Wednesday, September 16, 2015

Sudah Ada Takdir Lalu Untuk Apa Beramal?

Benar, Allah Ta’ala telah menentukan takdir seluruh makhluk, baik berupa kematian, rezeki, jodoh bahkan masuk neraka atau surga.
 
Semuanya sudah tercatat di Al Lauh Al Mahfuzh, hal ini berdasarkan beberapa dalil, baik dari Al Quran Al Karim atau Sunnah yang shahih.
 
Dalil dari Al Quran:
 
{ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ} [الحج: 70]
 
Artinya: Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lohmahfuz) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”.
 
{إِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ} [يس: 12]
 
Artinya: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Al Lauh Al Mahfuz)”. QS. Yasiin: 12.
 
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
 
أي: جميع الكائنات مكتوب في كتاب مسطور مضبوط في لوح محفوظ، والإمام المبين هاهنا هو أم الكتاب. قاله مجاهد، وقتادة، وعبد الرحمن بن زيد بن أسلم،
 
Artinya: “Maksudnya adalah seluruh yang terjadi telah tertulis di dalam Kitab, tertulis dan tersebut di dalam Al Lauh Al Mahfuzh, dan Al Imam Al Mubin di sini maksudnya adalah induknya kitab (Ummu Al Kitab), sebagaimana yang dinyatakan oleh Mujahid, Qatadah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslamrahimahumullah”. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 6/568.
 
Berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah:
 
والمقصود أن قوله وكل شيء أحصيناه في إمام مبين وهو اللوح المحفوظ وهو أم الكتاب وهو الذكر الذي كتب فيه كل شيء يتضمن كتابة أعمال العباد قبل أن يعملوها
 
Artinya: “Maksud dari Firman Allah وكل شيء أحصيناه في إمام مبين adalah Al lauh Al Mahfuzh dan ia adalah Ummu Al Kitab dan ia juga yang disebut dengan Adz Dzikr yang telah ditulis di dalamnya segala sesuatu yang mencakup penulisan amalan-amalan seluruh hamba sebelum mereka melakukannya”. Lihat kitab Syifa Al ‘Alil, hal. 40.
 
{وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ} [الأنعام: 59]
 
Artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Al Lauh Al Mahfuz)”. QS. Al An’am: 59.
 
{ قَالَ فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى (51) قَالَ عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي فِي كِتَابٍ لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى (52)} [طه:   51 -52]}
 
Artinya: “Berkata Firaun: "Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?". “Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabbku, di dalam sebuah kitab, Rabb kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa”. QS. Thaha: 51-52.
 
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ - قَالَ - وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ»
 
Artinya: “Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Aku telah mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah telah menuliskan takdir makhluk-makhluk 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi dan Asy-Nya di atas air”. HR. Muslim.
 
عَنْ عَلِىٍّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلاَّ وَقَدْ كَتَبَ اللَّهُ مَكَانَهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ»
 
Artinya: “Ali radhiyallahu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada seorangpun dari kalian, tidak seorang jiwapun melainkan telah dituliskan Allah tempatnya di surga dan neraka”. HR. Bukhari dan Muslim.
 
Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 
« مَا مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ إِلاَّ وَقَدْ عُلِمَ مَنْزِلُهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ».
 
Artinya: “Tidak seorangpun kecuali sudah ditentukan tempatnya dari surga dan neraka”. HR. Muslim.
 
Lalu kalau sudah ditentukan kenapa harus beramal?
 
Atau pertanyaan lain, kalau sudah ditentukan bagaimana seorang muslim menyikapinya?
 
Maka perhatikan beberapa hal berikut …
 
1. Sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita agar kita beramal, berusaha mencari jalan yang diridhai Allah Ta’ala dengan petunjuk dari Allah Ta’ala yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena segala sesuatu dimudahkan untuk apa yang telah ditakdirkan atasnya.
 
عَنْ عَلِىٍّ - رضى الله عنه - قَالَ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى جَنَازَةٍ فَأَخَذَ شَيْئًا فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهِ الأَرْضَ فَقَالَ « مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ قَالَ « اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ » . ثُمَّ قَرَأَ ( فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ) الآيَةَ .
 
