Thursday, April 3, 2014

Tawakal Dan Usaha Bertentangan?

Syariat Islam yang agung sangat menganjurkan kaum Muslimin untuk melakukan usaha halal yang bermanfaat untuk kehidupan mereka. Disamping itu, Islam juga tetap menekankan kewajiban utama untuk selalu bertawakal (bersandar atau berserah diri) dan meminta pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla dalam semua usaha yang mereka lakukan.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allâh, dan ingatlah Allâh banyak-banyak supaya kamu beruntung [al-Jumu’ah/62:10]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakAllâh kepada Allâh, sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya) [Ali ‘Imrân/3:159]

Dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

Orang mukmin yang kuat (dalam iman dan tekadnya) lebih baik dan lebih dicintai oleh Allâh daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing (dari keduanya) memiliki kebaikan, bersemangatlah (melakukan) hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah (selalu) pertolongan kepada Allâh, serta janganlah (bersikap) lemah…”[1] .

MAKNA TAWAKAL YANG HAKIKI
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahim ahullah mengatakan, “Tawakal yang hakiki adalah penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allâh Azza wa Jalla dalam meraih berbagai kemaslahatan (kebaikan) dan menghindari semua bahaya, dalam semua urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepadanya dan benar-benar meyakini bahwa tidak ada yang dapat memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allâh (semata).”[2]

Tawakal adalah termasuk amal yang agung dan kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam, bahkan kesempurnaan iman dan tauhid dalam semua jenisnya tidak akan dicapai kecuali dengan menyempurnakan tawakal kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla berfirman :

رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا

(Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib (wilayah barat), tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung [al-Muzzammil/73:9] [3]

Merealisasikan tawakal yang hakiki adalah sebab utama turunnya pertolongan dari Allâh Azza wa Jalla bagi seorang hamba dengan Dia mencukupi semua keperluan dan urusannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan memberikan baginya jalan ke luar (bagi semua urusannya). Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allâh niscaya Allâh akan mencukupkan (segala keperluan)nya” [ath-Thalâq/65:2-3]

Artinya: Barangsiapa yang percaya kepada Allâh Azza wa Jalla dalam menyerahkan (semua) urusan kepada-Nya maka Dia akan mencukupi (segala) keperluannya.[4]

Salah seorang Ulama salaf berkata, “Cukuplah bagimu untuk melakukan tawassul (sebab yang disyariatkan untuk mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla adalah dengan Dia mengetahui (adanya) tawakal yang benar kepada-Nya dalam hatimu. Berapa banyak hamba-Nya yang memasrahkan urusannya kepada-Nya, maka Diapun mencukupi (semua) keperluan hamba tersebut”. Kemudian Ulama ini membaca ayat tersebut di atas.[5]

USAHA YANG HALAL TIDAK BERTENTANGAN DENGAN TAWAKAL
Di sisi lain, agama Islam sangat menganjurkan dan menekankan keutamaan berusaha mencari rezki yang halal untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menyebutkan keutamaan ini dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ

Sungguh sebaik-baik rizki yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari usahanya sendiri (yang halal)” [6]

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersungguh-sungguh mencari usaha yang halal dan bahwa usaha yang paling utama adalah usaha yang dilakukan seseorang dengan tangannya sendiri.

Berdasarkan ini semua, maka merealisasikan tawakal yang hakiki sama sekali tidak bertentangan dengan usaha mencari rezki yang halal. Bahkan ketidakmauan melakukan usaha yang halal merupakan pelanggaran terhadap syariat Allâh Azza wa Jalla , yang menyebabkan rusaknya tawakal seseorang kepada Allâh Azza wa Jalla .

Oleh karena itulah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kesempurnaan tawakal yang tidak mungkin lepas dari usaha melakukan sebab yang halal, dalam sabda beliau :

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Seandainya kalian bertawakal pada Allâh dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang”[8] .

Imam al-Munawi rahimahullah ketika menjelaskan makna hadits ini, mengatakan, “Artinya: burung itu pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu petang dalam keadaan perutnya telah penuh (kenyang). Namun, usaha (sebab) yang dilakukan ini bukanlah yang mendatangkan rezki (dengan sendirinya), karena yang melimpahkan rezki adalah Allâh Azza wa Jalla (semata).

Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa tawakal (yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk mendapatkan rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan rezki).

Oleh karena itu, Imam Ahmad (ketika mengomentari hadits ini) berkata, “Hadits ini tidak menunjukkan larangan melakukan usaha (sebab), bahkan (sebaliknya) menunjukkan (kewajiban) mencari rezki (yang halal). Karena makna hadits ini adalah kalau manusia bertawakal kepada Allâh Azza wa Jalla ketika mereka pergi (untuk mencari rezki), ketika kembali, dan ketika mereka mengerjakan semua aktifitas mereka, dengan mereka meyakini bahwa semua kebaikan ada di tangan-Nya, maka pasti mereka akan kembali dalam keadaan selamat dan mendapatkan limpahan rezki (dari-Nya), sebagaimana keadaan burung.” [9]

