Monday, February 2, 2015

Memahami Taqdir Secara Adil

Bagi sebagian orang, memahami masalah taqdir tidaklah mudah. Buktinya, dalam hal ini banyak di antara kaum Muslimin yang terjebak pada salah satu di antara dua kutub kesesatan yang saling berlawanan. 

Pertama : Kesesatan Jabariyah. Yaitu golongan yang berlebihan dalam masalah taqdir hingga menganggap bahwa manusia tidak memiliki kehendak dan tidak memiliki pilihan untuk berbuat. Semua serba dipaksa oleh Allâh , laksana gerakan getar tubuh yang tidak dapat dikendalikan oleh pemiliknya. 

Kedua : Kesesatan Qadariyah. Yaitu golongan yang berlebihan menolak taqdir hingga semua kegiatan manusia tidak dicampuri oleh Allâh Azza wa Jalla dan kehendak-Nya.

Mengapa demikian ? Sebab dalam memahami taqdir, sebagian orang lebih banyak berpijak pada asas logika. Padahal masalah taqdir termasuk perkara ghaib yang tidak akan dapat dijangkau detail-detailnya hanya berdasarkan logika. Bukan wilayah logika untuk memahami taqdir dengan tuntas. Ia harus difahami berdasarkan wahyu dan keimanan. Ketika taqdir sudah terjadipun, kadang orang tidak mampu menangkap hikmah yang terkandung di baliknya. 

Yang pasti, taqdir Allâh Azza wa Jalla harus diimani sebagaimana orang mengimani ketetapan syari'at-Nya. Keduanya merupakan ketetapan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ketika orang menjalankan ketetapan-ketetapan syari'at Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan mengimaninya, misalnya syari'at shalat, orang juga harus mengimani ketetapan taqdir Allâh Azza wa Jalla , misalnya taqdir hidup, mati, laki-laki, perempuan, sakit, miskin dan taqdir-taqdir lainnya. Karena semuanya berasal dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala , Pencipta alam semesta dan penetap syari'at bagi sekalian hamba-Nya. 

Iman kepada taqdir merupakan salah satu rukun dan asas keimanan di antara rukun Iman yang enam. "Barangsiapa yang mengingkari taqdir, maka bukanlah ia seorang Mu'min yang sesungguhnya."[1] 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Malaikat Jibril Alaihissallam tentang Iman, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. رواه مسلم 

Iman ialah jika engkau beriman kepada Allâh , para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhirat dan jika engkau beriman kepada taqdir, baiknya dan buruknya. [HR. Muslim][2] 

Jadi orang yang beriman adalah orang yang beriman kepada taqdir, dan beriman kepada rukun-rukun iman lainnya. Sebab, taqdir merupakan kekuasaan, kewenangan dan kehendak Allâh Azza wa Jalla . Iman kepada taqdir, tidak bisa dipisahkan dengan Iman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kepada rukun-rukun iman yang lain. Semua saling terkait erat. Maka orang yang beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , kepada Malaikat-malaikat-Nya, para rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya dan hari akhirat, harus pula beriman kepada taqdir.

Sebagaimana halnya nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla serta masalah ghaib lainnya, taqdir juga merupakan masalah yang diluar jangkauan akal manusia. Maka kebenaran dalam memahami taqdir harus sesuai dengan petunjuk wahyu yang datangnya dari Allâh Azza wa Jalla , Dzat yang Maha menentukan taqdir bagi segala sesuatu. Bukan dengan petunjuk logika atau perasaan orang yang serba terbatas.

Sama halnya ketika orang mengimani Allâh Subhanahu wa Ta’ala , nama-nama dan sifat-Nya pun, harus berdasarkan wahyu. Demikian pula ketika orang menjalankan dan mengimani syari'at, juga harus sesuai dengan petunjuk wahyu. Dan di antara wahyu Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebab Beliau adalah utusan-Nya yang dipercaya untuk menerima dan menyampaikan wahyu-Nya, baik berupa al-Qur'an maupun Sunnah.

