Monday, January 30, 2017

Antara Ketinggian Dan Kebersamaan Allah

Sesungguhnya aqidah ketinggian Allah di atas langit adalah aqidah salaf yang haq berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an, hadits, ijma’, akal dan fithrah manusia[1]. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang menyimpang. Namun aneh tapi nyata, sebagian orang menabur debu dan membingungkan kaum muslimin dengan beberapa syubhat (kerancuan) yang nampaknya ilmiyah padahal pada hekakatnya hanyalah suatu kerancuan yang dibangun di atas pondasi yang sangat lemah.

Di antara syubhat yang sangat laris manis beredar adalah ucapan mereka bahwa Allah ada di mana-mana bersama para hambaNya. Seandainya Allah berada di atas langit, lantas bagaimana kiranya dengan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah bersama para hambaNya?! Mereka kemudian mengemukakan sejumlah dalil seperti firman Allah:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّـهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۖ مَا يَكُونُ مِن نَّجْوَىٰ ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَىٰ مِن ذَٰلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ۖ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ إِنَّ اللَّـهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٧﴾

Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Alloh mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Mujadilah: 7)

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ

Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. (QS. Al-Hadid: 4)

Nah, bagaimanakah menjawab syubhat ini?! Mungkinkah dalil-dalil itu bertentangan antara satu dalil dengan lainnya?! Tidak ragu lagi bahwa pendalilan seperti ini adalah bathil dari beberapa segi: 

Pertama: Makna Kebersamaan di sini adalah Ilmu Allah Dengan Kesepakatan Salaf

Telah tegak suatu ijma’ (konsesus ulama) bahwa maksud kebersamaan di sini adalah ilmu Alloh, sedangkan kalau sudah tegak suatu ijma’ maka ucapan orang siapapun tidak ada artinya. Tidak sedikit para ulama telah menukil ijma’ ini, di antaranya:

Ishaq bin Rahawaih berkata: “Ahli Sunnah telah bersepakat bahwa Alloh tinggi di atas Arsy dan Dia mengetahui segala sesuatu yang di bawah bumi tingkat ke tujuh sekalipun”.[2]
Ibnu Abi Syaibah berkata: “Paraulama menafsirkan firman Alloh (yang artinya): “Dan Dia bersama kalian” yakni ilmuNya”.[3]
Al-Ajurri berkata setelah menafsirkan ayat-ayat tentang kebersamaan Alloh dengan ilmu: “Ini adalah pendapat ulama kaum muslimin”.[4]
Ibnu Baththoh berkata: “Kaum muslimin dari kalangan sahabat dan tabi’in serta seluruh ahli ilmu dari kalangan yang beriman telah bersepakat bahwa Alloh di atas Arsy-Nya di atas langitNya, terpisah dari para makhlukNya dan ilmuNya meliputi semua makhluk”.[5]
Ath-Tholmanki berkata: “Kaum muslimin dari Ahli Sunnah wal Jama’ah telah bersepakat bahwa makna firman Alloh (yang artinya): “Dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada” dan ayat-ayat sejenisnya dalam Al-Qur’an bahwa maksudnya adalah ilmu Alloh dan Alloh tinggi di atas ArsyNya”.[6]
Ibnu Abdil Barr berkata: “Adapun hujjah mereka dengan firman Alloh (QS. Al-Mujadilah: 7) maka tidak ada hujjah bagi mereka dengan ayat ini, sebab para ulama sahabat dan tabi’in yang paling mengerti tentang makna Al-Qur’an, mereka mengatakan tentang tafsir ayat ini: “Dia di atas Arsy dan ilmuNya ada di segala tempat, tidak ada seorangpun yang dianggap ucapannya menyelisihi penafsiran ini”.[7]
Sebagaimana penafsiran kebersamaan dengan ilmu juga telah diriwayatkan dari banyak salaf seperti Ibnu Abbas, Dhohak, Muqotil bin Hayyan , Sufyan ats-Tsauri, Nuaim bin Hammad, Ahmad bin Hanbal dan lain sebagainya.[8]

Kedua: Konteks Ayat Mendukung Penafsiran Di Atas

Bila kita memperhatikan secara tajam konteks ayat  dalam surat al-Mujadilah: 7, niscaya akan kita fahami bahwa maksudnya adalah ilmu Alloh, yakni ilmu Alloh meliputi segala sesuatu tetapi Dia di atas langit, sebagaimana difahami oleh para ulama. Bagaimana bisa demikian? Karena Alloh memulai ayat ini dengan ilmu dalam firmanNya:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّـهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ

Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Alloh mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Dan mengakhirinya dengan ilmu dalam firmanNya:

 إِنَّ اللَّـهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٧﴾

Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui segala sesuatu

Jadi, Alloh memulai ayat ini dengan ilmu dan menutupnya dengan ilmu. Maka ilmu Alloh meliputi segala sesuatu dan Dia di atas ArsyNya. Inilah pemahaman ulama kaum muslimin”.[9]

Demikian juga surat al-Hadid: 4, perhatikan ayat sebelumnya:

يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا

Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya.

Kemudian Alloh mengakhirinya dengan firmanNya:

وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿٤﴾

Dan Alloh Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Dengan demikian, dapat kita ketahui kebenaran penafsiran salaf bahwa makna kebersamaan dalam ayat ini adalah ilmu Alloh.  

