Monday, March 20, 2017

Tauhid Uluhiyah Hikmah Penciptaan Makhluk

Tauhid ulûhiyah maksudnya adalah mengesakan Allâh Azza wa Jalla dengan ibadah. [Tathhîrul I’tiqâd, hlm. 13, Prinsip ketiga, karya Ash-Shan’ani; Durar as-Saniyah, 2/291; Syarh ath-Thahâwiyah, hlm. 24]

Dengan melihat penisbatan kepada Allâh Azza wa Jalla, tauhid ini dinamakan tauhid ulûhiyah (mengesakan hak Allâh dalam ibadah), namun jika dilihat dari penisbatan kepada makhluk, maka tauhid ini dinamakan tauhid ibadah, tauhid ubûdiyah, tauhidullâh bi af’âlil ‘ibad (mengesakan Allâh dengan semua perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba),tauhidul ‘amal, tauhidul qashd, tauhidul irâdah wa at-thalab, karena tauhid ini terbangun di atas permurnian niat dalam seluruh ibadah, yaitu hanya dengan menghendaki wajah Allâh Azza wa Jalla . [Syarh ath-Thahâwiyah, hlm. 24; Majmû’ah at-Tauhîd, 1/6; Durar as-Saniyah, 2/250, 304; Taisîrul ‘Azîzil Hamîd, hlm. 22; al-Qaulus Sadîd, hlm. 19; Al-Qawaidul Hisan, hlm. 192; Al-Haqqul Wadhihul Mubin, hlm. 57; Al-Qaulul Mufîd, 1/9]

Tauhid ini menjadi sebab diciptakannya jin dan manusia oleh Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ ﴿٥٧﴾ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada- Ku.
Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allâh Dialah Ar-Razzâq (Maha Pemberi rezeki), Yang Mempunyai Kekuatan, al-Matîn (sangat kokoh) [Adz-Dzâriyât/51: 56-58]
Dan karena tauhid ini juga, Allâh Azza wa Jalla mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab suci, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum-mu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku”. [Al-Anbiya’/21: 25]
Dan tauhid inilah yang didakwahkan oleh para Rasul yang pertama sampai dengan Rasul yang terakhir, sebagaimana firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Beribadahlah kepada Allâh (saja) dan jauhilah Thagut!” Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allâh dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul). [An-Nahl/16: 36]
Dan dengan sebab tauhid ini juga, terjadi permusuhan antara para Nabi dengan umat mereka, dan antara orang-orang yang bertauhid, pengikut para Nabi, dengan para pelaku bid’ah dan khurafat.
Dan dengan sebab tauhid ini, pedang-pedang dihunus saat berjihad di jalan Allâh Azza wa Jalla. Dan tauhid ini adalah permulaan agama ini dan akhirnya. Bahkan ini adalah hakekat Islam.
[Syarh ath-Thahâwiyah, hlm. 21, 24; Tathhîrul I’tiqâd, hlm. 20; Taisîrul ‘Azîzil Hamîd, hlm. 20 dan 21; Ad-Durun Nadhîd, hlm. 65, karya Asy-Syaukani; Qurratul ‘Uyûn al-Muwahhidîn, hlm. 4, karya Abdurrahman bin Hasan; Ma’ârijul Qabûl, 2/402-410]
Tauhid ulûhiyah ini memuat semua jenis tauhid. Karena Tauhid ulûhiyah ini memuat tauhid rubûbiyah dan tauhid al-asma’ was Shifat. [Syarh ath-Thahâwiyah, hlm. 29, 32; Taisîrul ‘Azîzil Hamîd, hlm. 23; Qurratul ‘Uyûn al-Muwahhidîn, hlm. 5]
Sesungguhnya orang yang hanya beribadah kepada Allâh semata dan mengimani bahwa hanya Allâh yang berhak mendapatkan ibadah, itu menunjukkan bahwa dia beriman kepada rubûbiyah Allâh, nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya. Karena dia tidak melakukan itu kecuali karena dia yakin bahwa hanya Allâh Azza wa Jalla yang memberikan karunia kepadanya dan kepada seluruh hamba-Nya, dengan menciptakan mereka, memberi rezeki, mengatur dan lain sebagainya yang merupakan wujud dari sifat-sifat rubûbiyah Allâh Azza wa Jalla . Dia juga meyakini bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang paling indah dan sifat-sifat yang sempurna.  Ini semua menunjukkan bahwa hanya Dia yang berhak mendapatkan ibadah, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Tauhid ulûhiyah ini sangat penting. Namun mayoritas manusia mengingkarinya. Mereka mengingkari bahwa hanya Allâh Azza wa Jalla yang berhak mendapatkan ibadah, tidak ada sekutu bagi-Nya, sehingga mereka disamping beribadah kepada Allâh, mereka juga beribadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla .
Imam Muhammad bin Isma’il ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa Allâh Azza wa Jalla telah mengutus para Nabi, dari awal sampai akhir, untuk mengajak manusia mengesakan Allâh dengan ibadah. Bukan untuk menetapkan bahwa Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan mereka, karena mereka telah mengakui bahwa Allâh yang menciptakan mereka …. Oleh karena itu orang-orang yang menolak dakwah Rasul mengatakan:
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ
Mereka berkata, “Apakah kamu datang kepada kami agar kami hanya beribadah keapda Allâh saja?” [Al-A’râf/7: 70]
Yaitu untuk mengesakan ibadah hanya kepada-Nya, mengkhususkan ibadah kepada-Nya? Sehingga mereka beribadah kepada Allâh dan juga kepada selain-Nya. Mereka menyekutukan selain Allâh dengan-Nya, mereka mengangkat tandingan-tandingan bagi Allâh.” [Tathhîrul I’tiqâd, hlm. 12, 20; Lihat juga Qurratul ‘Uyûn al-Muwahhidin, hlm. 4]
Dan tauhid ulûhiyah ini ditunjukkan dengan kalimat Lâ ilâha illa Allâh. Oleh karena itu kita harus memahami tentang makna kalimat Lâ ilâha illa Allâh.
Makna Kalimat Lâ Ilâha Illa Allâh
Makna kalimat Lâ ilâha illa Allâh secara global adalah tidak ada yang berhak diibadahi selain Allâh. [Lihat tafsir dari surat Al-Baqarah ayat ke-163 dalam kitab tafsir ath-Thabari dan al-Qurthubi. Tafsir Ibnu Katsir pada surat al-Kâfirûn; Tafsir al-Jalâlain pada ayat kursi; Fathul Majîd, 1/121-126 yang menukil dari perkataan al-Biqa’i asy-Syâfi’i dan lainnya;Majmû’ah at-Tauhîd, 1/178]
Yaitu bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allâh Azza wa Jalla , sehingga kita tidak boleh berdoa kecuali hanya kepada Allâh, tidak boleh shalat, bernadzar, atau menyembelih binatang kecuali karena Allâh Azza wa Jalla , demikian juga semua jenis ibadah lainnya. Tidak ada yang berhak menerima ibadah selain Allâh Azza wa Jalla .
Imam Muhammad bin Isma’il Ash-Shan’ani rahimahullah, seorang Ulama dari Yaman, berkata, “Maknanya adalah mengesakan Allâh dengan ibadah dan hak diibadahi, dan berlepas diri dari semua sesembahan selain-Nya”. [Tathhîrul I’tiqâd, hlm. 18]
Kata lâ (tidak ada) dalam kalimat Lâ ilâha illa Allâh adalah nâfiyah lil jinsi (menafikan semua yang masuk dalam jenis isim atau kata benda yang disebutkan setelahnya), ilâh adalah isimnya, sedangkan khabarnya tidak disebut yaitu haq (yang hak).
و إله من أَلَهَ بالفتح، يَألَهُ ، إلاهَةً ، والمعنى عَبَدَ ، يَعبُدُ ، عِبادةً
Ilâh dari kata alaha, ya’lahu – ilaahah, artinya beribadah. (Lihat Tafsir Basmalah dalam Tafsir ath-Thabari dan Ibnu Katsir; Syarah al-Misykah karya ath-Thîbi, 1/98; Risâlah makna lâ ilâha illa Allâh, hlm. 73-111, karya az-Zarkasyi asy-Syafi’i; kamus al-Muhith dan Mukhtarus Shihah, fasal aliha)
Al-ilâh yaitu yang diibadahi dan ditaati. Hati taat kepadanya dengan kecintaan, pengagungan, rasa takut, dan jenis-jenis ibadah lain yang mengikutinya.
Allâh Azza wa Jalla adalah nama Dzat Sang Penguasa Yang Maha Suci. Nama ini tidak digunakan untuk selain-Nya. [Lihat footnote sebelumnya; Tajrîd at-Tauhid, hlm. 18-24, karya al-Maqrizi; Tahqîq Kalimat al-Ikhlâs, hlm. 23, 25, 30, karya Ibnu Rajab; Fathul Majid, hlm. 73-76 dan 124-126; Tafsir asy-Syaukani, 1/18; Durar as-Saniyah, 2/257, 296-298, 305, 326-331; Majmû’atur Rasâil, 4/16]
Makna Kalimat Lâ Ilâha illa Allâh
Kalimat lâ ilâha illa Allâh adalah kalimat agung yang memiliki dua rukun penting:
Pertama: an-nafyu (meniadakan)
Yaitu meniadakan hak untuk diibadahi dari selain Allâh Azza wa Jalla . Ini ditunjukkan oleh kalimat lâ ilâha (tidak ada yang berhak diibadahi), maksudnya adalah selain Allâh Azza wa Jalla tidak berhak mendapatkan ibadah.
