Pengertian Tauhid Rububiyah
Imam ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah berkata, “Akar kata dari Rabb
adalah tarbiyah; yaitu menumbuhkan sesuatu dari satu keadaan kepada
keadaan berikutnya secara bertahap hingga mencapai kesempurnaan.”
(lihat al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/245])
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata,
“Rabb menurut bahasa digunakan untuk tiga makna; sayyid/tuan yang
dipatuhi, maalik/pemilik atau penguasa, atau sosok yang melakukan
ishlah/perbaikan kepada selainnya.” (dari transkrip ceramah Syarh
Tsalatsat al-Ushul milik beliau)
Tauhid
rububiyah adalah seorang hamba meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya
Rabb, Yang Maha Mencipta, Yang Maha Memberikan Rizki, Yang Mengatur segala
urusan, yang memelihara dan menjaga seluruh makhluk dengan segala bentuk nikmat.
Meyakini bahwasanya Allah yang memelihara dan menjaga makhluk-makhluk
pilihan-Nya yaitu para nabi dan pengikut mereka dengan bimbingan akidah yang
benar, akhlak yang mulia, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan amal salih. Inilah
bentuk tarbiyah (pemeliharaan dan penjagaan) yang bermanfaat bagi hati dan ruh,
yang akan membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat (lihat al-Qaul
as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 13)
Tauhid rububiyah juga bisa didefinisikan dengan: mengesakan Allah dalam hal
penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan. Allah ta’ala berfirman,
هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ
يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Apakah ada pencipta selain Allah yang memberikan rizki kepada kalian
dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3).
Allah ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ
“Dan milik Allah lah kekuasaan atas langit dan bumi” (QS. Ali
‘Imran: 189).
Allah ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ
الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ
الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: Siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan
bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati, siapakah yang mengeluarkan yang mati
dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan. Niscaya mereka akan
menjawab, Allah. Maka katakanlah, Lalu mengapa kalian tidak
bertakwa” (QS. Yunus: 31)
(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/5-6] cet. Maktabah
al-’Ilmu, lihat juga Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah hal. 34)
Allah Satu-Satunya Pencipta
Secara logika, ada tiga kemungkinan teori terjadinya alam semesta:
- Ia terjadi begitu saja secara tiba-tiba, tanpa ada pencipta
- Ia menciptakan dirinya sendiri
- Ia ada karena diciptakan
Kemungkinan pertama dan kedua jelas tertolak. Karena sesuatu yang terjadi
secara tiba-tiba tidak bisa tertata rapi dan teratur pada asal pembentukannya,
maka lebih tidak mungkin lagi ia tertata dengan baik dalam perkembangannya. Dan
mustahil ia menciptakan dirinya sendiri. Karena sebelum ada, alam semesta ini
tidak ada. Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada bisa mencipta? Ada saja
tidak! Oleh sebab itu hanya kemungkinan ketiga yang tersisa, yaitu alam ini ada
karena diciptakan. Adapun penciptanya tidak lain adalah Allah ta’ala.
Allahta’ala telah mengisyaratkan tiga kemungkinan ini dalam
firman-Nya,
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ
أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
“Apakah mereka itu tercipta tanpa ada sesuatu apapun sebelumnya, ataukah
mereka sendiri yang menciptakan?” (QS. ath-Thur: 35). Maka sangatlah wajar
jika seorang arab yang mau menggunakan akalnya seperti Jubair bin Muth’im pun
seketika tertarik kepada Islam setelah mendengar dibacakannya ayat ini
(lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul karya Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin, hal. 17-18 cet. Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, lihat juga Fath
al-Bari karya al-Hafizh Ibnu Hajar [8/708] cet. Dar al-Hadits)
Dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya -semoga Allah
meridhainya-, dia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membaca surat ath-Thur pada saat shalat Maghrib. Tatkala beliau
sampai pada ayat ini,
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ
أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا
يُوقِنُونَ أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ الْمُصَيْطِرُونَ
“Apakah mereka itu diciptakan tanpa ada sesuatu sebelumnya, ataukah
mereka sendiri yang menciptakan? Apakah mereka yang menciptakan langit dan bumi?
