Bab : Riya
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa.” Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Qs. Al Kahfi: 110)
Penjelasan:
Oleh karena riya termasuk perkara yang dapat menodai tauhid seseorang dan menghapuskan amalnya, maka penyusun (Syaikh M. At Tamimi) mengingatkan masalah ini di kitab Tauhidnya.
Riya artinya beramal saleh dengan maksud mendapatkan pujian manusia.
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada manusia, bahwa dirinya adalah manusia sebagaimana mereka. Beliau tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan sama sekali dan tidak berhak disembah. Tugas Beliau hanyalah menyampaikan wahyu yang Allah berikan kepadanya. Di antara wahyu yang paling agung yang disampaikan kepada Beliau adalah bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah saja, dan bahwa Dia tidak boleh disekutukan. Demikian pula mengingatkan, bahwa kita semua akan kembali kepada-Nya pada hari Kiamat. Seorang yang menginginkan keselamatan dari azab Allah pada hari itu hendaknya beramal saleh; yaitu amal yang sesuai sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan janganlah menyekutukan Allah dalam beramal saleh seperti berbuat riya.
Kesimpulan:
1. Pokok agama adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah.
2. Riya termasuk syirik.
3. Syirik yang dilakukan kaum musyrik adalah syirik dalam beribadah.
4. Tidak boleh di samping beribadah kepada Allah, beribadah pula kepada selain-Nya.
**********
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu secara marfu (dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) Beliau bersabda,
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa yang beramal dengan menyertakan yang lain di samping-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya.” (Hr. Muslim)
**********
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim no. 2985, Ahmad 2/301, 435, Ibnu Majah no. 4202, dan Ibnu Khuzaimah no. 938.
Hadits di atas termasuk hadits qudsi, yaitu hadits yang lafaz dan maknanya dari Allah Ta’ala, namun tidak dipakai untuk beribadah, tidak seperti Al Qur’an.
Dalam hadits di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan berlepas dari amal yang dilakukan karena selain-Nya seperti karena riya.
Kesimpulan:
1. Peringatan terhadap perbuatan syirik dengan segala bentuknya.
2. Syirik menghalangi diterima amal.
3. Wajibnya mengikhlaskan amal karena Allah Ta’ala.
4. Menetapkan sifat ‘kaya’ dan ‘berbicara’ bagi Allah Ta’ala.
**********
Dari Abu Sa’id radhiyallahu anhu secara marfu (dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), Beliau bersabda,
"أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ؟ " قَالُوْا: بَلَى. قَالَ: "اَلشِّرْكُ الْخَفِيُّ، يَقُوْمُ الرَّجُلُ فَيُصَلِّي، فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ، لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ"
“Maukah aku beritahukan kepadamu sesuatu yang lebih kutakuti menimpa kalian daripada Al Masih Ad Dajjal?” Para sahabat menjawab, “Ya, mau.” Beliau menjawab, “Yaitu syirik yang tersembunyi. Seseorang berdiri shalat, lalu ia memperbagus shalatnya karena merasa diperhatikan orang lain.” (Diriwayatkan oleh Ahmad)
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan oleh Ibnu Majah no. 4204 dan Ahmad no. 11252. Al Albani dan Ahmad Syakir menghasankan hadits di atas, namun pentahqiq Musnad Ahmad menyatakan isnadnya dhaif karena kelemahan Katsir bin Ziyad Al Aslamiy dan Rubaih bin Abdurrahman. Al Buwshairi dalam Misbahuz Zujajah 3/296 berkata, “Ini adalah isnad yang hasan, Katsir bin Zaid dan Rubaih bin Abdurrahman diperselisihkan.” Menurut Usamah Al Utaibiy dalam tahqiqnya terhadap kitab Taisirul Azizil Hamid, bahwa hadits tersebut tidak turun dari derajat hasan.
Al Masih Ad Dajjal adalah seorang pembawa fitnah besar yang keluar di akhir zaman, sebagai salah satu tanda besar hari Kiamat. Matanya buta sebelah, dan di dahinya tertulis ‘ka fa ra’ (kafir) yang dapat dibaca oleh seorang muslim. Disebut Al Masih karena mata yang satunya buta, atau karena ia dapat berjalan dengan cepat di muka bumi, wallahu a’lam. Disebut Dajjal karena sebagai seorang pembohong besar, dan nantinya dia akan dibunuh oleh Nabi Isa alaihis salam setelah Beliau turun ke bumi.
Dajjal memiliki banyak pengikut karena keajaiban-keajaiban yang ditunjukkannya sebagai cobaan dari Allah Azza wa Jalla kepada umat manusia yang masih hidup di zaman itu. Di antara keajaibannya adalah ia dapat berjalan cepat seperti air hujan yang didorong angin, ia mengajak orang-orang untuk mengikuti ajakannya, lalu bagi orang-orang yang mau mengikutinya ia menyuruh langit untuk menurunkan hujan sehingga turunlah hujan, disuruhnya bumi menumbuhkan tanaman. maka tumbuhlah tanaman-tanaman, dan keajaiban-keajaiban lainnya yang ditunjukkan sehingga banyak yang percaya kepadanya.
Disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa keluarnya nanti selama 40 hari; di antara hari-hari itu, sehari bagaikan setahun, sehari bagaikan sebulan, dan sehari bagaikan sepekan, kemudian hari-hari lainnya seperti hari-hari biasanya.
Dalam hadits di atas diterangkan, bahwa saat para sahabat membicarakan tentang dajjal dan mereka takut terhadapnya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa ada perkara yang lebih berhak diwaspadai dan bahkan lebih Beliau takuti menimpa umat ini melebihi fitnah Al Masih Ad Dajjal, yaitu syirik yang tesembunyi, yakni syirik yang terkait niat dan tujuan yang tidak tampak oleh manusia, lalu Beliau menerangkan contohnya di hadits tersebut. Disebut syirik yang tersembunyi adalah karena pelakunya menampakkan bahwa amalnya dilakukan karena Allah, namun menyembunyikan di batinnya bahwa dirinya beramal karena selain-Nya.
Dalam hadits di atas terdapat peringatan terhadap riya dan contohnya. Demikian pula menunjukan sayangnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya.
Catatan:
- Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun syirik kecil, maka misalnya riya yang ringan (menimpa pada sebagian amal), berpura-pura di hadapan makhluk, bersumpah atas nama selain Allah, pernyataan seseorang ‘atas kehendak Allah dan kehendakmu’, ‘ini dari Allah dan darimu’, ‘aku tergantung kepada Allah dan kamu’, ‘tidak ada bagiku kecuali Allah dan kamu’, ‘aku bertawakkal kepada Allah dan kamu’, ‘kalau bukan karena Allah dan kamu’, ‘kalau bukan karena Allah dan kamu tentu tidak akan terjadi ini dan itu’. Ini semua bisa berubah menjadi syirik akbar sesuai keadaan orang yang mengucapkan dan niatnya.”
- Sebagian ulama menerangkan, bahwa amal yang dikerjakan karena selain Allah Ta’ala ada yang berupa riya murni seperti yang dilakukan kaum munafik, dan ada pula yang dilakukan karena Allah namun disertai riya. Jika disertai riya dari asal(awal)nya, maka nash-nash yang ada menunjukkan batilnya. Akan tetapi jika asalnya karena Allah, namun kedatangan riya, maka jika hanya terlintas lalu dilawan, maka hal itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap amalnya, namun jika terbawa oleh riya, maka dalam hal ini ada khilaf di antara ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa amalnya tidak bataltetapi pahalanya berkurang sesuai riya’ yang menyusupinya, wallahu a’lam.
- Jika suatu amal yang dasarnya ikhlas karena Allah namun disertai niat lain selain riya, misalnya jihad yang dilakukan karena Allah, kemudian ada keinginan pula memperoleh ghanimah, maka akan berkurang pahala jihadnya, wallahu a’lam.
- Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma berkata, “Jika seseorang di antara kamu telah berniat perang (karena Allah), lalu Allah karuniakan rezeki, maka tidak mengapa mengambilnya. Adapun jika salah seorang di antara kamu akan berperang jika diberi beberapa dirham, dan jika tidak diberi, maka dia tidak akan berperang, maka tidak ada kebaikan pada yang demikian itu.”
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan), Taisirul Azizil Hamid(Sulaiman bin Abdullah bin Abdul Wahhab), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.