Sunday, November 16, 2014

Iman Kepada Kitab Allah

Diturunkannya kitab suci termasuk dari rahmat Allah kepada para hamba-Nya bahkan dia termasuk nikmat yang terbesar di samping nikmat diutusnya para rasul. Hal itu karena akal-akal manusia itu terbatas sehingga mereka tidak akan mungkin bisa mengetahui secara terperinci semua perkara yang bermanfaat dan yang mengandung mudharat, walaupun mereka mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang mudharat secara global. Ditambah lagi, yang mendominasi pada akal-akal manusia adalah syahwat dan cenderung kepada hal-hal yang tidak berguna. Karenanya seandainya kehidupan manusia hanya disandarkan kepada akal-akal mereka yang penuh dengan kekurangan dan keterbatasan itu, niscaya mereka akan tersesat dan akan kelelahan dalam mencari jalan yang benar yang tidak akan bisa mereka temukan jika hanya bersandarkan pada akal.
Karenanya hikmah dan rahmat Allah Ta’ala mengharuskan diturunkannya kitab-kitab suci ini kepada para rasul agar mereka menjelaskan kepada manusia isi kitab suci tersebut berupa akidah, amalan, hukum, serta semua perkara yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman tatkala menurunkan Adam ke bumi, “Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 38) dan juga Allah berfirman, “Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-A’raf: 35)
Adapun definisi dari kitab, maka kitab secara bahasa bermakna maktub (yang ditulis). Sementara yang dimaksudkan di sini adalah kitab yang Ta’ala turunkan kepada para rasul-Nya sebagai rahmat dan pemberi hidayah bagi segenap makhluk, yang dengannya mereka bisa meraih kebahagiaan hidup mereka di dunia dan di akhirat. Ada beberapa kitab suci yang turun kepada manusia dan dikabarkan namanya oleh Allah Ta’ala yaitu:
1.    Al-Qur`an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad -alaihishshalatu wassalam-.
2.    Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa -alaihissalam-.
3.    Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa -alaihissalam-.
4.    Zabur yang diberikan kepada Nabi Daud -alaihissalam-.
5.    Suhuf (lembaran-lembaran) yang diberikan kepada Nabi Ibrahim -alaihissalam-..
6.    Suhuf yang diberikan kepada Nabi Musa -alaihissalam-, menurut pendapat yang membedakan antara taurat dengan suhuf Musa.
Beriman kepada kitab-kitab Allah mengandung empat perkara:
1.    Mengimani bahwa semua kitab suci tersebut diturunkan oleh Allah Ta’ala.
Hal itu karena semua kitab-kitab suci tersebut adalah kalam Allah dan difirmankan langsung oleh Allah Ta’ala. Karenanya sebagaimana Al-Qur`an, kitab-kitab suci sebelumnya juga merupakan sifat Allah dan bukan makhluk.
Banyak dalil yang menunjukkan hal ini, di antaranya adalah ayat-ayat yang menyebutkan bahwa kitab-kitab ini diturunkan oleh Allah dan ini juga sekaligus menunjukkan bahwa Allah berada di atas langit karena yang menurunkan sesuatu pasti berada di atas, bukan dimana-mana. Di antara ayat tersebut  adalah, “Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan.” (QS. Ali Imran: 3-4)
Karenanya semua dalil yang menunjukkan bahwa Al-Qur`an diturunkan dari Allah, maka itu juga dalil yang menunjukkan kalau Allah berada di atas langit.
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud mengimani semua kitab suci di sini adalah mengimani asal dari kitab suci tersebut, yakni asalnya ketika dia diturunkan oleh Allah. Adapun setelah sebuah kitab suci telah dirusak, dirubah, dan diganti oleh para pemiliknya -sebagaimana yang terjadi pada taurat dan injil-, maka kita tidak boleh meyakini kalau kitab suci yang ada pada sekarang berasal dari Allah karena mereka telah mengadakan perubahan di dalam kitab suci mereka. Jadi, yang kita imani adalah asal kitab suci tersebut ketika baru diturunkan oleh Allah dan belum mengalami perubahan, kita imani bahwa dia berasal dari Allah Ta’ala.