Ketiga: Memahami Lafadz Ma’a (bersama)

Lafadz Ma’a (bersama) baik dalam bahasa Arab maupun Al-Qur’an tidak ada yang maksudnya adalah menempel antara satu dengan yang lain menjadi satu. Dalam bahasa, kalau ada orang berkata: “Saya berjalan bersama bulan” hal ini dibenarkan, kalau ada seorang ayah mengatakan kepada anaknya yang sedang ketakutan: “Jangan takut, ayah bersamamu” juga dibenarkan dan hal itu tidak berarti bahwa mereka bersatu dzatnya. Adapun dalam Al-Qur’an, seperti firman Alloh:

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّـهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

Muhammad itu adalah utusan Alloh dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS. Al-Fath: 29)

أُولَـٰئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ

Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman. (QS. An-Nisa’: 146)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ ﴿١١٩﴾

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Alloh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (QS. At-Taubah: 119)



وَالَّذِينَ آمَنُوا مِن بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَـٰئِكَ مِنكُمْ

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). (QS. Al-Anfal: 75)

Dengan demikian, maka tidak mungkin maksud firman Alloh (yang artinya): “Dan Dia bersama kalian” yakni bahwa Dzat Alloh bersatu dengan dzat makhluk”.[10] Maha suci Alloh dari kejinya ucapan mereka, karena penafsiran ini adalah bathil ditinjau dari beberapa segi:

Pertama: Penafsiran ini menyelisihi penafsiran Ulama salaf, tidak ada seorang ulama-pun yang menafsirkan kebersamaan Alloh dengan penafsiran tersebut.

Kedua: Penafsiran ini menyelisihi ketinggian Alloh yang telah tetap dengan dalil Al-Qur’an, hadits mutawatir, ijma’, akal dan fithrah.

Ketiga: Penafsiran ini mengharuskan hal-hal bathil yang tidak pantas bagi Alloh.[11] 

ANTARA KETINGGIAN DAN KEBERSAMAAN ALLAH

Dan sesungguhnya penafsiran kebersaman dengan ilmu tidaklah bertentangan dengan ketinggian Alloh di atas arsyNya, hal ini ditinjau dari beberapa segi:

Pertama: Alloh telah menggabungkan antara keduanya dalam Al-Qur’anNya yang tiada kontradiksi di dalamnya.

Semoga Alloh merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tatkala berkata: “Janganlah seorang menyangka bahwa ayat-ayat Alloh saling bertentangan. Seperti mengatakan: “Ayat yang menerangkan bahwa Alloh berada di atas arsy bertentangan dengan ayat: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” atau selainnya. Maka ini merupakan kekeliruan.

Karena Alloh bersama kita secara hakikat dan Alloh juga berada diatas arsy secara hakikat pula. SebagaimanaAlloh menggabungkan hal ini dalam firmannya:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا ۖ وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿٤﴾

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian dia bersemayam diatas arsy. Dia mengetahui apa yang masuk pada bumi dan apa yang kelaur darinya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik padanya. Dan dia bersama kalian dimana saja kalian berada, dan Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Hadid: 4)

Alloh mengabarkan dalam ayat ini bahwasanya Dia berada di atas arsy, mengetahui segala sesuatu, dan Dia-pun bersama kita dimanapun kita berada. Inilah ma’na perkataan salaf: “Sesungguhnya Alloh bersama hamba dengan ilmuNya”[12]

Kedua: Kebersamaan tidak menafikan ketinggian, karena kedua-duanya bisa berkumpul dalam satu waktu pada makhluk, dalam bahasa dikatakan: “Kami berjalan bersama bulan” hal ini dibenarkan dan tak ada seorangpun yang memahami bahwa maksudnya adalah bahwa bulan bersatu dengan dirinya.

Ketiga: Anggaplah bahwa terkumpulnya kebersamaan dan ketinggian mustahil bagi makhluk, tetapi bagi Alloh yang tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya bukanlah hal yang mustahil.[13]

Walhasil, hendaknya bagi kita tidak tertipu dengan syubhat para ahli bid’ah yang mengambil satu dalil untuk menguatkan pemikiran sesat mereka, lalu meninggalkan ribuan dalil yang menunjukkan ketinggian Allah di atas langitNya.

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

[1]  Lihat masalah ini secara luas dalam buku penulis “Di Mana Allah? Pertanyaan Penting Yang Terabaikan”, cet Media Tarbiyah, Bogor.

[2]  Dar’u Ta’arudh 6/260, Ijtima’ul Juyusy Islamiyyah hlm. 266, al-Uluw hlm. 179.

[3]  Kitabul Arsy hlm. 288.

[4] As-Syari’ah 3/1076.

[5] Al-Ibanah (Al-Mukhtar 136)

[6]  Dar’u Ta’arudh 6/250.

[7] At-Tamhid 7/138.

[8] Lihat As-Sunnah Abdullah bin Ahmad 1/306, asy-Syari’ah al-Ajurri 3/1078-1079, al-Asma’ wa Shifat al-Baihaqi 4/341-342.

[9]  Asy-Syari’ah 3/1075.

[10] Lihat Syarh Hadits Nuzul hlm. 360, Majmu Fatawa 5/103, 104.

[11]  Al-Qowaid al-Mutsla hlm. 72, Ibnu Utsaimin.

[12])Aqidah Washitiyah” hal. 22-23.

[13]  Lihat Al-Qowaidul Mutsla hlm. 77-79, Ibnu Utsaimin.