Sunday, February 8, 2015

Ar-Raqiib, Yang Maha Mengawasi

Nama Allah Ta’ala yang maha agung ini disebutkan dalam tiga ayat al-Qur’an,
{إنَّ اللهَ كان عَلَيْكُمْ رقيباً}
Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu sekalian” (QS an-Nisaa':1).
{وكان اللهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ رَقِيْباً}
Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu” (QS al-Ahzaab:52).
{وكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيْداً ما دُمْتُ فِيْهِمْ، فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أنْتَ الرَّقِيْبَ عَلَيْهِمْ، وأنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٍ}
Dan akulah yang menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah Yang Maha Mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu” (QS al-Maa-idah:117).
Makna ar-Raqiib secara Bahasa
Ibnu Faris menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan makna yang satu, yaitu berdiri (tegak) untuk mengawasi/memperhatikan sesuatu[1].
Al-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa nama ini secara bahasa berarti pengawas, penunggu dan penjaga[2].
Ibnul Atsir dan Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa nama Allah al-Raqiib berarti Maha Penjaga/Pengawas yang tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya[3].
Penjabaran makna nama Allah al-Raqiib
Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas, beliau menjelaskan bahwa makna ar-Raqiib adalah zat yang maha mengawasi semua perbuatan dan keadaan manusia”[4].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “ar-Raqiib adalah zat yang maha memperhatikan dan mengawasi semua hamba-Nya ketika mereka bergerak(beraktifitas) maupun ketika mereka diam, (mengetahui) apa yang mereka sembunyikan maupun yang mereka tampakkan, dan (mengawasi) semua keadaan mereka”[5].
Di tempat lain beliau berkata: “ar-Raqiib adalah zat yang maha mengawasi semua urusan (makhluk-Nya), maha mengetahui kesudahannya, dan maha mengatur semua urusan tersebut dengan sesempurna-sempurna aturan dan sebaik-sebaik ketentuan[6]“.
Maka makna ar-Raqiib secara lebih terperinci adalah: zat yang maha memperhatikan/mengetahui apa yang tersembunyi dalam dada/hati manusia, yang maha mengawasi apa yang diusahakan setiap diri manusia, yang maha memelihara semua makhluk dan menjalankan mereka dengan sebaik-baik aturan dan sesempurna-sempurna penataan, yang maha mengawasi semua yang terlihat dengan penglihatan-Nya yang tidak ada sesuatupun yang luput darinya, yang maha mengawasi semua yang terdengar dengan pendengaran-Nya yang meliputi segala sesuatu, yang maha mengawasi/memperhatikan semua makhluk dengan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu[7].
Pengaruh Positif dan Manfaat Mengimani Nama Allah Ar-Raqiib
Pengaruh positif yang paling utama dengan mengimani nama Allah yang agung ini adalah senantiasa merasakan muraaqabatullah (pengawasan dari Allah Ta’ala) dalam semua keadaan kita, dan timbulnya rasa malu yang sesungguhnya di hadapan-Nya, yang ini semua akan mendorong seorang hamba untuk selalu menetapi ketaatan kepada-Nya dan menjauhi semua perbuatan maksiat, di manapun dia berada[8].
Muraaqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah Ta’ala) adalah kedudukan yang sangat tinggi dan agung dalam Islam, sekaligus termasuk tahapan utama untuk menempuh perjalanan menuju perjumpaan dengan Allah dan negeri akhirat.
Hakikat muraaqabatullah adalah terus-menerusnya seorang hamba merasakan dan meyakini pengawasan Allah Ta’ala terhadap (semua keadaannya) lahir dan batin, maka dia merasakan pengawasan-Nya ketika berhadapan dengan perintah-Nya, untuk kemudian dia melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, dan ketika berhadapan dengan larangan-Nya, untuk kemudian dia berusaha keras menjauhinya dan menghindarinya[9].
Seorang penyair mengungkapkan makna ini dalam bait syairnya[10]:
Jika suatu hari kamu sedang sendirian maka janganlah kamu berkata:
Aku sendirian, akan tetapi katakanlah: ada (Allah) yang Maha Mengawasiku
Dan janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa Dia akan lalai sesaatpun
Dan (jangan mengira) sesuatu yang tersembunyi akan luput dari (pengawasan)-Nya
Inilah makna al-Ihsan yang disebutkan dalam hadits Jibril ‘alaihis salam yang terkenal, yaitu sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“أن تعبد الله كأنكَ تراه، فإنْ لَمْ تَكُنْ تراه فإنه يراك”
“(al-Ihsan adalah) engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”[11].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Muraaqabatullah (selalu merasakan pengawasan Allah Ta’ala) adalah termasuk amalan hati yang paling tinggi (keutamaannya dalam Islam), yaitu menghambakan diri (beribadah) kepada Allah dengan (memahami dan mengamalkan makna yang terkandung dalam) nama-Nya ar-Raqiib (Yang Maha Mengawasi) dan asy-Syahiid (Yang Maha Menyaksikan). Maka ketika seorang hamba mengetahui/meyakini bahwa semua gerakan (aktifitas)nya yang lahir maupun batin, tidak ada (satupun) yang luput dari pengatahuan-Nya, dan dia (senantiasa) menghadirkan keyakinan ini dalam semua keadaannya, ini (semua) akan menjadikannya (selalu berusaha) menjaga batin (hati)nya dari (semua) pikiran (buruk) dan angan-angan yang dibenci Allah, serta menjaga lahir (anggota badan)nya dari (semua) ucapan dan perbuatan yang dimurkai Allah, serta dia akan beribadah/mendekatkan diri (kepada Allah) dengan kedudukan al-ihsan, maka dia akan beribadah kepada Allah seakan-akan dia melihat-Nya, kalau dia tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatnya”[12].
Kalau kita merenungkan dengan seksama ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan luasnya ilmu Allah Ta’ala dan bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan dan pengawasan-Nya, baik yang tampak di mata manusia maupun tersembunyi, seperti ayat-ayat berikut:
{واعلموا أن الله يعلم ما في أنفسكم فاحذروه}
Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahi apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya” (QS al-Baqarah:235).
{يستخفون من الناس ولا يستخفون من الله وهو معهم إذ يبيتون ما لا يرضى من القول، وكان الله بما يعملون محيطاً}
Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan” (QS an-Nisaa':108).
{يعلم خائنةَ الأَعْيُنِ وما تُخْفِي الصُدور}
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan dalam hati” (QS al-Mu’min:19). Dan ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat-ayat tersebut, merenungkan dan menghayati semua itu akan membangkitkan dalam diri seorang hamba muraaqabatullah dalam semua perbuatan dan keadaannya. Karena muraaqabatullah adalah termasuk buah yang manis dari keyakinan seorang hamba bahwa Allah Ta’alamaha mengawasi dan memperhatikan dirinya, maha mendengarkan apa yang diucapkan lisannya, serta maha mengetahui semua perbuatannya setiap waktu, setiap tarikan nafas, bahkan setiap kedipan matanya[13].
Penutup
Dengan penjelasan di atas, kita memahami bagaimana agungnya manfaat dan keutamaan membaca al-Qur’an dengan merenungkan dan menghayati kandungan maknanya, karena dengan itulah kita bisa mengambil petunjuk agung yang terdapat di dalamnya dengan sempurna[14], untuk membawa kita mencapai kedudukan dan tingkatan yang tinggi di hadapan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
{كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولوا الألباب}
Ini adalah kitab (al-Qur’an) yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS Shaad:29).
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua kedudukan muraaqabatullah yang agung dan mulia ini, serta semua kedudukan yang tinggi dalam agama-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Mengabulkan permohonan hamba-Nya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

[1] Kitab “Mu’jamu maqaayiisil lughah” (2/353).
[2] Kitab “al-Qamus al-muhith” (hal. 116).
[3] Kitab “an-Nihayah fi gariibil hadits wal atsar” (2/609) dan “Lisaanul ‘Arab” (1/424).
[4] Kitab “tafsir Ibni Katsir” (1/596).
[5] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 90).
[6] Ibid (hal. 487).
[7] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 159).
[8] Lihat Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (1/596) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 90).
[9] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 160).
[10] Dinukil oleh Imam Ibnu Hibban al-Busti dalam kitab “Raudhatul ‘uqala'” (hal. 26).
[11] HSR Muslim (no. 8).
[12] Tafsiiru asma-illahil husna (hal. 55).
[13] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 160).
[14] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam “Ighaatsatul lahfan min masha-yidisy syaithaan” (1/44).