Kalau kita melihat besarnya kekuasaan Allah subhanahu wata’ala, niscaya kita akan segera mengucapkan “Allahu Akbar”, “Subhanallah”. Allah subhanahu wata’ala menciptakan langit tanpa tiang serta semua bintang yang menghiasinya dan Allah subhanahu wata’ala turunkan darinya air hujan dan tumbuh dengannya segala jenis tumbuh-tumbuhan. Bumi terhampar sangat luas, segala jenis makhluk bertempat tinggal di atasnya, berbagai kenikmatan dikandungnya dan setiap orang dengan mudah bepergian ke mana yang dia inginkan.
Binatang dengan berbagai jenis, bentuk, dan warnanya. Tumbuh-tumbuhan dengan segala jenisnya dan buah-buahan dengan segala rasa dan warnanya. Lautan yang sangat luas dan segala rizki yang ada di dalamnya semua itu mengingatkan kita kepada kebesaran Allah subhanahu wata’ala dan ke-Mahaagungan-Nya.
Kita semua meyakini bahwa Allah subhanahu wata’ala menciptakan semua itu memiliki tujuan dan tidak sia-sia. Maka dari itu mari kita berlaku jujur pada diri kita dan di hadapan Allah subhanahu wata’ala yaitu tentu bahwa kita juga diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala tidak sia-sia, dalam arti kita diciptakan memiliki tujuan tertentu yang mungkin berbeda dengan yang lain. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
“Maka apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu’minun: 115)
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (Al-Qiyamah: 36)
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah.” (Shad: 27)
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (Ad-Dukhan: 38)
Dari ayat-ayat di atas sungguh sangat jelas bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini dan yang ada di langit serta apa yang ada di antara keduanya tidak ada yang sia-sia. Lalu untuk siapakah semuanya itu?
Mari kita melihat keterangan Allah subhanahu wata’ala di dalam Al-Qur’an (yang artinya):
“Dialah yang telah menjadikan bumi terhampar buat kalian dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untuk kalian, karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 22)
Al-Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Allah subhanahu wata’ala mengeluarkan bagi mereka (dengan air hujan tersebut) segala macam tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang bisa kita saksikan sebagai rizki buat mereka, serta binatang-binatang ternak mereka sebagaimana yang telah disebutkan di banyak tempat di dalam Al-Qur’an. Di antaranya firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kalian tempat menetap dan langit sebagai atap, lalu membentuk kalian, membaguskan rupa kalian serta memberi kalian rizki dari sebagian yang baik-baik yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Mu’min: 64) (Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/60))
Allah subhanahu wata’ala juga berfirman (yang artinya):
“Dia Allah yang telah menjadikan segala apa yang di bumi untuk kalian.” (Al-Baqarah: 29)
Asy-Syaikh As-Sa’di mengatakan di dalam tafsir beliau hal. 30: “Allah subhanahu wata’ala menciptakan segala apa yang ada di atas bumi buat kalian sebagai wujud kebaikan Allah subhanahu wata’ala bagi kalian dan rahmat-Nya agar kalian juga bisa mengambil manfaat darinya, bersenang-senang dan bisa mengambil pelajaran.” (Kemudian beliau mengatakan:) “…dan Allah subhanahu wata’ala menciptakan semuanya agar manfaatnya kembali kepada kita….”
Sungguh sangat jelas bahwa semua apa yang ada di langit dan di bumi dipersiapkan untuk manusia seluruhnya. Maha Dermawan Allah subhanahu wata’ala terhadap hamba-Nya dan Maha Luas rahmat-Nya.
Dari keterangan di atas berarti manusia diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala dengan dipersiapkan baginya segala kenikmatan, tentu memiliki tujuan yang agung dan mulia. Lalu, untuk apakah tujuan mereka diciptakan?
Tujuan Diciptakan Manusia
Manusia dengan segala nikmat yang diberikan Allah subhanahu wata’ala memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan makhluk yang lain. Tentu hal ini menunjukkan bahwa mereka diciptakan untuk satu tujuan yang mulia, agung, dan besar. Tujuan inilah yang telah disebutkan oleh Allah subhanahu wata’ala di dalam Al-Qur’an:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat:56)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsir beliau mengatakan: “Inilah tujuan Allah subhanahu wata’ala menciptakan jin dan manusia dan Allah subhanahu wata’ala mengutus seluruh para Rasul untuk menyeru menuju tujuan ini yaitu beribadah kepada-Nya yang mencakup di dalamnya pengetahuan tentang Allah subhanahu wata’ala dan kecintaan kepada-Nya, bertaubat kepada-Nya, menghadap (dengan segala yang dimilikinya) kepada-Nya dan berpaling dari selain-Nya.”
