Orang alim memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan Allah. Juga tinggi kedudukannya di hadapan makhluk-Nya. Semua ini merupakan pemberian dan karunia-Nya. Allah mengatakan di dalam Al-Qur’an:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ
”Katakanlah: ‘Hai Tuhan yang memiliki kerajaan, engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari siapa yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan.'” (Ali ‘Imran: 26)
Kedua ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa yang mengangkat dan menjatuhkan seseorang adalah Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, usaha untuk mengangkat diri atau mengangkat siapa saja di hadapan orang lain, semuanya dengan kehendak Allah. Tanpa berharap pun, jika di sisi Allah subhanahu wata’ala seseorang memang pantas diangkat kedudukannya, niscaya ia akan diangkat.
As-Sa’di di dalam tafsirnya mengatakan: “Perkaranya bukan hanya keinginan-keinginan ahli kitab (seseorang diangkat atau tidak) dan tidak pula selain mereka. Akan tetapi perkaranya adalah milik Allah subhanahu wata’ala. Semua Dia yang mengatur, tidak ada seorangpun yang sanggup menentang atau membantu-Nya dalam pengaturan ini.
Seandainya semua makhluk dari kalangan jin dan manusia dulu maupun sekarang, bahu-membahu dan memuji untuk mengangkatmu, maka mereka tidak akan sanggup kecuali memang yang telah dikehendaki Allah. Dan kehendak Allah subhanahu wata’ala, tidak sama dengan kehendak makhluk-Nya. Demikian juga jika seluruh makhluk bersatu-padu ingin menjatuhkan atau menghinakan seseorang, maka mereka tidak akan sanggup melainkan dengan kehendak-Nya.
Dan sebaliknya. Dalam pandangan makhluk bisa jadi seseorang pantas untuk diangkat kedudukannya. Akan tetapi karena dalam pandangan Allah tidak demikian, maka kita tidak bisa memaksakan keinginan kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Dialah Dzat tunggal yang berbuat sesuai dengan kehendak-Nya.”
لاَ يُسْئَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْئَلُوْنَ
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuatnya dan merekalah yang ditanya (apa yang mereka perbuat).” (Al-Anbiya: 23)
فَعَّالٌ لِمَا يُرِيْدُ “(Allah) Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruj: 16)
Barakah Datang dari Allah
Barakah secara bahasa artinya “kebaikan yang banyak dan tetap.” Diambil dari kata “birkah” yang artinya kumpulan air. Sedangkan menurut syariat yaitu kebaikan yang banyak diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada siapa yang dikehendaki. Dari definisi keduanya, bisa ditarik kesimpulan bahwa barakah itu datang dari Allah subhanahu wata’ala sebagai satu bentuk karunia yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah mengatakan dalam Al-Qur’an:
بِيَدِكَ الْخَيْرُ “Di tangan Engkaulah segala kebaikan.” (Ali ‘Imran: 26)
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْراً كَثِيْراً
“Allah menganugerahkan kefahaman (Al-Hikmah) kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi Al-Hikmah itu, maka dia benar-benar telah dianugerahi kebaikan yang banyak.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِيْ يَدَيْكَ
“Dan kebaikan seluruhnya ada di kedua tangan-Mu.” (Shahih, HR. Muslim no. 771 dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Tabarruk dalam Agama
Bertabarruk, istilah yang sangat kita kenal ini, maknanya adalah mencari barakah (berkah). Mencari barakah tidak terlepas dari dua keadaan:
Pertama, mencari barakah dengan perkara yang telah disyariatkan seperti (dengan) Al-Qur’an. Allah berfirman tentang hal ini:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ
“Al-Qur’an yang Kami telah turunkan kepadamu akan dapat memberikan barakah.”
Bentuk barakah Al-Qur’an di antaranya, barang siapa mengambil apa yang ada di dalamnya baik berupa perintah maupun larangan, niscaya akan terwujud kemenangan, dan Allah telah menyelamatkan umat-umat dengan Al-Qur’an ini. Termasuk juga dari barakah Al-Qur’an, bahwa satu huruf memiliki sepuluh kali lipat kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan tentang hal ini:
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
”Sesungguhnya Allah mengangkat suatu kaum dengan Al-Qur’an ini dan menghinakan kaum yang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 817 dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu).
