Thursday, August 22, 2019

Kitab Tauhid 53

Bab: Tentang Orang-Orang Yang Mengingkari Takdir
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata, “Demi Allah yang nyawa Ibnu Umar di Tangan-Nya, kalau sekiranya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu ia menginfakkannya di jalan Allah, maka Allah tidak akan menerimanya sampai dia mau beriman kepada qadar (takdir).” Selanjutnya Ibnu Umar berdalih dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk.” (Hr. Muslim)
Penjelasan:
Atsar (riwayat dari sahabat) di atas disebutkan dalam Shahih Muslim no. 8, Abu Dawud no. 4696, Tirmidzi no. 2613, dan Ibnu Majah no. 63.
Penyusun (Syaikh M. At Tamimi) memasukkan masalah ini ‘beriman kepada takdir’ dalam kitab Tauhidnya karena tauhid tidak sempurna kecuali dengan menetapkan adanya takdir Allah Azza wa Jalla dan beriman kepadanya.
Penyusun menyebutkan ancaman mengingkari takdir untuk menerangkan akan wajibnya beriman kepada takdir.
Dalam atsar di atas diterangkan, bahwa Ibnu Umar mendapatkan berita tentang orang-orang yang mengingkari takdir, maka Beliau menerangkan bahwa akidah ini akan merusak imannya karena telah mengingkari salah satu ushul(dasar)nya, lalu beliau berdalih dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang rukun iman yang enam yang semuanya wajib diimani.
Kesimpulan:
1.       Mengingkari takdir merupakan kekufuran.
2.       Amal saleh tidak diterima kecuali dari orang beriman. Dan seseorang tidak dikatakan beriman sampai beriman kepada takdir.
3.       Pentingnya berdalih dengan Al Qur’an dan As Sunnah
**********
Dari Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu anhu, bahwa ia pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, engkau tidak akan merasakan manisnya iman sampai engkau mengetahui bahwa apa saja yang ditakdirkan akan menimpamu, maka tidak akan meleset darimu, dan apa saja yang ditakdirkan tidak menimpamu, maka tidak akan menimpamu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ:اكْتُبْ، فَقَالَ: رَبِّ، وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ"
“Sesungguhnya makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah qalam (pena), lalu Dia berfirman kepadanya, “Catatlah!” Pena berkata, “Ya rabbi, apa yang aku catat?” Allah berfirman, “Catatlah takdir segala sesuatu sampai tibanya hari Kiamat.”
Ubadah melanjutkan, “Wahai anakku, aku juga mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Barang siapa yang meninggal dunia tidak di atas keyakinan ini, maka dia bukan termasuk golongaku.”
Dalam riwayat Ahmad disebutkan,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ:اكْتُبْ ، فَجَرَى فِي تِلْكَ السَّاعَةِ ِبمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah qalam (pena), maka Dia berfirman kepadanya, “Catatlah!” maka dicatatlah semua yang akan terjadi sampai hari Kiamat.”
Dalam riwayat Ibnu Wahb disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
فَمَنْ لَمْ يُؤْمِنْ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ؛ أَحْرَقَهُ اللهُ بِالنَّارِ
“Barang siapa yang tidak beriman kepada qadar (takdir), maka Allah akan membakarnya dengan api neraka.”
Penjelasan:
Hadits Ubadah bin Ash Shamit diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 2100 dan Abu Dawud no. 4700, dishahihkan oleh Al Albani dalam Zhilalul Jannah no. 103.
Riwayat Ahmad di atas disebutkan dalam Musnad Ahmad no. 22705 dan dishahihkan oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah.
Adapun hadits Ibnu Wahb disebutkan oleh Ibnu Wahb dalam kitab Al Qadar hal. 121 dan dinyatakan hasan lighairih oleh Dr. Abdul Aziz Al Utsaim dalam tahqiqnya terhadap kitab Al Qadar.
Anak Ubadah bin Ash Shamit bernama Al Walid bin Ubadah, ia lahir di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan termasuk tabi’in senior, wafat setelah tahun 70 H.