Artinya: “Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pernah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalllam pada sebuah jenazah, lalu beliau berdiam sejenak, kemudian beliau menusuk-nusuk tanah, lalu bersabda:“Tidak ada seorangpun dari kalian melainkan telah dituliskan tempatnya dari neraka dan tempatnya dari surga”. Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa kita tidak bersandar atas takdir kita dan meninggalkan amal?”, beliau menajwab: “Beramallah kalian, karena setiap sesuatu dimudahkan atas apa yang telah diciptakan untuknya, siapa yang termasuk orang yang ditakdirkan bahagia, maka akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan penghuni surga, adapun siapa yang ditakdirkan termasuk dari dari orang yang ditkadirkan sengsara, maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan penghuni neraka”. Kemudian beliau membaca ayat:
 
{فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (5) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (6) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (7)} [الليل: 7]
 
Artinya: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa”. “Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)”. “Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. QS. Al Lail: 5-7.
 
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
 
وفي هذه الأحاديث النهي عن ترك العمل والاتكال على ما سبق به القدر بل تجب الأعمال والتكاليف التي ورد الشرع بها وكل ميسر لما خلق له لا يقدر على غيره.
 
Artinya: “Di dalam hadits-hadits ini terdapat larangan untuk meninggalkan amal dan bersandar dengan apa yang telah ditakdirkan, akan tetapi wajib beramal dan mengerjakan beban yang disebutkan oleh syariat, dan setiap sesuatu dimudahkan untuk apa yang telah diciptakan untuknya, yang tidak ditakdirkan atas selainnya”. Lihat kitab Al Minhaj, Syarah Shahih Muslim., 16/196.
 
2. Ketahuilah kehidupan dunia diciptakan Allah untuk suatu hikmah yaitu menguji siapa yang beriman dan tidak.
 
Allah Ta’ala berfirman: 
 
{الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ } [الملك: 2]
 
Artinya: “(Dia Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. QS. Al Mulk: 2.
 
Kehidupan dunia ini adalah lahan ujian, dimana Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan diutusnya para Rasul-Nya ‘alaihimussalam dan diturunkannya kitab-kitab-Nya, siapa yang beriman kepada para Rasul dan mengamalkan apa yang ada di dalam kitab-kitab tersebut, maka dia akan menjadi penghuni surga yang diliputi dengan kebahagiaan dan siapa yang tidak beriman kepada para Rasul‘alaihimussalam, lalu akhirnya tidak mengerjakan apa yang ada di dalam kitab-kitab tersebut maka dia akan menjadi penghuni neraka dengan segala macam kesengsaraan di dalamnya.
 
Sebagian manusia sering bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan di atas dan tidak bertanya tentang rezeki yang berbeda-beda, padahal permasalahan di atas dan permasalahan rezeki satu sisi yang sama, yaitu hal ini adalah sesuatu yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh para makhluk dan hanya Allah yang mengetahui apa yang akan terjadi.
 
Maka wajib bagi kita untuk yakin dengan hikmah dan keadilan Allah Ta’ala, yaitu bahwa Dia tidak akan menyiksa seseorang tanpa dosa yang berhak atasnya untuk disiksa, itupun Allah telah memaafkan dari kebanyakan kesalahan kita.
 
Dan prinsipnya, adalah kita harus menerima terhadap perkara yang telah ditetapkan oleh Allah, baik yang bisa dirasiokan oleh akal kita atau tidak bisa, karena pemahaman kita yang sangat pendek, dan kelemahan serta kekurangan ada pada kita, bukan pada hikmah Allah Ta’ala, bahkan Allah Maha Suci tidak boleh ditanya apa yang Dia perbuat.
 
Allah Ta’ala berfirman:
 
{لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ} [الأنبياء: 23]
 
Artinya: “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai”. QS. Al Anbiya’: 23.
  
3. Jangan terlalu banyak bertanya dan menyibukkan diri dengan sejenis pertanyaan ini.
 
Jangan menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, karena akan sangat berpengaruh buruk kepada keimanannya sedikit-semi sedikit, perlahan-lahan.
 
Tetapi, yang harus kita imani adalah bahwa Allah telah:
1. Mengetahui seluruh takdir makhluk dengan ilmunya
2. Menuliskan takdir seluruh makhluk
3. Menghendaki seluruh yang terjadi
4. Menciptakan apapun yang terjadi.
 
