Friday, August 22, 2014

Hukum Orang Yang Mengucapkan “Laa ilaaha illallah” Sebelum Wafat

Tidak setiap yang mengucapkannya bisa mengambil manfaat dari kalimat tersebut. Syaikh Abdurrazaq Al Abbad menyatakan, “kalimat Laa ilaaha illallah tidaklah diterima dari orang yang mengucapkannya kecuali ia menunaikan haknya dan kewajibannya serta memenuhi syarat-syarat yang dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah”.

Maka hadits,

من قال لا إله إلا اللهُ دخل الجنَّةَ

“barangsiapa yang mengatakan Laa ilaaha illallah pasti masuk surga”

maksudnya yaitu yang mengatakan “Laa ilaaha illallah” dengan memenuhi syarat-syaratnya. Sebagaimana riwayat yang dibawakan Syaikh Abdurrazaq, bahwa Al Hasan Al Bashri rahimahullah, ketika ia ditanya: “orang-orang mengatakan bahwa barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah pasti akan masuk surga”. Al Hasan berkata:

من قال « لا إله إلا الله » فأدَّى حقها وفرضها دخل الجنة

“barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah, lalu menunaikan hak dan kewajibannya (konsekuensinya), pasti akan masuk surga“.

Oleh karena itu pula, keadaan orang yang mengucapkan “Laa ilaaha illallah” sebelum ia wafat, terdapat rincian. Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi menjelaskan rincian tersebut:
Jika ia mengucapkannya ketika ruh sudah sampai kerongkongan maka, ucapan “Laa ilaaha illallah” tidak bermanfaat baginya. Contohnya, Fir’aun.
Jika ia mengucapkannya sebelum ruh sampai kerongkongan, namun tanpa membenarkannya, tanpa mengimaninya, tanpa mentauhidkan Allah maka ucapan “Laa ilaaha illallah” tidak bermanfaat baginya.
Jika ia mengucapkannya sebelum ruh sampai kerongkongan, disertai dengan membenarkannya, mengimaninya, dan mentauhidkan Allah maka ucapan “Laa ilaaha illallah” bermanfaat baginya. Namun ini jika ia mengatakannya tanpa membawa suatu keyakinan/perbuatan kufur. Jika ia mengucapkan “Laa ilaaha illallah” namun belum bertaubat dari suatu keyakinan/perbuatan kufur maka ucapan tersebut tidak bermanfaat baginya sampai ia beriman, atau menetapkan atau bertaubat dari makar kekufuran yang ia lakukan. Misalnya ia harus menetapkan ushul-ushul iman yang pernah ia ingkari, atau keyakinan seputar kenabian atau keyakinan perihal takdir yang pernah ia ingkari, atau ia harus bertaubat dari perbuatan berdoa kepada selain Allah atau menyembelih untuk selain Allah, atau menghalalkan yang Allah haramkan, atau tidak mau mengakui wajibnya suatu hal yang termasuk perkara ma’lum minad din bid dharurah.
Jika ia mengucapkannya disertai dengan taubat dari kesyirikan dan dari semua maksiat, maka ia masuk surga secara langsung. Sebagaimana hadits shahibul bithaqah, yang ucapan “Laa ilaaha illallah” lebih berat dari 99 catatan amal keburukannya.
Jika ia mengucapkannya disertai dengan taubat dari kesyirikan namun dengan membawa dosa maksiat yang bukan kesyirikan, dan belum bertaubat darinya, maka ia tahta masyi’atillah (tergantung pada kehendak Allah). Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. An Nisa: 48)