Tuesday, November 3, 2015

Aqidah Imam Syâfi'i Tentang Asmȃ' Dan Sifat Allah

Imam Syâfi’î rahimahullah adalah Muhammad bin Idrîs bin al-'Abbâs bin Utsmân bin Syâfi' bin as-Sâˈib bin 'Ubaid bin 'Abdi Yazîd bin Hâsyim bin al-Mutthalib bin 'Abdi Manâf bin Qushay bin Kilâb bin Murrah bin Ka'ab bin Luˈay bin Ghâlib[1]. Lahirkan di Gaza, tahun 150 H. dan wafat pada tahun 204 H. dalam umur 54 tahun.

Imam Syâfi’i rahimahullah merupakan salah seorang Imam Ahlu Sunnah wal Jama'ah yang amat dikagumi diseluruh penjuru dunia Islam. Maka memahami bagaimana aqidah, manhaj, sepak terjang dan keilmuan beliau rahimahullah akan semakin mengangkat kebesaran pribadi beliau rahimahullah .

Berikut ini adalah salah satu di antara keyakinan beliau rahimahullah tentang masalah aqidah, yaitu aqidah tentang Asmȃ' dan Sifat Allah Azza wa Jalla .

Dalam kitabnya ar-Risâlah yang merupakan juz 1 dari al-Umm, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu 'Ali al-Hasan bin Habîb bin 'Abdul Mâlik tahun 337 H di Dimasyq, dengan sanadnya dari ar-Rabî' bin Sulaimân, Imam Syâfi’i rahimahullah mengawali Kitabnya dengan memuji Allâh Azza wa Jalla, di antaranya beliau rahimahullah mengatakan:

وَلاَ يَبْلُغُ الْوَاصِفُوْنَ كُنْهَ عَظَمَتِهِ، الَّذِى هُوَ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ وَفَوْقَ مَا يَصِفُهُ بِهِ خَلْقُهُ

Dan para makhluk yang mensifati Allâh, dengan pensifatan yang diberikannya tidak akan bisa sampai pada hakikat keagungan yang seharusnya bagi Allâh, tidak sebagaimana ketika Allah sendiri yang mensifati diriNya. Dan sifat Allâh lebih mulia dari sifat yang disebutkan oleh makhlukNya.[2] 

Perkataan Imam Syâfi'i di atas menegaskan bahwa beliau rahimahullah mengimani sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla serta menetapkannya sebagaimana yang ditetapkan sendiri oleh Allâh Azza wa Jalla , tanpa mentahrîf (mengubah makna), tanpa menta'thîl (menolak), tanpa mentakyîf (menggambarkan bentuk sesungguhnya) dan tanpa mentamtsîl (menyerupakan dengan sifat makhluk). Itulah pemahaman seluruh Salafus Shalih dan Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Sebab sifat Allâh Azza wa Jalla jauh lebih agung, lebih besar dan lebih mulia dari apa yang disebutkan oleh manusia.

Imam Syâfi’i rahimahullah selanjutnya juga mengatakan:

وَأَحْمَدُهُ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا يَنْبَغِي لِكَرَمِ وَجْهِهِ وَعِزِّ جَلاَلِهِ

Aku memuji Allâh dengan pujian yang banyak, sebagaimana yang seyogyanya bagi kemurahan wajahNya dan keperkasaan keluhuranNya.[3] 

Perkataan beliau rahimahullah ini semakin mempertegas sikap beliau rahimahullah dalam menetapkan sifat-sifat Allâh sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan sendiri untuk diri-Nya, tanpa mengubah makna, tanpa menolak, tanpa menggambarkan bagaimananya dan tanpa menyerupakan, sebagaimana dijelaskan di atas.

