Pengertian Tauhid Uluhiyah
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menerangkan, “Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh menjelaskan, bahwa kata uluhiyahberasal dari alaha – ya’lahu – ilahah – uluhah yang bermakna ‘menyembah dengan disertai rasa cinta dan pengagungan’. Sehingga kata ta’alluh diartikan penyembahan yang disertai dengan kecintaan dan pengagungan (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 6 dan 74-76, lihat juga al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/26] karya ar-Raghib al-Ashfahani).
Kamilah al-Kiwari hafizhahallahu berkata, “Makna tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah, dalam ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Oleh sebab itu tidak diibadahi kecuali Allah semata dan tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun baik yang ada di bumi ataupun di langit. Tauhid tidak akan terwujud selama tauhid uluhiyah belum menyertai tauhid rububiyah. Karena sesungguhnya hal ini -tauhid rububiyah, pen- tidaklah mencukupi. Orang-orang musyrik arab dahulu telah mengakui hal ini dan hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam. Hal itu dikarenakan mereka mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain yang tentu saja Allah tidak menurunkan keterangan atasnya sama sekali dan mereka mengangkat sesembahan-sesembahan lain bersama Allah…” (lihat al-Mujalla fi Syarh al-Qowa’id al-Mutsla, hal. 32)
Pengertian Tauhid Rububiyah
Imam ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah berkata, “Akar kata dari Rabb adalah tarbiyah; yaitu menumbuhkan sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan berikutnya secara bertahap hingga mencapai kesempurnaan.” (lihat al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/245])Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Rabb menurut bahasa digunakan untuk tiga makna; sayyid/tuan yang dipatuhi, maalik/pemilik atau penguasa, atau sosok yang melakukan ishlah/perbaikan kepada selainnya.” (lihat transkrip ceramah Syarh Tsalatsat al-Ushul milik beliau)
Tauhid rububiyah juga bisa didefinisikan dengan: mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan. Allah ta’ala berfirman,
هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ
يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Apakah ada pencipta selain Allah yang memberikan rizki kepada kalian
dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3).Allah ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan milik Allah lah kekuasaan atas langit dan bumi.” (QS. Ali
‘Imran: 189).Allah ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ
مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: Siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan
bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati, siapakah yang mengeluarkan yang mati
dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan. Niscaya mereka akan
menjawab, Allah. Maka katakanlah, Lalu mengapa kalian tidak
bertakwa” (QS. Yunus: 31)(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/5-6] cet. Maktabah al-’Ilmu, lihat jugaSyarh al-Arba’in an-Nawawiyah hal. 34)
Tauhid Uluhiyah Konsekuensi Tauhid Rububiyah
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah menjelaskan, “Kemudian, sesungguhnya keimanan seorang hamba kepada Allah sebagai Rabb memiliki konsekuensi mengikhlaskan ibadah kepada-Nya serta kesempurnaan perendahan diri di hadapan-Nya. Allah ta’ala berfirman,
وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Dan Aku adalah Rabb kalian, maka sembahlah Aku” (QS. al-Anbiya’:
92).Allah ta’ala juga berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا
رَبَّكُمُ
“Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian” (QS. Al-Baqarah: 21)…”
(lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 97)Iman terhadap rububiyah Allah belum bisa memasukkan ke dalam Islam. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ
إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah, melainkan mereka
juga terjerumus dalam kemusyrikan” (QS. Yusuf: 106).Ikrimah berkata, “Tidaklah kebanyakan mereka -orang-orang musyrik- beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan berbuat syirik. Apabila kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Maka mereka akan menjawab, ‘Allah’. Itulah keimanan mereka, namun di saat yang sama mereka juga beribadah kepada selain-Nya.” (lihat Fath al-Bari [13/556])
