Sunday, December 10, 2017

Kitab Tauhid 37

Bab : Sabar Terhadap Takdir Allah Bagian Dari Iman
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (Qs. At Taghabun: 11)
Alqamah berkata, “Maksud ayat itu adalah seorang yang tertimpa musibah, ia meyakini bahwa itu semua dari Allah, maka ia pun ridha dan pasrah kepada-Nya.”
**********
Penjelasan:
Dalam bab ini, penyusun (Syaikh Muhammad At Tamimi) ingin menerangkan tentang kewajiban bersabar terhadap takdir Allah Azza wa Jalla dan haramnya keluh-kesah, karena hal itu dapat mengurangi kesempurnaan tauhid.
Alqamah adalah tabi’in besar, termasuk ulama dan orang tsiqah dari kalangan tabi’in. Namanya Alqamah bin Qais bin Abdullah bin Alqamah. Ia lahir di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan wafat setelah tahun 60 H.
Iman secara bahasa artinya membenarkan. Sedangkan secara syara, iman adalah mengikrarkan di lisan, membenarkan di hati, dan mengamalkan dengan anggota badan. Ia dapat bertambah dengan ketaatan dan dapat berkurang karena kemaksiatan.
Sabar secara bahasa artinya menahan. Sedangkan secara syara’, sabar adalah menahan diri dari sikap keluh-kesah, menahan lisan dari mengeluh dan kesal, serta menahan anggota badan dari sikap yang menunjukkan tidak ridha terhadap takdir seperti menampar muka, merobek baju, dan menarik rambut.
Ayat di atas menerangkan, bahwa barang siapa yang mendapatkan musibah, lalu ia meyakini bahwa musibah itu berasal dari Allah Azza wa Jalla, ia pun bersabar dan mengharapkan pahala, serta pasrah dan menerima takdir Allah, maka Allah akan membimbing hatinya, dan mengganti bagian dunia yang hilang daripadanya dengan petunjuk pada hatinya dan keyakinan yang benar, dan terkadang diganti yang dicabut itu dengan yang sama atau lebih baik daripadanya.
Dalam ayat tersebut terdapat dalil keutamaan sabar terhadap takdir Allah Azza wa Jalla.
Kesimpulan:
1.      Keutamaan sabar terhadap musibah.
2.      Amal termasuk bagian dari iman.
3.      Sabar merupakan sebab memperoleh hidayah bagi hati.
**********
Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
" اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ "
“Ada dua yang masih dilakukan manusia, dimana keduanya merupakan kekufuran, yaitu mencela nasab dan meratapi mayit.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan dalam Shahih Muslim no. 67.
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa akan selalu ada perkara kufur yang masih dikerjakan manusia, dimana tidak ada yang selamat daripadanya kecuali orang yang dijaga Allah Azza wa Jalla. Perkara kufur tersebut adalah mencela dan mencacatkan nasab, serta mengangkat suara (berteriak) atau meratap ketika terjadi musibah karena tidak menerima takdir Allah Azza wa Jalla. Meskipun begitu, bukan berarti orang yang melakukan perbuatan itu menjadi kafir atau keluar dari Islam sampai dia melakukan kufur akbar (besar) sebagaimana yang diterangkan dalam kitab-kitab akidah.
Dalam hadits di atas terdapat dalil haramnya mencela nasab dan meratap terhadap musibah.
Kesimpulan:
1.      Haramnya meratap dan bahwa hal itu termasuk kekufuran sehingga sebagai dosa yang besar.
2.      Wajibnya bersabar terhadap musibah.
3.      Di antara perkara kufur ada yang tidak mengeluarkan dari Islam.
4.      Haramnya mencela nasab.
**********
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud secara marfu (berasal dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam),
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ، أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang menampar pipi, merobek kerah baju, atau menyeru dengan seruan Jahiliyah.”
**********
Penjelasan:
Hadits tersebut disebutkan dalam Shahih Bukhari no. 1294 dan Shahih Muslim no. 103.
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan ancaman terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan yang disebutkan, karena di dalamnya terdapat sikap tidak ridha terhadap ketetapan Allah Azza wa Jalla, tidak sabar, dan menyakiti diri sendiri seperti menampar pipi, dsb.
Maksud menyeru dengan seruan jahiliyyah adalah meratap dan menyebutkan kecelakaan terhadap dirinya seperti yang biasa diucapkan oleh orang-orang Jahiliyah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menyeru dengan seruan Jahiliyah adalah seperti mengajak kepada suku dan sikap fanatik. Termasuk pula fanatik terhadap madzhab, kelompok, dan guru, melebihkan yang satu di atas yang lain, mengajak kepadanya, berwala dan berbara karenanya. Itu semua termasuk seruan Jahiliyah.”