Kedua, bertabarruk dengan perkara yang umum dan dapat dirasakan seperti bertabarruk (mencari kebaikan yang banyak) dengan cara mengajar, berdoa dan sebagainya (misalnya: bertabarruk dengan ilmu dan dakwah menuju kebaikan). Tentunya ini merupakan wujud barakah yang karenanya kita mendapatkan kebaikan yang banyak. (Al-Qaulul Mufid, 1/240)
Islam sendiri telah menetapkan adanya barakah pada hal-hal yang telah ditentukan oleh syariat di mana setiap orang berhak untuk mendapatkannya. Barakah tidak hanya didapati oleh murid guru tertentu, kelompok ataupun pengikut tertentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang Al-Qur’an:
اقْرَؤُا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفَيْعاً لأَصْحَابِهِ
“Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an itu akan menjadi pemberi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat.” (Shahih, HR. Muslim dan shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu)
اجْتَمِعُوْا عَلىَ طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيِهِ يُبَارِكَ لَكُمْ فِيْهِ
“Makanlah kalian dengan berjamaah dan sebutlah Allah, niscaya Allah akan memberkahi kalian padanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3199, Shahih Sunan Ibni Majah no. 3286, dan di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 664 dari shahabat Wahsyi radhiallahu ‘anhu).
مَنْ تَطَهَّرَ فِيْ بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ وَصَلىَّ فِيْهِ صَلاَةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ
”Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian dia mendatangi masjid Quba dan shalat di dalamnya, maka ganjarannya seperti pahala umrah.” (HR. Ahmad, An-Nasai, dan Ibnu Majah, dan telah dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitabnya Shahih Sunan Ibni Majah, 1/238 no. 1160, dan Ta’liqul Ar-Raghib, 2/138)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang itsmid (celak mata):
عَلَيْكُمْ بِاْلإِثْمِدِ فَإِنَّهُ مَنْبَتَةٌ لِلشَّعْرِ مُذْهِبَةٌ لِلْقَذَرِ مُصْفَاةٌ لِلْبَصَرِ
“Hendaklah kalian memakai itsmid karena sesungguhnya itsmid itu dapat menumbuhkan bulu mata, menghilangkan kotorannya, dan membersihkan penglihatan.” (HR. Al-Bukhari di dalam At-Tarikh, 4/2/412, dan Ath-Thabrani, 1/12/1, dan Abu Nua’im di dalam Al-Hilyah, 3/178, dan dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2/270 no. 665, dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Masih banyak lagi nash-nash yang menjelaskan adanya kebaikan (berkah) yang banyak pada makhluk-makhluk Allah yang lain. Dan itu menjadi sandaran bagi kita bahwa syariat menjelaskan adanya barakah yang dikandungnya.
Macam-Macam Tabarruk
Tabarruk terkadang dijadikan sebagai pembenaran atas amalan tertentu yang sebenarnya terlarang menurut syariat, bahkan termasuk dari perbuatan syirik besar. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui macam-macam tabarruk, mana yang diperbolehkan dan yang dilarang:
Pertama, tabarruk yang disyariatkan, sebagai berikut:
a. Tabarruk dengan ucapan, amalan, dan keadaan-keadaan (perilaku).
Di dalam Islam, ada beberapa perkataan, amalan, dan perilaku yang apabila dipraktekkan akan terwujud kebaikan dan barakah yang banyak. Tentu selama hal tersebut mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Contohnya adalah dzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an. Di antara barakah dzikir kepada Allah adalah mendapatkan doa dari malaikat, sanjungan di hadapan makhluk-Nya dan ampunan dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Di antara barakah Al-Qur’an adalah sebagai obat, petunjuk, dan rahmat bagi seluruh manusia. Serta sebagai pemberi syafaat kelak di hadapan Allah sebagaimana dalam hadits Abu Umamah yang dikeluarkan Al-Imam Muslim.
Adapun contoh amalan yang mengandung berkah adalah menuntut ilmu dan mengajarkannya. Di antara barakahnya adalah terangkatnya derajat di dunia dan di akhirat. Kemudian shalat secara berjamaah, yang barakahnya adalah dihapuskannya dosa-dosa dan dilipatgandakannya kebaikan-kebaikan.
Contoh perilaku (keadaan) di antaranya makan berjamaah, makan dari pinggir nampan, menjilat lidah dan menakar makanan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang shahih.
b. Tabarruk dengan tempat
Memang ada sejumlah tempat yang oleh Allah dijadikan tempat yang mengandung banyak kebaikan (barakah). Yakni apabila beramal di tempat tersebut dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Contohnya adalah masjid-masjid, di mana mencari barakahnya dengan melaksanakan shalat lima waktu, beri’tikaf, menghadiri majelis ilmu, dan sebagainya dengan cara-cara yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perlu diketahui, bertabarruk pada masjid-masjid itu bukan dengan cara mengusap-ngusap tembok atau tanah masjid tersebut, atau yang hal-hal lain yang dilarang syariat.
