Berkata Syaikh Muhammad At-Tamimi rahimahullah dalam bab ke-7 dari kitab beliau : “At-Tauhid alladzi huwa haqqullah ‘alal ‘abid ” atau yang terkenal dengan sebutan kitab Tauhid :
باب من الشرك لبس الحلقة و الخيط و نحوهما لرفع البلاء أو دفعه
“Bab : Diantara bentuk kesyirikan adalah memakai sesuatu yang melingkar dan memakaibenang (yang dilingkarkan) serta selain keduanya, dengan tujuan untuk menyingkirkan mara bahaya atau menolaknya”.
Penjelasan Judul :
Ulama rahimahumullah dalam membuat sebuah judul bab, sarat akan mutiara faedah, karena judul bab hakekatnya adalah intisari dari isi bab tersebut.
Sehingga dalam judul bab di atas, terdapat kesimpulan dari dalil-dalil yang disebutkan, inti masalah yang sedang dibahas dan hukum Syar’inya,
Berikut ini, penjelasan kata demi kata, dari judul di atas :
1. Makna Bab :
Secara bahasa bermakna :
المدخل إلى الشيء، والطريق الموصل إليه
“Tempat masuk menuju ke sesuatu dan jalan yang menghantarkan kepadanya”.
Secara istilah :
اسم لجملة من العلم، تحته فصول ومسائل غالبا
“Sebuah nama untuk sejumlah ilmu, pada umumnya terdiri dari pasal-pasal dan masalah-masalah ilmiyyah”.
2. Hukum memakai jimat
Pada kata :
من الشرك
“Diantara bentuk kesyirikan”
Perkataan :
من
“Diantara”
Menunjukkan makna “sebagian” , bahwa syirik itu banyak bentuknya, namun salah satu diantara bentuk kesyirikan adalah sesuatu yang akan disebutkan setelah ini dalam kalimat judul.
Dan dalam perkataan : “Diantara bentuk kesyirikan”, terdapat vonis hukum Syar’i, maksudnya: perbuatan yang akan disebutkan pada kata-kata setelahnya dalam kalimat judul di atas, hukumnya adalah syirik.
Adapun apakah jenis syirik yang dimaksud di sini?
Jawabannya adalah hukumnya bisa syirik kecil atau bisa pula syirik besar, tergantung keyakinan pemakainya.
2. Gambaran kasus
Pada perkataan :
لبس الحلقة
“memakai sesuatu yang melingkar”
Kasus kesyirikan yang dimaksud dalam judul di atas adalah memakai sesuatu yang melingkar, baik berupa kalung, cincin dan gelang, baik terbuat dari besi, kuningan, emas atau selainnya.
Pada perkataan :
و الخيط
“memakai benang (yang dilingkarkan) ”
Maksudnya adalah mengenakan benang (termasuk di dalamnya tali dari robekan kain) yang dilingkarkan di tangan atau anggota badan yang lainnya.
Kalimat,
و نحوهما
“serta selain keduanya ”
Yaitu: setiap yang dikenakan, digantungkan ataupun dipasang di badan, rumah, mobil atau di tempat manapun juga.
Misalnya, jimat berupa cincin akik, gelang akar bahar, rajah yang dibungkus kain hitam lalu dikalungkan di leher atau digantungkan di atas pintu rumah atau jimat yang digantungkan di dalam mobil, jimat tanduk rusa yang ditancapkan di moncong mobil dan yang lainnya.
Termasuk juga jimat yang disebut penulis dalam bab berikutnya dalam kitab At-Tauhid ini (Bab ke -8), yaitu: tiwalah, wada’ah dan tamimah (‘azimah).
Sebenarnya tiga benda ini semuanya adalah jimat, hanya saja berbeda-beda bentuk dan penggunaannya, yaitu:
- tiwalah adalah jimat pelet yang dikenakan oleh suami/istri untuk merekatkan cinta keduanya),
- wada’ah adalah jimat yang diambil dari laut, menyerupai kerang untuk menangkal penyakit ‘ain, yaitu penyakit karena pengaruh jahat disebabkan kedengkian,
- sedangkan tamimah adalah jimat yang terbuat dari manik-manik berlubang dirangkai yg dikalungkan di leher anak untuk penangkal ‘ain.
Pada perkataan :
لرفع البلاء أو دفعه
“dengan tujuan untuk menyingkirkan mara bahaya atau menolaknya”
Menunjukkan dua kemungkinan tujuan pemakaian jimat, yaitu:
- Sebagai pengusir mara bahaya yang sudah menimpa pemakainya, atau
- Penangkal mara bahaya yang dikhawatirkan akan menimpa.
Inti kesyirikan jimat
Jika kita amati kalimat judul di atas secara lengkap, maka sebenarnya penulis rahimahullahhendak membahas salahsatu fenomena kesyirikan yang dikenal di masyarakat kita dengan nama “jimat”.
Dalam konteks ini, kalimat “dengan tujuan untuk menyingkirkan mara bahaya atau menolaknya” ini adalah kalimat inti kasus kesyirikan jimat.
Bahwa apapun bentuk suatu jimat dan bagaimanapun cara penggunaannya (baik dengan cara dipakai,dikalungkan, digantungkan, ditempel maupun dengan cara lainnya) serta di manapun diletakkan (di tubuh, rumah, kendaraan, atau selainnya), jika tujuannya untuk mengusir atau menangkal mara bahaya maupun untuk mendapatkan manfa’at, padahal jimat tersebut tidak terbukti sebagai sebuah sebab, baik secara Syar’i (tidak ada dalilnya) atau secara qadari (tidak terbukti secara ilmiah atau pengalaman yang jelas), maka semua itu adalah jimat.
