Bab: Berlebihan Terhadap Kubur Orang-Orang Saleh Dapat Menjadi Penyebab Kubur Itu Dijadikan Sesembahan Selain Allah
Imam Malik meriwayatkan dalam Al Muwaththa, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا، اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah. Allah sangat murka kepada orang-orang yang menjadikan kubur para nabi mereka sebagai tempat ibadah.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa no. 85, danAhmad 2/246. Pentahqiq Musnad Ahmad menyatakan isnadnya kuat.
Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al Ashbahi adalah imam darul hijrah (Madinah), salah satu di antara imam madzhab yang empat, yang wafat pada tahun 179 H.
Setelah penyusun (Syaikh Muhammad At Tamimi) menerangkan tentang bahaya bersikap ghuluw (berlebihan) terhadap orang-orang saleh, maka pada bab ini, ia menerangkan, bahwa bersikap ghuluw terhadap kubur orang-orang saleh juga merupakan sarana yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik, sehingga orang-orang yang telah mati itu akhirnya disembah.
Kata ‘berhala’ atau dalam bahasa Arab disebut ‘watsan’ adalah sesembahan yang tidak memiliki rupa manusia, seperti kuburan, pohon, dinding, batu, dsb.
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan jika umatnya bersikap terhadap kubur Beliau seperti sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap kubur para nabi mereka, yaitu bersikap ghuluw (berlebihan), sehingga kuburan mereka menjadi berhala yang disembah. Oleh karena itu, Beliau memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar kuburannya tidak seperti itu. Selanjutnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerangkan sebab kemurkaan dan laknat menimpa orang-orang Yahudi dan Nasrani, yaitu menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid atau tempat ibadah.
Kesimpulan:
1. Bersikap ghuluw terhadap kubur para nabi dapat menjadi penyebab kubur itu disembah.
2. Contoh ghuluw terhadap kuburan orang-orang saleh adalah ketika menjadikannya sebagai masjid atau tempat ibadah.
3. Menetapkan sifat ‘murka’ bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai yang layak dengan keagungan-Nya.
**********
Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanadnya dari Sufyan, dari Manshur, dari Mujahid tentang firman Allah Ta’ala,
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى
“Maka apakah patut kamu (wahai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza?” (QS. An Najm: 19)
Ia berkata, “Lata adalah seorang yang mengaduk tepung untuk jamaah haji. Saat ia meninggal dunia, maka mereka senantiasa mendatangi kuburnya.”
Demikian pula penafsiran Ibnu Abbas sebagaimana dituturkan oleh Abul Jauza, bahwa Lata adalah seorang yang mengaduk tepung untuk jamaah Haji.”
**********
Penjelasan:
Muhammad Ibnu Jarir Ath Thabari adalah seorang Imam Ahli Tafsir, wafat pada tahun 310 H, rahimahullah.
Sufyan di sini adalah Sufyan bin Sa’id Ats Tsauriy, seorang imam, hujjah, dan Ahli Ibadah, wafat pada tahun 161 H.
Manshur bin Mu’tamir adalah seorang yang tsiqah (terpercaya), ahli fiqih, wafat pada tahun 132 H.
Mujahid bin Jabr adalah seorang yang tsiqah, Imam Ahli Tafsir. Ia mengambil tafsir dari Ibnu Abbas dan lainnya, wafat pada tahun 104 H.
Abul Jauza adalah Aus bin Abdullah Ar Rib’i, ia adalah seorang yang tsiqah dan masyhur, wafat pada tahun 83 H.
Atsar (riwayat) di atas menunjukkan, bahwa sebab penyembahan kepada Lata adalah bersikap ghuluw (berlebihan) terhadap kuburnya sehingga menjadi berhala yang disembah.
**********
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ، وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang menziarahi kubur, dan orang-orang yang membuat tempat ibadah dan memberi lampu penerang di atas kuburan.” (HR. Penulis kitab Sunan)
**********
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.
