Saturday, May 26, 2018

Kitab Tauhid 41

Bab : Berhakim Kepada Selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
Firman Allah Ta’ala,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا (61) فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا (62)
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari Thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.--Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.--Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna." (Qs. An Nisaa’: 60-62)
**********
Penjelasan:
Penulis (Syaikh M. At Tamimi) memasukkan masalah ini ke dalam kitab tauhidnya adalah karena termasuk bagian tauhid dan konsekwensinya adalah menjadikan kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai hakim dalam berbagai perselisihan, karena hal ini termasuk konsekwensi dua kalimat syahadat.  
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari orang yang mengaku beriman kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan kepada para nabi sebelumnya alaihimus salam, namun dalam menyelesaikan masalah malah memilih mendatangi selain Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alahi wa sallam, ia malah memilih berhakim kepada thagut yang Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengingkarinya, dan setan hendak menyesatkan mereka yang berhakim kepada thagut itu dari jalan yang hak (benar) kepada jalan yang batil. Dan ketika mereka diajak berhakim kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, mereka malah berpaling menyombongkan diri, maka bagaimanakah keadaan mereka nantinya ketika mendapatkan musibah, lalu mereka butuh mendatangi Rasul  agar Beliau berdoa kepada Allah menghilangkan musibah yang menimpa mereka, lalu mereka datang sambil meminta maaf terhadap tindakan mereka bahwa mereka tidak bermaksud menyelisihi melainkan hendak berbuat baik dan mengadakan pendekatan dengan manusia. Mereka menyampaikan alasan ini agar sikap mereka dibenarkan. 
Kesimpulan:
1.      Wajibnya berhakim kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, ridha terhadap hal itu dan menerimanya.
2.      Orang yang tidak mau berhakim kepada syariat Islam belum dikatakan mukmin, bukan sebagai orang yang hendak mengadakan perbaikan meskipun menyatakan bahwa dirinya bermaksud mengadakan perbaikan.
3.      Berhukum kepada selain yang Allah turunkan adalah thagut, dan barang siapa yang berhukum dengan selain yang Allah turunkan, maka sama saja ia berhakim kepada thagut.
4.      Wajibnya kafir kepada thagut.
5.      Peringatan agar waspada terhadap tipu daya setan dan usahanya menghalangi manusia dari jalan yang lurus.
6.      Barang siapa yang diajak berhukum kepada hukum Allah, maka wajib diikuti dan diterima, jika menolaknya berarti ia seorang munafik.
7.      Pengakuan ‘bermaksud mengadakan perbaikan’ bukanlah sebagai alasan yang diterima ketika berhadapan dengan hukum Allah, karena hukum Allah untuk memperbaiki kondisi manusia. 
**********
Firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ قَالُواْ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu mengadakan kerusakan di muka bumi.” Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (Qs. Al Baqarah: 11)
**********
Penjelasan:
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di antara sifat kaum munafikin, yaitu ketika mereka dilarang berbuat maksiat yang menjadikan bumi menjadi rusak karena mendatangkan berbagai hukuman dan azab, serta ketika mereka diperintahkan mengerjakan ketaatan yang menjadikan kondisi bumi menjadi baik, mereka malah mengatakan, bahwa mereka adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan. Mereka memandang kerusakan sebagai perbaikan; karena hati mereka yang telah tertimpa penyakit. Disebutkan ayat di atas dalam bab ini adalah untuk menerangkan, bahwa barang siapa yang mengajak berhakim kepada selain yang Allah turunkan atau menyeru kepada maksiat, maka berarti ia telah datang membawa kerusakan yang besar di bumi. 
Abu Bakar bin Iyasy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk bumi sedangkan mereka berada dalam kerusakan, maka Allah memperbaiki kondisi mereka dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, barang siapa yang mengajak untuk mengikuti selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang mengadakan kerusakan.”
Kesimpulan:
1.      Peringatan dari berhukum dengan undang-undang dan aturan yang bertentangan dengan syariat meskipun para penyerunya menyatakan bahwa maksud mereka baik.
2.      Pernyataan ‘mengadakan perbaikan’ bukanlah sebagai alasan untuk meninggalkan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla.
