Tuesday, June 27, 2017

Turunnya Allah Ke Langit Dunia

Yang mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam akhir itu adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabda beliau:

ينزل ربنا تبارك وتعالى إلى السماء الدنيا كل ليلة حين يبقى ثلث الليل الآخر فيقول: من يدعوني فأستجيب له، من يسألني فأعطيه، من يستغفرني فأغفر له، حتى ينفجر الفجر

“Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia setiap sepertiga malam akhir. Ia lalu berkata: ‘Barangsiapa yang berdoa, akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni. Hingga terbit fajar‘ ” (HR. Bukhari 1145, Muslim 758)

Hadits ini disepakati keshahihannya. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud nuzul (turun) di sini adalah sifat nuzul yang layak bagi Allah bukan sebagaimana kita turun. Tidak ada yang mengetahui bagaimana bentuk turunnya kecuali Allah. Allah Ta’ala turun ketika Ia menginginkannya, dan ini tidak berarti ketika itu Arsy kosong, karena sifat nuzul di sini adalah nuzul yang layak bagi Allah Jalla Jalaluhu.

Hadits tentang turunnya Allah (an-nuzuul) ini merupakan hadits-hadits yang mutawatir (diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal mustahil mereka berdusta -pent). Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan sebanyak 29 Sahabat Radhiyallahu anhum yang meriwayatkan hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia ini.[Mukhtasharush Shawaa-iq al-Mursalah (II/232).]

Juga masalah sepertiga malam akhir itu tidak sama waktunya di semua belahan bumi, nuzul Allah itu khusus bagi Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya sedikitpun, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)

Allah Jalla Jalaluhu juga berfirman:

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya” (QS. Thaha: 110)

Allah Azza Wa Jalla juga berfirman dalam ayat kursi:

وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء

“Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al Baqarah: 255)

Ayat-ayat yang semakna dengan ini banyak sekali. Hanya Allah yang tahu bagaimana bentuk nuzul-Nya. Yang wajib bagi kita adalah menetapkan sifat nuzul bagi Allah sesuai apa yang layak bagi-Nya, dalam keadaan Ia berada di atas Arsy. Karena yang dimaksud nuzul di sini adalah sifat nuzul yang layak bagi Allah bukan sebagaimana kita turun. Yaitu jika seseorang turun dari suatu tempat yang tinggi, maka tempat tersebut akan kosong. Atau jika seseorang turun dari mobil maka mobil tersebut akan kosong. Ini adalah qiyas (analogi) yang rusak. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak boleh dianalogikan dengan makhluk-Nya. Dan tidak menyerupai sifat makhluk-Nya sedikitpun.

Sebagaimana juga kita mengatakan, Allah beristiwa di atas Arsy sesuai sifat istiwa yang layak bagi-Nya dan kita tidak tahu bagaimana bentuk istiwa tersebut. Janganlah kita menyerupakan atau memisalkan istiwa Allah tersebut dengan istiwa makhluk. Yang benar, kita katakan bahwa Allah beristiwa di atas Arsy sesuai sifat istiwa yang layak bagi-Nya dan keagungan-Nya.

Ketika orang-orang berbicara mengenai hal ini tanpa hak (ilmu), mereka jadi sangat bingung. Bahkan terkadang mereka cenderung mengingkari sifat Allah seluruhnya. Sampai-sampai ada yang berkata: “Allah itu tidak di dalam alam semesta dan tidak di luar alam semesta, tidak begini dan tidak begitu”. Sampai mereka mensifati Allah dengan sifat-sifat yang maknanya ketidak-adaan dan hingga mengingkari keberadaan Allah. Oleh karena itu para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan juga Ahlus Sunnah Wal Jama’ahyang mengikuti mereka, menetapkan sifat-sifat Allah sesuai nash-nash Al Kitab dan As Sunnah. Mereka berkata, tidak ada yang mengetahui kaifiyah(deskripsi) dari sifat-sifat Allah kecuali Allah Ta’ala. Oleh karena itu Imam Malik rahimahullah berkata:

الاستواء معلوم، والكيف مجهول، والإيـمان به واجب والسؤال عنه بدعة

“Istiwa itu maknanya sudah dipahami orang-orang. Adapun kaifiyah-nya tidak ada yang mengetahui. Mengimaninya wajib dan bertanya tentangnya itu bid’ah”

yang beliau maksud adalah bertanya tentang kaifiyah-nya. Semisal itu juga, apa yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiallahu’anha dan juga dari Rabi’ah bin Abi Abdirrahman (guru Imam Malik), mereka berkata:

الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول والإيـمان بذلك واجب

“Istiwa itu maknanya sudah dipahami orang-orang. Adapun kaifiyah-nya tidak bisa dibayangkan. Mengimaninya wajib”

Barangsiapa yang berpegang pada kaidah ini, ia akan selamat dari berbagai syubhat yang banyak dan juga dari keyakinan-keyakinan Ahlul Batil. Cukup bagi kita menetapkan apa yang datang dari nash-nash Qur’an dan Sunnah, tanpa menambah-nambah.

Maka kita katakan, Allah itu memiliki sifat mendengar, berfirman, melihat, marah, ridha sesuai dengan sifat yang layak bagi-Nya dan tidak ada yang mengetahui kaifiyah-Nya kecuali Allah. Inilah jalan yang selamat, jalan ilmu, yaitu madzhab salafus shalih. Ia adalah madzhab yang a’lam, aslam wa ahkam. Dengan jalan ini, seorang mukmin selamat dari syubhat, penyimpangan, dengan perpegang pada Qur’an dan Sunnah, dan menyerahkan kaifiyah sifat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wallahu Waliyut Taufiq.

========================

AHLUS SUNNAH MENGIMANI TENTANG AN-NUZUL (TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat tentang wajibnya beriman tentang turunnya Allah Subhanahu wa Ta’ala (an-nuzul) ke langit dunia pada setiap malam. اَلنُّزُوْلُ (an-Nuzul) termasuk di antara Sifat-Sifat Khabariyah Fi’liyyah. Terdapat sejumlah dalil yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit terendah (langit dunia) pada setiap malam. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرِ، فَيَقُوْلُ: مَنْ يَدْعُوْنِي فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ، وَمَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ.

“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia ketika tinggal sepertiga malam, seraya menyeru: ‘Siapa yang berdo’a kepada-Ku, maka Aku memperkenankan do’anya, siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku memberinya, dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku mengampuninya.” [HR. Al-Bukhari (no. 7494), Muslim (no. 758 (168)), at-Tirmidzi (no. 3498), Abu Dawud (no. 1315, 4733) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 492) dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab at-Tauhiid (I/280).]

Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th. 449 H) rahimahullah berkata: “Para ulama ahli hadits menetapkan turunnya Rabb Azza wa Jalla ke langit terendah pada setiap malam tanpa menyerupakan turun-Nya Allah itu dengan turunnya makhluk (tasybih), tanpa meng-umpamakan (tamtsil) dan tanpa menanyakan bagaimana turun-Nya (takyif). Tetapi menetapkannya sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan mengakhiri perkataan padanya (tanpa komentar lagi), memperlakukan kabar shahih yang memuat hal itu sesuai dengan zhahirnya, serta menyerahkan ilmunya kepada Allah.”[Lihat ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadits (no. 38, hal. 46) oleh Abu ‘Utsman Isma’il bin ‘Abdurrahman ash-Shabuni, tahqiq Badr bin ‘Abdillah al-Badr.]

