Thursday, July 6, 2017

Sikap Ahlus Sunnah Dalam Masalah Nama Dan Sifat Allah

Pembicaraan tentang Nama-nama Allâh Azza wa Jalla dan Sifat-sifat-Nya adalah satu bagian dari pembicaraan tentang Dzat Allâh Azza wa Jalla dan ini termasuk perkara ghaib. Oleh karena itu, manusia tidak mungkin mengetahuinya secara rinci kecuali dengan wahyu. Karena kemampuan akal manusia tidak akan bisa mengetahui segala hal tentang Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya:

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

Dia (Allâh) mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. [Thaha/20: 110]

Jadi, pembicaraan tentang Nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Sifat-sifat-Nya adalah adalah tauqifiyyah, artinya: berhenti pada keterangan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak ditambah, tidak dikurangi. Karena kalau kita menambahi, berarti kita telah berbicara tanpa ilmu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [Al-Isrâ’/17: 36]

Dan jika kita mengurangi, berarti kita menyembunyikan atau mengingkari Nama yang telah Allâh Azza wa Jalla beritakan kepada kita, dan itu merupakan kejahatan terhadap hak Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dila’nati Allâh dan dila’nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nati. [Al-Baqarah/2:159]

Oleh karena itu, kita wajib beradab dalam masalah ini dan mencukupkan diri dengan mengenal Nama dan Sifat Allâh lewat wahyu-Nya.

SIKAP AHLUS SUNNAH BERKAITAN DENGAN NAMA DAN SIFAT ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Jalan yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam pembicaraan tentang Nama-nama Allâh Azza wa Jalla dan Sifat-sifat-Nya terangkum dalam tiga perkara:

Pertama: Menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allâh dan Rasul-Nya, dengan tanpa tahrîf, ta’thîl, takyîf, juga tanpa tamtsîl.

Ahlussunnah mengimani semua sifat-sifat Allâh yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih, dan mereka juga mengimani bahwa sifat-sifat itu adalah sifat yang sebenarnya yang sesuai dengan keagungan Allâh Azza wa Jalla serta tidak menyerupai sifat makhluk sama sekali.

Semua sifat itu adalah sifat kesempurnaan, tidak ada sisi kekurangan sama sekali.

Mereka juga mengimani semua Nama-nama Allâh al-husna (yang paling indah), yang ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Dan mengimani bahwa setiap nama memuat sifat Allâh Azza wa Jalla , seperti nama Allâh Azza wa Jalla al-‘Aziz memuat sifat ‘izzah (mulia, perkasa, kuasa). Nama al-Qawi memuat sifat quwah (kekuatan) dan seterusnya.

Kedua: Meniadakan apa yang ditiadakan oleh Allâh dan Rasul-Nya dari diri-Nya, dengan meyakini kesempurnaan lawan sifat yang ditiadakan itu.

Semua sifat yang ditiadakan oleh Allâh Azza wa Jalla dari diri-Nya atau yang ditiadakan oleh Rasul-Nya dari diri Allâh Azza wa Jalla adalah sifat kekurangan. Dan maksud dari meniadakan semua sifat kekurangan itu dari Allâh Azza wa Jalla adalah bukan hanya meniadakan sifat-sifat tersebut tapi harus disertai dengan adanya penetapan sifat yang menjadi lawan dari sifat kekurangan tersebut secara sempurna. Karena jika hanya menafikan atau meniadakan sifat-sifat kekurangan itu dari Allâh Azza wa Jalla tersebut tidak menunjukkan kesempurnaan Allâh Azza wa Jalla , namun hanya menetapkan sifat terpuji yang ada padanya.

Di antara sifat yang Allâh Azza wa Jalla tiadakan dari diri-Nya adalah sifat zhulm (berlaku zhalim). Peniadaan sifat ini berarti (pertama) meniadakan sifat zhulm itu sendiri dari Allâh Azza wa Jalla dan (kedua) menetapkan bahwa yang ada pada Allah adalah lawan dari sifat zhulm secara sempurna, yaitu sifat maha adil.

Allâh Azza wa Jalla juga meniadakan dari diri-Nya sifat lughûb (lelah atau capek). Peniadaan sifat ini berarti (pertama) meniadakan sifat lughûb (lelah atau capek) itu sendiri dari Allâh Azza wa Jalla dan (kedua) menetapkan bahwa yang ada pada Allah adalah lawan dari sifat lughûb secara sempurna, yaitu sifat maha kuat atau maha perkasa.

Dan begitu seterusnya, berkaitan dengan sifat-sifat yang ditiadakan oleh Allâh dan Rasul-Nya dari diri-Nya.