Sebab kesyirikan jimat
Hukum memakai jimat dengan tujuan di atas adalah syirik, karena di dalam dalil terdapatvonis syirik dan karena adanya ketergantungan hati kepada sesuatu yang tidak terbukti sebagai sebab.
Adapun jenis kesyirikan jimat, berikut perinciannya:
Syirik kecil: jika jimat tersebut diyakini sebagai sebab saja (sedangkan Allahlah yang mentakdirkan), namun hati bergantung kepada jimat tersebut, maka dihukumi syirik kecil.
Syirik besar: jika jimat tersebut diyakini bukan sebagai sebab, dan jimat itu berpengaruh dengan sendirinya, terlepas dari kehendak Allah -misalnya keyakinan bahwa jimat itulah yang menyingkirkan mara bahaya dan bukan Allah- maka ini hukumnya syirik besar,karena menyakini ada selain Allah yang mampu memberi manfa’at atau menolak mudharat dengan sendirinya.
Dari sisi inilah hakekatnya kesyirikan jimat itu termasuk syirik dalam Rububiyyah.
Sedangkan ditinjau dari ketergantungan hati pemakai jimat kepada jimat tersebut, dengan rasa harap pemakainya untuk mendapatkan manfa’at, maka dari sisi ini hakekatnya kesyirikan jimat termasuk syirik dalam ibadah (Uluhiyyah).
Hukum Sebab
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah, ketika menjelaskan bab ke-7 dari kitab At-Tauhid, yaitu :
“Bab: Diantara bentuk kesyirikan adalah memakai sesuatu yang melingkar dan memakaibenang (yang dilingkarkan) serta selain keduanya, dengan tujuan untuk menyingkirkan mara bahaya atau menolaknya”, berkata :
“Pemahaman terhadap bab ini, tergantung kepada pengetahuan tentang hukum-hukum sebab. Sedangkan perincian hukum-hukum sebab tersebut adalah sebagai berikut:
Seseorang wajib mengetahui bahwa dalam (pembahasan) sebab terdapat tiga perkara (yang mendasar), yaitu:
أحدها: أن لا يجعل منها سببا إلا ما ثبت أنه سبب شرعا أو قدرا.
Pertama: Tidak menjadikan sesuatu sebagai sebab, kecuali jika sesuatu tersebut terbukti sebagai sebab, baik secara Syar’i1 maupun Qadari/Kauni2.
ثانيها: أن لا يعتمد العبد عليها، بل يعتمد على مسببها ومقدرها، مع قيامه بالمشروع منها، وحرصه على النافع منها.
Kedua: Seorang hamba tidak bersandar (hatinya) kepada sebab, namun bersandar kepada Allah, Sang Penyebab berpengaruhnya suatu sebab dan Sang Pentakdirnya, diiringi dengan usaha yang disyari’atkan (untuk dilakukan) dan semangat melakukan yang (paling) bermanfa’at diantaranya.
ثالثها: أن يعلم أن الأسباب مهما عظمت وقويت فإنها مرتبطة بقضاء الله وقدره لا خروج لها عنه،
Ketiga: (Wajib) diketahui bahwa suatu sebab, meskipun besar dan kuat (pengaruhnya), maka sesungguhnya tetap terikat dengan taqdir Allah, tidak bisa terlepas darinya”.
Beliau rahimahullah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala mengatur makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya,
- Jika Allah menghendaki, maka Allah akan takdirkan suatu sebab berpengaruh sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya, agar seorang hamba mengetahui dengan baik kesempurnaan hikmah-Nya, karena Allah telah mentakdirkan terjadinya akibat, ketika seorang hamba melakukan sebabnya.
- Namun, jika Allah menghendaki sesuatu yang lain, maka Allah takdirkan suatu sebab tidak berpengaruh dan tidak berakibat, agar hati seorang hamba tidak bergantung kepada sebab dan agar ia mengetahui kesempurnaan kekuasaan Allah atas hamba-Nya dan kesempurnaan kehendak-Nya dalam mengatur alam semesta.
Beliau rahimahullah berkata :
فهذا هو الواجب على العبد في نظره وعمله بجميع الأسباب.
“Inilah sikap wajib seorang hamba dalam memandang dan melakukan berbagai macam sebab (dalam aktivitasnya)”.
Kemudian beliau rahimahullah menyimpulkan,
إذا علم ذلك فمن لبس الحلقة أو الخيط أو نحوهما قاصدا بذلك رفع البلاء بعد نزوله، أو دفعه قبل نزوله فقد أشرك ;
“Jika sudah diketahui hal itu, maka barangsiapa yang memakai sesuatu yang melingkar danmemakai benang (yang dilingkarkan) serta selain keduanya, dengan tujuan untuk menyingkirkan mara bahaya setelah menimpanya atau menolaknya sebelum menimpanya (padahal hal itu bukan sebagai sebab, pent.), maka ia telah melakukan perbuatan syirik”.