Ibnu Khuzaimah rahimahullah (wafat th. 311 H) berkata: “Pembahasan tentang kabar-kabar yang benar sanadnya dan shahih penopangnya telah diriwayatkan oleh ulama Hijaz dan Irak, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang turunnya Allah Azza wa Jalla ke langit dunia (langit terendah) pada setiap malam, yang kami akui dengan pengakuan seorang yang mengaku dengan lidahnya, membenarkan dengan hatinya serta meyakini keterangan yang tercantum di dalam kabar-kabar tentang turunnya Allah Azza wa Jalla tanpa menggambarkan kaifiyahnya (bagaimananya), karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memang tidak menggambarkan kepada kita tentang kaifiyah (cara) turunnya Khaliq kita ke langit dunia dan beliau Shallallahu alaihi wa sallam hanya memberitahukan kepada kita bahwa Rabb kita turun. Sementara itu, Allah Azza wa Jalla dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak menjelaskan bagaimana Allah turun ke langit dunia. Oleh karena itu, kita mengatakan dan membenarkan apa-apa yang terdapat di dalam kabar-kabar ini perihal turunnya Rabb, tanpa memaksakan diri membicarakan sifat dan kaifiyatnya, sebab Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memang tidak mensifatkan kepada kita tentang kaifiyah turun-Nya.[Diringkas dari Kitaabut Tauhiid (I/275) oleh Imam Ibnu Khuzaimah, tahqiq Samir bin Amin az-Zuhairi, cet. I/ Darul Mughni lin Nasyr wat Tauzi’, th. 1423 H.]

Lalu setelah itu Ibnu Khuzaimah pun menyebutkan sejumlah hadits yang berisi keterangan tentang hal itu, yaitu hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu di atas.

Hadits-hadits yang memuat pengertian seperti ini banyak jumlahnya, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sampai menuliskan tentang hal tersebut secara khusus dalam bagian kitab-nya Syarah Hadiitsin Nuzuul. Dan di antara yang dikatakan dalam kitabnya itu adalah: “Sesungguhnya pendapat yang mengatakan tentang turunnya Allah pada setiap malam telah tersebar luas melalui Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para Salafush Shalih serta para Imam ahli ilmu dan ahli hadits telah sepakat membenarkannya dan menerimanya. Siapa yang berkata dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka perkataan itu adalah haq dan benar, kendati ia tidak mengetahui tentang hakekat dan kandungan serta makna-maknanya, sebagaimana orang yang membaca Al-Qur-an tidak memahami makna-makna ayat yang dibacanya. Karena, sebenar-benar kalam adalah Kalam Allah (Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam (As-Sunnah).

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan perkataan ini dan yang semisalnya secara umum, tidak mengistimewakan seseorang atas orang lain, dan tidak pula disembunyikannya dari seseorang. Sedangkan para Sahabat serta para Tabi’in menyebutkannya, menukilnya, menyampaikannya dan meriwayatkannya di majelis-majelis khusus dan umum pula, yang selanjutnya dimuat dalam kitab-kitab Islam yang dibaca di majelis-majelis khusus maupun umum, seperti Shahiihul Bukhari, Shahiih Muslim, Muwaththa’ Imaam Malik, Musnad Imaam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa-i, dan yang semisalnya.”[Lihat Majmuu’ Fataawaa (V/322-323) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وَأَنَّهُ يَهْبِطُ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا لِخَبَرِ رَسُوْلِ اللهِ.

“Bahwasanya Allah turun pada setiap malam ke langit dunia berdasarkan kabar dari Rasulullah. Shallallahu alaihi wa sallam” [Lihat Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (II/358).]

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam kitabnya menukil perkataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah, beliau berkata:

أَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ يَقْرُبُ مِنْ خَلْقِهِ كَيْفَ شَاءَ وَيَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا كَيْفَ شَاءَ.

“Bahwasanya Allah Azza wa Jalla di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya, lalu mendekat kepada makhluk-Nya menurut bagaimana yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia menurut bagaimana yang Dia kehendaki.” [Lihat Ijtimaa’ul Juyuusy al-Islaamiyyah ‘alaa Ghazwil Mu’aththilah wal Jahmiyah (hal. 122) oleh Imam Ibnul Qayyim, tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun.]

Ahlus Sunnah menetapkan tentang turunnya Allah Subhanhu wa Ta’ala ke langit dunia setiap malam sebagaimana mereka menetapkan seluruh sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, orang-orang shalih senantiasa mencari waktu yang mulia ini untuk mendapatkan karunia Allah k dan Rahmat-Nya, mereka melaksanakan ibadah kepada Allah dengan khusyu’, memohon ampunan kepada-Nya dan memohon kebaikan di dunia dan di akhirat. Mereka menggabungkan antara khauf (rasa takut) dan raja’ (rasa harap) dalam beribadah kepada-Nya.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas]
_______

Diantara para ulama yang menulis risalah khusus tentang Turunnya Allah. Dan berikut ini adalah komentar mereka:
1. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aqidah yang aku yakini dan diyakini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya, lalu mendekat kepada makhluk-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang Dia kehendaki.” [Lihat Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyyah (hal. 94 dan 122), Mukhtashar Al-‘Uluw (hal. 176), Majmu’ Fatawa (IV/181), dan ‘Aunul Ma’bud (XIII/41 dan 47)]
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyahrahimahullah berkata, “Sesungguhnya pendapat tentang turunnya Allah setiap malam, telah tersebar luas melalui Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Salafush Shalih serta para ulama dan ahli hadits telah sepakat membenarkannya dan menerimanya. Siapa yang berkeyakinan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka perkataan itu adalah haq dan benar, kendati ia tidak mengetahui tentang hakikat dan kandungan serta makna-maknanya. Sebagaimana orang yang membaca Al-Qur’an sedang dia tidak memahami makna ayat yang dibacanya. Karena sebenar-benar kalam adalah Kalam Allah (Al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-sunnah).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan ini dan yang semisalnya secara umum, tidak mengistimewakan seseorang atas orang lain, dan tidak pula disembunyikannya dari seseorang. Sedangkan para Sahabat serta para Tabi’in menyebutkannya, menukilnya, menyampaikannya dan meriwayatkannya di majelis-majelis khusus dan umum pula, yang selanjutnya dimuat dalam kitab-kitab Islam yang dibaca di majelis-majelis khusus maupun umum, seperti Shahih Al-BukhariShahih MuslimMuwaththa’ Imam MalikMusnad Imam AhmadSunan Abi DawudSunan At-TirmidziSunan An-Nasa’i, dan yang semisalnya.” [LihatMajmu’ Fatawa (V/322-323) dan Syarah Hadits Nuzul(hal. 69)]
3. Abdul Ghani Al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia setiap hari telah mencapai derajat mutawatir dan (sanadnya) shahih. Maka wajib bagi kita untuk mengimaninya, pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (menanyakan caranya) dantamtsil (menyerupakan dengan makhluk) sertatakwil (menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan hakikat turunnya Allah.” [Lihat Al-Iqtishad fil I’tiqad(hal. 100)]
4. Imam Al-Ajurri rahimahullahberkata, “Mengimaninya adalah wajib, tetapi tidak boleh bagi seorang muslim untuk bertanya, ‘Bagaimana cara Allah turun?’ Dan tidak ada yang mengingkari hal ini, kecuali golongan Mu’tazilah. Adapun ahlul haq, mereka mengatakan, “Mengimaninya adalah wajib tanpa takyif(menanyakan caranya), sebab telah datang hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam. Orang-orang yang meriwayatkan hadits ini kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits tentang hukum halal haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Maka seperti halnya para ulama dalam menerima semua itu, mereka (ahlul haq) juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka menegaskan, ‘Barang siapa yang menolaknya maka dia sesat dan keji.’” Mereka (ahlul haq) bersikap waspada darinya (para penolak kebenaran itu) dan memperingatkan ummat dari penyimpangannya.”[Lihat Asy-Syari’ah(II/93) dan ‘Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits (hal. 81)]
5. Imam Ash-Shabuni rahimahullah berkata, “Para ulama ahli hadits menetapkan turunnya Rabb ‘Azza wa Jalla ke langit terendah pada setiap malam tanpa menyerupakan turun-Nya Allah itu dengan turunnya makhluk (tasybih), tanpa memisalkan (tamtsil) dan tanpa menanyakan bagaimana sifat turun-Nya (takyif). Tetapi menetapkannya sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengakhiri perkataan padanya (tanpa ada komentar lagi), memperlakukan kabar shahih yang memuat hal itu sesuai dengan zhahirnya, serta menyerahkan ilmunya kepada Allah.” [Lihat ‘Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits (hal. 75)]