3.      Peringatan agar tidak ujub dengan pendapatnya.
4.      Orang yang sakit hatinya melihat kebenaran sebagai kebatilan, dan melihat kebatilan sebagai kebenaran.
5.      Niat yang baik tidak bisa membenarkan sikap menyelisihi syariat.
**********
Firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (Qs. Al A’raaf: 56)
**********
Penjelasan:
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya melakukan kerusakan di muka bumi berupa mengerjakan maksiat dan mengajak kepada kemaksiatan setelah Allah memperbaikinya dengan mengutus para rasul yang menerangkan syariat-Nya dan mengajak mereka menaati Allah Azza wa Jalla. Dengan demikian, beribadah kepada selain Allah, berdoa kepada selain-Nya, menyekutukan-Nya, berbuat zalim dan maksiat merupakan perkara-perkara yang merusak bumi.
Dalam ayat di atas terdapat isyarat bahwa mengajak berhakim kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala sama saja berusaha mengadakan kerusakan di muka bumi.
Kesimpulan:
1.      Semua maksiat merusak kondisi bumi.
2.      Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam merupakan perkara yang memperbaiki bumi.
3.      Berhakim kepada selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan usaha merusak bumi. 
4.      Baiknya kondisi masyarakat atau rakyat hanya tercapai dengan berhakim kepada kitab yang Allah turunkan dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
**********
Firman Allah Ta’ala,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(Qs. Al Maidah: 50)
**********
Penjelasan:
Jahiliyah adalah kondisi sebelum datangnya Islam dan semua yang menyelisihi Islam.
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari mereka yang meninggalkan hukum Allah –padahal hukum-Nya mengandung kebaikan, keadilan, dan mencegah dari semua keburukan- malah berpaling kepada hukum selain-Nya yang hanya merupakan ide, pendapat, dan hawa nafsu yang ditetapkan sebagian orang tanpa bersandar kepada syariat Allah sebagaimana yang dilakukan kaum Jahiliyyah.
Ayat di atas menunjukkan, bahwa mereka yang mencari hukum selain Allah Azza wa Jalla seperti undang-undang dan aturan buatan, maka sama saja menginginkan hukum Jahiliyyah.
Kesimpulan:
1.      Wajibnya berhukum dengan hukum Allah.
2.      Ketetapan yang menyelisihi syariat Allah termasuk hukum Jahiliyyah.
3.      Berhukum kepada hukum selain Allah Azza wa Jalla termasuk kekufuran.
**********
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits shahih. Telah diriwayatkan kepada kami dalam kitab Al Hujjah dengan isnad yang shahih.”
**********
Penjelasan:
Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali berkata, “Penyusun kitab Al Hujjah adalah Syaikh Abul Fath Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi Asy Syafi’i, seorang Ahli Fiqih yang zuhud dan tinggal di Damaskus. Nama kitabnya adalah ‘Al Hujjah ala Tarikil Mahajjah’ yang memuat pokok-pokok agama sesuai kaedah Ahlul hadits was sunnah. Hadits tersebut disebutkan oleh Al Hafizh Abu Nu’aim dalam kitab Al Arba’in, dimana pada bagian awalnya ia mensyaratkan agar hadits dan atsarnya shahih yang telah disepakati oleh para penukil tentang keadilan periwayatnya, dan disebutkan oleh para imam di kitab musnad mereka. Selanjutnya ia menyebutkan dari Thabrani dengan sanad berikut:
Telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Abdurrahman bin Hatim Al Muradi, telah menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, dari Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin, dari Uqbah bin Aus, dari Abdullah bin Amr ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa dan tidak menyimpang darinya.”  Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Hafizh Abu Bakar bin Ashim Al Ashbahani, dari Ibnu Warah, dari Nu’aim bin Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, telah menceritakan kepada kami sebagian syaikh kami Hisyam atau selainnya, dari Ibnu Sirin, dan seterusnya, namun tanpa lafaz ‘dan tidak menyimpang darinya.’ Al Hafizh Abu Musa Al Madini berkata, “Hadits ini diperselisihkan terhadap Nu’aim. Dan disebutkan di sana, “Telah menceritakan kepada kami sebagian syaikh kami, telah menceritakan kepada kami Hisyam atau selainnya.”