Ketiga: Tentang sifat-sifat yang tidak ada dalil penetapan atau peniadaan dari Allâh dan Rasul-Nya, dan manusia berselisih tentangnya, maka sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam hal ini adalah tawaqquf pada lafazhnya, yaitu mereka tidak menetapkannya dan tidak meniadakannya. Adapun maknanya, maka perlu perincian. Jika yang diinginkan adalah kebatilan, maka Ahlus Sunnah menolaknya dan jika yang dimaksudkan adalah kebenaran, maka Ahlus Sunnah menerimanya.

Contohnya adalah sifat jism (badan), haiz (batas), jihat (arah) dan semacamnya.

Jika ada seseorang bertanya, “Apakah kamu menetapkan jihat (arah) untuk Allâh? Untuk menanggapi pertanyaan ini:

Pertama: Kita jawab bahwa kami tidak menetapkan dan tidak meniadakan lafazh jihat (arah) sebagai sifat Allâh Azza wa Jalla , karena tidak ada dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang menetapkan atau yang meniadakannya.

Kedua: kita tanyakan kepadanya, ‘Apakah maksud anda dengan kata jihat (arah) untuk Allâh?’

Jika dia menjawab, “Yang aku maksudkan Adalah Allâh berada di suatu tempat yang meliputinya (dan memerlukan tempat itu-red)”, maka jawabannya adalah bahwa ini kebatilan, Allâh Maha Suci darinya.

Jika dia menjawab, “Yang aku maksudkan bahwa Allâh berada di atas seluruh makhluk, terpisah dengan makhluk-Nya, dan bahwa Dia berada di jihat (arah) atas secara mutlak”.

Maka jawabannya adalah ini sebuah kebenaran dan wajib diimani. Tetapi lafazh jihat (arah) adalah lafazh yang tidak ada dalilnya, maka seharusnya ditinggalkan.

Jika penanya bermaksud mencari petunjuk, maka itu bagus. Namun jika maksud penanya adalah menolak sifat-sifat yang ditetapkan oleh dalil-dalil syari’at di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka ini merupakan kesalahan, dia wajib bertaubat darinya. [Lihat: Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islam, 5/299, 366; Syarah ath-Thahawiyah, hlm. 9; dll]

DALIL-DALIL SIKAP AHLUS SUNNAH

Jalan yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah Nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Sifat-sifat-Nya ini merupakan jalan yang wajib diikuti, jalan tengah antara ahli ta’thîl (orang-orang yang menolak keberadaan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla ) dengan ahli tamtsîl (orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dengan sifat makhluk). Kebenaran jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini ditunjukkan oleh dalil akal, wahyu, dan ijma’ (kesepakatan Salaf)

DALIL AKAL

Pembicaraan tentang apa yang wajib, apa yang boleh, dan apa yang mustahil bagi Allâh Azza wa Jalla , termasuk perkara ghaib. Oleh karena itu, manusia tidak mungkin mengetahuinya secara rinci kecuali dengan wahyu. Jadi dalam masalah ini, kita wajib mengikuti wahyu. Yaitu dengan menetapkan apa yang ditetapkan oleh wahyu, menolak apa yang ditolak oleh wahyu, serta mendiamkan (tidak berbicara tentang) apa yang didiamkan oleh wahyu.

DALIL WAHYU

Di antaranya:
Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allâh asmâ-ul husna (nama-nama yang paling indah), maka berdoa-lah kepada-Nya dengan menyebut asmâ-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [Al-A’râf/7:180]

Ayat ini menunjukkan wajibnya menetapkan Nama-nama Allâh al-husna dengan tanpa tahrîf (merubah-rubah), ta’thîl (menolak), serta tanpa tamtsîl (menyerupakan-Nya dengan makhluk). Karena tiga perkara ini termasuk ilhâd (penyimpangan dalam masalah Nama-nama Allâh Azza wa Jalla ).
Firman Allâh Azza wa Jalla :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [Asy-Syura/42: 11]

Ayat ini menunjukkan wajibnya menolak tamtsîl (penyerupaan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk), dan wajib menetapkan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-sifatNya.
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [Al-Isrâ’/17: 36]

Ayat ini menunjukkan wajibnya kita menolak takyîf (penyerupaan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk), dan kita wajib tawaqquf (diam) dalam perkara yang tidak ditetapkan dan tidak ditolak dalam agama kita.

[Lihat: Fath Rabbil Bariyyah bi Talkhîsh al-Hamawiyyah, yang dicetak bersama Majmû’ Fatâwa wa Rasâil, 4/19-24, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin]

IJMA’ SAHABAT

Jika umat Islam ijma’ (bersepakat) dalam suatu masalah, maka kesepakatan itu merupakan kebenaran. Dalam masalah yang sedang kita bicarakan ini, para Sahabat Nabi g dan para Ulama setelahnya telah ijma’ dalam masalah wajibnya mengimani sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla yang diberitakan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan wajibnya meyakini bahwa sifat-sifat itu adalah sifat yang sebenarnya, bukan kiasan (majaz).