Selanjutnya, beliau rahimahullah menjelaskan kapan seseorang yang memakai jimat divonis telah melakukan syirik besar dan kapan divonis sebagai syirik kecil, berikut penjelasannya:
Tentang hukum syirik besar
إن اعتقد أنها هي الدافعة الرافعة فهذا الشرك الأكبر. وهو شرك في الربوبية حيث اعتقد شريكا مع الله في الخلق والتدبير. وشرك في العبودية حيث تأله لذلك وعلق به قلبه طمعا ورجاء لنفعه،
“Jika seseorang meyakini bahwa jimat tersebut menolak atau menyingkirkan mara bahaya (dengan sendirinya, terlepas dari kekuasaan Allah, pent.), maka ini adalah perbuatan syirik besar. Yaitu syirik dalam Rububiyyah, yang mana ia meyakini ada selain Allah, yang menjadi tandingan-Nya dalam menciptakan dan mengatur alam semesta.
Disamping itu, (perbuatan tersebut juga) termasuk bentuk kesyirikan dalam ibadah, yang mana ia telah menyembah jimat tersebut dan menggantungkan ketamakan dan harapannya kepadanya, guna mendapatkan manfa’at darinya”.
Tentang hukum syirik kecil
وإن اعتقد أن الله هو الدافع الرافع وحده ولكن اعتقدها سببا يستدفع بها البلاء، فقد جعل ما ليس سببا شرعيا ولا قدريا سببا، وهذا محرم وكذب على الشرع وعلى القدر.
“Sedangkan, jika ia berkeyakinan bahwa hanya Allah lah satu-satunya Sang Penolak dan Penyingkir mara bahaya, akan tetapi ia meyakini bahwa jimat tersebut merupakan sebuah sebab yang dengannya tertolak mara bahaya, maka hakekatnya ia telah menjadikan sesuatu yang bukan sebab, baik secara Syar’i maupun Qadari, sebagai sebuah sebab. Ini hukumnya haram dan dusta atas nama Syar’i dan Qadar/Kauni”.
Benarlah apa yang dikatakan Syaikh Abdur Rahman As- Sa’di di atas, karena sesungguhnya dalam syari’at, Allah melarang seorang hamba memakai jimat dengan setegas-tegasnya, maka sesuatu yang dilarang dalam syari’at pastilah bukan merupakan suatu sebab yang bermanfa’at.
Disamping itu, jimat tidak terbukti secara ilmiyyah sebagai sebuah sebab yang bermanfa’at, apalagi mengenakan jimat merupakan perbuatan yang menghantarkan kepada kesyirikan akbar.
Nasehat Syaikh Abdur Rahman As- Sa’di rahimahullah
Kemudian beliau rahimahullah menasehati,
“Maka seorang yang beriman wajib meninggalkan jimat tersebut, agar sempurna keimananan dan tauhidnya, karena jika sempurna tauhid seseorang, maka hatinya tidak tergantung kepada sesuatu yang bertentangan dengan tauhidnya.
Dan (pemakaian) jimat itu menunjukkan kekurangan akal pemakainya, yang mana ia bergantung kepada sesuatu yang tidak layak hatinya bergantung kepadanya, serta bergantung kepada sesuatu yang tidak bermanfaat (baginya), ditinjau dari sisi manapun juga, bahkan justru hal itu murni membahayakan(nya)!”.
والشرع مبناه على تكميل أديان الخلق بنبذ الوثنيات والتعلق بالمخلوقين، وعلى تكميل عقولهم بنبذ الخرافات والخزعبلات، والجد في الأمور النافعة المرقية للعقول، المزكية للنفوس، المصلحة للأحوال كلها دينيها ودنيويها والله أعلم.
“Syari’at Islam ini terbangun di atas penyempurnaan agama manusia, dengan meninggalkan keberhalaan dan ketergantungan (hati) kepada makhluk.
(Syari’at Islam ini juga) terbangun pula di atas penyempurnaan akal manusia, dengan meninggalkan cerita dusta (khurafat) dan keyakinan batil, serta bersungguh-sungguh dalam perkara yang bermanfa’at, yang hal ini meningkatkan (kesempurnaan) akal, membersihkan jiwa dan memperbaiki seluruh keadaan, baik Diniyyah maupun duniawi. Wallahu a’lam”.[Kitab Al-Qaulus Sadiid Fii Maqaashidit Tauhid, hal. 34 – 37].
Catatan kaki
1. Harus terdapat dalil dari Alquran atau As-Sunnah yang shahih, yang menunjukkan bahwa sesuatu itu merupakan sebab.
Dalam bab:
من الشرك لبس الحلقة و الخيط و نحوهما لرفع البلاء أو دفعه
“Diantara bentuk kesyirikan adalah memakai sesuatu yang melingkar dan memakai benang(yang dilingkarkan) serta selain keduanya, dengan tujuan untuk menyingkirkan mara bahayaatau menolaknya”,
Syaikh Muhammad At-Tamimi rahimahullah membawakan lima dalil, dua dalil dari Alquran dan yang tiga dalil dari As-Sunnah, dengan perincian sebagai berikut :
- Surat Az-Zumar: 38
- Hadits Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim, dishohihkan beliau dan disetujui Adz-Dzahabi).
- Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu (HR. Ahmad, Ath -Thahawi dan Al-Hakim,dishohihkan beliau dan disetujui Adz-Dzahabi).
- Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu (Hadits shahih riwayat Imam Ahmad : 4/156).
- Surat Yusuf : 106 yang terdapat dalam atsar Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu.
Penjelasan (Syarh):
1. Surat Az-Zumar: 38
Allah Ta’ala berfirman :
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ ۚ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ}
“Dan sungguh jika engkau bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”.