Al Hafizh Ibnu Rajab melanjutkan kata-katanya, “Penshahihan terhadap hadits ini sangat jauh sekali karena beberapa sisi, di antaranya: Hadits tersebut diriwayatkan secara sendiri oleh Nu’aim bin Hammad Al Marwazi. Nu’aim ini meskipun dianggap tsiqah oleh banyak para imam, dan disebutkan oleh Bukhari, namun para imam Ahli Hadits hanyalah berhusnuzhzhan (bersangka baik) kepadanya karena kuatnya berpegang dengan sunnah dan kerasnya membantah Ahli Bid’ah, namun mereka menisbatkan dirinya wahm (keliru) dan samar beberapa hadits baginya, dan ketika mereka mengetahui hadits-hadits yang munkar darinya, mereka pun menghukuminya dhaif (lemah). Shalih bin Muhammad Al Hafizh meriwayatkan dari Ibnu Ma’in saat ditanya tentang Nu’aim, ia menjawab, “Tidak ada apa-apanya, akan tetapi ia seorang yang berpegang dengan sunnah.” Shalih berkata, “Ia menyampaikan hadits dengan hafalannya dan memiliki banyak riwayat munkar yang tidak dimutaba’ahkan.” Abu Dawud berkata, “Pada diri Nu’aim ada kurang lebih 20 hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang tidak memiliki dasar.” Nasa’i berkata, “Dha’if.” Sesekali ia menyatakan, “Tidak tsiqah,” dan menyatakan, “Banyak menyendiri dalam hadits yang cukup banyak dari para imam yang terkenal sehingga ia termasuk orang yang tidak bisa dijadikan hujjah.” Abu Zur’ah Ad Dimasyqi berkata, “Ia memaushulkan hadits-hadits yang dimauqufkan manusia,” yakni memarfukan yang mauquf. Abu Arubah Al Harrani berkata, “Keadaannya gelap.” Abu Sa’id bin Yunus berkata, “Ia meriwayatkan hadits-hadits yang munkar dari orang-orang yang tsiqah.” Bahkan yang lain sampai menyatakan bahwa ia memalsukan hadits. Selain itu, di manakah kawan-kawan Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, kawan-kawan Hisyam bin Hassan, dan kawan-kawan Ibnu Sirin dari meriwayatkan hadits yang Nu’aim meriwayatkannya secara sendiri?” Di samping itu, pada Nu’aim diperselisihkan isnadnya, sesekali disebutkan diriwayatkan darinya, dari Ats Tsaqafi, dari Hisyam, dan diriwayatkan darinya, dari Ats Tsaqafi, telah menceritakan kepada kami sebagian guru kami Hisyam atau selainnya, sehingga jika demikian, maka Syaikh Ats Tsaqafi tidak diketahui orangnya. Demikian juga sesekali disebutkan, telah diriwayatkan darinya, dari Ats Tsaqafi, telah menceritakan kepada kami sebagian guru kami, telah menceritakan kepada kami Hisyam atau selainnya, maka berdasarkan riwayat ini Ats Tsaqafi meriwayatkan dari seorang syaikh yang majhul, sedangkan syaikhnya meriwayatkan dari seorang yang tidak disebutkan namanya, sehingga bertambah majhul isnadnya. Selain itu, dalam isnadnya terdapat Uqbah bin Aus As Sudusay Al Bashri yang disebut juga Ya’qub bin Aus, dimana haditsnya disebutkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Amr, ada yang menyebutkan Abdullah bin Umar, sehingga isnadnya mudhtharib (goncang). Ya’qub tersebut telah ditsiqahkan oleh Al Ijliy, Ibnu Sa’ad, dan Ibnu Hibban. Ibnu Khuzaimah berkata, “Ibnu Sirin seorang yang mulia meriwayatkan darinya.” Ibnu Abdil Bar berkata, “Majhul.” Al Ghallabiy dalam tarikhnya berkata, “Mereka berpendapat, bahwa ia tidak mendengar hadits dari Abdullah bin Amr, ia hanya menyatakan, “Abdullah bin Amr berkata.“ Berdasarkan keterangan ini, maka riwayatnya dari Abdullah bin Amr adalah terputus, wallahu a’lam. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam 2/393)
Dengan demikian, hadits di atas adalah dhaif, akan tetapi maknanya benar sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An Nisaa’: 65)
Maksud hadits di atas adalah seseorang tidak sempurna imannya dengan keimanan yang wajib sampai nafsunya sesuai dengan apa yang dibawa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berupa perintah, larangan, dsb. Ia pun mencintai apa yang Beliau perintahkan dan membenci apa yang Beliau larang.