Dalam hal ini Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَلاَ وَإِنِّي أُوتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ. رواه أحمد وأبوداود

Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi wahyu al-Qur'an, dan yang semisal al-Qur'an (Sunnah) didatangkan bersamanya. [HR. Ahmad dan Abu Dawud][3] 

Hadits ini menunjukkan bahwa ada wahyu lain yang datang bersama al-Qur'an, yaitu Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . 

URUT-URUTAN MENGIMANI TAQDIR:
Supaya seorang Muslim bisa benar dalam memahami dan mengimani taqdir, maka ia harus memahami dan mengimani empat peringkat (perkara) taqdir secara benar, seperti dinyatakan oleh para Ulama.[4] 

Imam Ibnu al-Qayyim t dalam Kitabnya, Syifâ'ul 'Alîl,[5] menyatakan, "Bab kesepuluh tentang peringkat-peringkat Qadha' dan Qadar. Barangsiapa tidak mengimani peringkat-peringkat ini berarti ia belum beriman kepada Qadha' dan Qadar".

Di bawahnya beliau menjelaskan peringkat-peringkat tersebut, beliau katakan: peringkat taqdir ada empat:

Pertama : Mengimani bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya.

Kedua : Mengimani bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala menuliskan segala sesuatu itu (di Lauh Mahfuzh) sebelum kejadiannya.

Ketiga : Mengimani bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha menghendaki kejadian segala sesuatu itu.

Keempat : Mengimani bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala pasti menciptakan dan mengadakan segala sesuatu yang telah diketahuinya itu.[6] 

Itulah empat peringkat atau empat perkara yang hakikatnya merupakan taqdir itu sendiri. Artinya, ketetapan taqdir Allâh pada hakikatnya tidak lepas dari ilmu pengetahuan Allâh Azza wa Jalla terhadap segala sesuatu semenjak sebelum segala sesuatu itu ada, kemudian apa yang diketahuinya ini dituliskan di Lauh Mahfuzh, selanjutnya apa yang diketahui dan dituliskan itu pasti dikehendaki terjadinya oleh Allâh Azza wa Jalla . Terakhir, Allâh Subhanahu wa Ta’ala pasti menciptakan dan mengadakan apa yang telah diketahui dan dikehendaki-Nya itu.

Taqdir baik ataupun buruk, iman atau kufur, semuanya merupakan taqdir Allâh . Sebab Allâh Azza wa Jalla sudah mengetahui sebelumnya bahwa itu akan terjadi dan sudah dituliskannya di Lauh Mahfuzh. Dengan demikian, maka pasti Allâh menghendaki terjadinya, dan jika Allâh menghendaki, pasti Allâh akan mengadakannya. 

Tidak mungkin Allâh menghendaki suatu kejadian sedangkan sebelumnya Allâh tidak tahu. Atau mengetahui bahwa sesuatu akan terjadi, tetapi kemudian Allâh menghendaki lain. Misalnya, seseorang yang sudah diketahui Allâh bahwa ia akan mati kafir, maka tidak mungkin Allâh Azza wa Jalla menghendaki agar ia tidak mati dalam keadaaan kafir. Sebab antara ilmu dan kehendak-Nya tidak mungkin saling berlawanan; Tidak mungkin apa yang diketahui-Nya bertentangan dengan apa yang dikehendaki-Nya. Maha suci Allâh dari hal-hal yang demikian. Tidak mungkin dalam wilayah kekuasaan-Nya terjadi sesuatu yang diluar kehendak-Nya. 

Tetapi perlu difahami bahwa sesuatu yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla tidak selalu identik dengan sesuatu yang di sukai dan dicintai-Nya. Tidak setiap yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala kehendaki terjadi, pasti Allâh Azza wa Jalla sukai. Misalnya, homoseksual terjadi dengan kehendak Allâh Azza wa Jalla , tetapi Allâh tidak menyukai kema'siatan itu.[7] 

Fakta yang semacam ini banyak sekali contohnya. Itulah yang disebut dengan Irâdah Kauniyah, kehendak Allâh yang bersifat taqdir. Salah satu contohnya adalah pencurian. Pencurian tidak akan terjadi tanpa kehendak kauniyah Allâh Azza wa Jalla . Buktinya, banyak pencurian yang gagal meskipun sudah dengan perhitungan yang super teliti. Sebab, Allâh tidak menghendaki pencurian itu terjadi. 

