Friday, November 1, 2019

Kitab Tauhid 56

Bab: Perjanjian Dengan Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam
Firman Allah Ta’ala,
وَأَوْفُواْ بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدتُّمْ وَلاَ تَنقُضُواْ الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, setelah meneguhkannya, sedangkan kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”  (Qs. An Nahl: 91)
Penjelasan:
Dalam bab ini penulis (Syaikh M. At Tamimi) mengingatkan, bahwa memenuhi perjanjian dengan Allah merupakan bentuk pengagungan terhadap Allah Azza wa Jalla, sedangkan tidak mau memenuhi perjanjian itu sama saja tidak mengagungkan-Nya, sehingga terdapat cacat pada tauhidnya.
Dalam ayat di atas Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memenuhi janji dan memelihara sumpahnya yang di sana disebut nama-Nya, karena dengan sumpah itu mereka jadikan Allah sebagai saksi dan pengawas atas mereka, sedangkan Allah Ta’ala mengetahui perbuatan dan tindakan mereka, dan Dia akan memberikan pembalasan terhadapnya.
Kesimpulan:
1.       Wajibnya memenuhi janji dan ikatan perjanjian.
2.       Haramnya membatalkan perjanjian dan sumpah yang termasuk janji.
3.       Menetapkan ilmu bagi Allah Ta’ala, dan bahwa tidak ada satu pun yang samar bagi-Nya.
4.       Ancaman bagi orang yang membatalkan perjanjian.
**********
Dari Buraidah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam apabila mengangkat komandan pasukan perang atau batalyon, maka Beliau mewasiatkan kepadanya untuk bertakwa kepada Allah dan berlaku baik kepada kaum muslimin yang bersamanya, Beliau bersabda,
«اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تَغْدِرُوا، وَلَا تَمْثُلُوا، وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا، وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ - أَوْ خِلَالٍ - فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ، وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ، فَإِنْ أَجَابُوكَ، فَاقْبَلْ مِنْهُمْ، وَكُفَّ عَنْهُمْ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ، وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ، وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ، فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ، يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ، وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ، فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ، فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ، وَكُفَّ عَنْهُمْ، فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ، وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ تَجْعَلَ لَهُمْ ذِمَّةَ اللهِ، وَذِمَّةَ نَبِيِّهِ، فَلَا تَجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّةَ اللهِ، وَلَا ذِمَّةَ نَبِيِّهِ، وَلَكِنِ اجْعَلْ لَهُمْ ذِمَّتَكَ وَذِمَّةَ أَصْحَابِكَ، فَإِنَّكُمْ أَنْ تُخْفِرُوا ذِمَمَكُمْ وَذِمَمَ أَصْحَابِكُمْ أَهْوَنُ مِنْ أَنْ تُخْفِرُوا ذِمَّةَ اللهِ وَذِمَّةَ رَسُولِهِ، وَإِذَا حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوكَ أَنْ تُنْزِلَهُمْ عَلَى حُكْمِ اللهِ، فَلَا تُنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِ اللهِ، وَلَكِنْ أَنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِكَ، فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَتُصِيبُ حُكْمَ اللهِ فِيهِمْ أَمْ لَا»
“Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah. Perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah dan jangan berkhianat terhadap harta rampasan perang, jangan khianati perjanjian, jangan mencincang korban yang terbunuh, dan jangan membunuh anak-anak. Jika engkau berjumpa dengan musuhmu dari kalangan kaum musyrik, maka ajaklah mereka ke tiga perkara ini; jika salah satunnya mereka terima, maka terimalah hal itu dari mereka dan tahan diri (jangan serang mereka). Ajak mereka masuk Islam. Jika mereka mau, maka terimalah dari mereka. Selanjutnya, ajaklah mereka berhijrah dari tempat mereka ke tempat kaum muhajirin dan sampaikan kepada mereka, bahwa jika mereka mau melakukannya, maka mereka memiliki hak dan kewajiban sama seperti kaum muhajirin. Jika mereka menolak hijrah, maka sampaikanlah kepada mereka, bahwa mereka disikapi sebagaimana orang-orang badui dari kalangan kaum muslimin; berlaku bagi mereka hukum Allah Ta’ala yang berlaku bagi kaum mukmin juga, tetapi mereka tidak mendapatkan bagian ghanimah (harta rampasan perang) dan fai’ (harta rampasan dari kaum kafir tanpa melalui peperangan) kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslim. Jika mereka menolak hal tersebut, maka mintalah mereka membayarkan jizyah (pajak). Jika mereka mau memenuhinya, maka terimalah hal itu dari mereka dan tahanlah diri dari menyerang mereka. Jika mereka menolak juga, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. Jika