Ini artinya, menganggap bahwa keyakinan Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta sebagai intisari tauhid adalah jelas sebuah kekeliruan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah yang dimaksud dengan tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang dari kalangan ahli kalam dan tasawuf. Bahkan, mereka menyangka apabila mereka telah menetapkan kebenaran hal ini dengan dalil maka mereka merasa telah mengukuhkan hakikat tauhid. Mereka beranggapan apabila telah menyaksikan dan mencapai tingkatan ini artinya mereka berhasil menggapai puncak tauhid. Padahal sesungguhnya apabila ada seseorang yang mengakui sifat-sifat yang menjadi keagungan Allah ta’ala, menyucikan-Nya dari segala sesuatu yang mencemari kedudukan-Nya, dan meyakini Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu, tidaklah dia menjadi seorang muwahid sampai dia mengucapkan syahadat laa ilaha illallah; tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, mengakui Allah semata yang berhak diibadahi, menjalankan ibadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.” (lihat Fath al-Majid, hal. 15-16)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan, “Sebagaimana pula wajib diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah mencukupi dan tidak bermanfaat kecuali apabila disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah (mengesakan Allah dalam beribadah) dan benar-benar merealisasikannya dengan ucapan, amalan, dan keyakinan…” (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Mengapa para nabi tidak berkonsentrasi pada penetapan tauhid rububiyah dan dakwah kepadanya? Sebab tauhid rububiyah adalah sesuatu yang telah mereka akui. Mereka tidaklah mengingkarinya, dan tidak ada seorang pun yang berani mengingkari tauhid rububiyah selamanya, kecuali karena kesombongan semata. Karena pada hakikatnya tidak ada seorang pun yang meyakini -selamanya- bahwa alam semesta menciptakan dirinya sendiri. Bahkan, kaum Majusi Tsanuwiyah sekalipun; yang berkeyakinan bahwa alam semesta ini memiliki dua pencipta. Meskipun demikian, mereka tetap meyakini bahwa salah satu diantara keduanya lebih sempurna. Mereka meyakini bahwa tuhan cahaya menciptakan kebaikan, sedangkan tuhan kegelapan menciptakan keburukan. Sementara mereka mengatakan bahwa tuhan cahaya adalah tuhan yang baik dan bermanfaat. Adapun tuhan kegelapan adalah tuhan yang buruk…” “…Intinya, tidak akan anda temukan selamanya seorang pun yang berkata bahwa alam semesta ini diciptakan tanpa adanya Sang pencipta, kecuali orang yang sombong. Sedangkan orang yang sombong semacam ini adalah termasuk golongan orang musyrik. Adapun masalah [tauhid] uluhiyah, maka itulah permasalahan yang menjadi sumber pertikaian dan pertentangan antara para rasul dengan umat mereka.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Hisan, hal. 21)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Diantara perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam bidang ilmu tauhid dari kalangan belakangan (muta’akhirin) lebih memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb [Allah] -walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb [Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta]- akan tetapi bukankah betapa banyak umat Islam yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/8])
Tatkala para ulama salaf sangat memperhatikan masalah tauhid ibadah, sesungguhnya mereka melakukan itu semata-mata untuk mengikuti bagaimana Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya. Karena tauhid rububiyah adalah perkara yang fitrah ada pada manusia, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang telah tercabut fitrah darinya dan terbutakan mata hatinya… Adapun salafiyun -dengan manhaj mereka ini- berbeda dengan kaum Mutakallimin dari kalangan Asya’irah dan selainnya yang melalaikan masalah tauhid ini dan tidak mencurahkan segenap upaya mereka untuk mengokohkan dan mengajarkan hal itu kepada umat manusia. Bahkan, puncak perjuangan mereka hanyalah berdalil untuk menetapkan keberadaan al-Khaliq, padahal ini semuanya telah terpatri di dalam fitrah manusia yang suci. Sebagaimana sudah kami isyaratkan baru saja. Oleh sebab itu untuk menetapkan hal itu tidaklah memerlukan upaya yang rumit. Apalagi sampai menjadikan segala upaya hanya untuk mencapai tujuan itu. Yang demikian itu terjadi kepada mereka disebabkan mereka menganggap bahwa hakikat ilahiyah adalah kemampuan untuk mencipta. Oleh sebab itu mereka berjuang untuk memberikan penjelasan kepada manusia bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta. Kelalaian inilah yang pada akhirnya menjerumuskan mereka ke dalam berbagai kotoran bid’ah dalam ibadah dan sebagian praktek kemusyrikan, akibat mengesampingkan tauhid ibadah (lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu, Tarikhuhu, Majalatuhu, Qawa’iduhu wa Khasha’ishuhu, hal. 134 oleh Dr. Mafrah bin Sulaiman al-Qusi, cet. Darul Fadhilah, 1422 H)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الإيمانُ بِضعٌ وستون أو ستون أو بضعٌ
وسبعون أو سبعون ، إنَّ أعظمَه شهادةُ أن لا إلهَ إلا اللهُ ، وأدناه إماطةُ الأذى
عن الطريق ، والحَياءُ شُعبةٌ منَ الإيمانِ
“Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang.
Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang
keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)Karena tauhid [uluhiyah] adalah cabang keimanan yang tertinggi maka mendakwahkannya merupakan dakwah yang paling utama. Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu para da’i yang menyerukan tauhid adalah da’i-da’i yang paling utama dan paling mulia. Sebab dakwah kepada tauhid merupakan dakwah kepada derajat keimanan yang tertinggi.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 16)
—
Penulis: Ari Wahyudi