Jangan Nodai Imanmu dengan Kezaliman!
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al An‘am : 82)
Ketika ayat ini turun, para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami yang tidak pernah berbuat zalim?” Beliau menjawab, “Maksud ayat ini bukanlah seperti yang kalian katakan, akan tetapi yang dimaksud dengan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anaknya, ‘Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar’?” (HR. Bukhari)
Lantas apa makna ‘keamanan’ dalam ayat di atas? Jawabannya tergantung dari jenis kezaliman yang diperbuat oleh manusia. Perbuatan zalim terbagi menjadi tiga jenis:
- Kezaliman yang paling besar, yaitu syirik.
- Kezaliman manusia pada dirinya sendiri, yaitu dengan tidak memberikan hak bagi tubuhnya. Misalnya berpuasa namun tidak berbuka, atau shalat semalam suntuk tanpa tidur, termasuk juga bermaksiat kepada Allah Ta’ala.
- Kezaliman manusia kepada manusia lainnya. Misalnya membunuh, mengambil harta saudaranya tanpa hak, dan sebagainya.
Adapun orang yang terjatuh ke dalam perbuatan zalim kepada diri sendiri atau orang lain, namun selamat dari perbuatan syirik, maka baginya keamanan dalam artian ia tetap diadzab -jika Allah menghendaki hal itu- sesuai kadar kezaliman yang diperbuat, akan tetapi dia akan terbebas dari kekalnya adzab neraka. Bahkan, jika Allah berkehendak, akan diampuni dosa-dosanya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’ : 116) (lihat penjelasan di atas dalam Al Qaul Al Mufid ‘ala Kitab At Tauhid)
Ucapkan Laa Ilaha Illallah dengan Ikhlas, dan Bagimu Surga!
Dari Sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang akhir perkataannya adalah kalimat ‘laa ilaha illallah’, pasti masuk surga” (HR. Abu Dawud, shahih). Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan RasulNya, dan bahwa Isa adalah hamba dan RasulNya, dan kalimatNya yang disampaikan kepada Maryam, serta Ruh dari padaNya, dan surga adalah haq, neraka juga haq, maka Allah pasti memasukkannya ke dalam surga, betapapun amal yang telah diperbuatnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagian kaum muslimin memahami hadits di atas ‘seadanya’, yaitu siapa saja yang hingga akhir hayatnya “berhasil” mengucapkan kalimat tauhid, atau sekedar mengucapkannya sekali seumur hidup saja, akan masuk surga. Tidak peduli seburuk apapun amalan yang telah ia kerjakan, bahkan terjatuh dalam dosa syirik sekalipun.
Padahal, dalam hadits lain yang semakna dengan hadits ini, disebutkan bahwa salah satu syarat yang mengikat janji surga tersebut, adalah keikhlasan. Dari Sahabat ‘Itban bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang-orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallaah” dengan ikhlas dan hanya mengharapkan ganjaran berupa (melihat) wajah Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pemaknaan hadits-hadits yang mengandung pernyataan muthlaq (tanpa syarat) seperti dalam hadits pertama dan kedua -berdasarkan keseluruhan dalil yang ada- haruslah dibawa kepada makna yang muqayyad (bersyarat), yaitu terikat dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan penghalang-penghalang yang harus dinafikan. Salah satu syaratnya, berdasarkan hadits ‘Itban, adalah diamalkan dalam bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala semata, dan tidak berbuat syirik kepada selain-Nya. (lihat Asy Syarh Al Muyassar dan Hasyiyah Kitab At Tauhid).
