Belakangan yang ditemukan di negeri kita, ruwatan dilakukan oleh kalangan
intelektual. Mobil “arep” drive test, maka diruwat dulu, disiram bunga
kembang biar ampuh tak kena bala di tengah pengujian. Tak tahunya, mobilnya
gagal emisi, bahkan diceritakan pada test yang lain ada yang kena musibah sampai
tabrak tebing.
Kami bukan bermaksud mengomentari kegagalan tersebut, karena mau diruwat atau
pun tidak, tetap saja bisa gagal jika Allah menakdirkan. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ
وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
“Patut engkau tahu bahwa apa yang ditakdirkan akan menimpamu tidak akan
luput darimu dan apa yang ditakdirkan luput darimu tidak akan menimpamu.”
(HR. Abu Daud no. 4699 dan Ahmad 5: 185, shahih kata Syaikh Al
Albani).
Namun yang dipersoalkan adalah ritual yang dilakukan sebelumnya. Kenapa mesti
ritual seperti ini yang diadakan?
Seorang muslim diajarkan untuk mengadukan segala hal dan kesusahannya pada
Allah, dengan meminta dan berdo’a pada-Nya. Jika ada kesulitan ataupun ingin
menolak bala’, maka kita diperintahkan meminta pada Allah. Sebagaimana kita
dapat renungkan dalam ayat,
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا
مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ (53) ثُمَّ إِذَا كَشَفَ الضُّرَّ
عَنْكُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْكُمْ بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ (54)
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya),
dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta
pertolongan. Kemudian apabila Dia telah menghilangkan
kemudharatan itu dari pada kamu, tiba-tiba sebahagian dari pada kamu
mempersekutukan Allah dengan (yang lain)” (QS. An Nahl: 53-54). Itulah
keadaan manusia saat ini, ada sebagian yang berdo’a hanya pada Allah. Namun
sebagian kalangan, ada yang mengadukan kesusahannya kepada selain Allah, kepada
jin, mayit dalam kubur, dll.
Yang dilakukan dalam acara ruwatan, bukanlah minta pada Allah. Namun jin
dijadikan tempat meminta pertolongan. Jin atau setan itu dipanggil oleh dukun
sehingga saat uji emisi, ada yang membantu. Padahal meminta tolong pada jin
untuk menolak bala telah disebutkan dalam Al Qur’an Al Karim,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ
بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah
bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. Al Jin: 6). Dari Al ‘Aufi, dari Ibnu
‘Abbas, ia berkata, “Setan malah menambah dosa pada manusia”.
Tak tahunya, jin pun tidak bisa menolak kehendak Allah. Kalau Allah takdirkan
gagal, yah gagal walau dengan bantuan 1000 jin sekali pun.
Kalau ritual ruwatan berisi do’a tulus pada Allah, mengapa harus pakai
kembang bunga saat ruwat dari mana tuntunannya ataukah itu wasiat dari jin?
Mengapa harus datangkan dukun, kenapa tidak meminta atau berdo’a pada Allah
langsung? Dukun juga biasanya kagak shalat (itu yang umum ditemukan), mana
mungkin ia meminta pada Allah dengan tulus?
Kenapa kita tidak cukup berdo’a pada Allah saja? Di antara do’a yang bisa
kita panjatkan,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ
وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ
سَخَطِكَ
“Alloohumma innii a'uudzu bika min zawaali
ni'matik, wa tahawwuli 'aafiyatik, wa fujaa'ati niqmatik, wa jamii'i
sakhothik” [Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang
telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari
segala kemurkaan-Mu] (HR. Muslim no. 2739). Do’a ini berisi permintaan, di
antaranya agar nikmat itu tetap ada.
Begitu juga yang diajarkan ketika kita melewati tempat angker yang sebelumnya
belum pernah dilewati dan ditakutkan kena celaka, kita bisa juga membaca do’a
sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ
اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى
يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barangsiapa yang singgah di suatu tempat lantas ia mengucapkan “a’udzu bi kalimaatillahit taammaati min syarri maa
kholaq” (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari
kejahatan makhluk yang diciptakanNya)”, maka tidak ada sama sekali yang dapat
memudhorotkannya sampai ia berpindah dari tempat tersebut” (HR. Muslim no.
2708).
Jika ada yang mengomentari, ruwatan kan
hanya budaya?
Iya itu budaya, betul sekali. Namun itu budaya syirik. Dahulu orang musyrik
di masa Nabi juga beralasan karena ini adalah budaya. Akhirnya, mereka terus
melestarikan budaya kegelapan tersebut. Yang dikatakan oleh orang-orang musyrik
dahulu,
إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى
آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ
"Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka" (QS. Az Zukhruf: 22).
Lihat mereka pun beralasan karena yang mereka lakukan itu budaya dan tradisi.
Tidak ada hujjah dalil atau wahyu yang mereka sampaikan kecuali alasan itu.
Sampai-sampai gara-gara ingin kokoh dengan tradisi, maka paman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mati dalam keadaan kafir karena
digoda oleh teman-temannya untuk tetap terus mempertahankan budaya. Coba
renungkan kisah Abu Tholib saat-saat ia mau meninggal dunia.
Kalau mau menjadi muslim, jadilah muslim yang tulen. Jangan separuh-paruh.
Allah menyeru kita orang beriman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ
كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208). Kata Mujahid, maksud
'masuklah dalam Islam secara keseluruhan': “Lakukanlah seluruh amalan
dan berbagai bentuk kebaikan.” Dan semulia-muliannya amalan adalah memurnikan
ibadah hanya untuk Allah (mentauhidkan Allah) termasuk dalam do’a.
Point yang mesti diperhatikan bahwa tidak semua tradisi ditolak oleh Islam,
yang bertentangan saja dengan akidah dan ajaran Rasul, itu yang tidak kita
lakukan.
Sebagaimana kisah yang kami kemukakan di awal, setelah desa kami diruwat biar
tidak ada lagi yang bunuh diri, ternyata berselang dua tahun kemudian, ditemukan
kasus yang sama, bahkan kejadiannya di tetangga dekat rumah yang sebelumnya
menjadi korban bunuh diri. Intinya, ruwatan di samping tidak bisa menolak
mudhorot (bahaya), kerugian lainnya akan dinantikan di akhirat kelak berupa
siksaan yang pedih bagi pelaku kesyirikan.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ
مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48).
Ruwatan mengundang kegagalan dunia, apalagi akhirat. Wallahul
musta’an.
Semoga Allah memberi hidayah pada kita untuk terus bertauhid dan
menjauhkan kita dari segala macam perbuatan syirik.
rumaysho