=============
Syarah Hadits Nuzul 

diantaranya adalah: [Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 18)]
1. Allah berada di atas langit, istiwa’ di atas ‘arsy-Nya. 
Hadits di atas merupakan bukti yang terang dan jelas yang menyebutkan bahwa Allah berada tinggi di atas sekalian makhluk-Nya. Karena jika benar perkataan sebagian orang bahwa Allah berada dimana-mana maka tidak akan dikatakan bahwa Allah turun, sebab Allah sudah berada dimana-mana, termasuk di bumi atau di langit dunia.
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang menyebutkan bahwa Allah berada di atas langit, (istiwa’) di atas ‘arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Dan hadits ini termasuk dalam salah satu hujjah para ahlus sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah ada dimana-mana dan bukan di atas ‘arsy.” [Lihat At-Tamhid(III/338),Kitab At-Tauhid(hal. 126), danDar’u Ta’arudz Al-‘Aqli wan Naqli(VII/7]
2. Allah memiliki sifat kalam (bicara).
Disebutkan dalam hadits di atas bahwa Allah akan menjawab do’a-do’a hamba-Nya. Sebagaimana disebutkan juga dalam firman-Nya,

وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيْمًا … ۝
Artinya: “Dan Allah berbicara kepada Musa secara langsung…” (Qs. An-Nisa’: 164) 
3. Penetapan sifat fi’liyyah bagi Allah, yaitu turunnya Allah ke langit dunia, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang Dia kehendaki.
4.Waktu yang paling baik bagi seorang hamba adalah pada sepertiga malam terakhir.
Sepertiga malam terakhir merupakan waktu yang paling baik untuk berdzikir dan bermunajat kepada Allah, karena saat itulah ketika Allah berada paling dekat dengan hamba-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,

أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الرَّبُّ مِنَ الْعَبْدِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ الْآخِرِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُوْنَ مِمَنْ يَذْكُرُ الله فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ .
“Keadaaan paling dekat antara Rabb dengan hamba-Nya adalah pada waktu separuh malam terakhir. Oleh karena itu, jika engkau bisa menjadi orang yang berdzikir kepada Allah ketika itu maka lakukanlah.” [Hadits shahih, riwayat Tirmidzi (no. 3579), Abu Dawud (no. 1277), dan An-Nasa’i (no. 572), dari jalur ‘Amru bin Abasah radhiyallahu’anhu]

============================
MEMBANTAH SYUBHAT Turunnya Allah Ke Langit Dunia

Tauhid Asma’ wa Sifat merupakan perkara urgen dalam wilayah tauhid, karena bagaimana mungkin seorang beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya tanpa mengenal nama dan sifat Dzat yang dia ibadahi. Pada zaman salaf dahulu, masalah ini tidak terlalu rumit, lantaran mereka dapat menyikapinya secara proporsional. Namun, masalah ini kini menjadi krusial, lantaran percikan syubhat para ahli bid’ah yang kurang puas dengan manhaj salaf dalam Asma wa Sifat, sehingga mereka memplintir dan merubah dalil yang shahih dari makna aslinya, padahal -kalau disadari- sebenarnya mereka telah membeo kaum Yahudi yang terlaknat.
Contohnya terlalu banyak kalau mau diuraikan satu persatu, tetapi cukuplah sebagai perwakilan, hadits tentang nuzul (turunnya) Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, dimana hadits ini telah diobok-obok oleh tangan sebagian kalangan yang tersesat jalan dan terombang-ambing dalam kebingungan nan kegelapan.
Nah, pada kesempatan kali ini kita akan mencoba untuk mengkaji hadits tersebut dan menguraikan belitan syubhat para pengekor hawa nafsu seputar hadits tersebut. Semoga Allah selalu meneguhkan kita untuk meniti di atas jalanNya yang lurus. Amiin.

TEKS HADITS

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. [1]

.

HADITSNYA MUTAWATIR

Hadits tentang nuzulnya Allah tidak diragukan lagi keabsahannya. Seluruh ulama ahli hadits menshahihkannya, tidak ada satupun dari mereka yang melemahkannya. Bahkan, para ulama ahli hadits menilai bahwa derajat haditsnya mutawatir. Diantaranya:
1. Imam Abu Zur’ah berkata[2]: “Hadits-hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia ini derajatnya mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Rasulullah. Hadits tersebut menurut kami adalah shahih dan kuat”.
2. Utsman bin Sa’id Ad-Darimi berkata: “Hadits nuzul diriwayatkan dari dua puluh tiga lebih sahabat dari Nabi”.[3]
3. Abdul Ghani Al-Maqdisi: “Telah mutawatir dan shahih hadits-hadits tentang turunnya Allah setiap hari ke langit dunia. Maka wajib bagi kita untuk beriman dengannya, pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) serta takwil(menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan hakekat turunnya Allah”.[4]
4. Imam Ibnu Abdil Barr: “Hadits ini adalah shahih sanadnya. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ahli hadits tentang keabsahannya”. Beliau juga berkata: “Hadits ini dinukil dari jalan-jalan yang mutawatir dan jalur yang banyak sekali dari orang-orang yang adil dari Nabi”.[5]
5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa hadits ini mutawatir dan dinukil dari generasi ke generasi selanjutnya[6]. Beliau juga berkata: “Hadits masyhur yang diriwayatkan oleh banyak sahabat”.[7]
6. Imam Ad-Dzahabi berkata :“Saya telah menulis hadits-hadits tentang nuzul (turunnya Allah) dalam sebuah kitab khusus, derajat hadits-haditsnya saya berani menetapkannya mutawatir”.[8]
7. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Sesungguhnya turunnya Allah ke langit dunia telah dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah, yang diriwayatkan oleh kurang lebih dua puluh delapan sahabat”. [9]
Demikian pula ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Hadi[10],  Al-Kattani [11]dan Al-Albani[12].

