Tuesday, May 23, 2017

Sifat Orang Munafik Dalam Urusan Ibadah

SENANG DENGAN KEMAKSIATAN

Orang yang beriman bisa saja terjatuh dalam kemaksiatan karena mengikuti hawa nafsunya, akan tetapi dia akan segera bertaubat dan memperbaiki diri, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءُ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
Setiap bani Adam sering melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang sering berbuat kesalahan adalah orang yang mau bertaubat[1]
Dia akan menyesali dan merasa berat dengan dosa yang dia lakukan, sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu :
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ
Seorang Mukmin melihat dosa-dosanya seperti dia berada di bawah gunung dia takut gunung itu akan menimpanya, sedangkan orang fajir, dia melihat dosa-dosanya seperti melihat lalat hinggap dihidungnya dengan sekali kibasan maka lalat itu akan pergi.”[2]
Ini berbeda dengan orang munafik yang bersuka ria dan merasa nyaman dengan perbuatan dosa dan maksiatnya. Padahal menampakkan perbuatan maksiat dan merasa senang dengannya adalah bentuk kemaksiatan tersendiri yang akan ditambahkan dosanya dengan kemaksiatan pertama.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَرَّتْكَ حَسَنَتُكَ وَسَاءَتْكَ سَيِّئَتُكَ فَأَنْتَ مُؤْمِنٌ
Jika perbuatan baikmu membuatmu gembira dan perbuatan burukmu membuatmu bersedih, berarti kamu seorang Mukmin”[3]
Allâh menyebutkan tentang orang-orang munafik:
فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ
Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasûlullâh, [At-Taubah/9:81]
Mereka senang dengan tidak ikut serta dalam jihad bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan bahkan itulah yang mereka inginkan. Ini menunjukkan lemahnya keimanan atau bahkan hilangnya keimanan dari dada mereka.
Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa mengoreksi dan memperbaiki keimanan, agar jangan sampai terjatuh kepada sifat kemunafikan ini.
BENCI DENGAN KETAATAN
Dalam banyak tempat di dalam al-Qur’an, Allâh Azza wa Jalla mengaitkan antara iman dan amal shalih, karena amal adalah bagian dari iman dan merupakan bukti serta buah dari keimanan yang benar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَىٰ ۖ وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا
Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami.” [Al-Kahfi/18:88]
Mereka yang beriman melaksanakan amal shalih dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Mereka juga mencintai Allâh Azza wa Jalla dan mencintai apa-apa yang dicintai Allâh Azza wa Jalla dan mencintai setiap amalan yang akan mendekatkan mereka kepada Allâh Azza wa Jalla . Mereka mendapatkan ketenangan dari ibadah yang mereka lakukan.
Inilah keadaan orang yang beriman. Keimanan sudah tertanam di hatinya. Dia telah merasakan kelezatan ibadah dan keimanan tersebut telah berbuah amal shalih dan akhlak mulia.
Ini berbeda dengan orang munafik. Mereka tidak merasakan kelezatan iman dan tidak mencintai Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu, mereka tidak mencintai amalan yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allâh Azza wa Jalla . Ketika melaksanakan ketaatan, bukan ketenangan dan kebahagiaan yang mereka dapati melainkan kesempitan, kesusahan dan kesedihan. Hati mereka ingkar, akidah mereka rusak dan nurani mereka gelap.
Mereka membenci agama ini dan seluruh syiar-syiar dan syariat-syariat Islam. Kalaupun terlihat mengerjakan amal ibadah, maka mereka mengerjakannya sekedar terbebas dari beban ibadah itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ ۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا ۚ لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ
Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasûlullâh, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allâh dan mereka berkata, “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah, “Api neraka jahannam itu lebih sangat panas(nya)” jika mereka mengetahui.[At-Taubah/9:8]
Sebagai contoh dalam masalah infak, mereka berinfak namun disertai rasa benci. Mereka benci infak, benci orang yang mereka beri bahkan mereka benci keadaan yang mengharuskan mereka berinfak. Mereka tidak menginfakkan harta kecuali dalam keadaan terpaksa, sebagaimana dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla :
وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ
dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan. [At-Taubah/9:54]
Bahkan, orang munafik berusaha menempuh berbagai cara agar bisa terlepas dari ibadah. Mereka berani bersumpah dusta, mengajukan udzur dan mencari-cari alasan atas ketidakikutsertaan mereka  dalam suatu amal ibadah, seperti dalam masalah jihad. Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang keadaan mereka, dalam firman-Nya, yang artinya, “Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allâh: “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri[644] dan Allâh mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. [At-Taubah/9:42]
Mereka enggan melakukan ketaatan kecuali dalam keadaan malas dan benci terhadap amal ketaatan dan kebaikan.
MALAS MELAKSANAKAN SHALAT