2.     Mengimani kitab-kitab yang kita ketahui namanya secara rinci, yaitu keenam kitab yang tersebut di atas. Adapun yang tidak kita ketahui namanya maka kita tetap mengimani adanya secara global walaupun kita tidak mengetahui namanya, karena Allah Ta’ala masih mempunyai banyak kitab suci lainnya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.
3.    Membenarkan pengabaran semua kitab suci selama kabar itu memang betul bersumber darinya. Misalnya semua pengabaran Al-Qur`an serta kabar-kabar dari kitab suci terdahulu jika bisa dipastikan kalau dia bukan termasuk buatan orang-orang Yahudi dan Nashrani, dan masih merupakan isi asli dari kitab suci tersebut sebelum dirubah oleh para pemeluknya.
Kabar-kabar yang berasal dari kitab suci sebelum Al-Qur`an terkadang diceritakan langsung oleh Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- sebagaimana dalam beberapa hadits, dan terkadang dinukil oleh para sahabat dari sebagian ahli kitab yang kemudian dia masuk Islam, seperti Ka’ab Al-Ahbar. Dan kabar-kabar dari kitab suci sebelumya dikenal dengan istilah ‘israiliyat’, yakni: Kisah-kisah yang berisi kisah Bani Israil.
Adapun hukum dari kisah-kisah Israiliyat, maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- menyebutkan rinciannya dalam Muqaddimah At-Tafsir. Yang kesimpulannya sebagai berikut:
Hadits-hadits israiliyat ada tiga jenis:
Yang pertama adalah: Apa yang kita ketahui kebenarannya berdasarkan dalil yang ada dalam syariat kita yang menyatakan kebenarannya, maka hadits itu juga benar. Misalnya yang dikabarkan sendiri oleh Nabi -alaihishshalatu wassalam-.
Yang kedua adalah: Apa yang kita ketahui kedustaannya berdasarkan syariat yang ada pada kita, maka ini tidak boleh kita benarkan. Misalnya kisah-kisah yang mengandung perendahan kepada para malaikat dan para nabi.
Yang ketiga adalah: Apa yang tidak dikomentari oleh syariat kita, bukan dari jenis yang pertama dan bukan pula dari jenis yang kedua. Maka jenis ketiga ini kita tidak boleh membenarkannya dan tidak juga mendustakannya, akan tetapi boleh menceritakannya berdasarkan hadits:
حَدِّثْ عَنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ وَلاَ حَرَجَ
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat, berceritalah dari Bani Israil dan tidak ada masalah.” (HR. Al-Bukhari no. 3461 dari Abdullah bin Amr)
Dan kebanyakan hadits jenis yang ketiga ini hanya berisi hal-hal yang tidak ada manfaatnya dalam hal keagamaan, misalnya apa warna anjing ashabul kahfi, tongkat Nabi Musa terbuat dari kayu apa, dan semacamnya.
4.    Mengamalkan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an selama tidak dimansukh oleh ayat yang lainnya, serta ridha dan menerima semua hukum tersebut baik kita ketahui hikmahnya maupun tidak kita ketahui.
Adapun syariat yang terdapat dalam semua kitab suci sebelumnya, maka semua hukumnya terhapus dengan datangnya Al-Qur`an. Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan sebagai muhaimin terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (QS. Al-Maidah: 48)
Makna muhaimin adalah pemberi hukum terhadapnya, yakni: Al Quran adalah tolak ukur untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya. Karenanya tidak boleh mengamalkan hukum apa saja yang terdapat dalam kitab suci sebelum Al-Qur`an kecuali hukum yang disetujui oleh Al-Qur`an.
Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin -rahimahullah- dalam Syarah hadits Jibril dalam Al-Arba’un An-Nawawiah, beliau memberikan rincian mengenai hukum mengamalkan syariat sebelum Islam sebagai berikut:
1.    Jika syariat tersebut dibenarkan dan didukung oleh Al-Qur`an maka wajib untuk diamalkan karena itu merupakan syariat Islam. Misalnya syariat tauhid, larangan membunuh dan berzina, wajibnya beriman kepada para nabi, dan semacamnya.