Maka terjadinya pencurian adalah karena kehendak Allâh , tetapi apakah lantas berarti pencurian itu diridhai oleh Allâh Azza wa Jalla ? Tentu tidak. Jadi tidak setiap yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki terjadi, pasti Allâh sukai. 

Empat peringkat itu sangat banyak dalilnya, baik dari al-Qur'an maupun Sunnah yang shahih. Dan bahkan merupakan kesepakatan seluruh para Nabi Allâh dan kitab-kitabNya.

Oleh sebab itu, berkaitan dengan empat peringkat taqdir tersebut, Imam Ibnu al-Qayyim t selanjutnya menjelaskan, ringkasnya antara lain sebagai berikut :

Adapun yang pertama, yaitu bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala sudah terlebih dahulu mengetahui segala sesuatu sebelum segala sesuatu itu terjadi. Ini sudah menjadi kesepakatan seluruh Rasul Allâh Subhanahu wa Ta’ala, mulai dari Rasul Allâh yang pertama hingga Rasul Allâh penutup. Demikian pula telah menjadi kesepakatan seluruh Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta umat Islam sesudahnya yang mengikuti jejak mereka. Yang menyelisihi kesepakatan mereka adalah golongan Majusinya umat Islam ini.[8] Dan penulisan segala sesuatu di Lauh Mahfuzh sebelum kejadiannya, membuktikan bahwa Allâh sudah mengetahui segala sesuatu itu sebelum kejadiannya.[9] 

Beliau juga mengatakan hal yang sama tentang peringkat kedua, ketiga dan keempat, tentang penulisan taqdir segala sesuatu di Lauh Mahfuzh, tentang kehendak Allâh bagi terjadinya segala sesuatu dan tentang penciptaan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Bahwa hal itu semua juga sudah merupakan kesepakatan seluruh rasul Allâh dan kesepakatan semua kitab-Nya yang diturunkan kepada para rasulNya.[10] 

Di antara dalil-dalilnya yang sangat banyak antara lain firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ 

Sesungguhnya Allâh , hanya pada sisiNya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat, dan Dialah yang menurunkan hujan (yang mengandung berkah), dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa hasil yang diusahakannya besok, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allâh Maha mengetahui, Maha Mengenal. [Luqmân/31:34]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَفَاتِيْحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لاَيَعْلَمُهَا إِلاَّ اللهُ: لاَيَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ يَعْلَمُ مَاتَغِيْضُ الْأَرْحَامُ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى يَأْتِي الْمَطَرُ أَحَدٌ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ، وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِلاَّ اللهُ. رواه البخاري

Kunci-kunci perkara ghaib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allâh : Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi esok kecuali Allâh , tidak ada yang mengetahui apa yang berkurang dari rahim kecuali Allâh , tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan hujan datang kecuali Allâh , tidak ada seorangpun yang mengetahui di bumi mana ia mati, dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allâh . [HR. Bukhari dan lainnya] [11] 

Dalam riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَفَاتِيْحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ، ثُمَّ قَرَأَ : (إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ .....). رواه البخاري

Kunci-kunci perkara ghaib ada lima. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allâh (Luqman/31: 34): "Sesungghnya Allâh , hanya pada sisiNya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat,…". [HR. Bukhari] [12] 

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ 

Dan pada sisi Allâh -lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). [al-An'âm/6:59]

Juga firman-Nya :

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ 

Bukankah engkau mengetahui bahwa Allâh Maha Mengetahui apa-apa yang ada di langit maupun bumi. Sesungguhnya yang demikian itu sudah tertulis di dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya penulisan yang demikian itu mudah bagi Allâh [al-Hajj/22:70]