Shalat bagi orang beriman adalah penyejuk hati. Dengan shalat, mereka bermunajat memohon kepada Allâh, mendekatkan diri kepada-Nya, meminta segala hajat kebutuhan mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
Dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat[4]
Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu menggambarkan bagaimana semangatnya para salaf dalam menunaikan shalat. Beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Sungguh seorang laki-laki didatangkan dengan dipapah oleh dua orang dan diberdirikan di shaf.”[5]
Semua ini, karena mereka mengetahui arti shalat dan kemuliaannya serta derajatnya yang tinggi.
Ini berbanding terbalik dengan orang munafik. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ
dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan. [At-Taubah/9:54]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allâh, dan Allâh akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allâh Azza wa Jallaecuali sedikit sekali [An-Nisȃ’/4:142]
Dan shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Shubuh. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَثْقَلُ الصَّلَاةِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ الْعِشَاءُ وَالْفَجْرُ
Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Shubuh[6]
Diantara bentuk peremehan mereka terhadap shalat:
Tidak ikut shalat berjamaah bersama kaum Muslimin.
Melaksanakan shalat dengan rasa malas dan rasa enggan.
Riya’ dan menghiasi shalatnya agar dilihat manusia.
Tidak menghadirkan hati dan tidak khusyu’.
Mengakhirkan waktu shalat atau menunda-nunda pelaksanaan shalat.
Maka, hendaklah setiap Muslim mengetahui apa yang menyebabkan mereka lalai dari shalat, agar mereka bisa menghindarinya sehingga tidak terjerumus dalam kemunafikan. Diantara sebab-sebab itu adalah :
Tenggelam dalam kemaksiatan, sehingga menghalangi seseorang dari mengingat Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan shalat.
Sibuk dengan urusan dunia, hingga lupa tujuan dia diciptakan di dunia ini yaitu untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla .
Pendidikan yang buruk yang menyebabkan peserta didik kurang memperhatikan shalat.
Bergadang malam, sehingga menyebabkan luput dari mengerjakan shalat Shubuh.
Tidak mengetahui pentingnya shalat dan bahayanya meninggalkan shalat.
Kurangnya nasehat dari orang-orang yang berkewajiban memberikan nasehat dan peringatan kepada orang-orang yang tidak shalat.
Semoga Allâh Azza wa Jalla membersihkan kaum Muslimin dari kesalahan dan kekeliruan yang besar ini.
MEMERINTAHKAN PERKARA YANG MUNKAR DAN MELARANG PERKARA YANG MA’RUF
Yang dimaksud dengan al-ma’ruf adalah setiap perkara yang dianggap baik secara syariat dan diperintahkan untuk dilakukan seperti tauhid dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Sedangkan al-munkar adalah setiap perkara yang diingkari syariat dan akal yang selamat, seperti kesyirikan dan seluruh kemaksiatan
Orang yang fitrahnya belum berubah dan belum tercemari sifat-sifat jahiliyah, mereka pasti mencintai kebaikan dan membenci kemungkaran. Karena perkara yang mar’uf termasuk perkara yang dikenal oleh jiwa yang suci dan lurus sedangkan  perkara yang mungkar diingkari oleh jiwa dan dijauhi. Karena jiwa itu tahu bahwa kebahagiaan itu hanya bisa diraih dengan melakukan perbuatan yang ma’ruf dan meninggalkan kemungkaran.
Ini tidak sama dengan orang-orang munafik. Jiwa mereka terbiasa dengan kebatilan yang melekat dalam setiap keadaan, sehingga fithrah mereka terbalik. Mereka memandang  perkara yang ma’ruf sebagai kemungkaran dan kemungkaran sebagai sesuatu yang ma’ruf. Mereka bahu membahu dalam memerintahkan kepada kekufuran, kesyirikan, perbuatan maksiat dan mencegah perbuatan baik dan bahkan jika mampu, mereka akan memerangi kebaikan dan menyakiti orang-orang yang melakukan kebaikan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ ۚ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ ۗ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allâh, maka Allâh melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik [At-Taubah/9:67]
Adapun orang-orang yang beriman, mereka saling tolong-menolong dalam kebaikan dan saling mencegah dari kemungkaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allâh dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allâh; sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [At-Taubah/9:81]
Kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar kita dijadikan termasuk golongan orang-orang yang beriman dan dijauhkan dari sifat kemunafikan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIX/1437H/2016M. ]
_______
Footnote
[1] HR. At-Tirmidzȋ, no. 2499; Ibnu Mȃjah, no. 4251; Al-Hȃkim, 4/244. Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh al-Albani. Lihat Misykatul Mashȃbȋh
[2] HR. At-Tirmidzȋ, no. 2497
[3] HR. Ahmad, 5/252; Ibnu Mȃjah, 1/200; Al-Hȃkim, 1/14. Imam adz-Dzahabi menilai hadits ini shahih. Syaikh al-Albani juga menilai hadits ini shahih dalam as-Silsilah ash-Shahîhah, no. 550
[4] HR. Ahmad, no. 2293; An-Nasȃ’i, no. 8887; Abu Ya’lȃ, no. 3482; Ad-Dhiya’, no. 1608 dan al-Albȃni menilai hadits ini shahih dalam Shahȋhul Jȃmi’ ash-Shaghȋr no. 3119
[5] HR. Muslim, Kitabul Imȃm, 5/156
[6] HR. Al-Bukhâri, 2/165 dan  Muslim, 5/154