Saturday, May 26, 2018

Kitab Tauhid 40

Bab : Menaati Ulama dan Umara Dalam Mengharamkan Yang Halal atau Menghalalkan Yang Haram Sama Saja Menuhankan Mereka
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata,
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ: أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
“Hampir saja hujan batu dari langit menimpa kalian, aku mengatakan ‘Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda’, namun kalian mengatakan ‘Abu Bakar dan Umar berkata’.
Penjelasan:
Penulis (Syaikh M. At Tamimi) memasukkan masalah ini ke dalam kitab tauhidnya adalah karena ketaatan bagian dari ibadah, maka beliau mengingatkan di bab ini, bahwa ketaatan secara mutlak ditujukan kepada Allah, dan bahwa manusia siapa pun orangnya tidak boleh ditaati jika perintahnya mengandung maksiat kepada Allah Ta’ala. Demikian juga menerangkan, bahwa menaati makhluk secara mutlak meskipun isinya maksiat sama saja menjadikan mereka sebagai tuhan. 
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma menyampaikan pernyataan di atas saat beliau didebat tentang masalah haji tamattu, dimana dia memerintahkan demikian karena perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, namun orang yang mendebatnya membantahnya dengan perkataan Abu Bakar dan Umar yang melarang haji tamattu, maka Ibnu Abbas berhujjah dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan menyampaikan pernyataan di atas.
Pada perkataan di atas, Ibnu Abbas mengkhawatirkan jika sekiranya Allah menurunkan hujan batu dari langit sebagai hukuman terhadap sikap mereka yang mengedepankan perkataan Abu Bakar dan Umar terhadap sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beriman kepada Beliau menghendaki untuk mengikuti Beliau dan mengedepankan sabda Beliau di atas semua perkataan manusia.
Kesimpulan:
1.      Menaati ulama dan umara saat menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal sama saja menuhankan mereka, dan termasuk bentuk kemusyrikan.
2.      Wajibnya mengedepankan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas semua perkataan manusia.
3.      Menyelisihi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dapat mendatangkan hukuman, lihat pula Qs. An Nur: 563)
**********
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Saya heran dengan orang-orang yang mengetahui isnad hadits dan keshahihannya, namun mereka berpegang dengan pendapat Sufyan, padahal Allah Ta’ala berfirman,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa azab yang pedih.” (Qs. An Nuur: 63)
Tahukah engkau fitnah itu? Yaitu syirik. Boleh jadi ketika ia menolak sebagian sabda Beliau, akan terjadi dalam hatinya kesesatan sehingga dirinya binasa.”
**********
Penjelasan:
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal lahir pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 241 H. Beliau adalah murid Imam Syaf’i rahimahullah. Beliau dikenal dalam pencariannya terhadap hadits dan sangat mengikuti hadits dan atsar.
Imam Sufyan Ats Tsauri adalah Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri, seorang imam yang zuhud, ahli ibadah, tsiqah (terpercaya), dan ahli fiqih, ia wafat pada tahun 161 H.
Imam Ahmad menyampaikan pernyataan di atas saat diberitahukan kepadanya tentang sebagian manusia yang meninggalkan hadits yang diketahui keshahihannya, namun beralih mengikuti pendapat Imam Sufyan atau ulama lainnya. Beliau mengingkari sikap itu dan menyampaikan ayat yang berisi ancaman bagi mereka yang menyelisihi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yaitu bisa saja mereka ditimpa fitnah (kesesatan) sehingga dirinya binasa atau tertimpa azab yang pedih.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Jika datang hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka harus diikuti dengan senang hati.”
Imam Malik rahimahullah menyatakan, “Setiap orang bisa diambil pendapatnya dan bisa ditinggalkan selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila kalian temukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka ambillah sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tinggalkan pendapatku."
Dalam pernyataan di atas terdapat peringatan terhadap sikap mengikuti (taklid) ulama meskipun menyelisihi dalil, serta meninggalkan mengamalkan Al Qur’an dan As Sunnah, dan bahwa yang demikian merupakan syirik dalam ketaatan.
Kesimpulan:
1.      Haramnya taklid bagi orang yang tahu dalil dan tahu bagaimana beristidlal/berdalil (penuntut Ilmu).
2.      Boleh taklid bagi yang tidak tahu dalil, yakni dengan mengikuti orang yang dipercaya ilmu dan agamanya dari kalangan para ulama, lihat Qs. An Nahl: 43 dan Al Anbiya: 7.
**********
Dari Addiy bin Hatim radhiyallahu anhu, bahwa ia mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam membacakan ayat ini,
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللهِ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” (Qs. At Taubah: 31)
Maka saya berkata kepada Beliau, “Kami tidak menyembah mereka.”
Beliau bersabda,
أَلَيْسَ يُحَرِّمُوْنَ مَا أَحَلَّ اللهُ فَتُحَرِّمُوْنَهُ، وَيُحِلُّوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ، فَتُحِلُّوْنَهُ؟
“Bukankah ketika mereka mengharamkan yang Allah halalkan, maka kalian ikut mengharamkan, dan ketika mereka menghalalkan yang Allah haramkan, kalian ikut menghalalkan?”
Aku menjawab, “Ya.” 
Beliau bersabda,
فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ
“Seperti itulah menyembah mereka.”
(Hr. Ahmad dan Tirmidzi, ia menghasankannya)
Penjelasan:
Addiy bin Hatim Ath Tha’iy adalah seorang sahabat yang masyhur. Sebelumnya ia beragama Nasrani lalu masuk Islam pada tahun ke-9 H atau 10 H. Ia hadir dalam penaklukkan Irak, lalu tinggal di Kufah, dan ikut hadir dalam perang Shiffin bersama pasukan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Ia wafat pada tahun 68 H dalam usia 120 tahun.
Hadits di atas menerangkan, bahwa saat Addi bin Hatim mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membacakan ayat di atas yang di dalamnya terdapat berita tentang keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan orang alim dan rahib mereka sebagai tuhan, Addi masih belum memahami maknanya, karena menurutnya ibadah itu dengan melakukan sujud dan semisalnya, sedangkan dirinya tidak sujud kepada tokoh-tokoh mereka. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa menaati orang-orang alim dan rahib secara mutlak ketika mereka mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram juga sama saja menyembah mereka.
Intinya menaati makhluk secara mutlak saat mereka mengharamkan yang halal atau sebaliknya sama saja menyembahnya, apalagi dalam menetapkan undang-undang atau membuat aturan yang menyelisihi hukum Allah Ta’ala.
Kesimpulan:
1.      Menaati ulama atau umara dalam merubah hukum Allah Ta’ala atau ketika mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal sama saja menyembah mereka.
2.      Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah Ta’ala.
3.      Penjelasan tentang salah satu macam syirik, yaitu syirik dalam ketaatan. 
4.      Disyariatkan mengajarkan orang yang tidak tahu.
5.      Ibadah cakupannya luas, bukan hanya sujud dan ruku, bahkan semua yang dicintai Allah dan diridhai-Nya berupa ucapan, amalan baik lahir maupun batin merupakan ibadah.

Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Al Ishabah fi Tamyizish Shahabah (Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh), MaktabahSyamilah versi 3.45, dll.