Para ulama memasukkan pemba-hasan ini dalam pembahasan aqidah dan orang-orang yang menyelewengkannya dengan menyimpangkan hakikat syafaat, bakal disikapi dengan keras. Di antara mereka yang menyelewengkannya, ada yang ifrath (berlebihan) dalam memaknainya hingga jatuh dalam syirik besar. Ada juga yang menempuh jalan tafrith (meremehkan) permasalahan, bahkan menyimpangkannya hingga terjatuh dalam sikap menolak sebagian syafaat. Berdasarkan hal ini, para ulama menyebutkan kaidah-kaidah yang terkait dengan syafaat di dalam kitab mereka. Di antaranya:
q Al-Imam Ahmad t mengatakan: “Beriman dengan syafaat Nabi n dan beriman dengan adanya suatu kaum yang telah masuk neraka dan telah terbakar serta menjadi arang, kemudian mereka diperintah menuju sebuah sungai yang berada di pintu surga –seperti disebutkan dalam riwayat tentang hal ini– dan (kita imani) bagaimana dan kapan terjadinya. Terhadap yang demi-kian kita hanya beriman dan mempercayai.” (Ushulus Sunnah Lil Imam Ahmad hal. 32)
q Abu Ja’far Ath-Thahawi t mengatakan: “Dan syafaat yang dipersiap-kan untuk mereka kelak adalah haq (benar adanya), sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits.” (Lihat matan Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, masalah ke-41)
q Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdur-rahman Ash-Shabuni t berkata: “Ahli agama dan Ahlus Sunnah mengimani syafaat Rasulullah n bagi pelaku dosa dari kalangan orang-orang yang bertauhid dan pelaku dosa besar (lainnya), sebagaimana telah diberitakan Rasulullah n dalam hadits yang shahih.” (Lihat ‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal. 76)
q Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t mengatakan: “Nabi kita Muhammad n akan memberikan syafaat kepada para pelaku dosa besar yang telah masuk neraka agar mereka bisa keluar setelah mereka terbakar dan menjadi arang, kemudian masuk ke dalam surga. Dan para nabi, orang-orang yang beriman serta malaikat akan memberikan syafaat (dengan seizin Allah). Allah I berfirman:
“Dan mereka tidak akan sanggup memberikan syafaat melainkan untuk orang yang Allah ridhai; dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada Allah.” (Al-Anbiya`: 28)
Adapun orang-orang kafir, tidak akan bisa merasakan syafaat orang yang memberi syafaat.” (Syarah Lum’atil I’tiqad, hal. 128)
Para ulama Ahlus Sunnah mengimani bahwa Rasulullah n akan memberikan syafaat bagi seluruh umat pada hari kiamat nanti, sebagai syafaat yang menyeluruh. Dan bahwa beliau akan memberikan syafaat bagi pelaku dosa dari umat beliau sehingga mengeluarkan mereka setelah menjadi arang. (Lihat ‘Aqa`id A`immatis Salaf, hal. 113)
Mengapa ketika berbicara tentang syafaat, para ulama menitikberatkan pembahasan pada masalah syafaat bagi pelaku dosa besar?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t telah menjawabnya dengan mengatakan: “Ibnu Katsir dan pensyarah kitab Ath-Thaha-wiyyah mengatakan: ‘Maksud ulama salaf meringkas pembahasannya dalam masalah syafaat hanya kepada pelaku dosa besar adalah sebagai bantahan terhadap Khawarij dan kalangan Mu’tazilah yang mengikuti konsep mereka (karena dua kelompok ini mengingkari syafaat tersebut, ed)’.” (Syarah Lum’atil I’tiqad hal. 129)
Milik Siapakah Syafaat?