Katakanlah (hai Nabi Muhammad kepada orang-orang musyrik): “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kalian sembah selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemadharatan kepadaku, apakah sesembahan-sesembahan itu dapat menghilangkan kemadharatan itu?
Atau jika Allah menghendaki untuk melimpahkan suatu rahmat kepadaku apakah mereka mampu menahan rahmat-Nya?”
Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku, hanya kepada-Nyalah orang-orang yang berserah diri bertawakkal.” (QS. Az-Zumar: 38).
Penjelasan :
Firman Allah Ta’ala :
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ}
“Dan sungguh jika engkau bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”.
Ayat ini menunjukkan pengakuan orang-orang musyrik terhadap keesaan Allah dalam Rububiyyah-Nya.
Firman Allah Ta’ala :
{ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ}
Katakanlah (hai Nabi Muhammad kepada orang-orang musyrik): “Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kalian sembah selain Allah!
Jenis pertanyaan disini adalah pertanyaan pengingkaran (Istifham Inkari), maksudnya:
Apakah pantas kalian mengakui bahwa Allah Esa dalam Rububiyyah-Nya, namun kenyataannya, kalian menyembah selain-Nya?!
Inilah salah satu metode yang agung dalam Alquran, yaitu : berhujjah dengan pengakuan musyrikin terhadap Tauhid Rububiyyah untuk mengingkari kesyirikan mereka dalam Uluhiyyah.
Firman Allah Ta’ala,
{ مَا تَدْعُونَ}
Di dalam ilmu Balaghah (Sastra Arab), kata ini menunjukkan makna umum, mencakup seluruh sesembahan selain Allah yang mereka sembah, yaitu: sebagian para nabi, rasul dan orang-orang shalih (QS. Al-Maa`idah:116), malaikat (QS. Saba`: 40-41), bintang, matahari,bulan, pohon, batu, patung dan berhala.
Renungan
Bandingkan dengan sesembahan musyrikin zaman sekarang yang disebut-sebut sebagai zaman modern!
Niscaya Anda akan mendapatkan fenomena yang nyaris hampir sama dengan kaum musyrikin zaman dahulu.
Hal ini menunjukkan bahwa kemodernan zaman yang ditandai dengan ketinggian teknologi dan kemakmuran perekonomian itu, bukanlah menjadi jaminan keselamatan akidah manusia yang hidup di dalamnya!
Sehingga sangat memungkinkan manusia di zaman modern melakukan kesyirikan akbar! Apalagi banyak orang yang meninggalkan mempelajari Tauhid dengan baik.
Firman Allah,
{إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ}
“Jika Allah hendak mendatangkan kemadharatan kepadaku, apakah sesembahan-sesembahan itu dapat menghilangkan kemadharatan itu? atau jika Allah menghendaki untuk melimpahkan suatu rahmat kepadaku apakah mereka mampu menahan rahmat-Nya?”
Dengan macam sesembahan mereka seperti yang sudah disebutkan di atas, maka ayat ini sesungguhnya berkenaan dengan syirik akbar, namun mengapa Syekh membawakannya untuk membantah syirik jimat, yang biasanya di dalam kitab-kitab tentang disiplin ilmu Tauhid, dikategorikan ke dalam contoh syirik kecil2?
Bagaimana alasan pendalilannya?
Jawab:
1) Alasan pendalilan (wajhud dalalah) pertama :
Ayat ini untuk membantah ketergantungan hati pelaku syirik besar kepada sesembahan-sesembahan selain Allah, sedangkan hal ini ada dalam hati pemakai jimat.
Walau kadar ketergantungan hati pemakai jimat kepada jimatnya – selama pemakainya meyakini jimat tersebut sebagai sebab saja- tidaklah sebesar ketergantungan hati pelaku syirik besar kepada sesembahan-sesembahan mereka.
Jadi Ayat ini untuk menyatakan batilnya ketergantungan hati kepada selain Allah.
Jika ketergantungan hati kepada sebagian para nabi, rasul dan orang-orang shalih saja adalah sebuah kebatilan, maka lebih-lebih lagi ketergantungan hati kepada jimat,benda-benda mati, yang tidak bernyawa dan rendahan itu!
2) Alasan pendalilan (wajhud dalalah) kedua :
Ayat ini untuk menetapkan bahwa sesembahan-sesembahan mereka selain Allah, tidak kuasa menolak mudharat atau memberi manfa’at, maka lebih-lebih lagi jimat, yang merupakan benda rendahan itu!
Jimat lebih tidak bisa memberi manfa’at atau menolak mudhorot. Berarti alasan pendalilan pada ayat ini adalah dengan menggunakan qiyas/ analogi.
Catatan kaki
1. Isim Maushul adalah kata yang tidak jelas, sehingga selalu membutuhkan anak kalimat penjelas yang mengandung kata ganti yang kembali kepada Isim Maushul tersebut.
2. Tentu dikatakan memakai jimat merupakan syirik kecil, selama keyakinan pemakainya adalah jimat tersebut diyakini sebagai sebab saja (sedangkan Allah lah yang mentakdirkan), dan tidak diyakini jimat itu berpengaruh dengan sendirinya, terlepas dari kehendak Allah Ta’ala. Lihat penjelasan di artikel sebelumnya.
Dalil kedua
Hadits Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim, dishohihkan beliau dan disetujui Adz-Dzahabi).