Bahkan, mereka pun tidak meyakininya. Apakah di sisi mereka ada perbendaharaan
Rabb-mu, ataukah mereka yang menguasainya?” (QS. ath-Thur: 35-37).
Maka Jubair bin Muth’im pun berkata, “Hampir-hampir saja hatiku melayang.”
(HR. Bukhari).
Dikisahkan, suatu ketika Imam Abu Hanifah rahimahullah ditanya oleh
sejumlah orang zindiq/atheis mengenai keberadaan pencipta alam ini. Beliau pun
berkata kepada mereka, “Tunggu sebentar, biarkan aku berpikir mengenai suatu
berita yang disampaikan kepadaku. Mereka pernah menceritakan kepadaku bahwa ada
sebuah kapal yang berlayar di tengah lautan berisi muatan berbagai barang
dagangan. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang menjaga dan mengemudikannya.
Meskipun begitu, kapal itu datang dan pergi dengan sendirinya. Ia menembus
gelombang lautan yang ganas dan meloloskan diri darinya. Ia berlayar ke mana pun
ia mau tanpa ada seorang pun yang mengendalikannya.” Orang-orang zindiq itu pun
berkata, “Ini adalah sebuah perkara yang tidak diucapkan oleh orang yang
berakal.” Lantas Abu Hanifah mengatakan, “Sungguh celaka kalian! Kalau begitu
bagaimana mungkin alam semesta ini, langit dan buminya, beserta segala isinya
yang begitu teratur, ternyata ia tidak memiliki pencipta?!”. Orang-orang itu pun
terdiam seribu bahasa. Akhirnya mereka kembali kepada kebenaran dan masuk Islam
di tangan Imam Abu Hanifah rahimahullah ( lihat Tafsir Surah
al-Fatihah, hal. 14 oleh Syaikh Abdullah al-Qar’awi, lihat pula Syarh
al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 84-85 ).
Pengakuan Orang Musyrik Terhadap Tauhid Rububiyah
Tauhid
rububiyah adalah sesuatu yang telah menjadi fitrah manusia dan hakikat yang
diterima oleh akal sehat mereka. Orang-orang kafir sekalipun sebenarnya
mengimani hal ini di dalam hatinya.
Allah ta’ala berfirman,
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ
شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Para rasul mereka pun mengatakan, “Apakah ada keraguan terhadap Allah;
padahal Dia lah yang menciptakan langit dan bumi.”” (QS. Ibrahim:
10).
Allah ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ
“Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka siapakah yang
menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab, ‘Yang menciptakannya
adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui’.” (QS.
az-Zukhruf: 9)
Allah ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ
خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan diri
mereka, niscaya mereka menjawab: Allah. Lalu dari mana mereka bisa dipalingkan
(dari menyembah Allah).” (QS. az-Zukhruf: 87).
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
orang-orang musyrik arab dahulu telah mengakui tauhid rububiyah. Mereka pun
mengakui bahwa pencipta langit dan bumi ini hanya satu.” (lihat Syarh
al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 81, lihat juga Fath al-Majid, hal.
16, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/201] [7/167])
Adapun yang terjadi kepada Fir’aun adalah sebuah kesombongan dan kecongkakan
belaka. Allah ta’ala menceritakan,
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ
الْأَعْلَى
“Maka dia (Fir’aun) berkata: Aku adalah Rabb kalian yang tertinggi.”
(QS. an-Nazi’at: 24).
Fir’aun juga yang berkata,
مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ
غَيْرِي
“Aku tidak mengetahui bagi kalian ada ilah/sesembahan selain
diri-Ku.” (QS. al-Qoshosh: 38).
Padahal, dalam lubuk hatinya Fir’aun sebenarnya mengakui Allah sebagai
Rabbnya. Allah ta’ala berfirman,
وَجَحَدُوا بِهَا
وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ
عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
“Mereka menentang hal itu, padahal sesungguhnya mereka telah meyakininya
di dalam hatinya, itu semua karena sifat zalim dan karena mereka merasa lebih
tinggi -di hadapan manusia-.” (QS. an-Naml: 14).