Al-Qâdhî Abu al-Husain Muhammad bin Abî Ya'lâ rahimahullah , dalam Kitab karyanya, Thabaqât al-Hanâbilah,[4] menyebutkan: Aku membaca di hadapan al-Mubârak, aku bertanya kepadanya: (Apakah) Muhammad bin 'Alî bin al-Fath membawa berita kepada engkau? Beliau menjawab, 'Alî bin Mardak telah berkata mengkhabarkan kepada kami (bahwa): 'Abdurrahmân bin Abî Hâtim telah berkata mengkhabarkan kepada kami (bahwa): Yûnus bin 'Abdul A'lâ al-Mishrî telah berkata menceritakan kepada kami (bahwa): Aku mendengar Abû 'Abdullâh Muhammad bin Idrîs asy-Syâfi'i (maksudnya: Imam Syâfi’i rahimahullah –pen) –ketika ditanya perihal sifat-sifat Allâh dan perihal apa saja yang seharusnya di imani tentang Allâh-, beliau rahimahullah mengatakan, " Allâh Tabâraka wa Ta'âla memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dijelaskan dalam Kitab-Nya, dan telah diberitakan oleh Nabiyyullâh n kepada umatnya, dimana hal itu tidak memberikan keleluasaan[5] kepada siapapun di antara makhluk Allâh (untuk bersikap lain-pen). Hujjah telah tegak baginya, bahwa al-Qurˈân sudah turun kepada beliau, dan juga hal itu jelas shahîh berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui periwayatan perawi yang adil. Jika seseorang menyelisihi hal ini sesudah tegaknya hujjah baginya secara pasti, maka ia kafir kepada Allâh Azza wa Jalla . Adapun bila hujjah belum pasti baginya karena beritanya masih samar baginya, maka karena ketidak mengertiannya ia termaafkan. Sebab persoalan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla tidak bisa dijangkau dengan akal, rasio dan fikiran.

Yang semacam itu misalnya adalah berita-berita tentang Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Telah datang berita kepada kita bahwa Allâh Maha Mendengar, dan sesungguhnya Dia memiliki dua tangan, berdasarkan firman-Nya:

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ 

Bahkan dua tangan Allâh terbentang kedua-duanya, Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. [Al-Mâˈidah/5:64]

Dan Dia sesungguhnya memiliki tangan kanan, berdasarkan firman-Nya:

وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ

Dan langit-langit di lipat pada tangan kananNya. [Az-Zumar/39:67]

Diapun sesungguhnya memiliki wajah, berdasarkan firman-Nya:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya. [Al-Qashash/28:88]

Demikian pula firman-Nya:

وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Dan tetap kekal abadilah wajah Rabbmu yang wajahNya itu Maha Luhur dan Maha Mulia. [Ar-Rahmân/55:27]

Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga memiliki kaki, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

(حَتَّى يَضَعَ الرَّبُّ فِيْهَا قَدَمَهُ) يَعْنِي جَهَنَّم

Sampai Allâh meletakkan kakiNya di atas Jahannam.

Allâh Azza wa Jalla pun tertawa terkait dengan hamba Mukmin yang terbunuh di jalan Allâh, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa orang Mukmin itu menghadap Allâh (meninggal dunia) sedangkan Allâh Azza wa Jalla tertawa terhadapnya.

Demikian juga Allâh Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap (sepertiga) malam (terakhir), berdasarkan berita Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allâh Azza wa Jalla tidak buta sebelah mataNya (a'war), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan tentang Dajjal. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ أَعْوَر، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَر

Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya, sedangkan Rabbmu tidak buta sebelah mataNya.

Dan bahwa kaum Mukminin kelak di hari akhirat akan melihat Allâh Subhanahu wa Ta’ala secara jelas dengan mata kepala mereka, sebagaimana jelasnya mereka melihat bulan pada saat purnama. Allâh Azza wa Jalla juga memiliki jari jemari, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَامِنْ قَلْبٍ إِلاَّ وَهُوَ بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمنِ عَزَّ وَجَلَّ

Tidak ada sebuah hatipun kecuali ia berada di antara dua jari dari jari jemari Allȃh Yang Maha Rahmȃn 'Azza wa Jalla.