Semua nikmat yang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada manusia tidak lain hanya untuk membantu mereka dalam mewujudkan tugas dan tujuan yang mulia ini.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab Al-Qaulul Mufid (1/27) mengatakan: “Dengan hikmah inilah manusia diberikan akal dan diutus kepada mereka para Rasul serta diturunkan kepada mereka kitab-kitab, dan jika tujuan diciptakannya manusia adalah seperti tujuan diciptakannya binatang, niscaya akan hilang hikmah diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab karena yang demikian itu akan berakhir bagaikan pohon yang tumbuh lalu berkembang dan setelah itu mati.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Fatawa (1/4) mengatakan: “Maka sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia untuk menyembah-Nya sebagaimana firman Allah ‘Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.’ Ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala hanya dilakukan dengan cara menaati Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya dan tidak dikatakan ibadah kecuali apa yang menurut syariat Allah subhanahu wata’ala adalah sesuatu yang wajib atau sunnah.”
Makna Ibadah
Ibadah secara bahasa artinya menghinakan diri. Sedangkan menurut syariat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Nama dari segala yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala dan diridhai-Nya (yang terdiri) dari segala bentuk perbuatan dan ucapan baik yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (Al-‘Ubudiyyah, 38)
Macam Ibadah
Dari definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas kita mendapatkan pelajaran bahwa ibadah itu ada dua bentuk yaitu ibadah yang nampak dan tidak nampak. Atau dengan istilah lain ibadah zhahiriyyah dan ibadah bathiniyyah; atau dengan istilah lain lagi ibadah badaniyyah dan ibadah qalbiyyah.
Ibadah badaniyyah atau zhahiriyyah adalah segala praktek ibadah yang dapat dilihat melalui gerakan anggota badan yang diridhai Allah dan yang dicintai-Nya seperti shalat, zakat, puasa, berhaji, berzikir, berinfak, menyembelih, menolong orang yang membutuhkan dan sebagainya. Adapun ibadah bathiniyyah atau ibadah qalbiyyah adalah ibadah yang terkait dengan hati dan tidak nampak seperti takut, tawakkal, berharap, khusyu’, cinta, dan sebagainya.
Dari kedua jenis ibadah ini, yang paling banyak kaum muslimin tergelincir dalam kesalahan padanya adalah yang berkaitan dengan ibadah bathiniyyah atau ibadah hati dikarenakan sedikit dari kaum muslimin yang mengetahuinya.
‘Ubudiyyah dan Tingkatannya
Para ulama telah berbicara tentang tingkatan ‘ubudiyyah ini berdasarkan apa yang telah disebutkan oleh Allah l di dalam Al-Qur’an.
Pertama, ‘ubudiyyah yang bersifat umum.
‘Ubudiyyah ini bisa dilakukan oleh setiap makhluk Allah yang muslim atau yang kafir. Inilah yang diistilahkan dengan ketundukan terhadap takdir dan sunnatullah. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (Maryam: 93)
Tentu di dalam ayat ini masuk juga orang-orang kafir.
Kedua, ‘ubudiyyah ketaatan yang bersifat umum.
Ini mencakup ketundukan setiap orang terhadap syariat Allah, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
“Dan hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi ini dengan rendah hati (tawadhu’).” (Al-Furqan: 63)
Ketiga, ‘ubudiyyah yang khusus.
‘Ubudiyyah yang khusus ini adalah tingkatan para Nabi dan Rasul Allah.
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala tentang Nabi Nuh ‘alaihissalam:
“Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba-Ku yang bersyukur.” (Al-Isra’: 3)
Kemudian Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Dan jika kalian ragu-ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami.” (Al-Baqarah: 23)
Dan Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang seluruh para rasul:
“Dan ingatlah akan hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang memiliki perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45)
Ini merupakan ‘ubudiyyah-nya para Rasul ‘alaihimussalam yang tidak ada seorangpun akan bisa mencapainya. (Al-Qaulul Mufid, 1/36)
Syarat Diterimanya Ibadah
Tentu sebagai orang yang dikenai beban syariat tidak menginginkan jikalau ibadah, pengabdian, dan pengorbanan kita tidak bernilai di hadapan Allah. Telah sepakat para ulama Ahlus Sunnah bahwa sebuah ibadah akan diterima oleh Allah dengan dua syarat, yaitu “mengikhlaskan niat semata-mata untuk Allah subhanahu wata’ala” dan “mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Kedua syarat ini merupakan makna dari dua kalimat syahadat “Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah”. Kesepakatan Ahlus Sunnah dengan kedua syarat ini dilandasi Al-Qur’an dan hadits, di antaranya adalah firman Allah subhanahu wata’ala:
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya amal itu sah dengan niat dan seseorang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan dan bukan dari perintahku maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim)
Wallahu a’lamu bish shawab.
(Disadur dari artikel dengan judul yang sama karya Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi dalam kumpulan artikel majalah Asy-Syari’ah, asysyariah-Vp-1.8.chm, dengan sedikit perubahan)