Dan sungguh telah mutawatir dalil-dalil kitab dan sunnah secara lafadz dan makna tentang tetapnya sifat ini bagi Allah. Dan dalil-dalil itu mencapai seribu dalil sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dari sebagian pengikut Asy Syafi’iyah (Lihat Al Fatawa 5/121 dan Ash Shawa’iqul Mursalah4/1279) dan berkata Ibnul Qayyim: “Dan seandainya kami ingin maka akan kami datangkan seribu dalil tentang masalah ini (Al ‘Uluw –pent).” (Ijtima‘ul Juyusy hal 331)
Dalil-Dalil dari Al Qur`an
Adapun dalil-dalil dari Al Qur`an sangatlah banyak, bahkan Ibnul Qayyim telah membagi dalil-dalilnaqliyah yang menunjukkan akan ketinggian Allah menjadi dua puluh satu bagian, diantaranya: penyebutan secara sharih (jelas) dengan kata Istiwa` dan ketinggian Allah dari semua yang ada di bawah-Nya, penyebutan naiknya sesuatu kepada-Nya, diangkatnya sebagian makhluk pada-Nya, diturunkan kitab dari-Nya, pengkhususan sebagian makhluk-Nya bahwa mereka disisi-Nya diatas langit, diangkatnya tangan-tangan kepada-Nya, turunnya Allah setiap malam ke langit dunia dan yang semisalnya. (Lihat Mukhtasar Ash Shawa‘iq 2/205 dan sesudahnya, An Nuniyah dengan syarah Syaikh Al Harras 1/184-251 dan Syarh Al Aqidah At Thahawiyah hal 380-386)
Diantara ayat-ayat tersebut:
اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِاسْتَوٰى
“(Rabb)Yang Maha Pemurah, Yang Beristiwa di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha: 5)
Dan pada enam tempat dalam Al Qur`an, Allah berfirman:
ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Dia Istiwa` di atas ‘Arsy.” (QS. Al A’raf: 54, Yunus: 3, Ar Ra’d: 2, Al Furqan: 59, As Sajadah: 4, dan Al Hadid: 4)
Berkata Abul ‘Aliyah: اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ artinya إِرْتِفَاعٌ (di atas) dan berkata Mujahid اسْتَوٰى artinya عَلاَ (di atas). (LihatFathul Bary 13/403-406)
Kata Imam Al Qurthuby dalam tafsirnya: “Dan para salaf terdahulu tidak mengatakan atau melafadzkan bahwa tidak ada arah (sisi) bahkan mereka sepakat mengatakan dengan lisan-lisan mereka untuk menetapkannya bagi Allah sebagaimana Al Qur`an dan Rasul-Nya berbicara dan tidak ada seorangpun dari salaf yang mengingkari bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya secara hakiki dan mengkhususkan ‘Arsy-Nya karena dia merupakan makhluk-Nya yang paling besar dan mereka tidak mengetahui kaifiat Istiwa` karena tidak diketahui hakekatnya.” (Lihat Tafsir Qurthuby 7/219)
Kata Ibnu Katsir: “Manusia dalam menafsirkan ayat ini sangat banyak pendapatnya dan bukan tempatnya untuk menjelaskannya tetapi kita mengikuti pada masalah ini madzhabnya As Salafus Shalih; Malik, Al Auza‘iy, Ats Tsaury, Al Laits bin Sa’ad, Asy Syafi’iy, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan selainnya dari Imam-Imam kaum muslimin baik dahulu maupun sekarang, yaitu menafsirkannya sebagaimana adanya (zhahirnya) tanpa takyif (membagaimanakannya), tasybih (menyerupakannya) dan ta’thil (menolaknya).”
ءَاَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَآءِ اَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْاَرْضَ فَاِذَا هِيَ تَمُوْرُ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumu bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al Mulk: 16)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan ketinggian dan keberadaan Allah –Subhanahu wa Ta’ala- diatas langit serta menutup jalan untuk meniadakan atau menghilangkan sifat ketinggian-Nya atau mentakwilkannya.
Kata Imam Ahmad: “Ini adalah berita dari Allah yang memberitahukan pada kita bahwasanya Dia berada di atas langit dan kami mendapati segala sesuatu dibawah-Nya adalah tercela. Allah –Jalla Tsana‘uhu- berfirman:
اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْاَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. An Nisa‘: 145)
“Dan orang-orang kafir berkata: “Ya Rabb kami perlihatkanlah kami dua jenis orang yang telah menyesatkan kami (yaitu) sebagian dari jin dan manusia agar kami letakkan keduanya di bawah telapak kaki kami supaya kedua jenis itu menjadi orang-orang yang hina.” (QS. Fushshilat: 29)” (Ar Raddu ‘Alal Jahmiyah karya Imam Ahmad hal 136)
Kata Imam Al Baihaqi: “Berkata Syaikh Abu Bakar Ahmad bin Ishaq bin Ayyub Al Faqih ‘Kadang-kadang orang Arab meletakkan (في) di tempat (على) sebagaimana dalam firman Allah:
وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ
“Dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma.” (QS. Thaha: 71)
Maksudnya adalah di atas pangkal pohon kurma. Dan Allah berfirman:
فَسِيحُواْ فِي الأَرْضِ
“Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di permukaan bumi.” (QS. At Taubah: 2)
Maknanya di atas permukaan bumi. Demikian pula firman-Nya (فِى السَّمَآءِ) maknanya di atas ‘Arsy di atas langit.” (Al Asma‘ wa Ash Shifat 2/330)
“Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi.” (QS. Al A’la: 1)
Ayat ini merupakan dalil yang jelas bahwa Allah –Subhanahu wa Ta’ala- berada di atas semua makhluk-Nya. Dan Rasulullah –Shallallahu’alayhi wa ‘ala alihi wa sallam- memerintah untuk mengucapkan di waktu sujud:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى
“Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi.”
Dengan pernyataan ini berarti kita tunduk dan merendahkan diri pada-Nya dengan hati dan anggota badan. Hal ini menunjukkan bahwa kita di bawah dan rendah serta pengakuan akan ketinggian Allah dengan lisan-lisan kita yang menunjukkan Allah berada di atas dan Maha Tinggi.
يَخَافُوْنَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَايُؤْمَرُوْنَ
“Mereka takut kepada Rabb mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS. An Nahl: 50)
Ayat ini menetapkan ketinggian Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia karena Allah –Subhanahu wa Ta’ala- menyebutkan dalam ayat ini para malaikat yang takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka. Dan merupakan hal yang telah diketahui bahwa para malaikat itu berada di langit dan di atas kita, sedangkan di atas mereka adalah Rabbul ‘Izzah.
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحاً لَّعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِباً وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ
“Dan berkatalah Fir’aun: ‘Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya sku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Rabbnya Musa dan sesungguhnya aku menganggapnya sebagai seorang pendusta.’ Demikianlah dijadikan Fir’aun memadang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar), dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS. Al Mukmin: 36-37)
Dalam ayat ini ada dalil yang sangat jelas bahwasanya Musa mendakwahi Fir’aun untuk mengenal Allah yang berada di atas langit. Oleh karena itu Fir’aun memerintahkan Haman untuk membangun untuknya bangunan yang tinggi untuk melihat Rabb Musa. Dengan mengatakan ‘sesungguhnya aku menganggapnya sebagai seorang pendusta.’ Lalu bagaimana kedudukan orang yang mengingkari Allah berada di atas langit, manakah yang lebih baik dari mereka daripada Fir’aun dalam masalah ini? (Ar Raddu ‘Alal Jahmiyah hal 45)