Kedua: al-itsbat (menetapkan)
Yaitu menetapkan hak diibadahi bagi Allâh Azza wa Jalla .  Ini ditunjukkan oleh kalimat illa Allâh  (kecuali Allâh). Maksudnya menetapkan bahwa hanya Allâh yang berhak diibadahi, tidak ada sekutu bagi-Nya. (Lihat al-Kawasyif al-Jaliyah, hlm. 35; Qurratu ‘Uyûn al-Muwahhidîn, hlm. 13; Durar as-Saniyah, 2/257, 296-298, 305, 326-331 dan Majmû’atur Rasâil, 4/16)
Hanya Allâh Azza wa Jalla yang berhak diibadahi, karena Dia adalah al-Khâliq (Sang Pencipta), ar-Râziq (Sang Pemberi rezeki), al-Mâlik (Sang Pemilik), al-Mudabbir (Sang Pengatur segala urusan). Maka kewajiban semua hamba untuk mengesakan-Nya dengan hanya beribadah kepada-Nya, sebagai bentuk syukur kepada-Nya terhadap berbagai kenikmatan yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada mereka.
Kalimat lâ ilâha illa Allâh adalah kalimat tauhid, al-‘urwatul wutsqa (tali yang kokoh), kalimat taqwa, penentu kebahagiaan dan kecelakaan di dunia, di alam kubur dan di hari kiamat. Dengan istiqamah pada kalimat ini dan melaksanakan hak-haknya akan menjadikan timbangan kebaikan lebih berat. Kalimat ini bisa menjadi sebab terselamatnya seseorang dari neraka setelah melewatinya dan meraih keberuntungan berupa surga.
Sebaliknya, melalaikan hak-hak kalimat ini akan menyebabkan timbangan kebaikan menjadi lebih ringan, menyebabkan siksa di alam kubur, di hari kiamat dan di dalam neraka.
Kalimat ini adalah hak Allâh yang menjadi kewajiban seluruh hamba. Kalimat ini merupakan kewajiban pertama dan terakhir. Kalimat ini yang pertama kali menyebabkan seseorang masuk ke dalam agama Islam, dan seharusnya menjadi ucapan terakhir ketika meninggalkan dunia.
Kalimat ini menjadi sebab terjaganya darah seorang muslim, hartanya dan kehormatannya, kecuali dengan hak Islam.
Dengan sebab kalimat ini, manusia terbagi menjadi Mukmin dan kafir, orang taat dan maksiat.
Kalimat ini merupakan sebab wala’ (loyalitas) dan bara’ (berlepas diri). Orang-orang yang berpegang teguh dengan kalimat ini adalah golongan Allâh, sedangkan orang-orang yang mengingkarinya adalah orang-orang yang mendapatkan murka Allâh dan siksa-Nya.
Kalimat ini adalah syahadat yang paling besar, rukun Islam yang pertama dan terbesar, serta fondasi agama Islam, sedangkan rukun dan kewajiban agama yang lain adalah cabang darinya dan pelengkap baginya.
Kalimat ini juga merupakan nikmat terbesar dari Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya, dzikir yang paling utama, dan perkara terberat dalam timbangan kebaikan hamba di hari kiamat.
Kalimat ini merupakan inti Islam, kunci surga yang penuh kesalamatan, perkataan yang paling benar, kebaikan yang paling baik, syahadat yang haq, perkataan yang kokoh, dan kalimat yang paling agung.
Kalimat ini akan menjadi bahan pertanyaan bagi seluruh manusia di hari perhitungan. Dengan sebab kalimat ini buku catatan amal akan diterima dengan tangan kanan atau tangan kiri, dan dengan kalimat ini langit dan bumi menjadi tegak, di atas kalimat ini pula agama seluruh Nabi ditegakkan, dan kiblat ibadah sholat ditetapkan.
[Lihat Risâlah Masalah Tauhid wa Fadhlu Lâ ilâha illa Allâh, hlm. 89-117, karya Yûsuf bin Abdul Hadi; Al-Imân karya Ibnu Mandah, 1/116-315; Majmû’ Fatâwâ, 3/94; Madârijus Sâlikîn, 3/462, 465; Zâdul Ma’âd, 1/34; Tahqîq Kalimat al-Ikhlâs, hlm. 23, 25, 30; Majmû’ah at-Tauhîd, 1/137, 141, 175;  Durar as-Saniyah, 2/326, 350;  Fathul Majid, hlm. 74, 75, 125;Majmû’atur Rasâil, 4/295; Qurratu ‘Uyûn Muwahhidin, hlm. 19, 20; Al-Qaulus Sadîd, hlm. 19, 20; Ma’ârijul Qabûl, 2/410-415]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIX/1437H/2016M.]
_______
Footnote
[1] Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 53-58, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin dan beberapa rujkan yang lain.