Inilah yang diwajibkan atas seorang muslim mengimaninya.
 
Adapun hal yang dibelakang ini, sebagaimana yang disebut oleh sebagian ulama “Sirrul Qadar” (rahasia takdir), maka tidak boleh terlalu membebani diri dalam pencariannya, inilah maksud dari perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika seseorang bertanya kepada beliau tentang takdir:
 
عبد الملك بن هارون بن عنترة ، عن أبيه ، عن جده قال : أتى رجل علي بن أبي طالب رضي الله عنه فقال : أخبرني عن القدر ، ؟ قال : « طريق مظلم ، فلا تسلكه» قال : أخبرني عن القدر ؟ قال : بحر عميق فلا تلجه « قال : أخبرني عن القدر ؟ قال : » سر الله فلا تكلفه
 
Abdul Malik bin harun bin ‘Antharah mendapatkan riwayat dari bapaknya dari kakeknya, beliau berkata: “Seseorang mendatangi Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, lalu bertanya: “Beritahukan kepadaku tentang takdir?”, beliau menjawab: “Jalan yang gelap janganlah engkau jalani”, orang ini mengulangi pertanyaannya, dijawab oleh beliau: “Laut yang dalam maka janganlah engkau menyelam ke dalamnya”, orang ini mengulangi pertanyaannya, beliau menjawab: “Rahasia Allah  maka jangan engkau membebani dirimu”.  Lihat kitab Asy Syari’ah, karya Al Ajurry, 1/476. 