Imam Ibnu Rajab rahimahullah memaparkan hal ini secara lebih jelas dalam ucapannya, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya merealisasikan tawakal tidaklah bertentangan dengan usaha untuk (melakukan) sebab yang dengannya Allâh Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan ketentuan-ketentuan (di alam semesta). Dan (ini merupakan) ketetapan-Nya yang berlaku pada semua makhluk-Nya. Karena Allâh Azza wa Jalla memerintahkan (kepada manusia) untuk melakukan sebab (usaha) sebagaimana Dia memerintahkan untuk bertawakal (kepada-Nya). Maka usaha untuk melakukan sebab (yang halal) dengan anggota badan adalah (bentuk) ketaatan kepada-Nya, sebagaimana bertawakal kepada-Nya dengan hati adalah (perwujudan) iman kepada-Nya. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu [an-Nisâ’/4:71]

Dan firman-Nya :

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang [al-Anfâl/8:60]

Juga firman-Nya:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allâh, dan ingatlah Allâh banyak-banyak supaya kamu beruntung” [al-Jumu’ah/62:10] [10] .

Makna inilah yang diisyaratkan dalam ucapan Sahl bin Abdullah at-Tustari[11] , “Barangsiapa mencela tawakal maka berarti dia telah mencela (konsekwensi) iman. Dan barangsiapa mencela usaha untuk mencari rezki maka berarti dia telah mencela sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[12]

TAWAKAL YANG TERMASUK SYIRIK DAN YANG DIPERBOLEHKAN
Dalam hal ini juga perlu diingatkan bahwa tawakal adalah salah satu ibadah agung yang hanya boleh diperuntukkan bagi Allâh Azza wa Jalla semata, dan mamalingkannya kepada selain Allâh Azza wa Jalla adalah termasuk perbuatan syirik.

Oleh karena itu, dalam melakukan usaha hendaknya seorang Muslim tidak tergantung dan bersandar hatinya kepada usaha atau sebab tersebut, karena yang dapat memberikan manfaat, termasuk mendatangkan rezki, dan menolak bahaya adalah Allâh Azza wa Jalla semata, bukan usaha atau sebab yang dilakukan manusia, bagaimanapun tekun dan sunguh-sungguhnya dia melakukan usaha tersebut. Maka usaha yang dilakukan manusia tidak akan mendatangkan hasil kecuali dengan izin Allâh Azza wa Jalla .[13]

Dalam hal ini para Ulama menjelaskan bahwa termasuk perbuatan syirik besar (syirik yang dapat menyebabkan pelakuknya keluar dari Islam) adalah jika seorang bertawakal (bersandar dan bergantung hatinya) kepada selain Allâh Azza wa Jalla dalam suatu perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allâh Azza wa Jalla semata.

Adapun jika seorang bertawakal (bersandar dan bergantung hatinya) kepada makhluk dalam suatu perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk tersebut, seperti memberi atau mencegah gangguan, pengobatan dan sebagainya, maka ini termasuk syirik kecil (tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tapi merupakan dosa yang sangat besar), karena kuatnya ketergantungan hati pelakunya kepada selain Allâh Azza wa Jalla , dan juga karena perbuatan ini merupakan pengantar kepada syirik besar, na’uudzu bilahi min dzalik.

Sedangkan jika seorang melakukan usaha atau sebab tanpa hatinya tergantung kepada sebab tersebut serta dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata, dan Allâh-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, maka inilah yang diperbolehkan bahkan dianjurkan dalam Islam[14] .

PENUTUP
Tawakal yang sebenarnya kepada Allâh Azza wa Jalla akan menumbuhkan dalam hati seorang Mukmin perasaan ridha kepada segala ketentuan dan takdir Allâh Azza wa Jalla , yang ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[15] .

Semoga Allâh Azza wa Jalla memudahkan kita semua untuk mencapai kedudukan yang agung ini dan semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk memiliki sifat-sifat mulia dan terpuji dalam agama-Nya.

Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M.]
_______
Footnote
[1]. HSR Muslim (no. 2664).
[2]. Kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam (2/497).
[3]. Lihat kitab al-Irsyâd ila Shahîhil I’tiqâd (hlm. 59).
[4]. Kitab Fathul Qadîr (7/241).
[5]. Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam (2/497).
[6]. HR an-Nasa-i (no. 4452), Abu Dawud (no. 3528), at-Tirmidzi (no. 1358) dan al-Hakim (no. 2295), dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.
[7]. Lihat kitab ’Umdatul Qâri (11/185) dan Faidhul Qadîr (2/425).
[8]. HR Ahmad (1/30), at-Tirmidzi (no. 2344), Ibnu Majah (no. 4164), Ibnu Hibban (no. 730) dan al-Hakim (no. 7894), dinyatakan shahih oleh, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Albani.
[9]. Dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (7/7-8).
[10]. Kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam (2/498).
[11]. Beliau adalah ahli zuhud yang terkenal (wafat 283 H), biografi beliau dalam kitab Siyaru A’lâmin Nubalâ’ (13/330).
[12]. Dinukil oleh Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitab Hilyatul Auliyâ’ (10/195).
[13]. Lihat kitab al-Irsyâd ila Shahîhil I’tiqâd (hal. 58).
[14]. Lihat al-Irsyâd ila Shahîhil I’tiqâd (hlm. 57-58) dan at-Tamhîd li Syarhi Kitâbit Tauhîd (hlm. 375).
[15]. HSR Muslim (no. 34).