Matan hadits yang disebutkan dalam kitab Tauhid ini :
Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki memakai gelang yang terbuat dari kuningan, kemudian beliau bertanya:
(( مَا هَذِهِ؟ قَالَ: مِنَ الوَاهِنَةِ، فَقَالَ: انْزَعْهَا فَإِنَّهَا لاَ تَزِيْدُكَ إِلاَّ وَهْنًا، فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا ))
“Apa-apa-an ini? Orang laki-laki itu menjawab: “Untuk menangkal penyakit lemah badan”, lalu Nabi bersabda: “Lepaskan gelang itu, karena sesungguhnya ia tidak akan menambah kecuali kelemahan pada dirimu, dan jika kamu mati sedangkan gelang ini masih ada pada tubuhmu, maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.” (HR. Ahmad dengan sanad yang bisa diterima).
Penjelasan
Dalam hadits ini, pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seseorang yangmemakai gelang jimat,
مَا هَذِهِ؟
“Apa-apa-an ini?”
Ini adalah jenis pertanyaan pengingkaran ( Istifham Ingkari ).
Sedangkan pemakai jimat tersebut, memahami bahwa pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya adalah jenis pertanyaan perincian (Istifham Iftishol), yaitu : “Apa ini? Atau Gelang untuk apa ini?”, begitu menurut sebagian Ulama.
Sehingga orang laki-laki itu menjawab: “Untuk menangkal penyakit lemah badan”.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( انْزَعْهَا فَإِنَّهَا لاَ تَزِيْدُكَ إِلاَّ وَهْنًا، فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا ))
“Lepaskan gelang itu, karena sesungguhnya ia tidak akan menambah kecuali kelemahan pada dirimu, dan jika kamu mati sedangkan gelang ini masih ada pada tubuhmu, maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.”
Itulah hakekat kesyirikan dengan segala macamnya, tidak akan pernah bermanfa’at bagi pelakunya, malah justru membahayakan.
Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
(( مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا))
“maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya”.
Maksud peniadaan keberuntungan di sini, mencakup dua kandungan:
- Nafyu Falahil mutlaq, yaitu: peniadaan keberuntungan secara totalitas, yaitu : tidak beruntung sama-sekali, dengan tidak masuk Surga sama sekali dan kekal di Neraka. Kasus jenis ini berlaku untuk pemakai jimat yang keyakinannya sampai syirik akbar, seperti yang sudah dijelaskan di artikel bagian pertama.
- Nafyu muthlaqul Falah, yaitu: peniadaan sebagian keberuntungan yang menyebabkan pelakunya terancam masuk Neraka, namun tidak kekal.
Kasus jenis ini berlaku untuk pemakai jimat yang keyakinannya sebatas syirik kecil.
Faedah :
Pembahasan tentang Sya`iul Muthlaq, yaitu sesuatu yang sempurna/menyeluruh, danMuthlaqusy Sya`i, yaitu : asalkan ada sesuatu tersebut dalam batasan yang paling minimal, kedua hal ini berlaku pada pembahasan mutlaq Tauhid, Islam, Iman, syirik, dukhul Jannahdan Tahrimun Nar. Begitu pula untuk Tauhid, Islam, Iman, syirik, dukhul Jannah (masuk Surga) dan pencegahan masuk Neraka (Tahrimun Nar) yang muthlaq, semuanya disesuaikan dengan konteks pembicaraannya masing-masing.
Kesimpulan
Sisi pendalilan hadits ini, sehingga sebagai dalil kesyirikan pemakai jimat adalah :
Dalam hadits ini, dinyatakan bahwa jimat itu tidak bermanfa’at, dengan demikian jimat itu hakekatnya bukan sebab! Malah justru membahayakan pemakainya di Dunia, sedangkan di Akherat, tidak beruntung (terancam adzab). Berarti pemakainya, tidak memenuhi hukum sebab pertama dan kedua, seperti yang telah disebutkan di artikel bagian pertama, karena ia menjadikan jimat sebagai sebab, padahal bukan sebab, sehingga tergantung hatinya kepada jimat, inilah syirik!
Dalil Ketiga
Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu (HR. Ahmad, Ath -Thahawi dan Al-Hakim, dishohihkan beliau dan disetujui Adz-Dzahabi).
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad pula dari Uqbah bin Amir, dalam hadits yang marfu’,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَلاَ أَتَمَّ الله لَهُ، وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ الله لَه ))
“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah, semoga Allah tidak akan mengabulkan keinginannya, dan barangsiapa yang menggantungkan wada’ah, semoga Allah tidak akan memberikan ketenangan kepadanya”.
Penjelasan
Tafsir pertama
Tafsir pertama dari hadits ini adalah bahwa hadits ini bermakna do’a.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang yang memakai jimat jenistamimah, dengan keyakinan bisa menolak penyakit/mara bahaya, agar Allah tidak memenuhi keinginannya dan tidak menjadikan selesai urusannya.
Karena kata tamimah diambil dari tamamul amr, yaitu: beresnya urusan, tapi dalam hadits ini disebutkan balasan bagi pemakainya, yaitu: malah tidak beres urusannya, ini menunjukkan bahwa : balasan itu sesuai dengan perbuatannya (Al-Jazaa` min jinsil ‘amal), maksudnya : karena pemakai tamimah itu menginginkan tertolaknya penyakit/mara bahaya darinya, maka justru dihukum dengan tidak tercapai maksudnya.
Disamping itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendo’akan orang yang menggantungkan wada’ah, agar Allah tidak akan memberikan ketenangan kepadanya, Allah tidak membiarkannya berada di dalam ketenangan, bahkan ia akan selalu merasa resah.
