Sunday, December 2, 2018

Periode Turunnya Syari’at Di Madinah

فلما استقر بالمدينة أمر ببقية شرائع الإسلام مثل الزَّكاةِ، والصوم، والحجَّ، والأذانِ، والجهادِ، والأَمْرِ بالمعروف والنهي عن المُنْكَرِ، وغير ذلِكَ من شرائع الإِسلام. أَخَذَ على هذا عشرَ سنينَ .
Setelah Rasulullah menetap di Madinah, turunlah syari’at-syari’at Islam yang lain, seperti: zakat, shiyam (puasa), haji, adzan, jihad, amar ma’ruf nahi munkar, dan sebagainya. Beliau melaksanakan tugas ini selama sepuluh tahun.
Perkataan penulis:
Setelah menetap di Madinah, beliau diperintahkan untuk melaksanakan syariat Islam yang lain.
Penulis, menyebutkan syariat disempurnakan setelah Rasulullah menetap di Madinah. Dan mengenai hijrah beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah disinggung pada pembahasan yang lalu.
Penulis memulai dari hukum berhijrah beserta dalil-dalilnya, karena hijrah termasuk syariat teragung yang berkaitan dengan wala’ dan bara’. Kemudian barulah diperintahkan syariat yang lainnya setelah kokohnya pondasi aqidah, sebab aqidah adalah asas semua amal. Oleh karena itu dakwah di Makkah berlangsung seputar masalah aqidah. Adapun syariat yang lainnya diperintahkan setelah hijrah ke Madinah, kecuali shalat. Karena agungnya ibadah ini, shalat sudah diwajibkan sejak di Makkah sebagaimana yang telah disebutkan oleh penulis bahwa Rasulullah mulai mengerjakan shalat tiga tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah.
Perkataan penulis:
Seperti zakat, shaum, haji, adzan, jihad, menyeru untuk berbuat ma’ruf dan melarang dari perbuatan mungkar dan syariat syariat Islam lainnya.
Dalam beberapa naskah kitab ushulu ats-tsalatsah, tidak tercantum kata “adzan”, kemudian aku menyisipkannya dari Kitab “Kumpulan karya Syaikh;  Bagian Pertama : Al-Aqidah wal Adaab Al-Islamiyyah” (hal 194).
Zakat
Dari perkataan penulis tersebut dapat dipahami bahwa zakat tidak disyariatkan kecuali setelah beliau hijrah ke Madinah, karena beliau menyebutkan zakat bersama shaum (puasa), haji, jihad dan adzan yang semuanya baru disyariatkan setelah beliau hijrah ke Madinah.
Dalam surat-surat Makkiyah disebutkan tentang zakat, begitu pula di tempat lain ada juga disebutkan tentang perintah untuk membayar zakat. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Makkiyah Al-An’am. Allah berfirman:
وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya).” [Al-An’am : 141]
Dalam surat Al-Ma’arij Allah berfirman:
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ  لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)” [Al-Ma’aarij : 24-25]
Dan juga dalam surat Al-Mukminun Allah berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
“dan mereka-mereka yang membayar zakat.” [Al-Mu’minun : 4]
Ayat-ayat ini adalah ayat Makkiyah, namun di dalamnya disebutkan tentang zakat. Kemudian setelah itu turun ayat-ayat Madaniyah yang juga menyebutkan tentang zakat.
Ibnu Katsir ketika mengomentari ayat dalam surat Al-Mukminun [وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ] mengatakan: “Kebanyakan para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zakat di sini adalah zakat harta. [Tafsir Ibn Katsir 5/457]
Sebahagian para ulama berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan zakat yang disebutkan dalam Firman-Nya: [وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ] ialah membersihkan jiwa dan menyucikannya dari kotoran-kotoran terutama dosa syirik.
Tidak ada pertentangan antara ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah yang menyebutkan permasalahan zakat tersebut. Zakat telah diwajibkan di Makkah, kemudian diterangkan nishabnya di Madinah. Zakat yang diwajibkan di Makkah belum mempunyai nishab dan ukuran tertentu, ukurannya dikembalikan kepada masing-masing orang, terkadang banyak dan terkadang sedikit. Hal ini mungkin –Allahu a’lam– karena di Makkah belum ada daulah sehingga  belum ada penetapan ukuran tertentu untuk zakat. Tetapi setelah berdiri daulah di Madinah dan adanya syariat yang lain, maka ditetapkanlah nishab zakat tersebut melalui lisan Rasulullah. Oleh karena itu ketika Rasulullah berada di Makkah tidak pernah menyinggung tentang nishab zakat dan ukurannya. Berdasarkan ini semua, maka yang dimaksud penulis dengan zakat di sini ialah yang berkaitan dengan nishabdan ukuran zakat. Allahu a’lam.
Shaum (puasa) dan Haji
Shaum (puasa) diwajibkan pada tahun kedua hijriyah. Sedangkan Haji diwajibkan pada tahun kesembilan hijriyah menurut pendapat yang lebih kuat.
Jihad
Kata dasar dari [جاهد يجاهد جهادًا] jaahada-yujahidu-jihaadan:  jika sudah sampai kepada pembunuhan terhadap musuh dan lainnya.
Begitupula dengan kata [جهد – jahada]  ketika Anda mendapatkan di dalamnya kesan penyangatan. Firman Allah
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya”
Maksudnya khusus dalam memerangi orang-orang kafir.
Jihad diwajibkan setelah hijrah ke Madinah, sebagaimana yang telah disinggung oleh penulis. Ketika di Makkah kaum muslimin belum diizinkan untuk beijihad, karena mereka masih dalam keadaan lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk memulai peperangan. Namun setelah hijrah ke Madinah dan daulah Islam berdiri barulah diperintahkan berjihad. Allah berfirman:
وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekkah);” 376
Adzan
Menurut pendapat yang kuat adzan disyariatkan pada tahun pertama hijriyah. Ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa adzan disyariatkan sebelum hijrah, namun hadits tersebut hadits ma’lulah (cacat) sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar. Dan Ibnu Mundzir telah memastikan bahwa Rasulullah sejak diwajibkan shalat selama di Makkah, beliau melaksanakannya tanpa adzan hingga beliau hijrah ke Madinah. [Lihat Zaadul Ma’ad (3/69) Fathul Bary (2/78-79)]
Amar Ma’ruf – Nahi Munkar
Ma’ruf adalah suatu istilah yang mencakup semua hal yang dikenal sebagai ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah serta perbuatan baik kepada sesama makhluk. Adapun munkar adalah kebalikannya.
Berkata Ar-Raghib: “Ma’ruf adalah suatu istilah yang mencakup perbuatan yang dikenal oleh akal dan syariat sebagai suatu perbuatan baik, adapun kemungkaran adalah yang diingkari oleh akal dan syariat.”
Asy-Syaukani berkata: “Dalil yang menentukan bahwa sesuatu itu dianggap perbuatan ma’ruf dan mungkar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Syaikh menyebutkan perkara ini dan tidak menyebutkan syariat lainnya, karena perkara ini adalah bab yang penting dan merupakan sendi serta landasan setiap urusan, merupakan tugas para nabi dan rasul dan merupakan salah satu jalan keimanan serta salah satu hak seorang muslim terhadap saudaranya. Dan dalilnya sudah diketahui dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Perkataan penulis:
Beliau melaksanakan tugas ini selama sepuluh tahun.
Yakni beliau mulai menyampaikan syariat dan menerangkannya di kota Madinah dan kota lainnya selama sepuluh tahun.
Sumber : Syarah 3 Landasan Utama karya Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, At-Tibyan Solo.