampunan-Nya.
3. Bantahan terhadap kaum Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar yang bukan syirk.
4. Menetapkan sifat “kalam” (berbicara) bagi Allah Azza wa Jalla yang sesuai dengan keagungan-Nya.
5. Penjelasan terhadap makna Laailaahaillallah, dan bahwa kandungannya menghendaki untuk meninggalkan syirk baik yang kecil maupun yang besar, dan bahwa kalimat itu tidak cukup diucapkan di lisan, tetapi wajib diamalkan kandungannya.
6. Menetapkan adanya kebangkitan, hisab, dan pembalasan.
**********
BAB BARANG SIAPA YANG MEMURNIKAN TAUHID DENGAN SEMURNI-MURNINYA, MAKA DIA AKAN MASUK KE DALAM SURGA TANPA HISAB
Firman Allah Ta’ala,
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Sekali-kali dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. An Nahl: 120)
وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Tuhan mereka (dengan sesuatu apa pun),” (QS. Al Mu’minun: 59)
**********
Maksud kata “hanif” adalah menghadap hanya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya.
Maksud “Dia (Ibrahim) bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),” yakni ia telah berpisah dengan orang-orang musyrik baik dengan hati, lisan, maupun badan, serta mengingkari kemusyrikan mereka.
Pada ayat yang pertama, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyifati kekasih-Nya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan empat sifat, yaitu: (a) teladan dalam kebaikan, karena sempurnanya kesabaran dan keyakinannya sehingga ia menjadi imam dalam agama, (b) khusyu, taat, tunduk, dan senantiasa beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, (c) berpaling dari syirk dan menghadap Allah Azza wa Jalla dengan bertauhid, (d) jauh dari syirk dan para pelakunya.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah contoh orang yang memurnikan tauhid dengan semurni-murninya.
Pada ayat yang kedua, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyifati kaum mukmin yang segera masuk surga, yaitu bahwa mereka tidak menyekutukan Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan sesuatu apa pun juga. Orang yang demikian, berarti telah memurnikan tauhid dengan semurni-murninya.
Kesimpulan:
1. Keutamaan orang tua kita, yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
2. Perintah menjadikannya teladan karena sifat-sifatnya yang mulia.
3. Penjelasan tentang memurnikan tauhid dengan semurni-murninya.
4. Wajibnya menjauhi syirk dan para pelakunya.
5. Sifat orang-orang mukmin, bahwa mereka memurnikan tauhid dengan semurni-murninya.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al fauzan), Al Ishabah fii Tamyizish Shahabah (Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqaani),Shahih Ibnu Hibban (tahqiq Syu’aib Al Arnauth), Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, dll.