engkau mengepung kubu pertahanan musuhmu, kemudian mereka menghendaki darimu agar kamu membuat untuk mereka perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah buatkan untuk mereka perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, akan tetapi buatlah untuk mereka perjanjian dari dirimu sendiri dan perjanjian sahabat-sahabatmu, karena melanggar perjanjianmu dan perjanjian sahabat-sahabatmu lebih ringan daripada melanggar perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Dan jika engkau mengepung kubu pertahanan musuhmu, lalu mereka ingin agar engkau mengeluarkan mereka atas dasar hukum Allah, maka jangan turunkan mereka atas dasar hukum Allah, akan tetapi turunkanlah mereka dengan ijtihadmu, karena engkau tidak tahu; apakah engkau sesuai dengan hukum Allah atau tidak terhadap mereka.”
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim no. 1731, Abu Dawud no. 2612, 2613, Tirmidzi no. 1617, Ibnu Majah no. 4858, dan Ahmad dalam Musnadnya 5/352, 358.
Dalam hadits di atas, sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam Buraidah  radhiyallahu anhu menyebutkan keadaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika mengirim pasukan atau batalyon untuk berperang di jalan Allah, Beliau memberi wasiat kepada komandan untuk menjaga ketakwaan kepada Allah dan memerintahkan ketika memulai perang menyebut nama Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam memerangi orang-orang kafir untuk menghilangkan kekafiran mereka agar hanya Allah yang disembah; tidak selain-Nya. Beliau juga melarang mereka melanggar perjanjian dan berkhianat dalam ghanimah, mencincang mayat musuh, serta melarang membunuh orang yang tidak berhak dibunuh seperti anak-anak. Dan ketika mereka bertemu musuh, maka musuh diberi tiga pilihan; masuk ke dalam Islam, membayar jizyah, atau diperangi. Jika mereka memilih Islam, maka mereka diberi pilihan antara berhijrah ke tempat hijrah sehingga mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muhajirin atau tetap di tempat seperti arab badui dari kalangan kaum muslim. Selanjutnya, Beliau berpesan kepada komandan pasukan, bahwa ketika dirinya bersama pasukannya berhasil mengepung musuh, lalu musuh meminta untuk mereka perjanjian dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam agar dia tidak memenuhi permintaan mereka, akan tetapi hendaklah dirinya sendiri (komandan) yang membuat perjanjian dengan mereka, karena membatalkan perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya lebih besar daripada membatalkan perjanjian dengan selain keduanya. Demikian pula ketika musuh meminta keluar dari kubu pertahanan dengan hukum Allah, maka jangan penuhi permintaan mereka, bahkan hendaknya ia keluarkan mereka dengan hukum dan ijtihadnya agar tidak salah menetapkan hukum Allah Ta’ala, lalu disandarkan kepada-Nya padahal keliru.
Dalam hadits di atas terdapat larangan memberikan perjanjian Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang kafir karena khawatir mereka tidak dapat memenuhinya sehingga menjadi dosa yang sangat besar; melanggar perjanjian Allah, dan mencacatkan tauhid.
Kesimpulan:
1.       Disyariatkan bagi imam (pemerintah) mengirim pasukan atau batlyon untuk berjihad di jalan Allah.
2.       Perang harus dimaksudkan untuk meninggikan kalimatullah, menegakkan tauhid, menghilangkan kekafiran dan kemusyrikan dari muka bumi; bukan untuk meraih kekuasaan atau memperoleh kesenangan dunia, atau agar populer.
3.       Disyariatkan mengangkat komandan pasukan.
4.       Waliyyul amri (pemerintah) hendaknya mewasiatkan kepada para komandan untuk bertakwa dan berbuat baik kepada pasukannya serta memperjelas langkah yang harus dilakukannya.
5.       Jihad dilakukan dengan izin waliyyul amri.
6.       Disyariatkan mengajak kepada Islam sebelum memerangi.
7.       Disyariatkan mengambil jizyah (pajak) dari semua orang kafir.
8.       Larangan membunuh anak-anak.
9.       Larangan mencincang.
10.    Larangan khianat dalam ghanimah.
11.    Larangan melanggar perjanjian.
12.    Memuliakan perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
13.    Perbedaan antara perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya shallalahu alaihi wa sallam dengan perjanjian dengan kaum muslimin.
14.    Berhati-hati agar tidak terjatuh ke dalam larangan.
15.    Seorang yang berijtihad bisa benar dan bisa salah, dan perbedaan antara hukum Allah dengan hukum para ulama.
16.    Memilih bahaya yang paling ringan ketika dihadapkan di antara dua bahaya.
17.    Disyariatkan ijtihad ketika dibutuhkan.

Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid  (Dr. Shalih Al Fauzan),  Maktabah Syamilah, dll.