Do’a di sini, tujuannya untuk memperingatkan manusia agar menjauhi perbuatan tersebut.
Adapun sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan dengan do’a ini adalah karena orang yang menggantungkan tamimah dan wada’ah, berarti hatinya bergantung kepada selain Allah, bergantung kepada sesuatu yang disangka sebab, padahal hakekatnya bukanlah sebagai sebab.
Dan ketergantungan jenis ini, hakekatnya merupakan perkara kesyirikan.
Renungan
Wahai para pemakai jimat, tidak takutkah Anda dido’akan dengan do’a keburukan itu oleh sosok Utusan Allah yang paling mulia dan paling dekat kedudukannya dengan-Nya, lagi sangat didengar do’anya oleh Allah?!
Tafsir Kedua
Tafsir kedua dari hadits ini adalah bahwa hadits ini bermakna kabar dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang bergantung hatinya kepada selain AllahTa’ala, baik dengan cara menggantungkan tamimah maupun wada’ah, akan mendapatkan keadaan yang buruk, yaitu : tidak dikabulkan keinginannya dan hidupnya resah.
Dengan demikian, terjemah hadits di atas, menurut tafsir yang kedua ini adalah:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَلاَ أَتَمَّ الله لَهُ، وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ الله لَه ))
“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah, maka Allah tidak akan mengabulkan keinginannya, dan barangsiapa yang menggantungkan wada’ah, maka Allah tidak akan memberikan ketenangan kepadanya”.
Renungan
Wahai para pemakai jimat, tidak takutkah Anda, menjadi orang yang dikabarkan dengan kabar yang buruk itu?! Sedangkan orang yang mengkabarkan berita itu adalah manusia yang paling jujur di muka bumi ini??
Alasan pendalilan:
Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa mengantungkan tamimah maupunwada’ah itu haram, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan atau mengkabarkan keburukan bagi pemakai jimat, sebagai peringatan keras terhadap perbuatan yang syirik tersebut.
Dan hakekatnya, hadits ini bukan hanya dalil bagi haramnya memakai jimat tamimah danwada’ah saja, namun juga sebagai dalil bagi haramnya memakai seluruh jenis jimat, karena adanya kesamaan sebab larangan, yaitu : adanya ketergantungan hati pemakai jimat kepada selain Allah, bergantung kepada sesuatu yang disangka sebab, padahal hakekatnya jimat itu bukanlah sebab.
Dalil Keempat
Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu (HR. Ahmad 4/156, shahih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah maka ia telah melakukan kesyirikan”.
Penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa orang yang menggantungkantamimah telah terjerumus dalam kesyirikan. Hal itu dikarenakan orang hati pelakunya bergantung kepada selain Allah. Dia bergantung kepada sesuatu yang disangka sebab, padahal bukan.
Ulama telah menjelaskan bahwa orang-orang yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, padahal Allah tidak menjadikannya sebab, berarti telah melakukan syirik kecil. Hatinya tergantung kepada hal yang bukan sebab. Ini merupakan acuan yang secara umum benar, walaupun pada sebagian contohnya, terdapat pembahasan tersendiri. Dalam hadits ini, sangatlah jelas menunjukkan bahwa pemakai jimat telah melakukan kesyirikan.
Alasan pendalilan
Hadits ini menunjukkan bahwa pemakai jimat adalah pelaku kesyirikan. Demikian karena adanya vonis hukum syirik yang terdapat dalam hadits ini. Hadits ini tidak dikhususkan satu jenis jimat saja, namun umum untuk jimat dengan seluruh jenisnya.
Pada seluruh jimat, terdapat kesamaan sebab larangan, yaitu adanya ketergantungan hati pemakai jimat kepada selain Allah. Pemakai jimat bergantung kepada sesuatu yang disangka sebab, padahal bukan. Hal ini melemahkan tawakkalnya kepada Allah Ta’ala dalam mendapatkan manfaat ataupun menghindari bahaya.
Jenis kesyirikan memakai jimat
Syirik kecil: jimat tersebut diyakini sebagai sebab saja. Pelaku hanya meyakini bahwa jimat adalah sebab terjadinya sesuatu. Di sisi lain, pelaku meyakini bahwa Allahlah yang menjadikan segala sesuatu dengan jimat tersebut. Hal ini mengakibatkan pelaku terjatuh dalam syirik kecil karena hatinya bergantung pada jimat tersebut sebagaimana ia bergantung pada sebab.
Syirik besar: imat tersebut diyakini bukan sebagai sebab. Jimat itu berpengaruh dengan sendirinya, terlepas dari kehendak Allah. Hukum ketergantungan hati semacam ini adalah syirik besar karena menyakini ada yang mampu memberi manfaat dan menolak bahaya di luar kehendak Allah. Syirik semacam ini termasuk dalam syirik rububiyah.
Ditinjau dari ketergantungan hati pemakai jimat kepada jimat tersebut, dengan rasa harap pemakainya untuk mendapatkan manfaat, maka syiriknya jimat jenis ini termasuk syirik dalam ibadah (Uluhiyyah).
Faedah yang bisa diambil dari hadits di atas
- Bahwa menggantungkan tamimah termasuk salah satu bentuk kesyirikan.