2.    Jika dia bertentangan dengan syariat Islam maka wajib untuk ditolak dan tidak boleh diamalkan walaupun kita tetap meyakini itu merupakan syariat Allah dahulu yang kemudian dimansukh dengan Al-Qur`an. Misalnya cara taubat di zaman Nabi Musa adalah dengan  bunuh diri, tidak adanya syariat qishah pada pembunuh di syariat Nabi Isa, dan semacamnya yang tidak sejalan dengan syariat Islam.
3.    Syariat yang tidak didukung oleh Al-Qur`an tapi juga tidak diingkari. Maka dalam hal ini ada khilaf di kalangan ulama, dan yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin adalah bahwa itu juga merupakan syariat Islam yang hendaknya kita amalkan, dengan dalil firman Allah Ta’ala, “Kemudian kami mewahyukan kepadamu agar kamu mengikuti agama Ibrahim yang hanif, dan dia tidak termasuk orang-orang musyrik.”
Beliau memberikan contoh dengan syariat khitan, yang mana para ulama berdalil akan disyariatkannya dengan amalan Nabi Musa yang mengkhitan dirinya.
Maka wajib untuk mengamalkan seluruh kandungan Al-Qur`an yang tidak mansukh dan wajib untuk menjadikannya sebagai hakim (pemutus perkara) pada semua urusan kehidupan manusia.  Sungguh Allah telah menetapkan perbuatan berhukum dengan selain hukum Allah sebagai perbuatan berhukum kepada taghut dalam firman-Nya,“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa`: 60) Karenanya barangsiapa yang meyakini hukum selain Allah lebih baik atau sama dengan hukum Allah atau meyakini bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah maka dia kafir berdasarkan ijma’ ulama. Adapun yang berhukum dengan selain hukum Allah tapi tetap meyakini hukum Allah lebih baik dan tidak boleh berhukum dengan selain hukum Allah, dan dia meyakini dirinya berdosa hanya saja dia berhukum dengannya karena hawa nafsu maka dia tidaklah kafir tapi melakukan dosa yang sangat besar. Demikian kesimpulan rincian dalam masalah ini, bagi yang ingin pembahasan lebih lengkap silakan merujuk kesini mengenai penjelasan batilnya tauhid hakimiah.
Kemudian, dalam keimanan kepada kitab-kitab Allah, manusia terbagi menjadi tiga kelompok:
a.    Sekelompok mendustakan semua kitab-kitab Allah. Mereka adalah musuh dari para rasul dari kalangan orang-orang kafir dan kaum musyrikin.
b.    Sekelompok lain beriman kepada seluruh kitab-kitab Allah. Mereka adalah kaum mukminin yang mengimani seluruh rasul serta kitab yang mereka bawa. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka,“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (QS. Al-Baqarah: 285)
c.    Sekelompok lain beriman kepada sebagian kitab dan mengingkari sebagian kitab lainnya. Mereka ini adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani dan yang menyerupai mereka. Kelompok yang ketiga ini juga kafir, karena mengingkari sebagian kitab sama saja mengingkari seluruhnya. Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 85)
Beriman kepada kitab-kitab Allah melahirkan banyak manfaat di antaranya:
1.    Mengetahui besarnya perhatian Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya, tatkala Dia menurunkan kitab tersendiri untuk setiap kaum guna memberikan hidayah kepada mereka.
2.    Mengetahui hikmah Allah Ta’ala dalam syariatnya tatkala Dia mensyariatkan kepada setiap kaum, syariat yang sesuai dengan keadaan dan kondisi mereka masing-masing. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Setiap umat di antara kalian kami jadikan untuknya syariat dan minhaj (jalan yang terang).” (QS. Al-Maidah: 48)
[Rujukan: Syarh Tsalah al-Ushul karya Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin hal. 94-95 dan Al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad karya Syaikh Al-Fauzan hal. 173-176]