Syafaat adalah milik Allah semata, dan semua urusannya kembali kepada Allah. Dialah yang akan memberikan izin kepada siapa yang dikehendaki-Nya untuk mendapatkan dan memberikannya. Allah I berfirman:
“Katakan bahwa syafaat itu semuanya milik Allah.” (Az-Zumar: 44)
Ibnul Jauzi t dalam tafsirnya mengatakan: “Seseorang tidak akan sanggup memilikinya melainkan dengan kehendak-Nya. Dan seseorang tidak akan bisa memberikan syafaat melainkan dengan izin-Nya.” (Zadul Masir hal. 1232)
Berdasarkan hal ini, maka meminta syafaat kepada selain pemiliknya merupa-kan kesyirikan yang sangat besar. Orang yang memintanya kepada selain Allah akan terhalangi untuk mendapatkannya kelak di sisi Allah. Karena orang yang akan mendapatkannya adalah orang yang bersih dari kesyirikan dan mereka yang diridhai.
Apakah Hamba akan Bisa Memberikan Syafaat?
Telah dijelaskan Rasulullah n dalam Sunnahnya bahwa selain Allah bisa memberikannya, namun tetap tidak terlepas dari kehendak Allah dan harus terpenuhi syaratnya. Mereka adalah para nabi, malaikat, orang-orang yang beriman, dan anak-anak terhadap kedua orang tuanya.
Rasulullah n bersabda:
“Allah U berfirman: Malaikat akan memberikan syafaat, para nabi memberikan syafaat, dan kaum mukminin akan mem-berikan syafaat, dan tidak tersisa kecuali milik Allah.”1
Rasulullah n bersabda:
“Sesungguhnya dari umatku ada orang yang akan memberikan syafaat kepada sekelompok orang. Dan di antara mereka ada juga yang akan memberikan syafaat kepada sebuah qabilah. Dan di antara mereka ada yang memberikan syafaat kepada al-’ushbah2. Dan di antara mereka ada yang akan memberikan syafaat kepada satu orang, sehingga mereka masuk surga.”3
Rasulullah n bersabda:
“Tidaklah seorang muslim ditinggal tiga anaknya yang mati belum baligh melainkan Allah akan masukkan dia ke dalam surga dengan keutamaan rahmat-Nya kepada mereka.” 4
Dan semua hadits yang menjelaskan tentang syafaat memperkuat bahwa di antara hamba-hamba Allah ada yang akan memberikan syafaat di sisi-Nya.
Syarat untuk Mendapatkan Syafaat Allah
Syafaat merupakan sesuatu yang dibutuhkan setiap hamba ketika mengha-dapi kegentingan hidup di dunia maupun di akhirat nanti. Kebutuhan terhadap syafaat menyebabkan sebagian manusia jatuh dalam kesyirikan, yakni dengan memintanya kepada selain Allah. Mereka tidak menge-tahui bahwa perbuatan yang mereka laku-kan itu justru akan menghalanginya menda-patkan syafaat.
Ada dua syarat bagi seseorang untuk mendapatkan syafaat dan memberikan syafaat di sisi Allah.
Pertama: Orang yang akan memberikan syafaat mendapatkan izin dari Allah. Tanpa izin-Nya, tidak ada seorangpun yang sanggup memberikan syafaat di sisi Allah. Allah I berfirman:
“Tidak ada seorangpun yang memberi syafaat di sisi-Nya melainkan dengan seizin-Nya.” (Al-Baqarah: 255)
Syafaat di sisi Allah tidaklah seperti syafaat makhluk kepada yang lain yang bisa diberikan meskipun tidak diizinkan.
Kedua: Orang yang akan menda-patkan syafaat adalah orang-orang yang diridhai Allah, dan Allah tidak meridhai kekufuran dan kesyirikan namun meridhai keimanan dan ketauhidan.
