Bab : Tentang Tathayyur
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الفَأْلُ»
“Tidak ada ‘adwa dan thiyarah, tetapi fa’l yang membuatku senang.”
Para sahabat bertanya, “Apa fa’l itu?” Beliau menjawab, “Kalimat yang baik.”
Penjelasan:
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam meniadakan anggapan kaum Jahiliyyah yang beranggapan adanya penyakit yang menular dengan sendirinya, tanpa takdir dari Allah Azza wa Jalla. Demikian pula Beliau telah membatalkan keyakinan thiyarah, yaitu merasa sial dengan sesuatu, baik dengan terbangnya burung, dengan nama, dengan lafaz, sosok seseorang atau lainnya.
Adapun Fa’l artinya merasa gembira akan memperoleh kebaikan karena sesuatu (optimis); kebalikan dari thiyarah. Maksud sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa fa’l adalah kalimat yang baik misalnya seorang yang sakit mendengar orang lain berkata, “Wahai orang yang sehat,” lalu ia berharap agar dirinya sehat dari penyakit yang dideritanya.
Kesimpulan:
1. Fa’l (merasa gembira karena sesuatu) tidak termasuk thiyarah yang terlarang.
2. Maksud istilah fa’l.
3. Disyariatkan bersangka baik kepada Allah dan dilarang bersangka buruk kepada-Nya.
4. Fa’l artinya merasa mendapatkan kebaikan karena sesuatu, sedangkan thiyarah merasa sial karena sesuatu.
5. Fa’l terdapat bentuk husnuzhzhan (bersangka baik) kepada Allah, sedangkan thiyarah terdapat su’uzhzhan (bersangka buruk) kepada Allah.
**********
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Urwah bin Amir, ia berkata, “Thiyarah pernah disebut-sebut di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Yang paling baik adalah fa’l, dan thiyarah tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari niatnya. Jika salah seorang di antara kamu melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka ucapkanlah,
اَللَّهُمَّ لاَ يَأْتِي بِالْحَسَنَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ
“Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menolak keburukan kecuali Engkau, dan tidak ada daya serta upaya melainkan dengan pertolongan-Mu.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan dalam Sunan Abu Dawud no. 3919, namun didhaifkan oleh Al Albani. Tentang rawi (periwayat) hadits di atas yaitu Urwah bin Amir, Al Hafizh dalam Tahdzibut Tahdzib 7/185 berkata, “Sebagian ulama menyebutkan bahwa ia adalah seorang sahabat, namun yang lain meragukannya, dan riwayatnya dari sebagian sahabat tidak menghalanginya sebagai sahabat, namun yang tampak bahwa riwayat Habib daripadanya adalah terputus.”
**********
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu secara marfu’ (bersumber dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam) disebutkan,
«الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثَلَاثًا، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ»
“Thiyarah itu syirik. Thiyarah itu syirik.” Beliau menyampaikan demikian sebanyak tiga kali. Tidak ada di antara kita kecuali telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini, hanyasaja Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkannya dengan bertawakkal kepada-Nya. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, ia (Tirmidzi) menshahihkannya dan menyatakan bahwa kalimat terakhir adalah ucapan Ibnu Mas’ud)
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan dalam Sunan Abu Dawud no. 3910 dan Sunan Tirmidzi no. 1614, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya sampai, “Thiyarah itu syirik.” Sebanyak tiga kali, selebihnya adalah ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu.
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerangkan secara berulang kali bahwa thiyarah atau merasa sial dengan sesuatu adalah syirik. Beliau mengulangi ucapan itu agar betul-betul tertancap dalam hati kita akan haramnya hal itu, karena di dalamnya terdapat ketergantungan kepada selain Allah dan bersanga buruk kepada-Nya.
Hadits di atas juga menunjukkan, bahwa thiyarah adalah syirik.
Kesimpulan:
1. Thiyarah adalah syirik.
2. Disyariatkannya mengulang-ulang materi penting agar terpateri dalam hati.
3. Allah akan menghilangkan thiyarah dengan bertawakkal kepada-Nya.
**********
Dalam riwayat Ahmad dari hadits (Abdullah) Ibnu Amr, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ، فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barang siapa yang mengurungkan hajatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa kaffarat (penebus) dosa itu?”
Beliau bersabda, “Yaitu jika ia berdoa,
اَللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari-Mu, dan tidak ada kesialan kecuali kesialan yang Engkau tetapkan, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.”
Dalam riwayat lain dari hadits Al Fadhl bin Abbas disebutkan,
إِنَّمَا الطِّيَرَةُ مَا أَمْضَاكَ، أَوْ رَدَّكَ
“Thiyarah adalah sesuatu yang membuatmu melanjutkan keinginan atau mengurungkannya.”
**********
Penjelasan:
Hadits Abdullah Ibnu Amr isnadnya hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (2/220), Ibnus Sunni dalam Amalul Yaumi wal Lailah (292), dan Ibnu Wahb dalam Jaminya (657). Dalam sanadnya meskipun ada Ibnu Lahi’ah, namun yang meriwayatkan darinya adalah Ibnu Wahb seorang yang mendengar darinya. Oleh karena itu Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Ash Shahihah no. 1065.
Adapun hadits Al Fadhl bin Abbas, maka dhaif. Imam Ahmad meriwayatkannya dari jalan Ibnu Ulatsah, dari Maslamah Al Juhanniy, ia berkata, “Aku mendengar ia menceritakan dari Al Fadhl bin Abbas, dst.” Syaikh Muhammad Al Allawi berkata, “Dalam isnadnya terdapat Muhammad bin Abdullah bin Ulatsah, ia seorang yang diperselisihkan, dan lebih dekat dinyatakan dhaif, sedangkan Maslamah Al Juhanniy terdapat kemajhulan padanya, serta tidak mendengar dari Al Fadhl, karena Al Fadhl lebih dulu wafat, sehingga terdapat inqitha (terputus) sebagaimana dinyatakan oleh penyusun Fathul Majid (2/536).”
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan, bahwa barang siapa yang mengurungkan hajatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik. Hal itu karena sama saja ia telah bergantung kepada selain Allah dan tidak bertawakkal kepada-Nya, serta bersangka buruk kepada-Nya. Dalam hadits di atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga mengajarkan doa yang dapat menghapuskan dosa tersebut yang di dalamnya terdapat penyerahan diri kepada Allah dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya.
Kesimpulan:
1. Thiyarah adalah haram dan syirik.
2. Thiyarah membuat seseorang jatuh ke dalam syirik ketika membuatnya mengurungkan hajat atau keinginannya.
3. Jika hati seseorang tidak terpengaruh oleh perasaan sial, dan ia terus melanjutkan keinginannya, maka ia tidak terjatuh ke dalam thiyarah yang syirik.
4. Mengetahui doa kaffarat (penebus) dosa thiyarah.
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Ta’liq Kitab Tauhid (Syaikh Ibnu Baz, takhrij M. Al Allawi), MaktabahSyamilah versi 3.45, dll.