.

Daftar Sahabat  Periwayat Haditz Nuzul

Hadits nuzul ini diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi, diantaranya
  • Abu Bakar Ash-Shiddiq,
  • Ali bin Abi Thalib,
  • Abu Hurairah,
  • Jubair bin Muth’im,
  • Jabir bin Abdullah,
  • Abdullah bin Mas’ud,
  • Abu Sa’id Al-Khudri,
  • Amr bin ‘Abasah,
  • Rifa’ah bin ‘Arabah Al-Juhani,
  • Utsman bin Abi ‘Ash Ats-Tsaqafi,
  • Abdul Hamid bin Salamah dari ayahnya dari kakeknya,
  • Abu Darda’,
  • Mu’adz bin Jabal,
  • Abu Tsa’labah Al-Khusyani,
  • Aisyah,
  • Abu Musa Al-Asy’ari,
  • Ummu Salamah,
  • Anas bin Malik,
  • Hudzaifah bin Yaman,
  • Laqith bin Amir Al-‘Uqaili,
  • Abdullah bin Abbas,
  • Ubadah bin Shamith,
  • Asma’ binti Yazid,
  • Abul Khaththab,
  • ‘Auf bin Malik,
  • Abu Umamah Al-Bahili,
  • Tsauban,
  • Abu Haritsah, dan
  • Khaulah binti Hakim. [13]
.
SYARH HADITS
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Para salaf, para imam dan para ahli ilmu dan hadits telah bersepakat membenarkan dan menerima hadits ini. Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul, maka dia benar. Tetapi barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits sejenisnya dengan pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya dengan sifat makhluk, dan menyifatinya dengan kekurangan, maka dia telah salah. Oleh karena itu madzhab salaf menyakini dalam sifat ini dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah dan tidak menyerupakannya dengan makhluk. Karena Allah disifati dengan sifat-sifat yang terpuji dan suci dari penyerupaan dengan makhlukNya”. [14]
Imam Al-Ajurri berkata:
“Iman dengan ini wajib, tetapi tidak boleh bagi seorang muslim untuk bertanya: Bagaimana Allah turun? Dan tidak ada yang mengingkari ini kecuali kelompok Mu’tazilah. Adapun ahli haq, mereka mengatakan: Beriman dengannya adalah wajib tanpa takyif (membagaimanakan), sebab telah shahih sejumlah hadits dari Rasulullah bahwasanya Allah turun ke langit dunia setiap malam.  Orang-orang yang meriwayatkan hadits ini kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits tentang hukum halal haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Maka, sebagaimana para ulama menerima semua itu, maka mereka juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka menegaskan: “Barangsiapa yang menolaknya maka dia adalah sesat dan keji”. Mereka waspada darinya dan memperingatkan umat dari penyimpangannya”. [15]
Imam Ibnu Khuzaimah berkata:
“Bab penyebutan hadits-hadits yang shahih sanad dan matan-nya. Para ulama Hijaz dan ‘Iraq meriwayatkan dari Nabi tentang turunnya Allah ke langit dunia setiap malam. Kita bersaksi dengan persaksian seorang yang menetapkan dengan lisannya dan membenarkan dengan hatinya penuh keyakinan terhadap hadits-hadits seputar turunnya Allah tanpa membagaimanakan sifatnya, sebab Nabi kita tidak menyifatkan kepada kita tentang sifat turunnya Allah ke langit dunia, tetapi hanya memberitakan kepada kita bahwa Dia turun, sedangkan Allah dan NabiNya tidak mungkin lalai untuk menjelaskan sesuatu yang dibutuhkan kaum muslimin dalam agama mereka. Maka kita membenarkan  hadits-hadits ini yang berisi penetapan turunnya Allah tanpa menyulitkan diri untuk membagaimanakan sifat turunNya, lantaran Nabi tidak menerangkan kepada kita tentang sifat turunnya Allah”.[16]
Imam Ibnu Abdil Barr berkata:
“Mayoritas imam Ahli Sunnah berpendapat bahwa Allah turun sebagaimana dikhabarkan oleh Rasulullah, mereka membenarkan hadits ini dan tidak membagaimanakannya”. [17]
.
SYUBHAT DAN JAWABANNYA
Dari segi sanad, sepertinya para ahli bid’ah tidak dapat berkutik apa-apa lagi lantaran sangat kuatnya. Namun mereka tetap tidak putus asa untuk menaburkan debu dengan mengarahkan bidikan pada matan (kandungan) hadits ini, seperti:

A. Tasybih

Mereka mengatakan[18]: Kalau kita tetapkan bahwa Allah punya sifat turun itu berarti Allah serupa dengan makhluk, padahal ini bertentangan dengan ayat:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. [19](QS. Asy-Syura: 11).
Jawaban:

Kaidah kita dalam masalah Asma wa Sifat adalah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau rasulullah dalam haditsnya yang shahih tanpa menyerupakannya dengan sesuatupun dan mensucikanNya tapa mengingkari sifat-sifatNya sebagaimana firman Allah:

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat. (QS. Asy-Syura: 11).
  • Firman  Allah: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ  “Tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya” merupakan bantahan terhadap golongan musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk).
  • Adapun firmanNya: وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ“Dan Dia Maha mendengar lagi Maha  melihat”. Merupakan bantahan terhadap golongan yang merubah makna sifat dan mengingkarinya. Jadi, kewajiban kita adalah menetapkna apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan menafikan apa Dia nafikan tanpa tahrif (merubah makna) dan ta’til (mengingkarinya). Inilah manhaj (metode) selamat yang harus ditempuh oleh setiap muslim, karena dibangun di atas ilmu dan kelrusan dalam i’tiqad. [20]
Imam Syaukani berkata,
“ Barangsiapa yang memahami dan merenungi ayat mulia ini dengan sebenar-benarnya niscaya dia akan meniti di atas jalan yang putih dan jelas di persimpangan perselisihan manusia dalam masalah sifat-sifat Alloh. Lebih mantap lagi apabila engkau merenungi makna firman Allah: “Dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat”. karena penetapan ini setelah peniadaan sesuatu yang serupa telah mengandung keyakinan yang mantap dan obat penawar hati. Wahai pencari kebenaran, pegangilah hujjah yang jelas dan kuat ini, niscaya engkau dapat memberantas berbagai corak kebid’ahan dan meremukkan argumen para tokoh kesesatan dan ahli filsafat”. [21]
  • Jadi, kita menetapkan sifat “turun” bagi Allah sebagaimana dikhabarkan oleh Nabi yang mulia tanpa menyerupakannya dengan turunnya makhluk. Apabila ada yang mengingkarinya dengan alasan “kalau kita tetapkan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk”, maka ini bathil. Kita tanyakan kepadanya: Apakah anda menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Allah? Kalau dia tidak menetapkannya, maka dia telah mengingkari ayat di atas. Dan apabila dia menetapkannya, maka dia telah kontradiksi karena makhluk juga mempunyai sifat mendengar dan melihat. Kalau dia berkata: Kita tetapkan sifat melihat dan mendengar bagi Allah tetapi sama seperti makhlukNya. Kita jawab: Demikian pula kita tetapkan turunnya Allah tetapi tidak sama seperti makhlukNya. Mengapa kalian menetapkan sebagian sifat, tetapi tidak menetapkan sifat lainnya, padahal sama-sama berlandaskan dalil yang shahih? Sungguh ini suatu kontradiksi yang sangat ajaib sekali!!!.
  • Jadi sekali lagi, menetapkan sifat turun bagi Allah bukan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk, tidak ada seorang ulama salaf-pun yang berfaham demikian, bahkan kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 5/252: “Apabila seseorang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhlukNya, seperti mengatakan istiwa’ Allah serupa dengan istiwa’ makhlukNya, atau turunnya Allah serupa dengan turunnya makhluk, maka dia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan, karena Al-Qur’an dan As-Sunnah serta akal menjelaskan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk dalam segala segi”.[22]
  • Lucunya, mereka menuding kaum salaf yang menetapkan sebagaimana manhaj yang benar sebagai kaum musyabbihah atau mujassimah! Subhanallah, hanya kepada Allah kita mengadu!.
Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan:
“Seluruh Ahli Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikannya secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara dhahirnya. Lucunya mereka meuding bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih[23] (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk)”. [24]