Sungguh indah perkataan Wahb bin Munabbih ketika ditanya, “Bukankah laa ilaha illallah adalah kunci surga?”, maka beliau menjawab, “Ya, akan tetapi setiap kunci memiliki gerigi. Barangsiapa yang datang dengan membawa kunci yang bergerigi tersebut, barulah pintu terbuka, namun jika tidak, pintu tersebut tidak akan terbuka.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Kisah Si Pemilik ‘Kartu’
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat. Ketika itu dibentangkan 99 gulungan (dosa) miliknya. Setiap gulungan dosa panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah berfirman, ‘Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini, apakah (para) malaikat pencatat amal telah menganiayamu?’ Dia menjawab, ‘Tidak, wahai Rabbku’. Allah bertanya, ‘Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?’ Dia menjawab, ‘Tidak wahai Rabbku’. Allah berfirman, ‘Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak akan dianiaya sedikit pun’. Kemudian dikeluarkanlah sebuah bithaqah (kartu) bertuliskan ‘asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh’. Lalu Allah berfirman, ‘Datangkan timbanganmu’. Dia berkata, ‘Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh gulungan (dosa) itu?’ Allah berfirman, ‘Sungguh kamu tidak akan dianiaya’. Kemudian diletakkanlah gulungan-gulungan tersebut pada satu daun timbangan dan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka gulungan-gulungan (dosa) tersebut terangkat dan kartu (laa ilaha illallah) lebih berat. Demikianlah, tidak ada satupun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat nama Allah.” (HR. Tirmidzi, shahih)
Pertama, hendaklah diingat bahwa dhahir hadits ini digunakan kata “rojulun”, bentuk tunggal yang menunjukkan makna “seseorang”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hadits ini -bisa jadi- hanya berlaku untuk satu orang saja (faedah dari pelajaran Ust. Abu Isa).
Kedua, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh, keutamaan ini tidaklah didapat melainkan oleh seseorang yang kadar tauhid dalam hatinya sangat besar, demikian pula dengan rasa cintanya kepada Allah Jalla wa ‘Alla dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam, ikhlas kepada Allah, bertauhid baik dalam rububiyah (ketuhanan), uluhiyah (peribadahan), dan asma’ wa shifat (nama-nama dan sifat-sifatNya) (Fadhlu Tauhid wa takfiruhu li adz dzunub)
Tiga Golongan Manusia
Berdasarkan ayat dan hadits yang telah disebutkan, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh hafizhahullahu ta’ala –salah seorang ulama sekaligus mentri urusan agama- menyimpulkan bahwa manusia dibagi dalam tiga golongan, yaitu :
Golongan pertama: Orang-orang yang benar-benar mewujudkan tauhid, yaitu bersih dari syirik, baik syirik akbar maupun ashghar, bersih dari segala bentuk kemaksiatan dan dosa, baik dosa besar maupun kecil (yaitu terhapus dengan taubat nasuha –pen), dan beramal shalih sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Jalla wa ‘Alla. Mereka ini tergolong dalam orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab, dan berjumlah 70.000 dari umat ini (dalil lain menunjukkan bahwa jumlahnya diperbanyak lagi, ed). Inilah medan juang bagi setiap manusia, dan hendaklah masing-masing berupaya meraih keutamaan ini. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik pada kita.
Golongan kedua: Orang-orang yang beramal dengan landasan tauhid, akan tetapi mereka mencampuri amalan shalih dengan amalan buruk. Mereka ini terbagi lagi ke dalam golongan sebagai berikut :
- Golongan yang bertaubat kepada Allah, mereka akan menjadi sebagaimana golongan pertama (masuk surga tanpa hisab).
- Golongan yang bertemu Allah dengan membawa dosa-dosa besar namun tanpa diiringi taubat, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni siapa saja yang Ia kehendaki dan akan mengadzab siapa saja yang Ia kehendaki (lihat QS. An Nisa’ : 116 -pen). Apabila Allah berkehendak mengadzab mereka, yang dimaksud bukanlah adzab neraka secara kekal. Melainkan sesuai dengan kadar dosa yang telah mereka perbuat.
- Golongan yang amal buruknya lebih banyak apabila ditimbang, akan tetapi amalan tauhidnya mengalahkan timbangan amal buruk, dan inilah keutamaan dari Allah Jalla wa ‘Alla.
At Tauhid edisi VII/04