Contoh lain bahwa Allah melalui lisan Rasul-Nya telah menjelaskan barakah kota Makkah, Madinah, Syam, Masjid Al-Haram, Masjid Quba, dan Masjid Al-Aqsha. Mencari barakah padanya bukan dengan menziarahi semata, mencium, atau mengusap tanahnya, namun dengan cara beribadah di dalamnya sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits.
c. Tabarruk dengan waktu
Contoh waktu yang telah dikhususkan oleh syariat di mana waktu tersebut mengandung kebaikan yang banyak (barakah) adalah bulan Ramadhan. Caranya, mengisi bulan mulia tersebut dengan berpuasa yang akan terhapuskan dosa-dosa dan bertambahnya rizki orang-orang yang beriman. Contoh lain adalah malam Lailatul Qadar, sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir, dan lain-lain. Mencari barakah pada waktu-waktu tersebut adalah dengan cara melaksanakan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apa-apa yang disebutkan di atas maupun yang belum disebutkan yang sudah jelas nashnya, mencari barakahnya adalah dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah dan tidak keluar dari pensyariatan tersebut. (At-Tabarruk Al-Masyru’, Al-‘Ulyani, hal. 33-50)
Kedua, tabarruk batil yang tidak diperbolehkan. Di antara bentuk-bentuk tabarruk batil ini adalah:
a. Tabarruk pada tempat-tempat yang tidak dijelaskan oleh syariat baik dengan cara mencium, mengusap, atau mencari syafaat darinya.
b. Pergi ke kuburan dengan tujuan ziarah dan berdoa di sisinya, dengan keyakinan bahwa berdoa di sisinya lebih utama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim (hal. 433) mengatakan, “Bila seseorang shalat di sisi kuburan para nabi atau orang-orang shalih dengan tujuan untuk mencari barakah, maka ini merupakan bentuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi agama, dan mengada-ada di dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah.“
c. Disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juga (hal. 424-426) contohnya seperti orang yang pergi ke gua Hira kemudian shalat di dalamnya, berdoa ke gua Tsur lalu shalat dan berdoa di dalamnya, atau ke bukit Thursina lalu shalat dan berdoa padanya. Atau pergi ke gunung-gunung atau selainnya yang disebut sebagai maqamat (tempat bersejarah) para nabi.
Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam fatwa beliau (3/334) membantah orang-orang yang menghidupkan peninggalan-peninggalan nubuwwah seperti jalan yang dilalui oleh beliau ketika berhijrah, atau tempat tenda Ummu Abd (atau Ummu Ma’bad ???) atau yang sejenisnya. Beliau menjelaskan bahwa cara demikian dapat mengarah pada perbuatan mengagungkan, berdoa di sisinya, atau shalat, dan lain sebagainya. Semua ini merupakan jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada kesyirikan.
d. Menetapkan waktu-waktu tertentu dengan berbagai macam bentuk pengagungan dan acara-acara serta berbagai bentuk ibadah lainnya. Seperti menyambut hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hari Isra’ Mi’raj, hari hijrah, hari Badr, hari Fathu Makkah, dan sebagainya. Bertabarruk pada hari-hari di atas termasuk perbuatan bid’ah dalam agama.
e. Bertabarruk dengan orang-orang shalih, peninggalan-peninggalan mereka seperti tongkatnya, air ludahnya, rambutnya, keringatnya, pakaian-pakaiannya, tempat tidurnya dan lain sebagainya.
(Ta’liq Al-Qaul Al-Mufid, 1/246-250)
Tabarruk Orang-Orang Jahiliyyah
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
أَفَرَأَيْتُمُ اللاَّتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى
“Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik menganggap) Al-Lata dan Al-‘Uzza dan Manat yang ketiga. Yang paling terkemudian (sebagai anak-anak perempuan Allah)?” (An-Najm: 19-20)
Tiga sesembahan di atas merupakan tuhan-tuhan yang besar di kalangan mereka. Tuhan-tuhan itulah tempat mereka memuja dan memuji, serta bertabarruk kepada-Nya. Lalu apakah Al-Lata, Al-‘Uzza, dan Manat itu?