B. Tahrif

Banyak sekali takwil dan tahrif yang menyelimuti hadits yang tegas ini. Mereka mengatakan: Bukan Allah yang turun, tetapi perintah Allah!. Ada lagi yang mengatakan: Rahmat Allah! Lain lagi mentakwilkan: Malaikat dari para malaikat Allah!. Adapun KH. Sirajuddin Abbas, dia berpendapat lain lagi: “Maksud hadits ini -menurut Ahlus Sunnah- bahwasanya pintu rahmat Tuhan terbuka malam hari seluas-luasnya, khusus pada akhir-akhir malam. Sekalian do’a dan permohonan diterima ketika itu. Oleh karena itu hendaklah mendo’a banyak-banyak setiap malam. Inilah maksudnya hadits ini”. (I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah hal. 276).
Jawab:
Tahrif seperti ini adalah bathil ditinjau dari dua segi:
Secara global: Asli dalam ungkapan seseorang adalah hakekat (bukan majaz) sehingga ada dalil yang memalingkannya kepada makna majaz. Sungguh amat mustahil sekali, bila Nabi Muhammad seringkali dan berulangkali mengucapkan suatu ungkapan yang didengar oleh banyak sahabatnya, namun kemudian beliau tidak menjelaskan makna sesungguhnya!. Siapakah orang yang lebih sayang terhadap umat manusia?! Nabi kita Muhammad ataukah kaum Mu’tazilah dan Asyairah?! Tidakkah mereka menyadari bahwa merubah arti dari dhahirnya adalah perilaku kaum Yahudi yang dikecam oleh Allah?!:
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.
(QS. An-Nisa’: 46)
Lalu orang-orang yang zhalim mengganti ucapan yang tidak dierintahkan kepada mereka.
(QS. Al-Baqarah: 59)

Semoga Allah merahmati Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tatkala mengatakan dalam Nuniyahnya 1923-1930:

أَُمِرَ الْيَهُوْدُ بِأَنْ يَقُوْلُوْا : حِطَّةٌ              فَأَبَوْا وَقَالُوْا: حِنْطَةٌ لِهَوَانِ
وَكَذَلِكَ الْجَهْمِيُّ قِيْلَ لَهُ : اسْتَوَى           فَأَبَى وَزَادَ الْحَرْفَ لِلنُّقْصَانِ
نُوْنُ الْيَهُوْدِ وَلاَمُ جَهْمِيٍّ هُمَا               فِيْ وَحْيِ رَبِّ الْعَرْشِ زَائِدَتَانِ
Orang Yahudi diperintahkan untuk mengatakan Hithah (ampunilah).
Mereka enggan, bahkan berkata: Hinthah (gandum) demi kehinaan.
Demikian pula Jahmi dikatakan padanya: Istawa (tinggi)
Mereka enggan dan menambah huruf (istaula/berkuasa)[25].
Tambahan huruf “Nun” Yahudi dan “Lam” Jahmi
Keduanya dalam timbangan syar’I adalah tambahan.
Adapun secara terperinci:
  • Urusan dan nikmat Allah tidaklah turun pada saat khusus sepertiga malam terakhir saja, bahkan kapanpun waktunya. Allah berfirman, yang artinya:
Dan apa saja nikmat yang ada ada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).
(QS. An-Nahl: 53)
  • Kemudian apalah faedahnya nikmat dan urusan Allah hanya turun ke langit dunia saja tetapi tidak turun ke bumi?!
  • Adapun kalau diartikan “malaikat” maka kita jawab: Apakah masuk akal kalau malaikat mengatakan: Siapa yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan…?! Maka jelaslah bahwa tahrif ini adalah bathil, termentahkan oleh hadits fakta lapangan. [26]
  • Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Al-Allamah Imam Abdul Aziz bin Baz tatkala membantah perubahan makna seperti ini:
“Ini merupakan kesalahan yang nyata sekali, bertentangan dengan nash-nash yang shahih yang menetapkan nuzul (turunnya) Allah. Pendapat yang benar adalah pendapat salaf shaleh, yaitu menyakini turunnya Allah dan memahami riwayat ini sebagaimana datangnya, tanpa takyif (membagaimanakan), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Inilah jalan yang paling benar, paling selamat, paling cocok, dan paling bijaksana. Pegangilah keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi gerahammu serta waspadalah dari keyakinan-keyakinan yang menyelisihnya. Semoga engkau bahagia dan selamat”. [27]

C. Akal-akalan

KH. Sirajuddin Abbas berkata dalam buku hitamnya “Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” hal. 276: “Sebagaimana dimaklumi dunia ini bundar, malam di suatu tempat, siang di tempat yang lain, kalau di Indonesia matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru pukul dua belas siang. Kalau di Indonesia siang bolong umpamanya pukul sepuluh pagi, maka di Belanda betul-betul pukul dua malam. Dan begitulah seterusnya. Nah, kalau tuhan turun ke bawah pada sepetiga malam sebagaimana turunnya Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan tuhan hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia. Karena waktu malam sepertiga malam terakhir bergantian di seluruh dunia, sedang tuhan hanya satu”.