Sesungguhnya ma'na-ma'na sifat di atas, yang dengannya Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mensifati diriNya, dan dengannya Rasulullâh telah mensifati Allâh, adalah termasuk perkara yang tidak bisa diketahui hakikatnya berdasarkan akal pikiran dan rasio. Maka seseorang tidak menjadi kafir karena kebodohan terhadap masalah itu kecuali jika berita (nash) tentang itu telah sampai secara tuntas kepadanya.

Apabila yang sampai tentang itu adalah berita yang jelas hingga bagi pendengaran seakan-akan merupakan sesuatu yang terlihat dengan mata, maka wajib bagi pendengarnya untuk menjadikannya pegangan dalam beragama sesuai dengan hakikatnya dan sesuai dengan kenyataannya. Seola-olah ia melihat dan mendengar langsung dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tetapi sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla ini harus ditetapkan dengan meniadakan keserupaan (antara sifat Allâh dengan sifat makhlukNya-pen). Sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah meniadakan keserupaan itu. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allâh, sedangkan Dia Maha Mendengar dan Maha melihat. [Asy-Syûrâ/42:11][6] 

Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelas Imam Syâfi’i rahimahullah menetapkan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla sebagaimana termaktub dalam Kitabullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa penolakan, tanpa mengubah maknanya, tanpa membayangkan bentuk sesungguhnya dari sifat-sifat tersebut dan tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat makhlukNya. Itulah cara para Salafush Shâlih dalam menetapkan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . 

Artinya, sudah barang tentu beliau mengimani sifat-sifat Allâh bukan secara lafazh saja, tetapi juga mengimani maknanya, karena beliau seorang Ulama yang terkenal sangat mendalam menguasai bahasa arab. 

Berikut ini adalah nash-nash hadits tentang beberapa sifat Allâh Azza wa Jalla yang maknanya telah beliau rahimahullah paparkan di muka:

1. Hadits yang menjelaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla meletakkan kaki-Nya di atas Jahannam, ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا تَزَالُ جَهَنَّمُ يُلْقَى فِيهَا وَتَقُولُ: هَلْ مِنْ مَزِيدٍ، حَتَّى يَضَعَ رَبُّ الْعِزَّةِ فِيهَا قَدَمَهُ، فَيَنْزَوِي بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ وَتَقُولُ: قَطْ قَطْ. 

Penghuni neraka Jahannam terus dimasukkan ke dalamnya, dan neraka Jahannam itu berkata (memohon tambahan penghuni kepada Allȃh) : "Apakah masih ada tambahannya?". Sampai Allȃh Rabbul 'Izzati meletakkan kaki-Nya di atas Jahannam. Maka sebagian sisi Jahannam merepat ke sisi lainnya seraya mengatakan: "cukup, cukup". [HR. al-Bukhȃrî dan Muslim. Lafadz di atas adalah lafadz Muslim][7] 

2. Hadits yang menjelaskan bahwa Allâh tertawa antara lain, sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَضْحَكُ اللَّهُ إِلَى رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا الآخَرَ يَدْخُلاَنِ الجَنَّةَ: يُقَاتِلُ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَيُقْتَلُ، ثُمَّ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَى القَاتِلِ، فَيُسْتَشْهَدُ.

Allȃh tertawa pada dua orang laki-laki. Yang satu membunuh yang lainnya, namun kedua-duanya masuk surga. (Karena) orang yang satu (yang terbunuh pertama) berperang di jalan Allȃh, maka ia terbunuh. Kemudian pembunuhnya bertaubat dan Allȃh menerima taubatnya, kemudian iapun mati syahid di jalan Allȃh. [Muttafaq 'alaih][8] 

Maksudnya, dua orang yang saling bunuh, tetapi keduanya masuk surga. Sebab kedua orang itu terlibat dalam pertempuran. Yang satu Muslim, berperang di jalan Allȃh, ia terbunuh oleh lawannya, maka iapun masuk surga. Sedangkan lawannya yang kala itu kafir, berperang dipihak pasukan kafir. Tetapi kemudian ia bertaubat dan masuk Islam, ia kemudian berperang di jalan Allȃh. Orang ini kemudian terbunuh, dan iapun masuk sorga. Maka Allȃh Azza wa Jalla tertawa melihat keadaan dua orang ini.

