TAUHID AR-RUBUBIYAH[1]
TAUHID AR-RUBUBIYAH MENGHARUSKAN TAUHID AL-ULUHIYAH[2]
Barangsiapa mengakui Allâh Azza wa Jalla sebagai Penciptanya, Pemiliknya, Pemberi rezeki kepadanya, Pemberi berbagai kenikmatan kepadanya yang tidak terhitung kepadanya, yang terus menerus dalam semua waktu dan keadaan, sejak ia belum dilahirkan sampai meninggal dunia, dan juga mengakui bahwa Allâh sebagai Pengatur segala urusannya, maka pengakuan tersebut menuntutnya bersyukur (berterima kasih) kepada-Nya. Besyukur dengan cara beribadah kepada-Nya, mentaati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dia tidak boleh menyekutukan siapapun dari makhluk-Nya dalam beribadah kepada-Nya.[3]
Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla mencela orang-orang musyrik yang mengakui tauhid Rubûbiyah, tetapi mereka tetap menyekutukan Allâh dalam ibadah mereka, dengan mempersembahkan sebagian jenis ibadah kepada selain Allâh k misalnya doa, menyembelih hewan, dan ibadah lainnya kepada patung atau sesembahan mereka yang lainnya. Ayat-ayat tentang ini banyak sekali, antara lain:
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٨٤﴾ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Katakanlah, “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allâh.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak ingat?”
[Al-Mukminûn/23: 84-85]
Perhatikan celaan Allâh Azza wa Jalla kepada mereka dengan kalimat-Nya, “Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak ingat?”
Juga firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ﴿٨٦﴾ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah, “Siapakah Rabb (pemilik) langit yang tujuh dan ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allâh.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” [Al-Mukminûn/23: 86-87]
Perhatikan celaan Allâh kepada mereka dengan kalimatNya, “Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”
Juga firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٨٨﴾ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ فَأَنَّىٰ تُسْحَرُونَ
Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?”
Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allâh.” Katakanlah, “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” [Al-Mukminûn/23: 88-89]
Perhatikan celaan Allâh Azza wa Jalla kepada mereka dengan kalimatNya, “Katakanlah, “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?”
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿٢١﴾ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai manusia! Beribadahlah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh, padahal kamu mengetahui. [Al-Baqarah/2: 21-22]
Pada ayat ke-21, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beribadah kepada-Nya, dan ini adalah perintah pertama dalam al-Qur’an.[4] Kemudian Allâh Azza wa Jalla menyebutkan alasan yang menyebabkan seluruh manusia wajib beribadah hanya kepada-Nya semata. Yaitu karena Allâh Azza wa Jalla merupakan Pemberi berbagai nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Allâh telah menciptakan mereka dari tidak ada, menjadikan bumi sebagai hamparan bagi mereka sehingga mereka bisa menetap di bumi dan memanfaatkannya, dengan membuat bangunan, pertanian dan mencari rezei. Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan langit sebagai atap, dan Dia menciptakan di langit berbagai kebutuhan mereka, seperti matahari, bulan dan bintang-bintang. Allâh Azza wa Jalla juga menurunkan air hujan dari langit, lalu dengan hujan itu Allah k menumbuhkan segala biji-bijian, buah-buahan, kurma dan lainnya, sebagai rezeki untuk mereka.
Kemudian di akhir ayat ke-22, Allâh Azza wa Jalla melarang semua manusia untuk membuat atau mengadakan tandingan-tandingan bagi-Nya, yaitu semua yang diibadahi selain Allâh, karena semua sesembahan selain Allâh Azza wa Jalla itu tidak menciptakan makhluk dan tidak memberi rezeki kepada mereka. Bahkan semuanya diciptakan, diberi rezeki dan di atur oleh Allâh Azza wa Jalla . Bagaimana bisa tandingan-tandingan itu disembah bersama Allâh Azza wa Jalla , padahal orang-orang yang menyembah itu tahu bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak memiliki sekutu dalam Rubûbiyah-Nya dan Ulûhiyah-Nya.[5]
Ibadah adalah hak khusus Allâh Azza wa Jalla , tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya. Barangsiapa mempersembahkan ibadah dalam segala jenisnya kepada selain-Nya, maka dia telah berbuat zhalim dan berbuat buruk terhadap hak Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana nasehat Luqman kepada anaknya:
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Hai anakku! Janganlah kamu mempersekutukan Allâh, sesungguhnya mempersekutukan (Allâh) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” [Luqman/31: 13]
Diriwayatkan dari Sahabat al-Hârits al-Asy’ari, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa Nabi Zakaria Alaihissallam memerintahkan Bani Israil untuk mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , beliau berkata:
أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ مَثَلُ رَجُلٍ اشْتَرَى عَبْدًا مِنْ خَالِصِ مَالِهِ بِوَرِقٍ أَوْ ذَهَبٍ، فَجَعَلَ يَعْمَلُ، وَيُؤَدِّي غَلَّتَهُ إِلَى غَيْرِ سَيِّدِهِ، فَأَيُّكُمْ سَرَّهُ أَنْ يَكُونَ عَبْدُهُ كَذَلِكَ، وَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَكُمْ وَرَزَقَكُمْ، فَاعْبُدُوهُ، وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا.