Allah I berfirman:
“Dan mereka tidak akan memberikan syafaat melainkan kepada orang yang telah Allah ridhai.” (Al-Anbiya`: 28)
“Dan Allah tidak meridhai kekufuran bagi hamba-hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
Dan Allah I telah menghimpun kedua syarat ini di dalam firman-Nya:
“Dan berapa banyak malaikat yang ada di langit, syafaat mereka tidak berguna sedikitpun kecuali setelah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai.” (An-Najm: 36) [lihat Syarah Aqidah Thahawiyyah Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 21, Al-Qaulul Mufid Syarah Kitab At-Tauhid Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 1/437, Kasyfus Syubhat Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab hal. 154, Syarah Lum’atul I’tiqad hal. 130]
Manusia dan Syafaat
Dalam permasalahan syafaat manusia digolongkan menjadi tiga:
1. Kaum yang ghuluw (berlebihan) di dalam menetapkan adanya syafaat sehingga mereka memintanya dari orang-orang yang telah mati, kuburan, patung-patung, batu-batu, dan pepohonan. Allah I berfirman:
“Dan mereka menyembah selain Allah sesuatu yang tidak bisa memberikan kemudharatan dan manfaat kepada mereka, dan mereka mengatakan bahwa mereka (yang disembah itu) adalah pensyafaat kami di sisi Allah.” (Yunus: 18)
“Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3)
2. Kaum yang berlebihan di dalam menafikan syafaat seperti halnya kaum Mu’tazilah dan Khawarij di mana mereka menafikan adanya syafaat bagi para pelaku dosa besar. Mereka berani menyelisihi sesuatu yang dalilnya telah mutawatir dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
3. Kaum yang berada di tengah-tengah, yang menetapkan adanya syafaat sesuai dengan apa yang telah disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tanpa tafrith dan ifrath. Mereka adalah Ahlus Sunnah. (lihat Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah Asy-Syaikh Shalih Fauzan, hal 21)
Ibnu Abil ‘Izzi menjelaskan: “Manusia dalam permasalahan syafaat ada tiga (golongan) pendapat:
(Pertama): Musyrikin, Nasrani, dan Sufiyyah yang ghuluw terhadap guru-guru mereka dan selainnya. Mereka meyakini bahwa syafaat orang yang mereka agungkan di sisi Allah bagaikan syafaat di dunia.5
(Kedua): Mu’tazilah dan Khawarij. Mereka mengingkari syafaat Nabi kita n dan selainnya, terhadap pelaku dosa besar.
(Ketiga): Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka menetapkan adanya syafaat Rasulullah n dan selain beliau terhadap pelaku dosa besar, dan bahwa tidak ada yang bisa memberikan syafaat melainkan dengan izin Allah. (Syarah Aqidah Thahawiyyah hal. 235)
Macam-Macam Syafaat
Telah dibahas oleh para ulama bahwa syafaat secara umum ada dua macam:
Pertama: Syafaat Manfiyyah yaitu syafaat yang ditiadakan oleh Al-Qur`an, yaitu syafaat yang mengandung kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menjelaskan: “Allah telah meniadakan segala hal yang dijadikan tempat bergantung kaum musyrikin selain-Nya. Allah meniada-kan dari selain-Nya, segala bentuk kepemi-likan, bagian atau bantuan untuk Allah. Sehingga tidak tersisa lagi melainkan syafaat.
Dan Allah menjelaskan bahwa syafaat tidak bermanfaat kecuali yang mendapat izin dari Allah, sebagaimana firman Allah: “Mereka tidak bisa memberikan manfaat kecuali kepada siapa yang diridhai-Nya.” Syafaat jenis inilah yang disangka kaum musyrikin (bahwa mereka akan menda-patkannya). Padahal (mereka) tidak akan mendapatkannya pada hari kiamat sebagaimana telah ditiadakan oleh Al-Qur`an.
Dan Rasulullah n telah memberitakan bahwa beliau datang menghadap Allah kemudian bersujud dan bertahmid. Dan beliau tidak memulai dengan (meminta) syafaat, kemudian dikatakan kepada beliau: “Angkat kepalamu dan katakanlah, maka akan didengar. Dan mintalah, akan diberi. Dan mintalah syafaat, kamu akan diberi-kan.” Abu Hurairah z berkata: “Siapakah yang paling berbahagia dengan syafaat engkau?” Beliau n bersabda: “Orang yang mengucapkan La ilaha illallah dengan penuh keikhlasan dari dalam hatinya.”
