Saturday, June 22, 2019

Kitab Tauhid 52

Bab: Larangan Mencaci-Maki Angin
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَسُبُّوا الرِّيحَ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مَا تَكْرَهُونَ فَقُولُوا: اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيحِ وَخَيْرِ مَا فِيهَا وَخَيْرِ مَا أُمِرَتْ بِهِ، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيحِ وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ
“Janganlah kalian mencaci-maki angin. Jika kalian melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka ucapkanlah, “Allahumma innaa nas’aluka...dst.” (artinya: Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan apa yang ada di dalamnya, dan kebaikan yang untuknya Engkau perintahkan ia. Kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang ada di dalamnya, dan keburukan yang untuknya Engkau perintahkan ia.”)
(Hr. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya)
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan dalam Sunan Tirmidzi no. 2253 dan Musnad Ahmad 5/123.
Oleh karena mencaci-maki angin sama saja mencaci-maki yang mengaturnya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang mencaci-maki angin agar tauhid seseorang tidak cacat.
Ubay bin Ka’ab bin Qais Al Anshariy perawi hadits di atas adalah seorang sahabat dan termasuk pemuka para qari (penghafal Al Qur’an). Ia hadir dalam Bai’atul Aqabah, hadir dalam perang Badar, dan peperangan-peperangan setelahnya. Ia wafat pada masa pemerintahan Umar radhiyallahu anhu. Ada pula yang mengatakan, ia wafat pada masa pemerintahan Utsman radhiyallahu anhu pada tahun 30 H.
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang mencaci-maki angin, karena ia adalah makhluk yang mendapat perintah dari Allah Azza wa Jalla, dimana mencaci-makinya sama saja mencaci-maki yang mengaturnya dan sama saja tidak ridha denga keputusan-Nya. Selanjutnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyuruh kita untuk kembali kepada Allah Penciptanya agar kita meminta kepada-Nya kebaikan dari angin itu dan berlindung kepada-Nya dari keburukannya.
Kesimpulan:
1.       Larangan mencaci-maki angin, karena ia makhluk yang diautur Allah Azza wa Jalla.
2.       Kembali kepada Allah Azza wa Jalla, meminta kepada Allah kebaikan dari angin itu dan berlindung kepada-Nya dari keburukannya.
3.       Angin bisa diperintah dengan kebaikan dan bisa diperintah dengan keburukan.
4.       Pengarahan untuk mengucapkan kata-kata yang bermanfaat apabila seseorang melihat hal yang tidak disukainya agar selamat dari keburukan hal itu.
**********
Bab: Larangan Berprasangka Buruk Kepada Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Ta’ala,
يَظُنُّونَ بِاللهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَل لَّنَا مِنَ الأَمْرِ مِن شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ
“Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah[i]. Mereka berkata,  "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?" Katakanlah, "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah." (Qs. Ali Imran: 154)
Penjelasan:
Lanjutan ayat di atas adalah,
يُخْفُونَ فِي أَنفُسِهِم مَّا لاَ يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحَّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Mereka Menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata, "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini." Katakanlah, "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh." Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha mengetahui isi hati.” (Qs. Ali Imran: 154)
Dibuatnya bab ini oleh penulis dalam kitab Tauhid adalah untuk menerangkan, bahwa bersangka baik kepada Allah termasuk kewajiban dalam tauhid, dan bahwa bersangka buruk kepada Allah termasuk hal yang bertentangan dengan tauhid.
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan tentang apa yang dilakukan kaum munafik pada perang Uhud, bahwa mereka bersangka buruk kepada Allah, yaitu bahwa Dia tidak akan memenangkan Rasul-Nya, dan bahwa urusannya tidak akan disempurnakan, dan bahwa kalau urusan diserahkan kepada mereka, dalam arti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu anhum mau mendengarkan kata-kata mereka, tentu mereka tidak akan dikalahkan dan tentu mereka akan menang, maka Allah mendustakan persangkaan ini dan menerangkan, bahwa tidak ada yang terjadi melainkan sesuai dengan takdir-Nya dan sesuai yang tertulis dalam Lauh Mahfuzh di sisi-Nya.
Kesimpulan:
1.       Barang siapa yang menyangka bahwa Allah memberikan giliran kepada kebatilan menguasai kebenaran dengan penggiliran yang kekal selamanya, dimana kebenaran tidak lagi muncul setelahnya, maka berarti dia telah bersangka buruk kepada Allah Azza wa Jalla.