Jawaban:
Penulis sudah pernah membantah syubhat ini[28], saya katakan waktu itu: Demikianlah jika seorang telah dimotori oleh akalnya! Mengapakah tuan menggambarkan Allah sedemikian rupa? Mengapakah tuan tiak pasrah terhadap hadits Rasul yang shahih? Bukankah Allah berfirman:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadapan keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
(QS. An-Nisa’: 65: )
  • Imam Bukhari meriwayatkan dari Imam az-Zuhri bahwasanya beliau mengatakan: “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah hanya menyampaikan, kewajiban kita hanyalaha pasrah dan tunduk”. [29]
  • Imam ath-Thohawi berkata: “Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya kecuali apabila dia tunduk dan pasrah terhadap Allah dan RasulNya dan mengembalikan segala kesamaran kepada Dzat yang maha mengetahui”. [30]
Kewajiban kita dalam hadits-hadits seperti ini adalah:
  1. Beriman dengan nash-nash yang shahih.
  2. Tidak bertanya bagaimannya serta menggambarkannya, baik dalam fikiran, terlebih lagi dalam ungkapan. Karena hal itu termasuk berkata terhadap Allah tanpa dasar ilmu, sedangkan Allah tak dapat dijangkau dengan akal fikiran.
  3. Tidak menyerupakan sifatNya dengan sifat makhluk. Allah berfirman, yang artinya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat.
(QS. Asy-Syura: 11)
Apabila kita memahami kewajiban ini, maka tidak akan ada lagi kerancuan dalam hadits nuzul atau lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah. Yang penting, jika tibasepertiga malam terakhir maka Rabb turun ke langit dunia, sebagaimana diberitakan oleh Nabi”. [31]

.

FIQIH HADITS

Hadits ini memiliki beberapa faedah yang banyak sekali. Dalam kitabnya Al-Kawasyif Al-Jaliyyah hal. 451-454, Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad As-Salman dapat menarik 38 faedah dari hadits di atas, diantaranya:
1. Ketinggian Allah di atas arsy-Nya.
Dalam hadits ini terdapat faedah berharga tentang sebuah aqidah yang banyak dilupakan oleh mayoritas kaum muslimin saat ini yaitu tentang ketinggian Allah di atas langit. Hal itu diambil dari lafadz “Turun” karena makna “turun” dalam bahasa adalah dari atas ke bawah bukan sebaliknya.
  • Imam Utsman bin Sa’id ad-Darimi berkata: “Hadits ini sangat pahit bagi kelompok Jahmiyah dan mematahkan faham mereka bahwa Allah tidak di atas arsy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi? Sungguh lafazh hadits ini membantah faham mereka dan mematahkan argumen mereka”.[32]
  • Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas langit, di atas arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang berpendapat bahwa Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. [33]
2. Menetapkan sifat “kalam” (berbicara) bagi Allah
  • Faedah ini diambil dari kandungan hadits: “Barangsiapa yang berdoa kepadaKu maka akan Aku kabulkan…”.Sifat “kalam” merupakan salah satu sifat yang sempurna dan hakekat (bukan majaz) bagi Allah. Banyak sekali dalil yang mendukungnya, salah satunya adalah firman Allah, yang artinya:
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (QS. An-Nisa’: 164)
Pernah dikisahkan bahwa sebagian Mu’tazilah pernah datang kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Alaa’, salah seorang pakar ahli qira’ah: Saya ingin agar anda membaca:

وَكَلَّمَ اللهَ مُوْسَى تَكْلِيْمًا

Dengan menashabkan (menfathah) lafadz Allah, agar supaya yang berbicara (subyek) adalah Musa, bukan Allah. Abu ‘Amr lantas menjawab: Taruhlah aku membaca ayat ini seperti itu, lantas apa yang akan kau perbuat dengan firman Allah:
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat kepada kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. (QS. Al-A’raf: 143)
Akhirnya, seorang Mu’tazilah itu diam seribu bahasa![34]
3. Keutamaan sepertiga malam terakhir
Malam hari adalah saat keheningan hati, ketenangan, keikhlasan, dimana  saat itu manusia dalam kelelapan tidur. Oleh karenanya, doa pada saat itu mustajab, terutama pada malam terakhir.
Allah berfirman, yang artinya:
Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (QS. Adz-Dzariyat: 16-17)
Nabi juga bersabda:

عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ : قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ : أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ : جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ

Dari Abu Umamah berkata: Ditanyakan kepada Rasulullah: “Doa apakah yang paling mustajab? Beliau menjawab: “Akhir malam dan penghujung shalat lima waktu”. [35]
  • Imam Abu Bakar Ath-Thurthusi berkata dalam: “Sebagai penutup bab ini, tidak pantas bagi seorang yang butuh kepada Allah kemudian dia tidur di waktu malam terakhir”.[36]
Maka pergunakanlah kesempatan berharga ini -wahai saudaraku- untuk memperbanyak doa, istighfar dan taubat sebelum maut menjemputmu.

اغْتَنِمْ فِيْ الْفَرَاغِ فَضْلَ رُكُوْعٍ             فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ مَوْتُكَ بَغْتَةْ

كَمْ صَحِيْحٍ رَأَيْتَ مِنْ غَيْرِ سُقْمٍ                       ذَهَبَتْ نَفْسُهُ الْعَزِيْزَةُ فَلْتَةْ

Gunakanlah waktu luangmu untuk memperbanyak shalat
Barangkali kematianmu datang tiba-tiba secara cepat.
Betapa banyak orang yang sehat wal afiat, tiada cacat.
Jiwanya yang sehat melayang  cepat[37].
.
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