Dua ayat di atas merupakan sebagian dalil tentang penulisan taqdir segala sesuatu di Lauh Mahfuzh, sekaligus juga dalil tentang ilmu Allâh terhadap segala sesuatu. Tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allâh , dan tidak ada sesuatupun yang tidak tertuliskan di Lauh Mahfuzh. Penulisan itu sangatlah mudah bagi Allâh.[13] 

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda antara lain :

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ. قَالَ : وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ. رواه مسلم

Allâh telah menuliskan ketetapan taqdir bagi segenap makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit-langit dan bumi. Nabi bersabda: Dan (waktu itu) Arsy-Nya sudah ada di atas air. [HR. Muslim][14] 

HIKMAH BERIMAN KEPADA TAQDIR
Ada banyak hikmah yang terkandung dalam beriman kepada taqdir, diantaranya bahwa, beriman kepada taqdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Di samping itu juga merupakan sempurnanya keyakinan seseorang terhadap tauhid Rububiyah Allâh Azza wa Jalla . Kemudian, dengan beriman kepada taqdir, akan terwujud tawakkal yang benar kepada Allâh tanpa mengabaikan usaha-usaha. Pun orang akan merasa tenang dalam kehidupannya karena memahami bahwa apa yang menimpanya pasti memang harus menimpanya, dan apa yang tidak akan menimpanya pasti tidak akan menimpanya.

Dengan beriman kepada taqdir, orang juga tidak akan membanggakan diri sendiri ketika berhasil memperoleh sesuatu yang diinginkannya, dan tidak akan merasa sangat sedih ketika gagal memperolehnya. Sebab ia memahami bahwa kesuksesannya memperoleh sesuatu tidak lain kecuali karena ketetapan taqdir dari Allâh Azza wa Jalla . Sedangkan usaha yang ia lakukan hingga berhasil mendapatkan sesuatu, bukan lain karena usaha itu merupakan sebab yang dimudahkan oleh Allâh baginya. Adapun ketika gagal memperoleh sesuatu, iapun memahami bahwa itu adalah ketetapan Allâh , sehingga ia ridha menerimanya.[15] 

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkan dua sikap di atas; tidak bangga terhadap diri sendiri ketika sukses meraih cita-cita, dan tidak sedih secara berlebihan ketika gagal meraih sukses, dalam firman-Nya :

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ﴿٢٢﴾لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ 

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allâh . Agar kamu tidak bersedih hati terhadap yang luput dari kamu, dan tidak pula menjadi bangga terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allâh tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. [al-Hadîd/57:22-23]

Demikianlah, sebenarnya sangat mudah memahami dan mengimani taqdir Allâh secara benar, yaitu hanya dengan tunduk kepada wahyu, dan tidak mendewakan akal. Akal harus tunduk kepada wahyu, bukan wahyu tunduk kepada akal. Sementara mengimani taqdir tidak berarti meniadakan usaha, karena melakukan usaha merupakan perintah, sedangkan antara perintah dan taqdir tidak bertentangan sama sekali. Wallahu al-Muwaffiq

Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Maraji'
1. Syarhul 'Aqîdah al-Wasîthiyah, Syaikh Shalih al-Fauzan, Maktaba al-Ma'arif, Riyadh, cet. VI, 1413 H/1993 M
2. Fathu al-Bâri Syarhu Shahih Bukhari, Ta'liq: Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz 
3. Shahîh Muslim Syarh an-Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma'mun Syiha, Dar al-Ma'rifah
4. Musnad Imam Ahmad, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad az-Zain
5. Shahih Sunan Abi Dawud, Syaikh al-Albani t , Maktabah al-Ma'arif
6. Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
7. Syifâ'ul 'Alîl fi Masâ'il al-Qadhâ' wa al-Qadar wal Hikmati wat-Ta'lîl, Ibnu al-Qayyim, Daar al-Fikr, 1409 H/1988 M
8. Taqrîb Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t , takhrij: Sayyid bin Abbas bin Ali al-Julaimiy, Maktabah as-Sunnah, Kairo, cet. I, 1413 H/1992 M
9. Dll