Kamu harus beribadah kepada Allâh, dan jangan menyekutukan sesuatupun denganNya. Sesungguhnya perumpamaan hal itu (yakni syirik-pen) adalah seperti seseorang yang membeli seorang budak dengan uangnya sendiri, dengan uang perak atau emas, lalu budak itu bekerja dan memberikan hasinya kepada selain majikannya. Siapakah di antara kamu yang suka budaknya berbuat demikian? Sesungguhnya Allâh ‘Azza wa Jalla telah menciptakan kamu, dan memberi rizki kepada kamu, maka beribadah kepada Allâh, dan jangan menyekutukan sesuatupun denganNya. [HR. Ahmad, no. 17170, 17800; Tirmidzi, no. 2863, 2864; dll]
Semakna dengan hadits di atas adalah penjelasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan di dalam hadits shahih berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَأَلْتُ أَوْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الذَّنْبِ عِنْدَ اللَّهِ أَكْبَرُ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ قَالَ وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ تَصْدِيقًا لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ}
Dari Abdullah (bin Mas’ud) Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Aku bertanya, atau Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, ‘Dosa apakah yang paling besar di sisi Allâh? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau menjadikan tandingan bagi Allâh, sedangkan Dia telah menciptakanmu (tanpa sekutu)”. Aku bertanya, “Lalu apa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau membunuh anakmu karena engkau takut dia makan bersamamu”. Aku bertanya, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu”. Dan turunlah ayat ini membenarkan perkataan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ
Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allâh dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allâh (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.[6] [HR. Al-Bukhâri, no. 4483]
Mayoritas Manusia Mengakui Tauhid ar-Rubûbiyah
Tauhid ar-Rubûbiyah ini diakui oleh mayoritas manusia di zaman dahulu dan sekarang. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali sedikit, seperti Fir’aun dan para pembesarnya yang mengingkari keberadaan Allâh sama sekali. Oleh karena itu mereka mengingkari kenabian Nabi Musa Alaihissallam dan mu’jizatnya. Ini secara lahiriyah. Namun sesungguhnya di dalam batin, mereka mengakui kebenaran nabi Musa Alaihissallam, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا
Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan. [An-Naml/27: 14]
Termasuk yang mengingkari adalah orang-orang ateis di zaman ini, mereka mengatakan, “Tidak ada Tuhan, kehidupan adalah materi”.
Mereka mengatakan hal itu hanyalah secara lahiriyah, karena sesungguhnya hati mereka mengakui keberadaan dan Rubûbiyah Allâh. Bukti hal ini adalah ketika runtuhnya negara Soviet dan negara-negara di Eropa Timur yang mengikuti pemikiran ateisme, mayoritas orang yang menisbatkan diri kepada ateisme secara lahiriyah kembali kepada agama-agama mereka dahulu, seperti Kristen, Yahudi, dan lainnya.
SYIRIK DALAM RUBUBIYAH
Banyak orang yang menyatakan diri Islam namun ia terjerumus dalam syirik Rubûbiyah, seperti orang-orang Shufi dan Rafidhah yang berdoa kepada orang-orang yang telah mati, meminta didatangkan kebaikan atau dihilangkannya kesusahan. Atau meminta sesuatu kepada orang-orang yang masih hidup, namun sesuatu itu hanya mampu dilakukan oleh Allâh semata, seperti meminta kesembuhan, minta hujan, masuk surga, selamat dari neraka, dan lainnya. Semua ini termasuk syirik Rubûbiyah sekaligus syirik Ulûhiyah. Karena mereka tidak meminta kepada makhluk kecuali dengan keyakinan bahwa yang dimintai itu mampu mengabulkannya. Dengan demikian, berarti dia menisbatkan sebagian perbuatan Allâh Azza wa Jalla kepada makhluk-Nya. Ini termasuk syirik Rubûbiyah.[7]
al-Hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2015M.]
_______
Footnote
[1] Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari Tas-hîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 46-50, Penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammâdah al-Jibrin dan beberapa rujukan yang lain
[2] Lihat Syarah ath-Thahâwiyah, hlm. 46; al-Wâbilus Shayyib, hlm. 46; Ighâtsatul Lahafân, bab 6, 1/30; Taisîrul ‘Azîzil Hamîd, hlm. 17; Ma’ârijul Qabûl, 1/315; dan al-Qaulus Sadîd, hlm. 19
[3] Lihat Qawâidul Ahkâm, 2/134-135, karya ‘Izz bin Abdis Salam; Madârijus Sâlikin, 1-88; al-Fawâid, hlm. 128; dan Lawâmi’ul Anwâr, 1/353
[4] Lihat Taisîr al-‘Azîzil Hamîd, hlm. 21
[5] Lihat Tafsir Ibnu Abi Hatim; Tafsir Ibnu Katsir; Tafsir Asy-Sayukani; dan Tafsir As-Sa’di
[6] Qur’an surat Al-Furqân/25: 68
[7] Lihat Taisîrul ‘Azîzil Hamîd, hlm. 28; Ma’ârijul Qabûl, 2/401, 475; Syarah ath-Thahâwiyah, hlm. 38; dan Tajrîdut Tauhîd, hlm. 25, 29, 42, 43)