Itulah syafaat bagi orang-orang yang ikhlas dengan izin Allah dan tidak akan diberikan bagi orang yang menyekutukan Allah. Hakikatnya adalah Allah-lah yang akan memberikan keutamaan kepada orang-orang yang ikhlas. Allah akan mengampuni mereka melalui doa orang yang telah diizinkan untuk memberikan syafaat yang bertujuan untuk memulia-kannya dan mendapatkan kedudukan yang terpuji. Maka syafaat yang ditiadakan Al-Qur`an adalah syafaat mengandung kesyirikan. Oleh karena itu Allah menetapkan adanya syafaat dalam banyak tempat dan Rasulullah n telah menjelaskan bahwa syafaat tidak akan didapati melainkan bagi orang yang bertauhid dan ikhlas.” (Lihat Majmu’ Fatawa 1/116 dan Al-Kalam ‘ala Haqiqatil Islam hal. 116-121)
Kedua: Syafaat mutsbatah yaitu syafaat yang keberadaannya ditetapkan Al-Qur`an bagi orang-orang yang bertauhid.
Syafaat ini ada dua bentuk, yang sifatnya umum dan yang sifatnya khusus.
1. Syafaat yang sifatnya khusus
Khusus artinya hanya dimiliki Rasulul-lah n dan tidak dimiliki oleh selain beliau dari kalangan para nabi dan rasul.
a. Syafaat Al-‘Uzhma atau Al-Kubra yaitu syafaat kepada seluruh manusia di hari mahsyar, sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah z dan juga dari shahabat Anas bin Malik z. Dalam syafaat ini, para rasul (selain Rasulullah n) berlepas diri darinya dan tidak sanggup memberikannya kepada yang lain. Itulah maqam mahmud (kedudukan yang terpuji) bagi imam para rasul sebagaimana telah dijanjikan Allah di dalam Al-Qur`an. Tidak ada penentangan sedikitpun dalam masalah ini baik dari Khawarij ataupun Mu’tazilah
b. Syafaat beliau terhadap penduduk surga untuk masuk ke dalamnya. Karena, setelah mereka melewati Shirath (titian) dan sampai ke surga, mereka menemukannya dalam keadaan tertutup dan mereka memin-ta siapa yang akan memberikan syafaat. Lalu Rasulullah n meminta kepada Allah untuk memberikan syafaat kepada mereka. (lihat Al-Qaulul Mufid Syarah Kitab At-Tauhid 1/426)
2. Syafaat yang sifatnya umum
Umum artinya syafaat yang dimiliki oleh Rasulullah n dan selain beliau dari kalangan para nabi dan rasul berikut kaum mukminin.
a. Syafaat bagi para pelaku maksiat dari kalangan umat beliau yang berhak masuk neraka agar tidak memasukinya.
b. Syafaat beliau bagi ahli tauhid yang bermaksiat dan telah masuk ke dalam neraka agar bisa keluar darinya. Hadits yang menjelaskan demikian adalah mutawatir dari Rasulullah n. Dan sungguh para shahabat Rasulullah n telah ijma’ (sepakat) terhadap hal itu, dan begitu pula seluruh Ahlus Sunnah. Dan setiap orang yang mengingkarinya akan dicap sebagai pelaku bid’ah dan mereka disikapi dengan keras dan tegas. Di sinilah letak penentangan kaum Khawarij dan Mu’tazilah, dan kalangan ahli bid’ah yang mengikuti langkah mereka.
c. Syafaat untuk mengangkat derajat kaum mukminin di dalam surga. Dalam syafaat ini tidak ada penentangan sedikitpun baik dari Mu’tazilah atau Khawarij.