Hadits di atas menunjukkan, bahwa sikap keluh-kesah dan kesal terhadap takdir Allah Azza wa Jalla baik dengan ucapan maupun perbuatan termasuk dosa besar.
Kesimpulan:
1.      Haramnya keluh-kesah terhadap takdir Allah Azza wa Jalla, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, dan bahwa hal itu termasuk dosa besar.
2.      Wajibnya bersabar ketika mendapatkan musibah.
3.      Wajibnya menyelisihi kaum Jahiliyyah.
**********
Dari Anas radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ»
“Sesungguhnya besarnya pahala sesuai besarnya ujian. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka; barang siapa yang ridha, maka dia akan memperoleh keridhaan Allah, dan barang siapa yang kesal, maka dia akan memperoleh kemurkaan-Nya.” (Dihasankan oleh Tirmidzi)
**********
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 2396, Ibnu Majah no. 4031, Ibnu Addi dalam Al Kamil (3/356), Al Qudha’i dalam Musnadnya (1121), dan Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (5/245) dari Anas bin Malik. Hadits ini dinyatakan shahih karena syawahidnya oleh Syaikh Usamah Al Utaibiy, dan dishahihkan pula oleh Imam As Suyuthi.
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa besarnya pahala sesuai besarnya ujian dan cobaan, tentunya jika disikapi dengan sabar dan mengharapkan pahala. Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga menerangkan, bahwa tanda cinta Allah kepada seorang hamba adalah ketika Dia memberinya ujian, lalu ia bersabar dan ridha, mengharapkan pahala, serta bersangka baik kepada Allah Azza wa Jalla. Jika demikian, maka dia akan memperoleh keridhaan Allah dan pahala-Nya, tetapi jika ia keluh-kesah atau tidak ridha, maka ia akan memperoleh kemurkaan Allah dan siksa-Nya.
Kesimpulan:
1.      Tanda cinta Allah Azza wa Jalla kepada hamba-Nya adalah dengan memberinya ujian.
2.      Allah memiliki sifat cinta, ridha, dan murka sesuai kebesaran dan keagungan-Nya.
3.      Menetapkan hikmah (kebijaksanaan) dalam tindakan Allah Azza wa Jalla.
4.      Balasan sesuai dengan amal yang dikerjakan.
5.      Dorongan untuk bersabar terhadap musibah.
6.      Terkadang seseorang membenci sesuatu, padahal yang demikian adalah baik baginya.
**********
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ العُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»
“Apabila Allah menghendaki kebaikan untuk seorang hamba, maka Allah menyegerakan hukuman baginya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan untuk seorang hamba, maka Dia tangguhkan dosanya, sampai Dia penuhi balasannya nanti pada hari Kiamat.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas dan hadits sebelumnya diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 2396 dengan sanad yang sama dan dari sahabat yang sama, juga diriwayatkan oleh Ahmad no. 4/87, dan Hakim 1/349. Syaikh Al Albani menyatakanhasan shahih terhadap hadits tersebut.
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerangkan tentang tanda kebaikan yang Allah berikan kepada seorang hamba, yaitu disegerakan hukuman kepadanya di dunia untuk menghapuskan dosa-dosanya sehingga ia meninggalkan dunia ini tanpa membawa dosa. Hal itu, karena barang siapa yang telah dihisab amalnya segera, maka akan ringan hisabnya nanti. Demikian pula, di antara tanda keburukan yang ditimpakan kepada seorang hamba adalah tidak diberikan balasan terhadap dosa-dosanya sehingga dia meninggalkan dunia ini membawa dosa-dosa untuk diberikan hukuman yang layak baginya pada hari Kiamat.
Dalam hadits di atas terdapat dorongan untuk bersabar terhadap musibah dan ridha terhadap takdir.
Kesimpulan:
1.      Tanda Allah memberikan kebaikan kepada seorang hamba adalah disegerakan hukuman di dunia terhadap dosa-dosanya.
2.      Tanda keburukan seorang hamba adalah ketika dosa-dosanya ditangguhkan (tidak segera diazab) bahkan diazab nanti pada hari Kiamat secara penuh.
3.      Berhati-hati terhadap kondisi yang selalu sehat dan nyaman.
4.      Perintah untuk bersangka baik kepada Allah Azza wa Jalla.
5.      Terkadang seseorang benci terhadap sesuatu, padahal yang demikian adalah baik baginya.
6.      Dorongan untuk bersabar terhadap musibah.

Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan), Tahdzibul Kamal (Yusuf bin Abdurrahman Al Mizziy), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.