3. Hadits yang menjelaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla turun ke langi dunia pada tiap sepertiga malam terakhir, adalah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita Tabaȃrakallȃh wa Ta'ȃlȃ turun ke langit dunia setiap malam pada saat tersisa sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman: Barangsiapa yang berdoa kepadaKu niscaya Aku kabulkan doanya, barangsiapa yang memohon kepada-Ku niscaya Aku berikan permohonannya, barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku niscaya Aku ampunkan dosanya. [Muttafaq 'Alaih][9] 

4. Hadits yang menjelaskan bahwa Allâh tidak buta sebelah mata-Nya yaitu dalam sebuah riwayat dinyatakan
Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhum mengatakan: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di hadapan umatnya. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Allȃh dengan pujian yang Allȃh berhak mendapatkannya. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut-nyebut tentang Dajjal, lalu bersabda:

إِنِّي لَأُنْذِرُكُمُوهُ، وَمَا مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا أَنْذَرَهُ قَوْمَهُ، لَقَدْ أَنْذَرَ نُوحٌ قَوْمَهُ، وَلَكِنِّي أَقُولُ لَكُمْ فِيهِ قَوْلًا لَمْ يَقُلْهُ نَبِيٌّ لِقَوْمِهِ: تَعْلَمُونَ أَنَّهُ أَعْوَرُ، وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِأَعْوَرَ 

Sesungguhnya aku benar-benar mengingatkan kalian akan Dajjal. Tidak ada seorang nabipun kecuali ia pasti mengingatkan kaumnya akan Dajjal. Sesungguhnya Nabi Nûh juga benar-benar telah mengingatkan kaumnya. Akan tetapi aku katakan kepada kalian apa yang belum pernah dikatakan oleh seorang nabipun kepada kaumnya, yaitu: kalian mengetahui bahwa Dajjal buta sebelah matanya. Sedangkan sesungguhnya Allȃh tidak buta sebelah mataNya. [Muttafaq 'Alaih][10] 

5. Hadits yang menjelaskan bahwa kaum Mukminîn akan melihat Allâh Azza wa Jalla secara langsung dengan mata kepalanya ialah…

عَنْ جَرِيرٍ، قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ نَظَرَ إِلَى القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ قَالَ: «إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ، لاَ تُضَامُونَ فِي رُؤْيَتِهِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ، وَصَلاَةٍ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، فَافْعَلُوا

Dari Jarîr, ia mengatakan: Kami duduk di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ketika itu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bulan pada saat purnama. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya kalian benar-benar akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Kalian tidak akan mengalami kesulitan ketika melihat-Nya. Maka jika kalian mampu agar jangan sampai terkalahkan untuk melaksanakan shalat sebelum terbitnya matahari dan melaksanakan shalat sebelum terbenamnya matahari, maka lakukanlah.[Muttafaq 'Alaih][11] 

6. Dan hadits tentang Allâh Subhanahu wa Ta’ala memiliki jari jemari ialah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ، كَقَلْبٍ وَاحِدٍ، يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ

Sesungguhnya hati-hati Bani Adam seluruhnya berada di antara dua jari dari jari jemari Allâh Yang Maha Rahmȃn, sebagaimana layaknya sebuah hati. Allâh membolak-balikkannya menurut apa yang Dia kehendaki. [HR. Muslim][12] 

Demikianlah aqidah Imam Syâfi’i rahimahullah tentang Asmȃˈ dan Sifat Allȃh Azza wa Jalla, aqidah yang dianut oleh seluruh Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Wallȃhu a'lam.

Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVIII/1436H/2014M.]
_______
Footnote
[1]. Lihat Siyar A'lâm an-Nubalâˈ, karya Imam adz-Dzahabi, Muˈassasah ar-Risâlah, cet. XI, 1422 H/2001 M. Isyrâf: Syu'aib al-Arnaˈûth, dan tahqiq: Muhammad Na'îm al-'Asqûsy, X/5. Lihat pula Muqadimah Tahqiq al-Umm karya Imam asy-Syâfi'i, Tahqiq: Dr. Rif'at Fauzi Abdul Mutthalib, Dar al-Wafâ', cet. III, 1426 H/2005 M. Juzˈu ar-Risâlah I/6
[2]. Al-Umm, karya Imâm Muhammad bin Idrîs asy- Syâfi'i t , tahqîq wa takhrîj: Dr. Rif'at Fauzi 'Abdul Mutthalib (yang memiliki sanad kepada Imam Syâfi'i, dalam juz ar-Risâlah, yaitu I/ 1, Dâr al-Wafâˈ, cet. III, 1426 H/2005 M 
[3]. Ibid
[4]. Lihat Thabaqât al-Hanâbilah, Dâr al-Ma'rifah, Beirut, tanpa tahun (di Perpustakaan Ma'had al-'Ulûm al-Islâmiyyah wa al-Lughah al-'Arabiyyah Fî Indonesia dengan nomor umum: 22584, no tashnîf: 217,5092), Jld. I/283-284, tentang Muhammad bin Idrîs bin al-'Abbâs Abu 'Abdullâh asy-Syâfi'I al-Imâm (no. 389).
[5]. Dalam kitab asli tertulis ( لايسمع), mungkin itu tash-hîf (salah cetak), yang benar adalah ( لا يسع) yang artinya, berita itu tidak memberi keleluasaan kepada siapapun. Ini di dasarkan pada riwayat lain dari Imam adz-Dzahabî, dalam Siyar A'lâm an-Nubalâˈ, Muˈassasah ar-Risâlah, cet. 11, 1422 H/2001 M, tahqîq : Muhammad Nu'ain al-'Arqasûsî, Isyrâf : Syu'aib al-Arnaˈûth, pada pembahasan no 1 tentang Imam Syâfi'i, X/79-80. Wallâhu a'lam.
[6]. Lihat Thabaqât al-Hanâbilah, Dâr al-Ma'rifah, Beirut, op.cit. Jld. I/283-284, tentang Muhammad bin Idrîs bin al-'Abbâs Abu 'Abdullâh asy-Syâfi'I al-Imâm (no. 389).
[7]. Lihat Shahîh Bukhȃrî dalam Fathu al-Bȃrî, XIII/369, Bab 7 no. 7384 dan Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî¸ tahqîq : Khalîl Maˈmûn Syîhȃ, op.cit. XVII/182 Bab 13/14, no 7108.
[8]. Shahîh Bukhȃrî dalam Fathu al-Bȃrî, op.cit. VI/39, Bab 28, no. 2826. Lafadz ini adalah lafadz Bukhȃrî dan Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî¸ tahqîq : Khalîl Maˈmûn Syîhȃ, op.cit. XIII/38, Bab, 35/8, no. 4869
[9]. Ibid Fathu al-Bȃrî, op.cit. XIII/464, no. 7494, Kitȃb at-Tauhîd, Bȃb 35 dan Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî¸ op.cit. VI/279, Kitȃb Shalȃti al-Musȃfirîn, Bȃb 24/132, no. 1769
[10]. Ibid Fathu al-Bȃrî, op.cit. VI/370, no. 3337 dan Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî¸ op.cit. XVIII/260, penggalan dari hadits no. 7283, Kitȃb al-Fitan, Bȃb Dzikri Ibni Shayyȃd.
[11]. Shahîh Bukhȃrî dalam Fathu al-Bȃrî, op.cit. II/33, Kitȃb Mawȃqît ash Shalȃti, Bȃb 16, no. 554. Lafadz ini adalah lafadz Bukhȃrî, dan Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî¸ tahqîq : Khalîl Maˈmûn Syîhȃ, op.cit. V/135, Bab 37/90, no. 1432
[12]. Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî¸ tahqîq : Khalîl Maˈmûn Syîhȃ, op.cit. XVI/419-420, Bab 3/3 Kitȃb al-Qadar, no.6692