Namun yang jelas, semua jenis syafaat ini akan diberikan kepada orang-orang yang bertauhid, yang mereka tidak menjadikan selain Allah sebagai wali (penolong) dan syafi’ (pembela). Allah I berfirman:
“Dan berikanlah peringatan kepada orang yang takut untuk dibangkitkan ke hadapan Rabb mereka, yang mereka tidak memiliki penolong dan pembela selain Allah.” (Al-An’am: 51) [Lihat Fathul Majid hal. 244-252, Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah Ibnu Abil ‘Izzi hal. 232, Al-Qaulul Mufid 1/426, ‘Aqa`id A`immatis Salaf hal.113]
Syafaat di Sisi Allah Tidak Sama dengan Syafaat di Antara Makhluk
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa syafaat di sisi Allah memiliki tujuan dan syarat, yang bila tidak dipenuhi maka seseorang tidak akan mendapatkan syafaat dan tidak bisa memberikannya kepada orang lain. Kedua syarat tersebut adalah: Pertama, orang tersebut harus diridhai Allah untuk mendapatkannya. Dan yang akan menda-patkan keridhaan adalah orang-orang yang beriman dan bertauhid. Kedua, mendapat-kan izin Allah dan yang mendapat izin Allah untuk memberikan syafaat hanyalah orang yang beriman dan bertauhid.
Adapun syafaat di sisi manusia bisa dilakukan oleh siapapun juga baik ada izin atau tidak, diridhai atau tidak. Berdasarkan hal ini, tidak diperbolehkan mengkiaskan syafaat di sisi Allah dengan syafaat di sisi makhluk. Dan syafaat yang ada di sisi Allah tidak boleh diminta kepada siapapun dari makhluk, bagaimanapun kedudukan dan tingkatannya, baik dia seorang malaikat, nabi ataukah kepada selain mereka seperti kepada wali, kuburan-kuburan, dan sebagainya.
Syafaat di sisi makhluk kepada yang lain ada dua macam:
Pertama: Syafaat yang baik, yaitu syafaat dalam perkara-perkara yang baik dan bermanfaat serta yang diperbolehkan (mubah), dengan cara menjadikan sese-orang sebagai perantara untuk menyam-paikan kebutuhannya kepada orang tertentu. Dan ini telah dijelaskan tentang kebolehannya di dalam Al-Qur`an. Firman Allah I:
“Barangsiapa memberikan pembelaan yang baik maka dia akan mendapatkan bahagian (pahala) darinya.” (An-Nisa`: 85)
Sebagaimana juga dalam sabda Rasulullah n:
“Berikanlah pembelaan kalian (yang baik) kalian akan diberikan pahala dan Allah akan memutuskan melalui lisan Rasul-Nya, apa yang dikehendaki-Nya.”6
Ini adalah bentuk syafaat yang baik, berpahala, dan juga bermanfaat bagi kaum muslimin agar hajat mereka tertunaikan dan mereka mendapatkan apa yang dicari, tanpa ada unsur mendzalimi dan melam-paui batas hak-hak orang lain.
Kedua: Syafaat yang jelek, yaitu menjadi perantara dalam perkara-perkara yang diharamkan Allah. Seperti, syafaat dalam rangka menggugurkan hudud (hu-kuman) bagi orang yang berhak menerima-nya. Dan orang yang melakukan pembelaan seperti ini termasuk dalam orang-orang yang mendapatkan laknat dari Allah, sebagai-mana sabda Rasulullah n:
“Allah melaknat orang-orang yang melindungi pelaku kejahatan.”7
Termasuk juga dalam syafaat yang jelek adalah syafaat dalam mengambil hak orang lain kemudian diberikan kepada orang yang tidak berhak. Allah I berfirman:
“Dan barangsiapa memberikan syafaat (pembelaan) yang jelek maka dia akan mendapatkan bagian (dosa) atasnya.” (An-Nisa`: 85) [Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 21]
Makna Hadits Abu Hurairah z
Abu Hurairah z bertanya kepada Rasulullah n:
“Ya Rasulullah, siapakah yang paling beruntung dengan syafaat engkau kelak pada hari kiamat?” Rasulullah n bersabda: “Sung-guh aku telah menyangka bahwa tidak ada seseorang yang lebih dahulu bertanya tentang ini kecuali engkau, karena semangatmu da-lam mencari hadits.”