Nabi Musa ‘alaihis salam pun telah menetapkan pengakuan Fir’aun atas
hal itu, ketika beliau berbicara di hadapannya. Sebagaimana diceritakan Allah
dalam firman-Nya,
قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ
هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Sungguh kamu telah mengetahui bahwasanya tidaklah yang menurunkan itu
semua melainkan Rabb yang menguasai langit dan bumi.” (QS. al-Israa’: 102)
(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid[1/6])
Tauhid Rububiyah Saja Belum Cukup!
Iman terhadap rububiyah Allah belum bisa memasukkan ke dalam Islam.
Allahta’ala berfirman,
أَفَأَمِنُوا أَنْ تَأْتِيَهُمْ
غَاشِيَةٌ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ أَوْ تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً وَهُمْ لَا
يَشْعُرُونَ
“Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah, melainkan mereka
juga terjerumus dalam kemusyrikan.” (QS. Yusuf: 107).
Ikrimah berkata, “Tidaklah kebanyakan mereka -orang-orang musyrik- beriman
kepada Allah kecuali dalam keadaan berbuat syirik. Apabila kamu tanyakan kepada
mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Maka mereka akan menjawab,
‘Allah’. Itulah keimanan mereka, namun di saat yang sama mereka juga beribadah
kepada selain-Nya.” (lihat Fath al-Bari [13/556])
Ini artinya, menganggap bahwa keyakinan Allah sebagai satu-satunya pencipta
dan pemelihara alam semesta sebagai intisari tauhid adalah jelas sebuah
kekeliruan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah yang dimaksud
dengan tauhid
itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan
alam sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang dari kalangan ahli kalam dan
tasawuf. Bahkan, mereka menyangka apabila mereka telah menetapkan kebenaran hal
ini dengan dalil maka mereka merasa telah mengukuhkan hakikat tauhid. Mereka
beranggapan apabila telah menyaksikan dan mencapai tingkatan ini artinya mereka
berhasil menggapai puncak tauhid. Padahal sesungguhnya apabila ada seseorang
yang mengakui sifat-sifat yang menjadi keagungan Allah ta’ala,
menyucikan-Nya dari segala sesuatu yang mencemari kedudukan-Nya, dan meyakini
Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu, tidaklah dia menjadi seorang muwahid
sampai dia mengucapkan syahadat laa ilaha illallah; tiada sesembahan yang benar
kecuali Allah semata, mengakui Allah semata yang berhak diibadahi, menjalankan
ibadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.” (lihat Fath al-Majid,
hal. 15-16)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan, “Sebagaimana pula wajib
diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah mencukupi dan
tidak bermanfaat kecuali apabila disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah
(mengesakan Allah dalam beribadah) dan benar-benar merealisasikannya dengan
ucapan, amalan, dan keyakinan…” (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal.
24-25).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Mengapa para nabi
tidak berkonsentrasi pada penetapan tauhid rububiyah dan dakwah kepadanya? Sebab
tauhid rububiyah adalah sesuatu yang telah mereka akui. Mereka tidaklah
mengingkarinya, dan tidak ada seorang pun yang berani mengingkari tauhid
rububiyah selamanya, kecuali karena kesombongan semata. Karena pada hakikatnya
tidak ada seorang pun yang meyakini -selamanya- bahwa alam semesta menciptakan
dirinya sendiri. Bahkan, kaum Majusi Tsanuwiyah sekalipun; yang berkeyakinan
bahwa alam semesta ini memiliki dua pencipta. Meskipun demikian, mereka tetap
meyakini bahwa salah satu diantara keduanya lebih sempurna. Mereka meyakini
bahwa tuhan cahaya menciptakan kebaikan, sedangkan tuhan kegelapan menciptakan
keburukan. Sementara mereka mengatakan bahwa tuhan cahaya adalah tuhan yang baik
dan bermanfaat. Adapun tuhan kegelapan adalah tuhan yang buruk…” “…Intinya,
tidak akan anda temukan selamanya seorang pun yang berkata bahwa alam semesta
ini diciptakan tanpa adanya Sang pencipta, kecuali orang yang sombong. Sedangkan
orang yang sombong semacam ini adalah termasuk golongan orang musyrik. Adapun
masalah [tauhid] uluhiyah, maka itulah permasalahan yang menjadi sumber
pertikaian dan pertentangan antara para rasul dengan umat mereka.”