Ini dinyatakan oleh para Ulama terkemuka, antara lain al-Hafizh Ibnu Abdil Barr al-Andalusi al-Mâliki (lahir th 368 H). Beliau rahimahullah berkata:

“Ahlus Sunnah bersepakat mengakui semua sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, juga mengimaninya, dan memahaminya sebagai hakekat, bukan majaz (kiasan). Tetapi mereka tidak menggambarkannya sama sekali, dan tidak membatasi padanya dengan sifat yang terbatas. Adapun Ahli bid’ah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khawarij, semua mengingkarinya, memahaminya sebagai hakekat. Mereka menyangka bahwa orang yang mengakui sifat-sifat Allâh sebagai Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allâh dengan makhluk). Tetapi mereka ini (yaitu orang-orang yang mengingkari sifat-sifat Allâh-pen) menurut orang-orang yang mengakui sifat-sifat Allâh adalah orang-orang yang meniadakan Allâh Yang diibadahi. Yang benar adalah apa yang dikatakan oleh orang-orang yang berkata berdasarkan apa yang dikatakan oleh Kitab Allâh dan Sunnah Rasul-Nya. Mereka adalah para imam al-Jama’ah, segala puji milik Allâh”. [Kitab at-Tamhîd, 7/145]

Demikian juga dikatakan oleh al-Hâfizh Abul Qâsim al-Ash-bihani (lahir th 457 H):

“Yang ada dalam kitab Allâh atau diriwayatkan (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan sanad-sanad yang shahih, tentang sifat-sifat (Allâh), maka jalan Salaf adalah menetapkannya dan membiarkannya sesuai dengan zhahirnya, dan menolak (gambaran) bentuknya. Karena pembicaraan tentang Sifat-sifat Allâh adalah satu bagian dari pembicaraan tentang Dzat Allâh. Dan menetapkan Dzat Allâh adalah menetapkan keberadaan, bukan menetapkan bentuk, demikian juga tentang sifat-sifat Allâh”. (al-Hujjah fii Bayânil Mahajjah, 1/188-189)

PENYIMPANGAN KHALAF TIDAK DIANGGAP

Ijma’ yang sudah terjadi di zaman dahulu adalah haq, jika ada penyimpangan dari orang-orang yang datang kemudian, maka penyimpangan itu adalah kesalahan. Kaum Muslimin harus mengikuti jalan orang-orang shalih yang telah terdahulu.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam kitab tafsirnya, ketika menjelaskan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ

Lalu Dia (Allâh) berada di atas ‘Arsy [Al-A’raaf/7: 54]

“Dalam permasalahan ini banyak sekali pendapat manusia, (namun-red) bukan di sini tempat menjabarkannya. Tetapi dalam permasalahan ini yang (harus-red) diikuti adalah jalan Salafus Shalih: yaitu (imam) Mâlik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishâq bin Rahawaih, dan para imam kaum Muslimin yang lain rahimahumullah, dahulu dan sekarang, yaitu membiarkannya sebagaimana datangnya (yaitu meyakini apa adanya-pen) dengan tanpa takyîf (menggambarkan), tasybîh (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thîl (menolak). Maksud yang segera ditangkap pada fikiran orang-orang yang menyerupakan sifat Allâh dengan makhluk ditolak dari Allâh, karena tidak ada satupun makhluk-Nya yang menyerupai Allâh Azza wa Jalla dan (Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya,) “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat’. [Asy-Syura/42: 11]

Bahkan permasalahan ini adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh para imam, seperti Imam Nu’aim bin Hammad guru Imam al-Bukahri, ‘Barangsiapa menyerupakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya, maka dia telah berbuat kekafiran. Dan barangsiapa mengingkari apa yang Allâh Azza wa Jalla sifatkan untuk diri-Nya, maka dia telah berbuat kekafiran juga’.

Dan menyifati Allâh Azza wa Jalla dengan sifat yang Allâh tetapkan untuk diri-Nya atau disifatkan oleh Rasul-Nya bukanlah tasybîh (menyerupakan Allâh dengan makhluk). Barangsiapa menetapkan pada Allâh Azza wa Jalla semua yang disebutkan di dalam ayat-ayat yang nyata dan hadits-hadits yang shahih, sesuai dengan keagungan Allâh Azza wa Jalla , dan menolak semua sifat kekurangan dari Allâh Azza wa Jalla , maka dia telah meniti jalan petunjuk”. [Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim, 3/426-427]

Begitulah kebenaran yang sangat gamblang, berdasarkan keterangan-keterangan al-Qur’an dan penjelasan para Ulama yang terpandang.

Sesudah kita memahami kebenaran, maka yang ada adalah menerima dan pasrah kepada kebenaran, karena kebenaran lebih berhak untuk diikuti.

Wallâhul A’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M.]
_______
Footnote

[1] Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 87-96, Penerbit: Darul ‘Ushaimi Lin Nasyr wa Tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin dan beberapa rujkan yang lain.