Beliau bersabda: “Orang yang paling beruntung dengan syafa-atku kelak adalah orang yang mengucapkan La ilaha illallah dengan penuh keikhlasan dari dalam hatinya.”8
Al-Hafizh Ibnu Hajar t mengata-kan: “Ucapan beliau: ‘Orang yang meng-ucapkan La ilaha illallah’ adalah untuk mengecualikan orang yang menyekutukan Allah; dan ucapan beliau ‘dengan penuh keikhlasan’ mengecualikan orang-orang yang munafiq dalam mengucapkannya. (Lihat Fathul Bari 1/236)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t menjelaskan: “Kaum musyrikin tidak mendapatkan syafaat sedikitpun, karena mereka tidak mengucapkan La ilaha illallah… Dan (perkataan beliau: dengan penuh keikhlasan) mengecualikan orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaha illallah karena kemunafikan, mereka tidak menda-patkan syafaat sedikitpun… Dan ucapan Rasulullah n ‘dengan penuh keikhlasan’ artinya selamat (aqidahnya) tanpa dikotori sedikitpun oleh sifat riya` (ingin pamer dalam beramal) dan sum’ah (memper-dengarkan amalnya dengan harapan mendapatkan pujian dari orang lain). Ini merupakan gambaran sebuah persaksian (terhadap La ilaha illallah) dengan penuh keyakinan.” (Lihat Al-Qaulul Mufid 1/440)
Wallahu a‘lam.
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah)
1 HR. Al-Imam Muslim di dalam Shahih beliau dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z dalam hadits yang panjang tentang ru‘yatullah no. 183.
2 Al-’Ushbah yaitu sekelompok orang yang berjumlah antara 10 sampai 40 orang. (An-Nihayah, ed)
3 HR. Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam kitab Asy-Syafaat hal. 195
4 HR. Al-Imam Al-Bukhari dari shahabat Anas bin Malik z no. 1248 dan hadits ini juga datang dari shahabat Abu Hurairah z diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 1251 dan Muslim no. 2632, dan datang dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri z diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1249 dan Muslim no. 2633.
5 Yakni semacam perantara di dunia. Semisal orang yang ingin bertemu raja maka dia butuh perantara yang dekat dengan raja tersebut. Demikian pula kepada Allah I, menurut mereka. Wallahu a’lam. -ed
6 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 1432 dan Muslim no. 2627.
7 HR. Al-Imam Muslim no. 1566
1 HR. Al-Imam Muslim di dalam Shahih beliau dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z dalam hadits yang panjang tentang ru‘yatullah no. 183.
2 Al-’Ushbah yaitu sekelompok orang yang berjumlah antara 10 sampai 40 orang. (An-Nihayah, ed)
3 HR. Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam kitab Asy-Syafaat hal. 195
4 HR. Al-Imam Al-Bukhari dari shahabat Anas bin Malik z no. 1248 dan hadits ini juga datang dari shahabat Abu Hurairah z diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 1251 dan Muslim no. 2632, dan datang dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri z diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1249 dan Muslim no. 2633.
5 Yakni semacam perantara di dunia. Semisal orang yang ingin bertemu raja maka dia butuh perantara yang dekat dengan raja tersebut. Demikian pula kepada Allah I, menurut mereka. Wallahu a’lam. -ed
6 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 1432 dan Muslim no. 2627.
7 HR. Al-Imam Muslim no. 1566