===========================================

Sesungguhnya, seorang anak Adam, telah ditentukan oleh Allah, akan dimasukkan ke Surgaatau Neraka jauh sebelum mereka dilahirkan, sebagaimana terdapat dalam hadits,
Allah menciptakan Adam, lalu ditepuk pundak kanannya kemudian keluarlah keturunan yang putih, mereka seperti susu. Kemudian ditepuk pundak yang kirinya lalu keluarlah keturunan yang hitam, mereka seperti arang.. Allah berfriman, ‘Mereka (yang seperti susu -pen) akan masuk ke dalam surga sedangkan Aku tidak peduli dan mereka (yang seperti arang-pen) akan masuk ke neraka sedangkan Aku tidak peduli.'” (Shahih; HR. Ahmad, ath-Thabrani dallam Al-Mu’jamul Kabir dan Ibnu Asakir, lihat Shahihul Jami’ no: 3233)
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdan beliau sedang membawa tongkat sambil digores-goreskan ke tanah seraya bersabda,
‘Tidak ada seorang pun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di neraka atau pun surga.’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Setelah mengetahui bahwa seseorang telah ditentukan akan dimasukkan ke surga atau neraka, tentu akan timbul pertanyaan dan kesimpulan berdasarkan akal logika manusia yang lemah, “Kalau begitu buat apa kita beramal. Nanti udah capek-capek ibadah ternyata masuk neraka” atau perkataan semisal itu.
Pertanyaan semisal ini pun banyak ditanyakan oleh para sahabat di berbagai kesempatan. Salah satunya adalah pertanyaan seorang sahabat ketika mendengar pernyataan Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam‘Tidak ada seorang pun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di neraka atau pun surga.’
Maka para sahabat bertanya, ‘”Wahai Rasulullah, kalau begitu apakah kami tinggalkan amal shalih dan bersandar dengan apa yang telah dituliskan untuk kami (ittikal)?”‘ (maksudnya pasrah saja tidak melakukan suatu usaha – pen)
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ .ثُمَّ قَرَأَ ( فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ). الآية
Beramallah kalian! Sebab semuanya telah dimudahkan terhadap apa yang diciptakan untuknya. Adapun orang-orang yang bahagia, maka mereka akan mudah untuk mengamalkan amalan yang menyebabkan menjadi orang bahagia. Dan mereka yang celaka, akan mudah mengamalkan amalan yang menyebabkannya menjadi orang yang celaka” Kemudian Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah, “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (HR. Bukhari, kitab at-Tafsirdan Muslim, kitab al-Qadar)
Contoh lain adalah ketika sahabat Umar bin Khaththab bertanya kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
وسأله عمر هل نعمل في شئ نستأنفه ام في شئ قد فرغ منه قال بل في شئ قد فرغ منه قال ففيم العمل قال يا عمر لا يدرك ذلك إلا بالعمل قال إذا نجتهد يا رسول الله
Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Umar: Apakah amal yang kita lakukan itu kita sendiri yang memulai (belum ditakdirkan) ataukah amal yang sudah selesai ditentukan takdirnya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bahkan amal itu telah selesai ditentukan taqdirnya.”
Umar: Jika demikian, untuk apa amal?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Umar, orang tidak tahu hal itu, kecuali setelah beramal.”
Umar: Jika demikian, kami akan bersungguh-sungguh, wahai Rasulullah!
(Riwayat ini disebutkan oleh al-Bazzar dalam Musnadnya no. 168 dan Penulis Kanzul Ummal, no. 1583).
Sementara apa yang dilakukan sebagian orang dengan alasan ketetapan tersebut, kemudian mereka pasrah bahkan kemudian bermudah-mudah, bahkan melegalkan perbuatan maksiat maka hal ini tidak dibenarkan. Mereka yang melakukan ini beranggapan, bahwa mereka berbuat maksiat tersebut karena sudah ditetapkan, karena itu mereka tidak berdosa. Sungguh pendapat ini sangat jauh dari kebenaran.
Untuk menjawab kerancuan ini, bahwa seseorang ketika melakukan sesuatu, dia dihadapkan pada pilihan; melakukannya ataukah membatalkannya. Sementara saat menghadapi pilihan tersebut, ia tidak tahu apakah ia ditakdirkan melakukan kemaksiatan ataukah ketaatan. Kemudian, ketika ia memilih melakukan kemaksiatan, itu merupakan pilihannya namun keduanya terjadi berdasarkan takdir dari Allah. Lain halnya dengan orang yang dipaksa melakukan pelanggaran, ia tidak dihukum disebabkan melakukan pelanggaran tersebut, karena ia dipaksa melakukannya, bukan berdasarkan pilihannya sendiri.
Jawaban lain bagi orang yang menjadikan takdir Allah sebagai pembenaran maksiat yang dilakukannya adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh syaikh Utsaimin, bahwa ketika terjadi kasus semacam ini, kita katakan kepadanya, “Engkau menyatakan bahwa Allah telah mentakdirkanmu untuk melakukan maksiat sehingga engkau melakukannya, mengapa engkau tidak menyatakan sebaliknya, bahwa Allah mentakdirkanmu untuk melakukan ketaatan, sehingga engkau mentaati-Nya, sebab perkara takdir adalah perkara yang sangat rahasia, tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah ta’ala saja. Kita tidak tahu apa yang Allah tetapkan dan takdirkan itu melainkan setelah kejadiannya. Mengapa tidak engkau hentikan saja kemaksiatan itu, lalu engkau melakukan yang sebaliknya (ketaatan) dan setelah itu engkau katakan bawah hal ini aku lakukan dengan sebab takdir Allah.” (Syarah Hadits Arba’in)
Ini sebagaimana seseorang yang lapar, tentu orang itu tidak akan diam saja agar kenyang. Tetapi ia akan berusaha untuk menghilangkan rasa laparnya itu dengan makan. Tidak mungkin ia menunggu saja hanya karena ia yakin sudah ditakdirkan akan kenyang. Demikianlah, karena seseorang tidak tahu apakah yang akan terjadi atau yang telah ditetapkan untuknya. Namun orang tersebut tentu tahu, agar kenyang atau hilang rasa laparnya ia harus makan. Demikian pula seorang mukmin, ia tahu bahwa untuk masuk surga maka ia harus berbuat ketaatan kepada Allah.
Wallahu a’lam bi showab
Ummu Ziyad
Maraji’:
  • Syarah Hadits Arba’in, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Pustaka Ibnu Katsir
  • Fatawa Rasulullah, Anda Bertanya Rasulullah Menjawab, Ibnul Qayyim,Tahqiq dan Ta’liq Syaikh Qasim ar-Rifa’i, Pustaka As-Sunnah
  • Shahih Ensiklopedi Hadits Qudsi, Syaikh Nashiruddin al-Albani, Duta Ilmu
  • Tamasya ke Surga, Ibnu Qayyim, Pustaka Arafah

1 comments: