Bab : Cinta Kepada Allah
Firman Allah Ta’ala,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Qs. Al Baqarah: 165)
**********
Penjelasan:
Oleh karena mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan pokok agama Islam. Ketika sikap ini sempurna, maka agama seseorang menjadi sempurna, dan ketika kecintaan kepada Allah berkurang, maka tauhid seseorang pun ikut berkurang, maka penyusun (Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah) mengingatkan hal tersebut dalam bab ini.
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan keadaan kaum musyrik di dunia dan balasan yang akan mereka peroleh di akhirat karena mereka mengadakan tandingan bagi Allah, serta menyamakan tandingan-tandingan itu dengan Allah dalam hal kecintaan dan pengagungan, bahwa jika mereka mengetahui kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya niscaya mereka akan menyesalterhadap sikap mereka itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menerangkan, bahwa kaum mukmin memurnikan kecintaan mereka kepada Allah sebagaimana mereka memurnikan ibadah mereka kepada-Nya.
Kesimpulan:
1. Barang siapa yang menjadikan tandingan bagi Allah, dimana ia mencintai tandingan itu seperti cinta kepada Allah, maka dia telah berbuat syirik besar.
2. Di antara kaum musyrik ada yang mencintai Allah dengan kecintaan yang dalam, namun kecintaan itu tidak bermanfaat baginya karena tidak memurnikan kecintaan kepada Allah.
3. Cinta terbagi dua: pertama, cinta yang menjadi ibadah, yaitu yang di dalamnya terdapat sikap tunduk dan menghinakan diri disertai cinta, dimana hati seseorang dipenuhi cinta dan pengagungan yang membuatnya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, maka hal ini tidak diperuntukkan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Kedua, cinta karena tabiat, seperti cinta terhadap makanan dan minuman serta berbagai kenikmatan, maka dalam hal ini harus sederhana dan tidak berlebihan, dan sebaik-baik cinta adalah ketika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla.
**********
Firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Qs. At Taubah: 24)
**********
Penjelasan:
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam mereka yang mencintai semua yang disebutkan itu, dan lebih mengutamakannya di atas cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, serta di atas mengerjakan amalan yang dicintai Allah dan diridhai-Nya seperti hijrah, jihad, dsb. Oleh karena itu, barang siapa yang mengaku cinta kepada Allah, namun ia lebih mengutamakan cinta kepada perkara-perkara yang disebutkan itu, maka pengakuan cintanya dusta, dan tinggallah ia menunggu akibatnya.
Dalam ayat di atas terdapat kewajiban mendahulukan cinta kepada Allah dan kepada apa-apa yang dicintai Allah di atas yang lain.
Kesimpulan:
1. Wajib mencintai Allah dan mencintai apa-apa yang dicintai-Nya.
2. Wajibnya mencintai Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
3. Ancaman kepada mereka yang lebih mencintai delapan macam itu daripada mencintai agamanya.
**********
Dari Anas radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, ayahnya, dan seluruh manusia.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan dalam Shahih Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44.
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberitahukan, bahwa seseorang tidak beriman secara sempurna yang membuat kewajiban imannya terlaksana dan membuatnya berhak masuk surga sampai mendahulukan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas manusia yang lain sekalipun orang yang terdekat dengannya. Hal itu, karena dengan sebab Beliau shallallahu alaihi wa sallam diperoleh kebahagiaan yang abadi dan selamat dari kesesatan.
Mencintai Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam menghendaki kita untuk menaati Beliau, mengikuti perintahnya, menjauhi larangannya, membenarkan sabdanya, beribadah kepada Allah sesuai contohnya, dan mendahulukan sabdanya di atas ucapan semua manusia.
Dalam hadits di atas juga terdapat dalil wajibnya mendahulukan kecintaan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam di atas semua manusia, dan bahwa keimanan seseorang tidak akan sempurnya tanpanya.
Kesimpulan:
1. Wajibnya mencintai Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam di atas manusia yang lain.
2. Amalan bagian dari iman, karena kecintaan merupakan amalan hati.
3. Keimanan yang sejati harus ada atsar (bekas) yang tampak bagi pemiliknya.
**********
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Anas ia berkata, “Rasulullah shallallahu alahi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga yang jika tiga hal tersebut ada pada dirinya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu jika Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya, jika dirinya mencintai orang lain karena Allah, dan benci kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan darinya sebagaimana keengganannya jika dicampakkan ke dalam api.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Seseorang tidak mendapatkan manisnya iman sebelum…dst.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas dalam Shahih Bukhari no. 16 dan Shahih Muslim no. 43.
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberitahukan, bahwa seorang muslim jika dalam dirinya terdapat tiga perkara, yaitu mendahulukan kecintaan kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam di atas kecintaan kepada yang lain seperti keluarga dan harta, mencintai orang lain karena iman dan ketaatannya kepada Allah, bukan karena maksud duniawi, serta benci kembali kepada kekafiran seperti keengganannya dicampakkan ke dalam api, maka ia akan merasakan manisnya iman; ketaatan menjadi nikmat baginya, dan dirinya siap menerima berbagai kesukaran agar memperoleh keridhaan Allah Azza wa Jalla.
Kesimpulan:
1. Keutamaan mendahulukan kecintaan kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam di atas yang lain.
2. Keutamaan cinta karena Allah.
3. Kaum mukmin cinta kepada Allah secara murni.
4. Barang siapa yang memiliki tiga hal tersebut di atas akan merasakan manisnya iman.
5. Disyariatkan membenci kekafiran dan orang-orang kafir.
**********
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Barang siapa yang mencintai seseorang karena Allah, membenci seseorang karena Allah, membela karena Allah, memusuhi karena Allah, maka sesungguhnya kecintaan dan pertolongan Allah itu diperoleh dengan hal tersebut, dan seorang hamba tidak akan merasakan lezatnya iman meskipun banyak shalat dan puasanya sampai keadaannya seperti itu. Namun pada umumnya persaudaraan manusia dibangun di atas kepentingan dunia, dan itu tidak berguna sedikit pun baginya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir)
Ibnu Abbas juga berkata tentang firman Allah Ta’ala,
وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأَسْبَابُ
“Dan putuslah hubungan di antara mereka.” (Qs. Al Baqarah: 166)
Yaitu hubungan kasih-sayang.
**********
Penjelasan:
Dalam atsar (riwayat sahabat) di atas Ibnu Abbas menjelaskan, bahwa sebab yang dapat mendatangkan kecintaan Allah Azza wa Jalla dan pertolongan-Nya adalah ketika mencintai wali-wali Allah dan membenci musuh-musuh-Nya, dan praktek nyatanya adalah dengan membela kaum mukmin dan memutus hubungan dengan musuh-musuh Allah dan berjihad terhadap mereka. Ia juga menerangkan, bahwa seseorang tidak akan merasakan manisnya iman jika tidak memiliki sifat itu meskipun banyak ibadah yang dilakukannya. Selanjutnya Ibnu Abbas menerangkan, bahwa keadaan telah berubah, ternyata manusia membangun kecintaan dan kebencian karena kepentingan dunia. Ia juga menerangkan, bahwa hubungan kasih sayang yang dibangun di atas hal itu nanti pada hari Kiamat akan terputus dan satu sama lain akan berlepas diri, disebabkan tidak didasari karena Allah Azza wa Jalla.
Kesimpulan:
1. Sebab untuk meraih kecintaan Allah dan pertolongan-Nya.
2. Menyifati Allah dengan sifat cinta yang sesuai dengan keagungan-Nya.
3. Keutamaan cinta karena Allah dan benci karena Allah.
4. Disyariatkan menolong dan membela kaum mukmin.
5. Disyariatkan membenci kaum kafir dan berjihad terhadap mereka.
6. Buah dari cinta karena Allah dan benci karena-Nya, yaitu merasakan manisnya iman.
7. Tercelanya cinta dan benci karena kepentingan dunia, dan akibatnya.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, Aisarut Tafasir (Abu Bakr Al Jazairiy), Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), dll.