Kesimpulan:
1.      Wajib mencintai apa yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berupa syariat serta mengamalkannya.
2.      Wajib membenci semua yang menyelisihi syariat yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
3.      Tidak beriman orang yang hatinya cenderung menyelisihi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
**********
Asy Sya’biy berkata, “Pernah terjadi pertengkaran antara orang munafik dan orang yahudi. Orang Yahudi itu berkata, “Mari kita berhakim kepada Muhammad,” karena ia mengetahui bahwa Beliau tidak menerima suap, sedangkan orang munafik itu berkata, “Mari kita berhakim kepada orang Yahudi,” karena ia tahu bahwa orang-orang Yahudi menerima suap, maka keduanya sepakat mendatangi seorang dukun di Juhainah dan meminta keputusan kepadanya, lalu turunlah ayat, “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?....dst. (Lihat Qs. An Nisaa’: 60-62).”
**********
Asy Sya’bi adalah Amir bin Syurahbil, atau Amir bin Abdullah bin Syurahbil Asy Sya’bi Al Himyariy Abu Amr Al Kufi, seorang tsiqah, hafizh, ahli fiqih dari kalangan tabi’in. Ada yang berpendapat, bahwa ia wafat pada tahun 103 H, semoga Allah merahmatinya.
Menurut Imam Asy Sya’bi rahimahullah, ayat di atas (Qs. An Nisaa’: 60-62) turun berkenaan dengan seorang yang mengaku beriman namun berhakim kepada selain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena menghindar dari keputusan Beliau yang adil, dan membuatnya berhakim kepada thagut tanpa peduli bahwa hal itu bertentangan dengan konsekwensi iman, dimana hal tersebut menunjukkan dusta pengakuannya beriman.
Dengan demikian, bahwa berhukum kepada selain syariat Allah bertentangan dengan keimanan kepada Allah dan kepada kitab-kitab-Nya.
Kesimpulan:
1.      Wajibnya berhukum kepada syariat Allah.
2.      Berhakim kepada selain syariat Allah bertentangan dengan konsekwensi keimanan.
3.      Berhukum kepada selain Allah adalah sifat orang-orang munafik.
4.      Membuka tabir kaum munafik, bahwa mereka lebih buruk dan berbahaya dari orang-orang yang jelas-jelas kafir.
5.      Haramnya mengambil suap, dan bahwa yang demikian adalah akhlak orang-orang Yahudi, dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat baik pemberi maupun penerimanya.
**********
Ada yang mengatakan, bahwa ayat tersebut (Qs. An Nisaa’: 60-62) turun berkenaan dengan dua orang yang bertengkar, yang satu berkata, “Ayo kita bawa masalah ini kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam,” sedangkan yang lain berkata, “Ayo kita bawa kepada Ka’ab Al Asyraf,” lalu keduanya menyampaikan masalah itu kepada Umar dan salah satunya menyampaikan masalah mereka kepadanya, maka Umar berkata kepada orang yang tidak ridha dengan keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Benarkah demikian?” Ia menjawab, “Ya.” Umar pun menebas leher orang itu dengan pedang.
**********
Penjelasan:
Ka’ab Al Asyraf adalah seorang Yahudi dari suku Thayyi’, ibunya dari Bani Nadhir, ia seorang yang sangat memusuhi Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Riwayat di atas disebutkan oleh Ats Tsa’labi sebagaimana tercantum dalam Ad Durrul Mantsur (2/582), demikian pula diriwayatkan oleh Al Kalbi sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (5/37) dari Ibnu Abbas. Al Hafizh berkata, “Isnad ini meskipun dha’if (lemah), tetapi menjadi kuat karena ada jalur Mujahid, disebutkan oleh Thabari dalam tafsirnya (1/154) dengan isnad yang shahih.”
Atsar di atas merupakan pendapat lain tentang sebab turunnya Qs. An Nisaa’: 60-62, dan dalam kisah tersebut saat berita itu sampai ke telinga Umar, maka Umar memastikan pernyataannya itu. Setelah jelas masalahnya, maka Umar membunuh orang yang tidak ridha dengan keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu. Hal ini menunjukkan kufurnya orang yang lebih mengutamakan hukum selain hukum Allah Azza wa Jalla.
Kesimpulan:
1.      Berhakim kepada selain Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam untuk menyelesaikan masalah merupakan kekufuran.
2.      Mengajak berhakim kepada selain Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam merupakan sifat orang-orang munafik.
3.      Disyariatkan marah karena Allah dan agama-Nya.
4.      Disyariatkan mengingkari kemungkaran dengan tangan bagi yang mampu.
5.      Bersikap tatsabbut (hati-hati dan memastikan sesuatu) sebelum bertindak.
6.      Mengetahui yang hak (benar) menghendaki untuk mengamalkan dan tunduk mengikutinya.

Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Jami’ul Ulum wal HIkam (Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali),Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.