[1]HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758.
[2] Sebagaimana dinukil oleh Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam Kitab As-Sunnah. (Lihat Umdatul Qary 7/199 oleh Al-‘Ainiy).
[3] Naqdu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Marisi Al-Anid hal. 283
[4] Al-Iqtishad fil I’tiqad hal. 100
[5] At-Tamhid 3/338
[6] Majmu Fatawa 5/372
[7] Majmu Fatawa 5/382 dan 16/421
[8] Al-Uluw hal. 116 -Mukhtashar Al-Albani-
[9] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah 2/221 -Mukhtashar Al-Mushiliy-
[10] Ash-Sharimul Munki hal. 229
[11] Nadhmul Mutanasir hal. 192
[12] Silsilah Ash-Shahihah 2/716-717 dan Adh-Dha’ifah 8/365
[13] Lihat Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnul Qayyim 2/230, Umdatul Qori Al-‘Aini 7/198, Kitab Nuzul Ad-Daruqutni.
[14] Syarah Hadits Nuzul hal. 69-70.
[15] Asy-Syari’ah 2/93 -Tahqiq Walid bin Muhammad-.
[16] Kitab At-Tauhid wa Itsbat Shifat Ar-Rabb hal. 125 -Tahqiq Muhammad Khalil Harras-.
[17] At-Tamhid 3/349
[18] Bandingkan dengan buku “I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah” hal. 272-273 oleh KH. Sirajuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, cet ke 19 Jakarta 1994. Ironisnya, tatkala penulis ke sebuah toko buku di Surabaya, ternyata kitab sesat dan menyesatkan ini dicetak ulang lagi oleh penerbit tersebut dengan cetakan yang baru dan mewah!!!
[19] Perhatikanlah -wahai saudaraku- para ahli bid’ah memenggal dalil dan tidak menyempurnakannya, karena lafadz berikutnya akan membungkam fahamnya!! Inikah amanah ilmiyah ataukah ini perilaku keji kaum Yahudi yang beriman dengan sebagian dan mengkufuri sebagian lainnya?!.
[20] Taqrib at-Tadmuriyyah hal 12 oleh Syaih Muhammad bin Shalih Utsaimin.
[21] Fathul Qadir 4/528.
[22] Ucapan mantap ini mendustakan cerita yang banyak beredar bahwa Ibnu Taimiyah menyerupakan turunnya Allah dengan turunnya beliau dari mimbar, sebagaimana sering didengungkan oleh kaum kuburiyyun dan ahli bid’ah, termasuk KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal. 266-267 dan 40 Masalah Agama 2/215-217.
[23] Contoh mudah,  tuduhan KH. Sirajuddin Abbas terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, katanya dalam buku yang sama hal. 262: “Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa beliau terpengaruh dengan faham-faham kaum Musyabbihah dan Mujassimah, yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk”.  Pada hal. 263: “Jadi beliau sebenarnya harus dimasukkan dalam Bab kaum Mujassimah atau Musyabbihah, karena ada persamaannya dalam I’tiqad”.
[24] At-Tamhid 3/351.
[25] Termasuk keajaiban dunia, KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal. 271-273 termasuk pembela tahrif makna istawa dengan menguasai, bahkan membantah para ulama yang mengartikannya secara lahirnya yaitu tinggi, tak cukup hanya itu dia juga menggap bahwa mereka sesat lagi menyesatkan!!!.
[26] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 5/415-417, Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnu Qayyim 2/221-224,Syarh Aqidah Wasithiyah Ibnu Utsaimin 2/434-435).
[27] Ta’liq Fathul Bari 3/30.
[28] Dlam makalahnya berjudul “Membongkar Kebohongan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah” dimuat dalam Majalah As-Sunnah edisi 12/Th V/1422 H/2001 M.
[29] Lihat Fathul Bari 13/512).
[30] Lihat Syarah Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 199).
[31] Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Utsaimin 1/216.
[32] Naqdhu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285).
[33] At-Tamhid 3/338. Lihat pula Kitab At-Tauhid hal. 126 oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Dar’u Ta’arudzil Aqli wa Naqli 7/7 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
[34] Syarh Aqidah Ath-Thohawiyah 1/177 oleh Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth.   Sebab kata “Rabbuhu” dalam ayat di atas mesti dan wajib sebagai subyek, tidak mungkin dirubah sebagai obyek sebagaimana tertera dalam kaidah nahwu. (Lihat Syarh Qathr Nada, Ibnu Hisyam hal. 182-183).
[35] HR. Tirmidzi: 3499 dan dihasankan Imam Tirmidzi dan Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 3/442.
[36] Ad-Du’a Al-Ma’tsur wa Adabuhu hal. 68
[37] Bahjatul Majalis 3/260.
=====================================
Perkataan Ulama 4 Madzhab :

1. Sikap Keras Abu Hanifah Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah

Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,

من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر

“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.]

Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau berkata,

سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم

Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[QS. Thaha: 5.] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.]

2. Imam Malik bin Anas, Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit

Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,

الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء

“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.]

Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,

جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج

“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[QS. Thaha: 5.]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,

الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ

“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378.]

Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.

3. Imam Asy Syafi’i -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit

Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,

القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد

“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165]

4. Imam Ahmad bin Hambal Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya

Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.]

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,

ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض

“Apa makna firman Allah,

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.”[QS. Al Hadiid: 4]

مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[QS. Al Mujadilah: 7]

Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”

Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,

قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116]

Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya,

كيف نعرف ربنا

“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,

في السماء السابعة على عرشه

“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,

هكذا هو عندنا

“Begitu juga keyakinan kami.”[Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118]

Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah berkata, “Metode kami (dalam menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.”[Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/60, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.]
==========================================
Aqidah para sahabat radhiallohu ‘anhum
1. Abu Bakr As Shiddiq radliyallohu ‘anhu
Ketika Rosululloh shollallaahu ‘alaihi wasallam meninggal, Abu Bakr As Shiddiq rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Wahai sekalian manusia! Jika Muhammad adalah sesembahan kalian yang kalian sembah, sesungguhnya sesembahan kalian telah mati. Jika sesembahan kalian adalah Yang berada di atas langit, maka sesungguhnya sesembahan kalian tidak akan mati.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah)

2. Abdulloh bin Mas’ud rodliyallohu ‘anhu
Ibnu Mas’ud rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Antara langit dunia dengan (langit) berikutnya sejauh perjalanan 500 tahun, dan antara 2 langit sejauh perjalanan 500 tahun, antara langit ke-7 dengan Al Kursiy 500 tahun, antara Al Kursiy dengan air 500 tahun, dan ‘Arsy di atas air, dan Alloh Ta’ala di atas ‘Arsy dalam keadaan Dia Maha Mengetahui apa yang terjadi pada kalian” (diriwayatkan oleh Ad Darimi)

3. Zainab bintu Jahsy radliyallohu ‘anha
Dari Anas bin Malik rodliyallohu ‘anhu, bahwa Zainab binti Jahsy radliyAllohu ‘anha berbangga terhadap istri-istri Nabi yang lain, ia berkata: “Kalian dinikahkah oleh keluarga kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Alloh dari atas tujuh langit”. Dalam lafadz lain beliau berkata: “Sesungguhnya Alloh telah menikahkan aku di atas langit.” (diriwayatkan oleh Al Bukhori)

4. Abdulloh bin Abbas rodliyallohu ‘anhu
Sahabat Nabi yang merupakan pakar tafsir AlQur’an ketika menafsirkan firman Alloh tentang ucapan Iblis yang akan mengepung manusia dari berbagai penjuru. Iblis menyatakan sebagaimana diabadikan oleh Alloh dalam Al Quran:
ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ
“Kemudian sungguh-sungguh aku akan mendatangi mereka dari arah depan mereka, dan dari belakang mereka, dan dari kanan dan kiri mereka” (QS Al A’raaf [7]:17).
Abdulloh bin Abbas rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Iblis tidak bisa mengatakan: ‘(mendatangi mereka) dari atas mereka’, karena dia tahu bahwa Alloh berada di atas mereka.” (diriwayatkan oleh Al Lalika’i)

5. Abdulloh bin Umar rodliyallohu ‘anhu
Dari Zaid bin Aslam rohimahulloh beliau berkata: “Ibnu Umar melewati seorang penggembala (kambing), kemudian beliau bertanya: ‘Apakah ada kambing yang bisa disembelih?’ Penggembala itu menyatakan: ‘Pemiliknya tidak ada di sini’. Ibnu Umar rodliyallohu ‘anhu menyatakan: ‘Katakan saja bahwa kambing tersebut telah dimangsa serigala’. Kemudian penggembala kambing tersebut menengadahkan pandangannya ke langit dan berkata: ‘Kalau demikian, di mana Alloh?’ Maka Ibnu Umar rodliyallohu ‘anhu berkata: ‘Demi Alloh, aku lebih berhak untuk bertanya: Di mana Alloh? (daripada kamu)’ Sehingga kemudian Ibnu Umar membeli penggembala dan kambingnya, memerdekakan penggembala tersebut dan memberikan padanya satu kambing itu” (diriwayatkan oleh Ath Thobroni)