- Bahwa menggantungkan tamimah dan jenis jimat yang lainnya itu divonis kesyirikan, karena adanya ketergantungan hati kepada selain Allah dalam mendapatkan manfaat maupun menghindari/menghilangkan penyakit/mara bahaya. Padahal jimat itu benda tak bernilai, tidak bisa memberi manfaat dan tidak bisa menolak bahaya serta bukan pula sebagai sebab yang bermanfa’at. Bahkan, jimat justru menjadi sebab yang membahayakan pemakainya, di dunia maupun di akhirat.
Akibat buruk di Dunia adalah
- Kesengsaraan hati, yaitu ketika hati pemakainya bergantung kepada jimat dan berpaling dari bergantung kepada Allah, Sang Pemberi manfaat dan Sang Penolak bahaya.
- Dengan memakai jimat, pemakainya tidak akan mendapatkan manfaat yang dikehendakinya Hal ini karena jimat bnukanlah media yang dapat mengantarkan seseorang menuju apa yangh diinginkanya. Kalaupun terkadang ia merasa berhasil tercapai maksudnya, maka tentu bukanlah dikarenakan memakai jimat tersebut, tapi karena sebab yang lainnya, hanya saja waktu tercapainya tujuan pemakai bertepatan dengan aturan pemakaian jimat yang dipakai.
Akibat buruk di Akhirat adalah
- Ancaman siksa karena melakukan kesyirikan.
- Ancaman tidak diampuni oleh Allah, jika pemakai jimat mati, sedangkan ia tidak bertaubat, menurut pendapat terkuat bahwa pelaku syirik kecil tidak diampuni dosanya. Jika mati tidak bertaubat kepada Allah Ta’ala, sehingga haruslah melalui proses timbangan antara amal kebaikan dengan keburukannya.
Dalil Kelima (Dalil Terakhir)
Surat Yusuf : 106
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa ia melihat seorang laki-laki. Di tangannya ada benang untuk mengobati dan menangkal sakit panas, maka dia putuskan benang itu seraya membaca firman Allah Ta’ala:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidaklah beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan selain-Nya)” (QS. Yusuf: 106).
Penjelasan:
Makna ayat ini adalah sebahagian besar dari orang-orang musyrik tidak beriman kepada Allah dalam hal Rububiyyah-Nya melainkan dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sembahan-sembahan selain-Nya dalam hal Uluhiyyah.
Dengan demikian, ciri khas orang-orang musyrik yang disebutkan dalam ayat ini adalah
- Mereka beriman kepada Allah dalam hal Rububiyyah.
- Sayangnya, mereka menyekutukan Allah dengan sembahan-sembahan selain-Nya dalam hal Uluhiyyah.
Itulah yang dimaksud dalam ayat ini, bahwa tidaklah mereka beriman kecuali mereka berbuatsyirik. Mereka beriman dalam satu hal, namun mereka berbuat syirik dalam hal yang lain, beriman tentang Rububiyyah Allah, namun syirik dalam Uluhiyyah-Nya dengan beribadah kepada selain-Nya.
Faedah ilmiyyah
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memberi penjelasan dalam rangka membantah kesyirikan kaum musyrikin dengan menyebutkan keimanan mereka dalam Rububiyyah-Nya. Seharusnya mereka mengesakan Allah Ta’ala dalam Uluhiyyah-Nya, dalam seluruh peribadatan yang mereka lakukan, karena mereka telah beriman kepada Allah Ta’ala dalam hal Rububiyyah-Nya.
Ini mengingatkan kita kepada sebuah kaedah besar dalam Tauhid, yaitu:
توحيدالربوبية مستلزم لتوحيد الألوهية
“Mengesakan Allah dalam Rububiyyah-Nya mengharuskan mengesakan-Nya dalamUluhiyyah-Nya”
Siapa yang meyakini keesaan Allah dalam Rububiyyah-Nya, yaitu meyakini bahwa Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam menciptakan makhluk, mengaturnya, memberi rezeki, memberi manfaat, menimpakan keburukan, menghidupkan, mematikannya, dan lainnya yang menjadi kekhususan Allah, maka keyakinan tersebut mengharuskannya mempertuhankan-Nya dalam beribadah, mengesakan, dan mentauhidkan-Nya dalam segala bentuk peribadatan. Karena hanya Dzat yang mampu menciptakan makhluk, mengatur, memberi rezeki, dan melakukan kekhususan lainya dari makna-makna Rububiyyah itu sajalah yang pantas dan wajib disembah. Selain-Nya tidak boleh dan tidak pantas disembah.
Alasan pendalilan:
Ayat ini sesungguhnya adalah ayat yang terkait dengan syirik akbar yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, namun penulis bawakan dalam bab tentang terlarangnya syirik kecil berupa memakai jimat. Hal ini menunjukkan bahwa ayat ini memang bisa menjadi dalil untuk mengingkari perbuatan memakai jimat. Demikian karena perbuatan memakai jimat mengandung unsur kesyirikan.
Kesimpulan Bab: “Di antara bentuk kesyirikan adalah memakai sesuatu yang melingkar dan memakai benang (yang dilingkarkan) serta selain keduanya1, dengan tujuan untukmengangkat musibah atau menolaknya2”.
Syaikh Muhammad At-Tamimi rahimahullah dalam bab ini membawakan lima dalil, yaitu dua dalil dari Al-Qur’an dan tiga dalil dari Al-Hadits dengan perincian sebagai berikut:
1. Surat Az-Zumar: 38
Penjelasan pertama
Ayat ini untuk membantah ketergantungan hati pelaku syirik besar kepada sesembahan selain Allah karena ketergantungan hati semacam ini ada dalam hati pemakai jimat. Kadar ketergantungan hati pemakai jimat kepada jimatnya -selama pemakainya meyakini jimat tersebut sebagai sebab saja- tidaklah sebesar ketergantungan hati pelaku syirik besar kepada sesembahan-sesembahan mereka. Jadi Ayat ini untuk menyatakan batilnya ketergantungan hati kepada selain Allah.