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. ]
_______
Footnote
[1]. Perhatikan Syarhul 'Aqîdah al-Wasîthiyah, Syaikh Shalih al-Fauzan, Maktaba al-Ma'arif, Riyadh, cet. VI, 1413 H/1993 M, hlm. 162, sub judul: al-Iman bil Qadar wa Bayan Maa Yatadhmmanuhu.
[2]. Shahîh Muslim, Syarh an-Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma'mun Syiha, Dar al-Ma'rifah, I/100-109, no. 93
[3]. Lihat Musnad Imam Ahmad, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir dan Hamzah Ahmad az-Zain, XIII/291, no. 17108 dari hadits Miqdam bin Ma'diykarib; dan Shahîh Sunan Abi Dawud, Syaikh al-Albani rahimahullah, Maktabah al-Ma'arif III/117, no. 4604, Syaikh Al-Albani menyatakan (hadits ini) shahih. Demikian pula pentahqiq Musnad Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits tersebut isanadnya shahih.
[4]. Lihat misalnya Taqrîbut Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, takhrij: Sayyid bin Abbas bin Ali al-Julaimiy, Maktabah as-Sunnah, Kairo, cet. I, 1413 H/1992 M, hal. 104
[5]. Lihat Syifâ'ul 'Alîl fi Masâ'il al-Qadhâ' wa al-Qadar wal Hikmati wat-Ta'lîl, Daar al-Fikr, 1409 H/1988 M, hal. 29.
[6]. Syifa' al-'Alil hal. 29
[7]. Perhatikan pembahasan senada dalam Syarhul 'Aqîdah al-Wasîthiyah, Syaikh Shalih al-Fauzan, op.cit. hal. 171-173, sub judul: Lâ Ta'ârudha Baina al-Qadar wa asy-Syar'i, wa Lâ Baina Taqdirihi lil Ma'ashi wa Bughdhihi laha. Juga Ibnu al-Qayyim t dalam Syifâ'ul 'Alîl, dan Ibnu Taimiyah dalam Risâlah Tadmuriyah, dll.
[8]. Yang di maksud golongan majusinya umat ini adalah golongan qadariyah yang menafikan taqdir. Sebab golongan qadariyah berpaham bahwa tindakan manusia ditentukan, dikehendaki dan diciptakan sendiri oleh manusia tanpa campur tangan dari kehendak dan ciptaan Allâh Azza wa Jalla . Jadi menurut mereka, seakan-akan di alam semesta ini ada dua pencipta, yaitu Allâh Azza wa Jalla sebagai pencipta makhluk, dan makhluk sebagai pencipta perbuatannya sendiri. Orang-orang majusi yang sesungguhnya juga berpaham ada dua pencipta alam semesta, tuhan pencipta kebaikan dan tuhan pencipta keburukan. Oleh sebab itulah qadariyah disebut majusinya umat ini, karena memiliki kemiripan dengan pemahaman majusi dalam hal ini. Lihat misalnya Syarhul 'Aqîdah al-Wasîthiyah, op.cit. hal. 177 pada pembahasan perkataan Syaihul Islam: Wa Hadzihi ad-Darajah min al-Qadar.
[9]. Syifâ'ul 'Alîl, hlm. 29
[10]. Lihat Syifâ'ul 'Alîl, hlm. 39 bab 11, hlm. 43 bab 12 dan hlm. 49 bab 13
[11]. Shahih Bukhari no. 4697 yang termuat dalam Fathu al-Bari, VIII/375
[12]. Shahih Bukhari no. 4778 yang termuat dalam Fathu al-Bari, VIII/513-514
[13]. Lihat misalnya Taqrîb Tadmuriyah, op.cit. hlm. 95-96
[14]. Shahih Muslim Syarh an-Nawawi, op.cit. XVI/419, no. 6690
[15]. Taqrîb Tadmuriyah, op.cit. hlm. 104