Syaikh Al Albani berkata, “Hadits ini meskipun masyhur, namun dhaif isnadnya, karena melalui riwayat Abu Shalih Badzam dari Ibnu Abbas, sedangkan Badzam didhaifkan oleh mayoritas ulama, bahkan sebagian mereka menuduhnya berdusta sebagaimana yang aku sebutkan dalamAhkamul Janaiz, serta aku berikan penjelasan secara rinci dalam At Ta’liqatul Jiyad. Dalam hal ini bisa juga dilihat kitab Tahdzibus Sunan dan At Talkhish. Namun hadits di atas jika dengan lafaz …‘zawwaarat’… (artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang sering ziarah kubur dan yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah) itu shahih lighairih, karena memiliki beberapa syahid (penguat) selain lafaz ‘suruj’(memberi lampu penerang di atasnya), maka aku belum temukan syahidnya, sehingga tetap dhaif.” (Tamamul Minnah hal. 297)
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan laknat (jauh dari rahmat Allah) kaum wanita yang sering menziarahi kubur, karena seringnya mereka menziarahi kubur mengakibatkan banyak mafsadat, seperti terjadinya ratapan, keluh kesah, dan tergodanya kaum laki-laki oleh mereka. Beliau juga melaknat mereka yang menjadikan kuburan sebagai masjid atau tempat ibadah.
Adapun memberi lampu penerang di atas kubur, karena di dalamnya terdapat sikap ghuluw (berlebihan) terhadap kubur dan menjadi sarana yang mengantarkan kepada kemusyrikan, maka hukumnya haram juga.
Hadits di atas menunjukkan haramnya bersikap ghuluw (berlebihan) di atas kubur, karena hal itu dapat menjadikannya sebagai berhala yang disembah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak sah shalat di pekuburan dan menghadap kepadanya. Larangan tersebut maksudnya adalah untuk menutup celah ke arah kemusyrikan. Sebagian orang yang semadzhab dengan kami menyatakan, bahwa jika hanya satu atau dua kubur, tidak menghalangi untuk shalat di sana, karena belum disebut pekuburan. Disebut pekuburan adalah jika terdiri dari tiga kubur atau lebih, namun tidak ada dalam pernyataan Imam Ahmad dan sebagian besar ulama yang semadzhab dengan kami adanya pembedaan ini. Bahkan pada umumnya, ucapan mereka, alasan, dan pendalilannya menghukumi tidak bolehnya shalat meskipun di satu kuburan, dan inilah yang benar. Pekuburan adalah setiap yang dikubur di sana, bukan sebagai bentuk jamak dari kata ‘qabr’ (kuburan). Kawan-kawan kami yang semadzhab berkata, “Setiap yang masuk ke dalam lingkup pekuburan, seperti di sekitar kubur-kubur, maka tidak boleh shalat di sana.” Hal ini menunjukkan, bahwa larangan tersebut mencakup satuan kuburan dan halamannya yang menjadi bagiannya. Namun Al Amidiy dan lainnya menyatakan, bahwa tidak boleh shalat di sana, yakni di masjid yang kiblatnya menghadap kubur sampai antara dinding dengan pekuburan ada penghalang lagi yang lain. Sebagian mereka menyatakan, inilah pernyataan Imam Ahmad.” (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah1/411)
Kesimpulan:
1. Haramnya bersikap ghuluw terhadap kubur, yaitu dengan menjadikannya sebagai tempat ibadah, karena dapat mengantarkan kepada kemusyrikan.
2. Haramnya memberikan lampu penerang pada kubur, karena termasuk sarana yang dapat mengantarkan kepada kemusyrikan.
3. Sebab dilarang shalat di dekat kuburan adalah agar tidak terjatuh ke dalam kemusyrikan.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah), Tamamul Minnah (Syaikh M. Nashiruddin Al Albani), dll.