Adapun Al-Lata menurut Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/253), adalah sebuah batu besar yang terukir dan berwarna putih di mana di atasnya terdapat sebuah rumah. Memiliki kelambu dan juru kunci di sekelilingnya, serta terdapat halaman. Al-Lata memiliki kedudukan yang agung di sisi Bani Tsaqif, penduduk Thaif, di mana mereka sangat bangga dengannya di negeri Arab setelah Quraisy. Hakekat Al-Lata disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan Rabi’ bin Anas bahwa dia adalah seseorang yang mengadon tepung untuk orang-orang yang melaksanakan haji di masa jahiliyyah. Ketika meninggal, orang-orang i’tikaf di kuburannya untuk kemudian menyembahnya.
Adapun Al-‘Uzza menurut Ibnu Jarir adalah sebuah pohon yang di atasnya terdapat bangunan yang memiliki kelambu. Benda yang sangat diagungkan orang-orang Quraisy ini terletak di Nakhlah, yakni suatu tempat di antara Makkah dan Thaif.
Adapun Manat adalah sesembahan yang berada di Musyallal, tempat antara Makkah dan Madinah, di mana suku Khuza’ah, Aus, dan Khazraj mengagungkan dan memakaikan pakaian ihram padanya.
Di antara bentuk tabarruk mereka adalah apa yang diceritakan oleh Abu Waqid Al-Laitsi. Beliau berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menuju Hunain dan kami baru pindah dari agama kufur (menuju Islam). Orang-orang musyrik memiliki sidrah (sebuah pohon) tempat mereka berhenti dan beristirahat. Dan mereka juga menggantungkan pedang-pedang mereka (untuk bertabarruk dengannya). Pohon itu disebut Dzatu Anwath. (Kata Abu Waqid) kami kemudian melewati sebuah sidrah kemudian mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka (orang-orang musyrik) memiliki Dzatu Anwath.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Allahu Akbar, sesungguhnya apa yang kalian katakan ini merupakan jalan-jalan (orang sebelum kalian). Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seperti ucapan bani Israil kepada Musa: ‘Buatkanlah kami satu sesembahan sebagaimana mereka memiliki banyak sesembahan’. (Musa) berkata: ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil.’ (Rasulullah berkata: ‘Kalian benar-benar akan mengikuti langkah-langkah orang sebelum kalian)’.” (HR. At-Tirmidzi no. 2181, beliau berkata: hadits hasan shahih).
Bentuk tabarruk mereka adalah mengagungkan pohon tersebut, beri’tikaf padanya lalu mengharapkan kebaikan darinya.
Tabarruk kepada Sang Guru, Benarkah?
Bagaimana dengan bertabarruk kepada kanjeng guru? Apakah hal ini dibenarkan? Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tabarruk yang diperbolehkan adalah apa yang telah dijelaskan kebolehannya oleh syariat. Adapun tabarruk kepada zat orang shalih atau peninggalan-peninggalannya, tidak ada syariatnya sama sekali. Karena, hal tersebut termasuk bentuk tabarruk yang batil.
Lalu bagaimana dengan perbuatan para shahabat terhadap diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di mana mereka berebutan mengambil ludah beliau, air wudhu beliau, bahkan di antara mereka ada yang mengumpulkan keringat dan rambut beliau?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan di dalam Fathul Majid (1/264), syarah beliau terhadap Kitab Tauhid, menjawab syubhat ini, dengan ucapan: “Adapun yang didengungkan oleh orang-orang sekarang ini bahwa boleh bertabarruk dengan peninggalan-peninggalan orang shalih, maka hal demikian terlarang dari beberapa sisi:
1. Generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat dan generasi setelahnya tidak pernah melakukannya kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak di masa hidup beliau ataupun setelah meninggalnya.
2. Bila yang demikian itu adalah baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya.
3. Seutama-utama shahabat adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman dan ‘Ali radhiallahu ‘anhum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan telah mempersaksikan mereka menjadi penghuni surga. Namun tidak ada seorangpun dari kalangan shahabat atau tabi’in yang melakukan amalan tersebut (yaitu bertabarruk) kepada tokoh-tokoh shahabat itu. Begitu juga tidak pernah dilakukan oleh generasi tabi’in kepada ahli ilmu dan ulama di masa mereka.
4. Tidak boleh mengqiyaskan (menyamakan) kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan seorangpun dari umat ini.
5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak boleh orang lain masuk ikut menyertai beliau dalam kekhususan itu.
6. Melarang yang demikian ini dimaksudkan sebagai cara untuk menutup pintu-pintu kesyirikan.