(lihat Syarh al-Qawa’id al-Hisan, hal. 21)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Diantara
perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam bidang ilmu
tauhid dari kalangan belakangan (muta’akhirin) lebih memfokuskan pembahasan
mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka sedang berbicara dengan kaum yang
mengingkari keberadaan Rabb [Allah] -walaupun mungkin ada orang yang mengingkari
Rabb [Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta]- akan tetapi bukankah betapa
banyak umat Islam yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!” (lihat al-Qaul
al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/8])
Tatkala para ulama salaf sangat memperhatikan masalah tauhid ibadah,
sesungguhnya mereka melakukan itu semata-mata untuk mengikuti bagaimana Allah
dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya. Karena
tauhid rububiyah adalah perkara yang fitrah ada pada manusia, tidak ada yang
mengingkarinya kecuali orang yang telah tercabut fitrah darinya dan terbutakan
mata hatinya… Adapun salafiyun -dengan manhaj mereka ini- berbeda dengan kaum
Mutakallimin dari kalangan Asya’irah dan selainnya yang melalaikan masalah
tauhid ini dan tidak mencurahkan segenap upaya mereka untuk mengokohkan dan
mengajarkan hal itu kepada umat manusia. Bahkan, puncak perjuangan mereka
hanyalah berdalil untuk menetapkan keberadaan al-Khaliq, padahal ini semuanya
telah terpatri di dalam fitrah manusia yang suci. Sebagaimana sudah kami
isyaratkan baru saja. Oleh sebab itu untuk menetapkan hal itu tidaklah
memerlukan upaya yang rumit. Apalagi sampai menjadikan segala upaya hanya untuk
mencapai tujuan itu. Yang demikian itu terjadi kepada mereka disebabkan mereka
menganggap bahwa hakikat ilahiyah adalah kemampuan untuk mencipta. Oleh sebab
itu mereka berjuang untuk memberikan penjelasan kepada manusia bahwa Allah
sebagai satu-satunya pencipta. Kelalaian inilah yang pada akhirnya menjerumuskan
mereka ke dalam berbagai kotoran bid’ah dalam ibadah dan sebagian praktek
kemusyrikan, akibat mengesampingkan tauhid ibadah (lihat al-Manhaj as-Salafi,
Ta’rifuhu, Tarikhuhu, Majalatuhu, Qawa’iduhu wa Khasha’ishuhu, hal. 134 oleh
Dr. Mafrah bin Sulaiman al-Qusi, cet. Darul Fadhilah, 1422 H)
Tanggapan Kaum Musyrikin Terhadap Dakwah Tauhid
Allah ta’ala berfirman,
عَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ
مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ أَجَعَلَ الْآلِهَةَ
إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Dan mereka merasa keheranan tatkala datang kepada mereka seorang pemberi
peringatan dari kalangan mereka, dan orang-orang kafir itu pun berkata: Ini
adalah tukang sihir dan pendusta. Apakah dia [Muhammad] hendak menjadikan
sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja? Sungguh, ini adalah
perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shod: 4-5) (bacalah kisah menarik
mengenai tafsir ayat ini di dalam Ma’alim at-Tanzil, hal. 1105 oleh Imam
al-Baghawi rahimahullah)
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ
لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا
لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaaha
illallah maka mereka pun menyombongkan diri. Mereka berkata: Akankah kami
meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila”
(QS. Ash-Shaffat: 35-36)
Allah ta’ala berfirman,
كَذَلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ أَتَوَاصَوْا بِهِ
بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Demikianlah, tidak datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang
rasul pun melainkan mereka (kaumnya) berkata: tukang sihir atau orang gila.
Apakah mereka saling berpesan dengannya? Bahkan mereka itu adalah orang-orang
yang melampaui batas” (QS. Adz-Dzariyat: 52-53)
Konsekuensi Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah memiliki banyak konsekuensi bagi hamba, diantaranya
adalah:
- Mengikhlaskan ibadah kepada Allah semata (baca: tauhid uluhiyah)
- Ridha terhadap perintah dan larangan-Nya (baca: tunduk kepada syari’at)
- Ridha terhadap takdir yang ditetapkan-Nya (baca: sabar)
- Ridha terhadap rizki dan pemberian-Nya (baca: qona’ah)
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah menjelaskan,
“Kemudian, sesungguhnya keimanan seorang hamba kepada Allah sebagai Rabb
memiliki konsekuensi mengikhlaskan ibadah kepada-Nya serta kesempurnaan
perendahan diri di hadapan-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan Aku adalah Rabb kalian, maka sembahlah Aku” (QS. al-Anbiya’: 92).
Allahta’ala juga berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia,
sembahlah Rabb kalian” (QS. al-Baqarah: 21). Keberadaan Allah sebagai Rabb
seluruh alam memiliki konsekuensi bahwa Allah tidak akan meninggalkan mereka
dalam keadaan sia-sia atau dibiarkan begitu saja tanpa ada perintah dan larangan
untuk mereka. Akan tetapi Allah menciptakan mereka untuk mematuhi-Nya dan Allah
mengadakan mereka supaya beribadah kepada-Nya. Maka orang yang berbahagia
diantara mereka adalah yang taat dan beribadah kepada-Nya. Adapun orang yang
celaka adalah yang durhaka kepada-Nya dan lebih memperturutkan kemauan hawa
nafsunya. Barangsiapa yang beriman terhadap rububiyah Allah dan ridha Allah
sebagai Rabb maka dia akan ridha terhadap perintah-Nya, ridha terhadap
larangan-Nya, ridha terhadap apa yang dibagikan kepadanya, ridha terhadap takdir
yang menimpanya, ridha terhadap pemberian Allah kepadanya, dan tetap ridha
kepada-Nya tatkala Allah tidak memberikan kepadanya apa yang dia inginkan.”
(lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 97)
Dari al-’Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan
lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan
Muhammad sebagai rasul” (HR. Muslim)
Ridha adalah merasa puas dan cukup dengan sesuatu serta tidak mencari lagi
sesuatu yang lain bersamanya. Makna hadits ini adalah; orang tersebut tidak
mencari dan berharap kecuali kepada Allah ta’ala semata, tidak mau
berusaha kecuali di atas jalan Islam, dan tidak mau menempuh suatu jalan kecuali
apabila sesuai dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seseorang yang telah merasa ridha dengan sesuatu maka sesuatu itu akan terasa
mudah baginya. Demikian pula seorang mukmin apabila iman telah meresap ke dalam
hatinya maka akan terasa mudah segala ketaatan kepada Allah dan dia akan
merasakan nikmat dengannya (lihat Syarh Muslim [2/86] cet. Dar Ibnu
al-Haitsam)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana
telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka
berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia
menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya
terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau
bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang
Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya.”
(lihat al-Fawa’id, hal. 89)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا
مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلَالًا مُبِينًا
“Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula
perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka.
Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat
dengan kesesatan yang amat nyata” (QS. Al-Ahzab: 36)
Allah ta’ala juga berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ
حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, sampai mereka
menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala permasalahan
yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa
sempit di dalam diri mereka, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS.
An-Nisaa’: 65).
Allah ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ
الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ
رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Benar-benar Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut,
kelaparan, serta kekurangan harta, lenyapnya nyawa, dan sedikitnya buah-buahan.
Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang
apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini adalah milik
Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya’. Mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat. Dan mereka itulah
orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. al-Baqarah: 155-157)
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin.
Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali
pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal
itu adalah kebaikan untuknya. Apabila tertimpa kesulitan dia bersabar, maka hal
itu juga kebaikan untuknya.” (HR. Muslim)
Demikianlah yang bisa kami susun dalam kesempatan ini dengan taufik dari
Allah semata. Semoga Allah memberikan manfaat kepada kita dengannya. Wa
shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi
Rabbil ‘alamin.
Penulis: Ari Wahyudi