2.       Menetapkan hikmah (kebijaksanaan) bagi Allah Ta’ala ketika Dia terkadang memberikan kesempatan kepada kebatilan untuk unggul.
3.       Buruknya isi hati kaum munafik, dan bahwa mereka di saat sulit menampakkan kemunafikannya.
4.       Menetapkan akidah qadha dan qadar.
5.       Wajibnya menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.
6.       Wajibnya bersangka baik kepada Allah Azza wa Jalla.
   **********
Firman Allah Ta’ala,
وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan agar Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang sangat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Qs. Al Fath: 6)
Penjelasan:
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman terhadap mereka yang berprasangka buruk terhadap ketetapan Allah, mengira bahwa Dia tidak akan membela Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu anhum bahwa bagi mereka (yang berprasangka buruk itu) akan mendapatkan giliran azab dan kebinasaan, Allah akan menjauhkan mereka dari rahmat-Nya dan menyiapkan untuk mereka neraka Jahanam di akhirat yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat tersebut menunjukkan, bahwa mereka yang menyangka bahwa Allah tidak akan menolong Rasul-Nya dan kaum mukmin, maka berarti dia telah berprasangka buruk kepada-Nya.
Kesimpulan:
1.       Peringatan agar tidak berprasangka buruk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2.       Wajibnya bersangka baik kepada-Nya.
3.       Barang siapa yang menyangka bahwa Allah tidak akan menolong Rasul-Nya dan kaum mukmin, maka berarti dia telah berprasangka buruk kepada-Nya.
4.       Allah murka kepada musuh-musuh-Nya dan melaknat mereka.
5.       Akibat buruk yang akan dialami kaum kafir dan munafik.
**********
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang ayat yang pertama (Qs. Ali Imran: 154),
“Berprasangka buruk di ayat ini maksudnya adalah bahwa Allah tidak akan membela Rasul-Nya, bahwa agama yang Beliau bawa akan lenyap, apa yang menimpa mereka bukanlah karena takdir Allah dan hikmah-Nya. Dengan demikian, berprasangka di ayat tersebut ditafsirkan dengan tiga tafsiran, yaitu mengingkari hikmah (kebijaksanaan) bagi Allah, mengingkari takdir, dan mengingkari akan sempurnanya agama Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan mengingkari akan dimenangkan-Nya agama itu di atas semua agama.
Inilah sangkaan buruk yang disangka kaum munafik dan kaum musyrik di surat Al Fath. Perbuatan ini disebut sebagai ‘prasangka buruk’ adalah karena seseorang bersangka terhadap Allah apa yang tidak layak bagi-Nya; tidak layak dengan hikmah-Nya, pujian bagi-Nya, dan janji-Nya yang benar.
Barang siapa mengira bahwa Allah akan memberikan giliran kemenangan kepada kebatilan atas kebenaran dengan keunggulan selamanya, dimana kebenaran menjadi hilang karenanya, atau mengingkari bahwa apa yang terjadi di muka bumi ini bukan karena qadha Allah dan qadar-Nya, atau mengingkari bahwa Dia menakdirkannya karena suatu hikmah yang besar yang dengan hikmah itu Allah berhak dipuji, bahkan hanya menyangka bahwa hal itu sekedar kehendak-Nya semata (tanpa ada hikmahnya), maka inilah persangkaan orang kafir, sehingga mereka berhak mendapatkan kecelakaan dengan api neraka.
Kebanyakan manusia berprasangka buruk kepada Allah baik terkait dengan diri mereka maupun terkait dengan orang lain. Tidak ada yang selamat dari sifat tersebut selain orang-orang yang mengenal Allah, mengenal nama-nama-Nya dan sifat-Nya, hikmah-Nya, keberhakan-Nya dipuji, dan janji-Nya yang benar.
Maka hendaknya orang yang berakal dan yang cinta kepada dirinya memperhatikan masalah ini, dan bertobatlah kepada Allah serta memohon ampunan kepada-Nya dari prasangka buruk ini.
Apabila anda selidiki, siapa pun orangnya, tentu engkau akan melihat bahwa pada dirinya terdapat sikap menyangkal dan mencela takdir-Nya, dengan menyatakan, bahwa seharusnya begini dan begitu, ada yang sedikit menyangkalnya dan ada yang banyak. Periksalah diri anda, apakah diri anda bebas dari sikap tersebut? Jika anda selamat dari sikap tersebut, maka berarti anda selamat dari masalah besar. Jika tidak, aku kira anda tidak akan selamat.”
Penjelasan:
Ibnul Qayyim menyampaikan hal ini dalam kitabnya Zaadul Ma’ad ketika membicaraan tentang perang Uhud.
Dari penjelasan Ibnul Qayyim di atas kita mengetahui, bahwa prasangka buruk itu banyak macamnya. Demikian pula, bahwa tidak ada yang bisa selamat dari prasangka buruk tersebut selain orang yang mengenal Allah, nama-nama dan sifat-Nya, serta mengenal dirinya sendiri.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid  (Dr. Shalih Al Fauzan),Maktabah Syamilah, dll.



[i] Sangkaan mereka adalah bahwa kalau Nabi Muhammad shallalalhu alaihi wa sallam itu benar-benar Nabi dan Rasul Allah, tentu Dia tidak akan mendapat dikalahkan dalam peperangan.