====================================

Apakah Allah Turun dengan Dzatnya ataukah Tidak?
Muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama Ahlussunnah apakah dikatakan Allah turun dengan Dzat-Nya ataukah tidak? Mereka berselisih dalam tiga pendapat :
  1. Di antara mereka berpendapat Allah turun dengan Dzat-Nya. Kita perlu mengatakannya agar hal ini tidak disalahpahami bahwa yang turun adalah amrullah(urusan/perintah Allah) atau rahmat Allah seperti perkataan ahlu ta’thil (kelompok yang menolak nama dan sifat Allah).
  2. Di antara mereka   berpendapat tidak mengatakan Allah turun dengan Dzat-Nya dan menolak perkataan tersebut. Menurut mereka perkataan Allah turun dengan Dzat-Nya ke langit dunia adalah batil dan tertolak.
  3. Di antara mereka mengatakan tidak memutlakkan kedua-duanya, mereka tidak menetapkan dan juga tidak menolak perkataan tersebut.
Di antara tiga pendapat di atas  pendapat ketigalah yang benar – wallahu a’lam-. Karena kaedah yang benar berdasarkan sunnah adalah kita tidak melampaui al Quran dan al Hadist. Dalam sabda Nabi “Allah turun“ di dalamnya terdapat penetapan sifat turun (tidak disertai keterangan lainnya), maka kita tidak mengatakan Allah turun dengan Dzat-Nya dan juga tidak mengatakan tidak bolehnya mengatakan Allah turun dengan Dzat-Nya. Kita tidak menetapkannya dan tidak pula menolaknya .
Apakah ‘Arsy Allah Kosong ketika Allah Turun?
Telah kita ketahui bersama bahwasanya Allah Ta’ala istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya. Ketika Allah turun ke langit dunia, apakah ‘Arsy Allah kosong? Dalam hal ini para ulama juga berselisih menjadi tiga pendapat :
Pendapat pertamaArsy Allah tidak kosong. Syaikhul Islam Ibnu Taimyah berkata dalamRisalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya kosong, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam(dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk melliputi ilmu AllahTa’ala
Pendapat kedua .Tawakuf. Mereka tidak mengatakan ‘arsy Allah kosong dan tidak pula mengatakan tidak kosong.
Pendapat ketiga. Turun-Nya Allah menjadikan ‘arsy-Nya kosong.
Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “ Tidak ada hak bagi kita berbicara apakah ketika Allah turun ‘Arsy-Nya kosong atau tidak kosong, hendaknya kita diam sebagaimana para sahabat radhiyallahu ‘anhum diam (tidak membahas) masalah ini.
Beberapa Kesalahan Makna Nuzul dan Bantahannya
Sudah menjadi kebiasaan ahlul bid’ah bahwasanya mereka akan menyelewengkan sifat-sifat Allah yang tidak mereka imani, termasuk sifat nuzul ini. Mereka menyelewengkan makna nuzul dan memaksudkan makna nuzul bukan dengan makna yang hakiki, di antaranya :
Pertama. Yang turun adalah amrullah (urusan/perintah Allah) yang Allah tetapkan. Ini adalah makna yang batil. Karena turunnya urusan Allah akan senantiasa ada pada setiap waktu, tidak khusus pada sepertiga malam terakhir saja . Allah Ta’ala berfirman :
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ
Artinya : ” Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya(As Sajadah :5)
وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأَمْرُ كُلُّهُ
Artinya : “Dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya” (Huud: 123)
Kedua. Yang turun adalah rahmat Allah Ta’ala ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Ini juga merupakan makna yang batil. Rahmat Allah tidak turun kecuali hanya pada waktu itu saja?! Ini sama saja dengan membatasi rahmat Allah.  Padahal Allah berfirman :
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ
Artinya : “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (An Nahl : 53). Sedangkan seluruh nikmat Allah merupakan buah dari rahmat Allah dan itu turun pada setiap waktu. Selain itu jika yang turun adalah rahmat Allah, apa faedahnya dengan turunnya rahmat Allah hanya sampai ke langit dunia?!
Ketiga. Yang turun adalah malaikat Allah.  Ini juga makna yang batil. Jika yang turun adalah malaikat, apakah masuk akal jika malaikat berkata : “Barang siapa yang berdoa kepadaku akan Aku kabulkan, barang siapa meminta kepadaku akan Aku beri, barang siapa memohon ampun kepadaku akan Aku ampuni?”. Dengan ini jelaslah kebatilan perkataan mereka.
Inilah beberapa kesalahan makna nuzul yang diselewengkan oleh ahlul bid’ah. Padahal demi Allah, mereka tidaklah lebih mengetahui tentang Allah daripada Rasulullah, mereka juga tidaklah lebih baik niatnya terhadap umat manusia daripada Rasulullah, mereka juga tidaklah lebih fasih dalam perkataan mereka daripada Rasulullah. Dan pemahaman seperti itu tidak pernah ada dalam pemahaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Menjawab Kerancuan
Jika ada yang mengatakan : “Mengapa engkau katakan Allah turun? Jika Allah turun, bagaimana dengan ke-Maha Tinggian Allah ? Jika Allah turun, bagaimana dengan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy? Jika Allah turun, maka turun adalah bergerak dan berpindah!! Jika Allah turun, turun adalah haadist (sesuatu yang baru), dan sesuatu yang baru tidak terjadi kecuali dengan sesuatu yang baru pula?”
Kita katakan bahwa itu semua itu adalah anggapan yang batil. Dan itu semua tidak bertentangan dengan hakikat turun-Nya Allah. Apakah kalian lebih tahu tentang hakikat turun-Nya Allah  daripada sahabat Rasulullah?. Para sahabat tidak pernah mengatakan kemungkinan-kemungkinan seperti yang kalian katakan sama sekali. Mereka semua (para sahabat) mengatakan. : kami mendengar, kami beriman, kami menerima, dan kami membenarkan. Sedangkan ahlu ta’thil mereka memperdebatkan dengan perdebatan yang batil dengan bertanya mengapa begini, mengapa begitu. Cukuplah kita katakan Allah Ta’alaturun dan kita tidak memperdebatkan tentang apakah ‘arsy Allah kosong atau tidak. Adapun sifat ke-Maha Tinggian Allah, kita katakan bahwa Allah turun akan tetapi Allah tetap di atas para makhluk-Nya, karena bukanlah makna turun-Nya Allah diliputi dan dinaungi langit, karena tidak ada satu makhluk pun yang dapat meliputi Allah Ta’ala.
Lain lagi dengan pertanyaan orang-orang zaman sekarang. Mereka mempertentangkan masalah ini dengan pengetahuan bahwa bumi ini bulat. Mereka mengatakan bagaimana mungkin Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam terakhir? Sepertiga malam jika berpindah dari satu tempat akan terjadi di tempat di dekatnya dan seterusnya sesuai arah berputarnya bumi. Jika demikian, Allah akan selalu turun ke langit dunia  karena akan ada dalam setiap waktu bagian bumi yang mengalami sepertiga malam?
Kita katakan bahwa kita mengimani Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Jika kita sudah beriman dengan yakin, tidak ada lagi keraguan sedikit pun di balik keyakinan tersebut. Kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya bagaimana dan mengapa. Kewajiban kita beriman jika sepertiga malam terjadi di satu daerah, maka ketika itu pula Allah  turun, jika sepertiga malam terakhir terjadi di daerah lain, maka ketika itu pula Allah turun di daerah tersebut. Jika telah terbit fajar di daerah tersebut maka berakhir sudah waktu turun-Nya Allah di daerah tersebut.