Ibnu Wahb bernama Abdullah bin Wahb bin Muslim Al Mishri. Beliau sseorang yang tsiqah dan ahli fiqih, lahir pada tahun 125 H dan wafat pada tahun 197 H. Beliau membagi waktunya dalam setahun, sepertiganya untuk ribath (menjaga perbatasan dalam jihad fi sabilillah), sepertiga untuk mengajarkan ilmu, dan sepertiga lagi untuk berhaji. Imam Malik menyebutnya sebagai mufti penduduk Mesir.
Riwayat di atas menerangkan, bahwa Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu anhu berpesan kepada anaknya bernama Al Walid agar beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk, demikian pula menerangkan buah dan hasilnya yang baik ketika beriman kepada takdir baik di dunia maupun di akhirat, serta menerangkan akibat buruk ketika ingkar kepada takdir baik di dunia maupun di akhirat. Ubadah juga berdalih dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menetapkan bahwa bagian dari iman juga adalah beriman kepada takdir. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu yang terjadi di alam semesta sampai hari Kiamat melainkan dengan qadha dan qadar Allah Azza wa Jalla.
Dalam riwayat-riwayat tersebut terdapat perintah beriman kepada takdir, peringatan dari mengingkarinya, dan menerangkan akibat mengingkari takdir.
Kesimpulan:
1.       Wajibnya beriman kepada takdir.
2.       Ancaman keras terhadap sikap mengingkari takdir.
3.       Menetapkan adanya qalam (pena) dan pencatatan segala sesuatu yang akan terjadi sampai hari Kiamat.
   **********
Dalam kitab Musnad dan Sunan dari Ibnud Dailami disebutkan, “Aku datang kepada Ubay bin Ka’ab dan berkata, “Dalam diriku ada sesuatu yang mengganjal terkait dengan takdir, maka sampaikanlah kepadaku suatu hadits yang semoga Allah menghilangkan hal itu dari hatiku.” Ubay bin Ka’ab berkata, “Jika engkau menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka Allah tidak akan menerimanya sampai engkau mau beriman kepada takdir, serta mengetahui bahwa sesuatu yang ditakdirkan akan menimpamu maka tidak akan meleset, sedangkan yang ditakdirkan tidak akan menimpamu, maka tidak akan menimpamu. jika engkau meninggal dunia tidak di atas keyakinan ini, maka engkau termasuk penghuni neraka.”
Ibnud Dailami berkata, “Aku pun mendatangi Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah ibnul Yaman, dan Zaid bin Tsabit, ternyata mereka menyampaikan hadits yang sama dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Hakim dalam Shahihnya)
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan oleh Abu Dawud no. 4699, Ibnu Majah no. 77, Ahmad dalam Al Musnad 5/182, 183, 185, 189, dan Ibnu Hibban dalamMawarid Azh Zham’an no. 1817. Hadits di atas dishahihkan oleh Al Albani.
Ibnud Dailami dalam hadits di atas bernama Abdullah bin Fairuz Ad Dailami, seorang yang tsiqah dan termasuk tabi’in senior, adapun ayahnya Fairuz adalah seorang yang berhasil membunuh nabi palsu bernama Al Aswad Al Insiy.
Dalam hadits di atas, Abdullah bin Fairuz menyatakan akan keganjalan dalam hatinya terkait masalah qadar, ia khawatir jika sampai mengingkarinya, maka ia pun mendatangi Ahli Ilmu dari kalangan para sahabat radhiyallahu anhum dengan harapan hilangnya keraguan ini. Demikianlah yang seharusnya dilakukan seorang mukmin, yakni bertanya kepada para ulama untuk menyingkirkan syubhat dan keganjalan dalam hatinya sebagaimana firman Allah Ta’ala,
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada Ahli Ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Qs. An Nahl: 43)
Kemudian para sahabat itu berfatwa menyatakan kewajiban beriman kepada takdir, dan bahwa mengingkarinya dapat menjadikan pelakunya sebagai Ahli Neraka.
Kesimpulan:
1.       Ancaman keras bagi orang yang mengingkari takdir.
2.       Bertanya kepada Ahli Ilmu dalam urusan yang mengganjal di hati atau masalah syubhat.
3.       Kewajiban Ahli Ilmu adalah memberikan jawaban dan menyingkirkan syubhat, serta menyebarkan ilmu ke tengah-tengah umat.

Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid  (Dr. Shalih Al Fauzan),Tahqiq At Tajrid fi Syarh Kitab At Tauhid (Abdul Hadiy Al Bakri, takhrij Abu Usamah Hasan Al ‘Awaji), Maktabah Syamilah, dll.