Jika ketergantungan hati kepada sebagian para nabi, rasul dan orang-orang shalih saja adalah sebuah kebatilan, maka lebih-lebih lagi ketergantungan hati kepada jimat, sebuah benda mati tak bernyawa.
Penjelasan kedua
Ayat ini untuk menetapkan bahwa sesembahan yang mereka sembah selain Allah tidak kuasa menolak keburukan atau memberi kebaika, lebih-lebih lagi jimat yang merupakan benda mati.Jimat lebih tidak bisa memberi kebaikan atau menolak keburukan. Alasan pendalilan pada ayat ini adalah dengan menggunakan qiyas/analogi.
Hadits Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim, dishohihkan beliau dan disetujui Adz-Dzahabi).
Penjelasan hadits ini, sehingga berlaku sebagai dalil syiriknya pemakai jimat adalahdinyatakannya bahwa jimat tidak bermanfaat. Dengan demikian jimat bukanlah sebabtercapainya suatu harapan. Jimat justru membahayakan pemakainya di dunia, sedangkan diakhirat, diancam dengan azab.
Berarti pemakainya tidak memenuhi hukum sebab pertama dan kedua, seperti yang telah disebutkan di artikel bagian pertama, karena menjadikan jimat sebagai sebab, padahal bukan sebab, sehingga tergantung hatinya kepada jimat, inilah syirik.
Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu (HR. Ahmad, Ath -Thahawi dan Al-Hakim,dishohihkan beliau dan disetujui Adz-Dzahabi)3.
Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa mengantungkan tamimah maupunwada’ah4 itu haram karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan ataumengabarkan keburukan bagi pemakai jimat sebagai peringatan keras terhadap perbuatan yang syirik tersebut.
Hadits ini bukan hanya dalil bagi haramnya memakai jimat tamimah dan wada’ah saja, namun juga sebagai dalil bagi haramnya memakai seluruh jenis jimat. Hal ini karena adanya kesamaan sebab larangan, yaitu adanya ketergantungan hati pemakai jimat kepada selain Allah, bergantung kepada sesuatu yang disangka sebab, padahal bukan sebab.
Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu (HR. Ahmad 4/156, shahih)
Hadits ini menunjukkan bahwa pemakai jimat jenis apapun adalah pelaku syirik. Demikiankarena adanya vonis hukum syirik yang terdapat dalam hadits ini. Hadits ini tidaklah dikhususkan satu jenis jimat saja, namun umum untuk jimat dengan seluruh jenisnya.
Pada seluruh jimat terdapat kesamaan sebab larangan, yaitu adanya ketergantungan hati pemakai jimat kepada selain Allah, bergantung kepada sesuatu yang disangka sebab, padahalbukan sebab. Hal ini melemahkan tawakkalnya kepada Allah Ta’ala dalam upaya meraih kebaikan ataupun menghindari keburukan.
Surat Yusuf: 106 yang terdapat dalam atsar Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu5.
Ayat ini sesungguhnya adalah ayat yang terkait dengan syirik akbar yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, namun penulis bawakan dalam bab tentang terlarangnya syirik kecil berupa memakai jimat. Hal ini menunjukkan bahwa ayat ini memang menjadi dalil untuk mengingkari pemakaian jimat. Demikian karena memakai jimat mengandung unsur syirik.Wallahu a’lam.
***
Referensi:
- At-Tamhiid, Syaikh Sholeh Alusy-Syaikh
- Fathul Majid, Syaikh Abdur Rahman
- Al-Mulakhkhosh, Syaikh Sholeh Al-Fauzan
- Al-Qoulul Mufiid, Syaikh Sholeh Al-Utsaimin
- Hasyiah Kitabit Tauhiid, Syaikh Abdur Rahman Qosimi.
- Syarhu Kitabit Tauhid , Syaikh Ahmad Al-Hazimi.
Catatan kaki
1. Kasus kesyirikan yang dimaksud dalam judul di atas adalah memakai sesuatu yang melingkar, baik berupa kalung , cincin dan gelang, baik terbuat dari besi, kuningan, emas atau selainnya.
2. Ini adalah kalimat inti kasus kesyirikan jimat, bahwa apapun bentuk suatu jimat dan bagaimanapun cara penggunaannya (baik dengan cara dipakai,dikalungkan, digantungkan, ditempel maupun dengan cara lainnya) serta di manapun diletakkan (di tubuh, rumah, kendaraan, atau selainnya), jika tujuannya untuk mengusir atau menangkal mara bahaya maupun untuk mendapatkan manfa’at, padahal jimat tersebut tidak terbukti sebagai sebuah sebab, baik secara Syar’i (tidak ada dalilnya) atau secara qadari (tidak terbukti secara ilmiah atau pengalaman yang jelas), maka semua itu adalah jimat.
3. Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa sanad dari hadits ini dho’if (lemah).
4. Lihat makna tamimah dan wada’ah pada artikel sebelumnya.
5. Atsar (Riwayat) Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ini dho’if, sebagaimana disebutkan dalamSyarhu Kitabit Tauhid , Syaikh Ahmad Al-Hazimi.
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah